Membingkai Memori
Begitu mudahnya ia membingkai rahasia banyak wajah dalam kehidupannya, tapi tidak untuk dirinya
Sebuah siang di bulan Juni menjadi saksi pertemuan. Galam Zulkifli memberikan sela waktunya yang padat untuk berbincang. Tapi tidak di kafe atau keramaian, ia meminta dewi datang di studionya tempat bekerja. Sebuah ruangan yang terasa lapang, tak banyak barang. Hanya ada rak buku besar yang tidak terisi penuh, karpet dengan sisa-sisa abu rokok yang menempel, serta gelas bening yang masih menyisakan ampas kopi. Bersandar pada dinding kosong, 3 kanvas berukuran 2 x 2 meter “berisi” wajah dengan ekspresi sangat kuat. Sorot-sorot matanya tajam dan hidup, seolah menatap siapa saja yang ada di depannya.
Di ruangan yang bernama Bale Black Box inilah Galam membangun karya-karya gemilangnya. Ia lanjutkan kesuksesan pameran di Swiss dengan kreasi terbaru berjudul Dark Side of The Earth vol.1-3. Karya sebesar 200 x 1400 cm tersebut dipamerkan di Ciputra Art World beberapa waktu lalu dan menuai puji karena teknik yang digunakan. Dalam satu kanvas ia membuat dua lukisan yang sama sekali berbeda bila diletakkan dalam cahaya dan tanpa cahaya. Eksperimen ini seperti mendebat pandangan modern mengenai perbedaan picture dan painting yang terletak pada konsep. Galam menunjukkannya juga pada cahaya.
Lukisan itu tetap tak beranjak dari fokus karya yang selalu bermula pada wajah. “Kalau orang meramal menggunakan garis telapak tangan, saya justru melihatnya di wajah,” ia – yang selama wawancara berlangsung tidak duduk berhadap-hadapan, melainkan menyamping, barangkali karena tak ingin asap rokok yang dihembus tak mengenai lawan bicaranya – menoleh. Matanya menatap tajam. “Saat melukis, kadang ada hal yang tak bisa dipercaya muncul tiba-tiba. Bila ada wajah yang sangat sulit dibuat, saya percaya kalau wajah tersebut memang tak ingin dilukis,” ujarnya.
Melalui sebuah email, ia mengisahkan pengalamannya. Ia memang tak mudah membuka diri, terutama bercerita sesuatu yang sifatnya pribadi. Suatu kali, ia melukis wajah teman baiknya. Segala daya upaya dikerahkan untuk membuat lukisan itu sempurna. Namun anehnya, lukisan itu tak mirip-mirip juga, dan sialnya pada bagian pipi ada kerusakan yang tak disengaja dan sulit diperbaiki. Dua hari setelah lukisannya selesai, ia mendengar kabar, teman tersebut mengalami kecelakaan dan pada bagian pipi mengalami rusak parah. Bahkan hingga kini, pipi itu tak lagi simetris. “Tapi mungkin ini hanya kebetulan.”
Tiga puluh sembilan tahun lalu, Galam lahir di Sumbawa, sebagai sulung dari lima bersaudara. Ayahnya mantri kesehatan yang bertugas di daerah miskin, sehingga tak jarang memberikan pelayanan secara gratis demi kemanusiaan. Di matanya, sang ayah adalah sosok yang keras, tegas, dan kadang meledak-ledak, terutama menyangkut pendidikan agama. Ia tampaknya lebih dekat dengan sang ibu yang dianggapnya kalem dan pendiam, tidak tertarik menghabiskan waktu untuk bergunjing – satu sikap yang diikutinya – dan lebih suka berada di rumah menjalankan usaha menjahit busana wanita. “Saya paling senang memerhatikan lincahnya tangan Ibu saat menarik garis menjadi sebuah bentuk,” kata Galam tentang perempuan yang selalu mendongengi anak-anaknya setiap malam menjelang tidur dan mengajarkan mereka membaca.
Meski demikian ia tak tahu apakah minat menggambar itu muncul karena peran bunda. Yang diingatnya, ia lebih dahulu bisa menggambar daripada membaca dan menulis. Saat itu, tak ada barang dan dinding rumah yang terlewat dari goretan pensilnya. Lebih banyak bahasa yang diungkapkannya secara visual ketimbang verbal hingga usianya mencapai 9 tahun. Barulah diketahui kemudian bahwa ia kesulitan berbahasa. “Saya kesulitan menentukan kiri dan kanan, tak tahu arah mata angin, bingung membedakan angka dan huruf,” ia menerangkan pengalaman masa kecil yang mengarah pada tanda disleksia.
Untuk menutupi berbagai kesulitan itu, ia bicara keras, cepat-cepat, dan loncat. Ia tak pernah tahu apakah orang lain mengerti yang dikatakan, karena ia sering dianggap tak jelas kalau bicara. Ia menulis terbalik-balik. Membaca harus dilakukan berulang kali dan acapkali tetap tak paham. Paham itu akan terjadi bila ia mengalami sebuah kejadian yang pernah dibaca. Di sisi lain, ia merasa banyak “keajaiban”. Ketika mendengar suara musik, ia malah melihat visualnya. Merasakan benda-benda bergerak, sementara orang lain tak melihatnya. Bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan, bahkan luka orang lain kendati ditutupi.
Berbagai anomali di atas membuatnya sering merasa sendirian. Agar punya teman, ia menggambar orang-orang di sekelilingnya. Atau menggambar pahlawan dengan secepat kilat. “Saya senang membuat teman-teman takjub karenanya,”kenangnya. Ketika memenangkan lomba gambar pada saat dia duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, banyak orang yang tidak memercayai karyanya. Ia menggambar Pangeran Diponegoro – kalau ia tak salah ingat – dengan sempurna, sementara peserta lain menggambar pemandangan alam.
“Setamat SD, sekolah menjadi begitu membosankan. Saya pusing dengan istilah-istilah dalam bidang akademis dan tak suka dengan formalitas. Saya lebih suka belajar sendiri,” Galam akhirnya menyelesaikan pendidikan formalnya hingga tamat SMA, dengan berbagai perjuangan. Setelah itu, ia hanya ingin sekolah menggambar – sebuah keinginan yang ditolak oleh sang ayah. “Bapak tak ingin nasib saya seperti Sukidi, pelukis pemandangan legendaries Sumbawa,” ujarnya. Meski Sukidi bergaya nyentrik, urakan, tetap melajang di usia yang semakin uzur, dan hidup tanpa aturan, tapi Galam menyukai kecuekannya. ”Dalam pandangan umum daerah kami, antara pelukis dan orang gila bedanya tipis.”
Perdebatan ini akhirnya selesai ketika ia “menemukan” pendidikan di IKIP Yogyakarta tahun 1989. “Pikiran Bapak, saya bisa jadi pegawai negeri, mengikuti jejaknya. Setidaknya kemudian ia bisa menjadi guru gambar di sekolah.”katanya.
Namun kebosanan kembali datang dan tak bisa ditolak. Ia hanya sanggup berada 3 semester dalam institusi pendidikan tersebut dan memutuskan otodidak. “Bapak pasti kecewa, tapi saya yakin untuk kebaikan bersama. Apalagi keempat adik saya butuh biaya,”ungkapnya. Risikonya, ia harus membiayai hidupnya sendiri dengan jalan yang amat sulit. Kebutuhan untuk menghidupkan eksistensi sebagai seniman dimulai dari menjadi pelukis jalanan di Malioboro selama 3 tahun. Di sela itu, ia mencari jalan berpameran, dan selalu ditolak.
Apapun yang terjadi pada dirinya, ia tak pernah berhenti belajar. Berbagai kurikulum pendidikan di ISI, ITB, dan IKIP jurusan seni rupa diikutinya sendiri. Bukan menyaingi anak kuliahan, melainkan demi mengejar kesenangannya sendiri. Pada saat-saat seperti ini, ia tidak pernah melupakan rasa terima kasihnya pada sahabat yang membantu kematangan dalam berkesenian. Mereka antara lainYayat Surya, Dipo Andy, Alpha Tejo, Yunizar, Jumaldi Alfi, dan Rain Rosidi. “Pertemuan saya dengan Taufik Rahzen membuka mata dan cakrawala. Ia adalah pelita sekaligus sahabat luar biasa.”
Pencerahan itu tiba di tahun 1995, ketika ia berhasil “merumuskan” sebuah proses berkesenian dan konsep baru. “Karya saya adalah catatan tentang realitas yang menggejala dari kehidupan yang saya lebur dalam satu harmoni agar tetap memancarkan kesadaran,” ia menjelaskan karya yang selalu terdiri atas tiga tema utama: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ketiga tema tersebut dikembangkan dalam 33 seri, di mana tiap seri terdiri dari 33 karya. Misalnya seri mesin, seri ilusi, seri magic, seri pencitraan, seri iluminasi, dan sebagainya. Konsep ini diperkirakan selesai dalam waktu 25 tahun, dan merupakan proyek Taman Seni pertama. Kesemuanya masih tetap bicara wajah. Eksplorasi dilakukan dari sisi teknis pembuatan.
“Bagi saya, melukis wajah itu seperti berkenalan. Ada pertemanan yang intim. Misalnya Hitler. Mengapa satu orang ini bisa membuat dunia menengok padanya. Ada sesuatu yang saya pelajari di sini. Dapat biografinya. Bisa nggak saya bagi dengan cara saya,”ucap Galam bisa melukis berkali-kali terhadap satu sosok bila dianggap tidak sama seperti persepsinya. Tentu ia tak nihil terhadap apa yang dilakukan. Selalu ada pesan yang ingin disampaikan melalui karya-karyanya. “Wajah itu selalu punya riwayat, wajah adalah memori,” ia tersenyum, menatap kembali orang yang diajaknya bicara. Ia seperti merasa lega ketika akhirnya bisa memberikan keterangan jelas kepada yang diajaknya bicara.
Lalu ketika ditanya mengenai memori yang sangat kuat untuknya, hanya satu nama yang disebutnya: Ibu. “Selain bakat lukis turun dari Ibu, Ibu tak pernah menyuruh saya melakukan ini itu, cukup dari sorot mata saya tahu. Lain dengan Bapak, persis sama tukang atur saja,” ia tertawa. “Apakah karena ini saya jadi Oidipus Complex, saya tak tahu. Saya pikir yang menarik dari ibu adalah karena sifat menghangatkan, sementara ayah melindungi. Yah, kehangatan…,” ia membenarkan tempat duduknya, lalu berkata, “Saya sebenarnya tak suka diri saya dibicarakan, saya lebih suka bicara karya,” keluhnya. (Setelah sebentar bicara karya, ia terlena, lalu kembalilah cerita-cerita masa lalunya berhamburan).
“Kalau dari sisi fisik, saya suka perempuan yang mengatur saya. Perempuan seperti ini menarik buat saya, karena saya jadi belajar,” katanya, meski tak menyebut apakah sang istri, Prani Astuti, yang telah memberinya dua anak, memiliki sifat tersebut. Ia tajam mengatakan bahwa ia justru tak suka pada perempuan yang memberinya kebebasan. “Karena saya merasa sudah cukup bebas, jadi saya rindukan hal seperti itu,” ungkapnya jujur -meski pernyataan ini membawanya pada sebuah fakta baru bahwa ia benar merindukan figur sang ayah yang tak sempat menikmati keberhasilannya sebagai seniman karena sudah meninggal. Lalu seperti tersadar ia berkata, “Ah. Hidup saya biasa saja. Sederhana. Tak ada yang menarik,”ia tertawa. Tapi penutup cerita ini justru mengingatkan kembali pada kata-katanya. Di balik sesuatu yang sederhana itu, ada cerita yang luar biasa. Seperti pengalamannya. (Rustika Herlambang)
Lokasi: Studio Galam. Stylist: Quartini Sari
Di dalam wajah di kanvas-kanvasnya, ia sembunyikan dirinya
Salam kenal…..
Spesial Memorial To Om Galam….
Sebuah pengalaman hidup yang menginspirasi. Terimakasih Mbak Rustika….tulisanya telah mengingatkan sebuah memorial yang indah akan arti Semangat dan perjuangan yang telah ditanamkan oleh Om Galam…..
Dalam kesendirian ia berbicara tentang spirit kehidupan, dalam diamnya ia bercerita tentang sejuta makna kehidupan, spirit kehidupan dan makna kehidupan bagi orang-orang disekitarnya. Tidak banyak memang cerita yang mengalir dari lisan beliau, namun setiap geraknya adalah ilmu, setiap karyanya adalah wawasan, dan setiap sorotan matanya adalah semangat yang memberi ruang bagi siapapun yang berada disekitarnya untuk menatap kehidupan dengan penuh perjuangan. Setidaknya ini yang saya rasakan dulu dan kini.
3 tahun hidup dalam lingkungan keluarganya, dirumah kediamannya di Sumbawa Besar, telah memberikan ruang keberartian akan spirit kehidupan dan makna kehidupan. Tiap dinding yang terpajang lukisannya bercerita tentang dua hal ini. lukisan ayah dan bundanya mengisyaratkan besarnya rasa pengabdian dan ketakjuban beliau pada dua sosok yang berbeda tapi menyatu dalam membangun karakter dan kepribadian beliau, sosok Bunda yang bersahaja, lembut dan penuh pengertian, demokratis dan penyayang, berpadu dengan sosok ayahanda yang tegas dan cenderung otoriter, ada kekaguman yang terpancar dalam dua sosok orang-orang yang sangat berarti bagi kehidupannya.
Setiap saya menatap lukisan itu menjelang berangkat sekolah dan pulang sekolah, ada spirit yang terbangun dalam diri saya, kelak saya ingin berarti bagi kedua orang tua saya, kelak saya ingin memuliakan keduanya, dengan melukis kehidupan diatas kanvas perjuangan. Sebuah pemikiran sederhana anak Sekolah Menengah Atas…..kala itu.
Disaat-saat beliau pulang kerumah, adalah saat-saat yang berarti bagi saya dalam menghimpun sejuta cerita pengalaman kehidupan beliau, dalam diamnya dan dalam gerak geriknya, membuka lembar-demi lembar buku katolog lukisan beliau. menatap lekat-lekat foto yang merekam jejak langkah beliau dalam setiap galeri rekaman kilatan bliz kamera, dan menguping curhat beliau dengan sang bunda, telah membuka ruang cakrawala pemikiran saya untuk berani menatap kehidupan….hingga terpikir untuk mengikuti jejak beliau.
Spirit kehidupan dan memaknai kehidupan dengan karya dan berprestasi adalah sisi lain kehidupan beliau yang menjadi inspirasi bagi kehidupan saya, hingga kini mampu menata hidup di kota metropolitan Jakarta, berlayar dari kampus-kekampus menyenyam pendidikan, namun juga tak usai-usai….ada ruang tersendiri menjadi kenikmatan taktala didikan otodidak yang telah beliau jalani dalam menuntut ilmu, juga saya terapkan, yang walaupun versinya berbeda, jikalau om Galam “bersilaturahim” dengan wajah-wajah para tokoh, diatas kanvas lukisannya, mengepresikan lakon-lokon jiwa dalam setiap karnaval kehidupan karakter para tokoh-tokoh lukisannya, saya menemukan satu resonansi perjalanan tersendiri dalam dunia tokoh ini lewat menulis biografi tokoh, dan Nurani Anak Negeri tokoh-tokoh Tanah Air.
Walau saat ini sedang meniti jalan itu, setidaknya dari setiap jejak-jejak lukisan kehidupan om Galam, telah menginspirasi kehidupan saya untuk berani menatap kehidupan, dan membangun sebanyak-banyaknya “silaturahim” dengan orang-orang disekitar kita lewat jalan karya…..
Terimakasih Tak Terhingga untuk Om Galam atas segala didikannya dan kebaikan hatinya….
hehehe…..untuk kaos “Kre Berek”nya juga….
Semoga Tuhan Senantiasa memberkahi kehidupan Om galam dan keluarga diatas titian Hidayah-Nya…..
Wassalam.
[…] source: rustikaherlambang.wordpress.com […]