Hidup Ini Indah, Fauzi…
Ia merasa bahwa keberhasilan yang diraihnya terjadi karena ketulusan cinta yang mengelilinginya
Waktu rasanya membeku saat Fauzi Ichsan bercerita tentang dirinya. Bar dan lounge Bibliotheque yang penuh di Jumat sore itu terasa senyap, terbawa kisah. Andai boleh mengutip memoar Sidney Sheldon dalam The Other Side of Me, maka alur kehidupan yang dialami Fauzi tak jauh dari pesan kehidupan tersebut. Hidupnya ibarat novel. Sesekali penuh ketegangan. Sesekali penuh kejutan. Setiap hari selalu berbeda. Ia tak kan pernah tahu apa yang terjadi kemudian, tanpa membuka halaman-halaman berikutnya. Tanpa kekuatan dan keberanian, mungkin ia tak akan pernah sampai di sini. Mungkin.
Fauzi genap 40 tahun saat ini – sebuah usia puncak bagi seorang pria. Ia adalah Direktur, Senior Vice President Standard Chartered Bank, Indonesia. Selain bertugas sebagai pemimpin tim ekonomi di bank tersebut, ia juga menjadi konsultan pada Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Kementrian Luar Negeri. Di tengah kesibukan kantor, dan urusan Bank Century – di mana pendapatnya banyak dikutip media – ia menyediakan waktu. Pertemuan ini sudah berlangsung beberapa kali. Terakhir, ia memilih Bibliotheque sebagai tempat wawancara. Ia datang dengan gaya kasual, pada sebuah sore menjelang senja.
Di meja paling ujung bar dan lounge itu, ia menyimpulkan perjalanan hidupnya. “Pengalaman selama ini menyatakan bahwa hidup saya hanya mengikuti takdir. Semuanya seperti “sudah diarahkan”. Semuanya sering tak terduga. Jadi, saya menjalankan yang terbaik saja,” ujarnya, mengelak mengatakan rencana masa depannya. “Namun satu hal terpenting dalam hidup saya adalah soal kebahagiaan. Baru saat inilah saya merasakan hidup saya benar-benar normal,” ia tertawa lepas, lesung pipi kirinya langsung terlihat.
Januari 1970, Fauzi lahir. Nama lengkapnya Mohammad Fauzi Maulana Ichsan. Masa kecil dilaluinya dengan penuh keriangan. Dua orang yang dipanggil Papa dan Mama sangat menyayanginya. Mereka adalah pasangan Mr. Mohamad Ichsan, mantan Menteri Sekretaris Negara Kabinet Dwikora III. Di rumah yang luas di jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, ia dibesarkan bersama beberapa kerabat yang tinggal di sana. Sebagai anak terkecil, ia sangat dimanjakan.
“Papa menguasai 6 bahasa. Pandai, tapi sangat rendah hati. Dia mengajarkan saya bahwa untuk mengabdi kepada masyarakat tidak usah jadi pejabat. Kamu bisa menjadi apa saja, guru, wartawan, kamu bisa membuat perbedaan, ” ia tertawa sejenak. Lalu melanjutkan,”Lucunya, setiap kali memandikan, Mama selalu bilang, nanti kalau Fauzi besar kayak Papa ya, jadi Menteri atau Duta Besar. Ha ha ha..,” ia terbahak. Setiap pagi, ia dan Papa bermain mobil-mobilan. “Dia yang pertama kali bilang, Ini mobil Rolls-Royce, mobil yang terbaik di dunia,”ujarnya dengan mata berbinar-binar.
Namun kebahagiaan itu seperti mimpi yang berlangsung singkat. Ia merasa dunianya berputar-putar ketika tahu bahwa orang tua kandungnya bukanlah Papa dan Mama. Sebuah sore di akhir bulan Oktober 1979, sebuah artikel di majalah Tempo yang dibacanya, menjelaskan semua kenyataan baru. Ia adalah putra dari Firman Ichsan – anak kedua Papa yang sekolah di Belanda- dan Poppy Dharsono, peragawati dan perancang busana, dua orang kakak yang selama ini dipanggilnya dengan sebutan Mas dan Oppie. Belum hilang keterkejutan akibat pernyataan ini, ia sudah dilibat fakta baru di artikel yang sama: keduanya bercerai. Waktu itu, Fauzi langsung merasa bahwa kedekatan dengan Papa dan Mama tidak lagi seperti dulu. Ia kemudian tinggal dengan ibu kandungnya. “Makanya aku selalu merasa hidupku dimulai di usia 9 tahun.”
Tiga tahun kemudian, ia memilih sekolah di Inggris. Apakah karena tekanan pemberitaan, ia tak pernah tahu. Namun benar bahwa keinginan ini murni hadir dari dalam dirinya sendiri. Bahkan hingga kini sekalipun ia merasa heran bagaimana mungkin anak yang biasa dimanjakan itu memiliki keberanian untuk tinggal sendirian di negeri jauh, tanpa sanak saudara, tinggal di asrama dan sekamar dengan 10 anak seusia, lingkungan budaya berbeda. Ia juga tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga harus berjuang ketika membaca buku dengan menulisnya dalam bahasa Indonesia ditemani kamus. Setiap kali ujian hasilnya terburuk di kelas.
Secara emosional ia cukup terganggu. Apalagi bila akhir pekan tiba dan teman-teman dijemput pulang keluarganya, ia tetap tinggal di asrama. “Aku kangen. Aku kangen Indonesia, kangen kakek nenekku. Tapi aku nggak punya pilihan. Aku harus hadapi apa yang harus kuhadapi,” katanya, serak. Lalu bagaimana mengatasinya? “ Ketika melihat tayangan bencana ledakan pabrik pestisida di Bhopal, India, tahun 1984, aku jadi merasa beruntung. Sesulit-sulitnya hidup yang kujalani, di luar sana, masih banyak orang yang jauh lebih sulit dari aku,” katanya, ber-aku-aku. Sejak itu, ia memicu semangat untuk maju. Enam tahun kemudian, ia menjadi satu-satunya siswa di sekolahnya yang diterima di London School of Economics (LSE), University of London, Inggris.
Tertarik menjadi ekonom? Awalnya tidak. Ia sendiri bercita-cita menjadi seniman. Kesukaannya menggambar. Namun karena tinggal di asrama semuanya serba dibatasi, ia mulai berpikir bagaimana cara mengembangkan uang. Ketika suatu kali membaca berita bahwa Pemerintah Inggris sedang melakukan divestasi asset, salah satunya saham Rolls Royce, ia langsung bergerak cepat. Cerita Papa mengenai mobil terbaik di dunia mengganggu pikirannya. Maka ia pun langsung membeli saham perusahaan mobil mewah tersebut. Saat itu usianya16 tahun.
Sukses memasuki pasar saham, ia tergerak bereksperimen. Uang kuliah sebesar 40 ribu dolar dialihkan untuk bermain valas. Alih-alih mendapat keuntungan besar yang diharapkan, uang raib seketika karena ia melawan arus pasar. Jelas sang bunda yang mengirimkan uang sekolah dengan susah payah marah padanya, membuat sang ayah ikut campur mencari ganti. Pengalaman hidup memang mahal harganya. Namun di sisi lain, ia juga mendapat berkah beasiswa pada saat kondisinya carut-marut akibat perbuatannya. Rupanya keberanian ini dipicu oleh obsesi ingin menjadi broker saham yang “dipelajari”-nya dari film Wall Street (1988). “Saya ingin seperti dia,” ia membayangkan tokoh utama yang dibintangi oleh Michael Douglas.
“Dalam menjalani masa-masa sekolah di Inggris, saya merasa beruntung dikelilingi banyak cinta dalam hidup saya,” katanya. “Meski mengalami persoalan emosional yang pelik, saya merasa tegar karena merasa banyak orang memerhatikan saya. Papa Mama, Pakde Gatot, Ibu Dabin,” ia melanjutkan. Pakde Gatot adalah ayah angkat Fauzi, kerabat jauh yang dulu tinggal di rumah Papa Mama. “Karena dia bekerja di Garuda, saya jadi sering dapat tiket gratis,”ujarnya sambil tertawa, senang. Ibu Dabin, adalah ibu angkat ketika ia pertama kali tinggal di Inggris dan dititipkan di sana sebelum masuk asrama. Setiap liburan panjang, ia sering menghabiskan di rumah Ibu Dabin.
Lagi-lagi, kebahagiaan seolah terengut ketika satu persatu orang yang dicintainya pergi. Mama meninggal ketika usianya 16 tahun. “Saya ingat ketika itu saya di kelas. Dari jendela saya melihat badai di luar,” ia mengisahkan firasatnya. Dan benar, sorenya ia mendapatkan kabar duka. Papa meninggal tepat pada saat ujian hari terakhir di LSE, disusul oleh Pakde Gatot dua minggu kemudian, dan Ibu Dabin. Tak satupun ia bisa datang di pemakaman mereka. Berbagai peristiwa ini seperti trauma bagi dirinya. “Rasanya kehadiran mereka di dunia ini hanya untuk menemani saya. Setelah “tugas” usai, mereka pergi..,” ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Air mata mengaliri pipinya, yang kemudian berusaha dihapusnya. “Saya merasa lebih sendiri. Bagi saya, inilah babak kedua dalam hidup saya..” (Ia lalu memaksa tersenyum, menatap dewi, dan berkata, “That’s life, Tika..”)
Proses pencarian eksistensi diri dimulai. Bayangan Papa dan Mama kembali datang. “Selulus LSE, saya ingin menjadi pegawai negeri,” ujarnya, mengenang sosok kakeknya. Ia berpikir bahwa dengan menjadi pejabat, ia bisa menentukan kebijakan sebuah negara – seperti diketahui ia menjadi nasionalis karena ajaran kakek dan ayahnya yang ketika muda menjadi aktivis. Ilusi ini dibangun dari kesukaan pada sejarah dan politik Indonesia yang dibacanya dari berbagai buku yang dikirimkan oleh orang tuanya. (Namun ia tak pernah berpikir menjadi politisi karena pengalaman hidup kakeknya, alias Papa, merasakan masa jaya dan berangsur suram karena perbedaan pandangan politik dengan penguasa berikutnya.)
Meski sang ibu menyarankan untuk mencari pengalaman bekerja di perusahaan bonafid sebelum meneruskan pendidikan S2-nya, ia memilih bergabung di Harvard Institute for International Development, Departemen Keuangan RI, yakni sebagai tim penasehat ekonomi keuangan JB Sumarlin. Di sini, ia seakan disadarkan mengenai rupa-rupa sistem birokrasi di Indonesia masa orde baru yang berbeda dengan yang didapatkan di bangku kuliah. Demokrasi tidaklah terwujud sebagaimana ia ketahui sebelumnya. Junior seperti dirinya tidak bisa serta merta mengugkapkan idenya secara terbuka, apalagi bila ide tersebut bertentangan dengan seniornya. Ia lalu mengambil pendidikan Studi Pembangunan di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.
Ketika liburan musim panas, ia magang di Citibank, Jakarta. Karena kinerjanya bagus, ia langsung ditarik sebagai Manager dan Treasury Economist, dan inilah awal kariernya di dunia perbankan. Ia diberikan kesempatan untuk mengambil pendidikan ilmu perbankan- seperti persyaratan yang diinginkannya, selain menyelesaikan kuliah. Usia 27 tahun, ia diangkat sebagai manager, bond trader oleh Citicorp Investment Bank Singapura.Tugasnya mengelola surat utang di pasar finansial. Namun tahun 1998, pekerjaan menyenangkan ini berubah menjadi mimpi buruk. Kala itu nilai tukar rupiah terpuruk akibat permainan spekulan. Para pengutang (klien) tiba-tiba “menghilang”. Walhasil, ia merasa pekerjaannya seperti penagih hutang. Banyak klien menggunakan pengacara dan mengatasnamakan nasionalisme, membuat ia sedih, sekaligus mendapat pengalaman hidup bagaimana perilaku seseorang bisa berubah karena situasi dan kondisi.
“Sebenarnya pekerjaan saya lebih banyak aktif ketika terjadi krisis. Pasar finansial bergerak cepat. Pada saat itulah saya harus memutuskan segala sesuatunya,” jelas Fauzi. Dari Citibank, ia bekerja sebagai Penasehat Ekonomi Senior untuk Duta Besar Inggris, Sir Robin Christoper, selama dua tahun, sebelum akhirnya ia ditarik oleh bank asal Inggris, Standard Chartered Bank, hingga kini. Dengan pengalaman kerjanya, sudah banyak krisis yang ia lewati, mulai dari krisis Meksiko (1995), krisis moneter Asia (1997-1998), hingga krisis global tahun 2008 lalu. “Karena itu, menghadapi krisis bukanlah sesuatu yang mengerikan untuk saya,” katanya, lalu terdiam seperti berpikir keras.
“Mungkin karena saya sudah terbiasa berjuang sejak kecil. Bedanya, misalnya ketika di asrama saya tidak bisa menghindari orang yang tidak suka karena saya harus hidup bersama mereka. Sementara di pasar finansial, kita selalu tahu strategi keluar dari persoalan ini. Kapan kita bisa masuk dan kapan kita bisa keluar dari pasar uang atau saham.” Ia selalu mengambil pengalaman dari dirinya sehingga rasanya sulit untuk memisahkan Fauzi dari masa lalunya. Lalu ia mengungkapkan sebuah pernyataan,”Saya selalu berpikir bahwa apa yang terjadi pada diri kita sekarang, kita akan mengerti maknanya 10-20 tahun yang akan datang. Andai saya tidak suka tinggal di asrama selama 6 tahun, namun kehidupan itulah yang membuat saya menjadi berdikari dan berani mengambil risiko.”
“Saya merasa bahwa semua peristiwa yang saya alami memiliki makna. Saya selalu mengambil hikmah dan memetik pelajaran dari kehidupan,” ujarnya. “Kini di usia 40 tahun, saya benar-benar memiliki kehidupan normal. Memiliki dua putri dan seorang istri, sesuatu yang bahkan tak pernah saya bayangkan. Meski kadang sedih juga. Ayah saya masih sendiri. Ibu saya masih sendiri. Tapi saya ingin membahagiakan mereka,” Fauzi, adalah suami dari Mutiara Maruto, perempuan yang ditemuinya ketika kuliah di Amerika. “Menurut saya, ekspresi cinta adalah sesuatu yang sifatnya terus menerus. Perempuan yang saya sukai adalah ia yang mau berada di samping saya baik dalam keadaan apapun. Dan mungkin yang terpenting adalah ia bisa menjadi ibu yang baik untuk anak saya,” ia mengungkapkan perasaan terdalamnya.
“Dalam hidupku memang banyak hal yang tak bisa aku jelaskan secara normal,” ia berkata, kali ini dengan kata aku, yang acapkali tertukar dengan istilah saya ketika menjelaskan sesuatu. “Semuanya takdir,” katanya yakin. Dan kini ketika semua perihal kehidupan yang penuh cerita berlalu, ia hanya berharap, ia bisa menjadi bapak yang baik untuk anak-anaknya. Sementara dalam skala profesional, ia ingin membantu dan bisa memberikan makna pada masyarakat Indonesia dengan analisis ekonomi yang ia sampaikan baik kepada media maupun pejabat Indonesia yang sering meminta bantuan kepadanya. Di ujung pertemuan, Fauzi mengembangkan senyuman. Baginya, menikmati dan menjalani kehidupan apa adanya adalah sebuah kebahagiaan. (Rustika Herlambang)
Stylist: Karin wijaya. Fotografer: Anton Jhonsen.
.
kok bangga bgt bilang ibunya popi darsono ya, padahal ibunya tidak lebih dari seorang wanita yang merebut suami,anak, harta dari orang lain…..masi pantaskan membanggakan ibu seperti itu….jangan uang di panin sekuritas itu didirikan karena hasil cuci uang dari moerdiono…..
ass. salam kenal mas fauzy,
saya ihsan dari kota kecil tasikmalaya, ada hal yang mau saya sampaikan bahwa bapak saya sangat mengagumi mensesneg Mr. Mohamad Ichsan, sampai nama sayapun M.Ihsan dan sama menyandang Mr alias SH.
Boleh saya minta perjalanan hidup/karier Mr. Mohamad Ichsan.
terimakasih, senang berkenalan dengan saudara.
wss
oh ternyata blog Rustikaherlambang ya….
Tenang mas, nanti sy sampaikan!
asalamualaikum,,maaf mas saya rini oktapiani dari FE Unpad,,boleh saya mmnta kontak bp fauzi?saya berencana mngundang bpk fauzi untuk acara National Economic Seminar (NES) april 2012.terimakasih.
Tulisan Mba Rustika Herlambang selalu menarik untuk dibaca…luv this blog so much Mba 🙂 Beberapa kali saya cari informasi tentang sesuatu, sering berakhir dengan baca blog-nya Mba Tika 🙂
Trully Amazed dengan kecerdasan dan wawasan bapak fauzi lchsan di Versus kompas TV,,
Keren pak…!!!!