Aliran Arus Besar
Segala kreativitas itu tercipta karena jiwa muda yang terus menggelegak dalam dirinya
Bisa dikatakan, “dunia” Eddie Hara sesungguhnya ada di dalam kanvas-kanvasnya. Atau dalam satu kalimat: Welcome to My Cruel Colorful World – untuk menunjukkan lukisan yang dibuat tahun 2005. Lukisan yang ditandai dengan judul cukup menyentak secara tekstual itu divisualkan dalam warna-warna yang cemerlang. Kata “cruel” diletakkan lebih kecil dan terpisah, bahkan hampir tersembunyi, dibandingkan “colorful world” yang sepertinya sengaja dibesar-besarkan. Ikon Mini Mouse khas Eddie membawa belati dengan seringai tawa itu berpadu dengan dua ikon lain dalam posisi terbaik-balik.
Pada akhirnya karya itu bukanlah sebuah cerita tentang kekejaman – meski diinspirasikan oleh kritik sosial mengenai kekerasan yang bisa dilakukan oleh anak atau remaja- melainkan sesuatu yang lucu, atau bahkan memaksa kita untuk tertawa. Menertawakan diri sendiri. Self irony. Berbagai persoalan seperti itulah yang selalu mengganggu “kehidupan” Eddie Hara, menjadikan karya-karyanya tak henti digemari pasar.
Mempelajari dan mengenali karya-karyanya seolah mengenangkan kembali teori dunia nyata dan dunia mimpi yang pernah dibawa oleh Sigmund Freud. Psikoanalis itu menyatakan bahwa mimpi adalah pesan alam bawah sadar yang mencakup keinginan, ketakutan, aktivitas emosi, yang dapat mengungkapkan berbagai ketakutan, kekawatiran, dan kemarahan yang tidak disadari karena adanya represi. Di dalam kanvas, semua hal itu tertuang. Ada gejolak untuk membebaskan diri, seolah banyak hal yang belum selesai pada dirinya. Misalnya saja ikon ubur-ubur yang belakangan sering digunakannya, tak lebih karena kepedulian pada ekosistem alam yang sudah tak seimbang. Itulah Eddie. Keberuntungan sebagai seniman memberikan tempat untuk me-nyata-kan mimpi-mimpi dan kegelisahannya.
Di atas kanvas dan di dalam diri Eddie rupanya ada “ruh” yang sama. Sepanjang wawancara yang dilakukan beberapa saat lalu seakan disadarkan sebuah fakta bahwa perjalanan hidupnya juga sulit, dan barangkali kejam, namun ia bisa membahasakannya dalam kisah yang seru, menyenangkan. Meskipun kadang miris mendengarnya. Memang tak bisa dipungkiri, perjalanan kehidupan Eddie begitu menyatu dengan daya kritis dan kreativitasnya. Lebih sulit lagi, karena kisah itu kadang berbingkai dan terkait satu sama lain dengan begitu rumit. Penuh rahasia yang tak mudah untuk diungkapkan secara terbuka.
Baiklah. Barangkali akan lebih tepat bila dimulai dari masa kelahiran Eddie, 53 tahun lalu. Meski mengaku orang Banyumas, sesuai keturunan ayah ibunya, masa kecilnya berpindah-pindah dari Salatiga, Padang, Bukit Tinggi, Purwokerto, dan Semarang. Ayahnya seorang tentara yang mendidik anak-anaknya secara keras dan kaku. Ia sendiri terlahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, di mana satu-satunya perempuan hanyalah si bungsu, membuat ia butuh perhatian lebih. Apalagi, kalau ia melihat semua pakaian dan sepatu miliknya hanyalah bekas pakai dari kakak-kakaknya.
Kadang dalam hati kecilnya ia ingin memberontak, lepas dari segala batas yang membelenggu. Tapi akibatnya, ia dianggap anak bandel. Musuhnya: ayahnya sendiri. Maka pernah pada suatu saat ia dikirim ke rumah saudaranya untuk dididik disiplin. Hasilnya? Ia kabur! Barangkali pilihan ini diinspirasikan oleh komik kesayangannya yang berjudul Wiro, Anak Rimba, karya Kwik Ing Hoo. Komik itu berkisah tentang perjalanan anak kecil yang kabur dari rumah dan berkeliling pulau-pulau di Indonesia, masuk hutan, dan berteman dengan binatang-binatang. Untunglah, ada sang ibu yang membujuknya untuk kembali.
Memang banyak hal yang dirasa tak se-visi dengan ayahnya. Salah satunya adalah mengenai masa depan. Sang ayah menginginkan ia masuk akademi militer. Tapi ia menolak dengan strategi ampuh: sengaja menjelek-jelekkan nilai pelajaran eksakta sebagai prasyarat masuk. Dulu sempat juga bercita-cita menjadi pelaut supaya bisa keliling dunia dengan gratis. Namun kesukaannya pada pelajaran menggambar jauh menguasai. Setelah berdebat panjang, akhirnya kompromi terjadi. Ia masuk jurusan Bahasa Inggris di IKIP Semarang. “Pada saat ini, penampilannya sudah mulai nyentrik. Rambut saya panjang, tapi tetap kelihatan rapi, dan mengenakan dua anting di sebelah kiri.”
Namun keinginan menjadi seniman terus menggebu-gebu. Diam-diam dia mendaftar ke Akademi Seni Rupa Indonesia (kini sudah berganti Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta pada tahun 1980. Ketika diterima, ia bingung, bagaimana membiayai kuliahnya. Ayahnya sudah pasti akan menolak. Dewi penolongnya? “Orang tua pacar saya,” ia tersenyum, tak banyak pria seberuntung dia mengenai wanita. Ayahnya murka. Padahal masalahnya hanya pada soal persepsi. Di mata sang ayah, seniman adalah sosok dengan gambaran pelukis tua yang meninggal karena TBC, begadang tiap malam, kawin cerai, dan keluarga tak terurus. Sementara ia memandang Affandi dan Amri Yahya yang begitu suksesnya.
Sang ibu, secara rahasia menyisihkan uang belanja demi membiayai kuliahnya. “Kondisi ini membuat saya terharu dan bertekad kuat untuk membuktikan bahwa menjadi seniman juga bisa hidup normal seperti dokter atau pegawai negeri, ujarnya. Dan hal itulah yang dikejarnya: dia terobsesi untuk menjadi seseorang. “Ibu saya bangga sekali ketika itu,” Ia mengingat binary-binar di mata sang Ibu ketika membuka pamerannya di tahun 1987. Sementara itu, sang ayah tak akan pernah menyaksikannya. Ketika Eddie baru sempat mengenyam pendidikan seni selama tiga bulan, sang ayah meninggal karena kanker. “Pada hari-hari terakhir dengan Papi, kami sudah baikan lagi. Saya menyumbangkan darah, karena hanya darah saya yang cocok untuk Papi. Saya masih ingat ketika Papi melambaikan tangan untuk terakhir kalinya. Sedih juga beliau tidak melihat saya kini.. ”
Apakah jalan hidupnya kemudian mulus? Tidak juga. Karena sifat Eddie yang gemar melanggar arus besar juga memengaruhi gaya melukis. Sejak kecil, ketika teman sebayanya asyik dengan gambar pemandangan, ia malah menggambar koboi dan orang Indian yang diserap dari film Spagetti Western alias Koboi Itali. Saat kuliah, ia malah terinspirasi komik Wiro, terutama dengan gambar binatang-binatangnya. Sayangnya, pada masa itu idenya tidak diterima dan dianggap tidak kontemporer. “Karya saya disingkirkan dengan kaki oleh pembimbing saya,” ia mengenang pengalaman pahit yang justru melecut semangatnya.
Boleh dibilang ia beruntung dengan kepandaiannya berbahasa Inggris – satu hal yang amat langka di kampusnya masa itu. Sebagai salah satu kampus seni tertua di Indonesia, banyak orang asing yang ingin mengenalnya. Hanya dia yang sanggup menjadi juru bicara dan berdiskusi dengan orang asing yang kebanyakan penikmat seni atau seniman. Ia juga suka berkorespondensi dengan seniman di luar negeri. Tak jarang, ia dikirim buku-buku dan informasi terdepan mengenai perkembangan seni dunia. Sahabatnya, Heri Dono, menjelaskan bagaimana Eddie pada masa itu sudah berpikir mengenai networking. Pikiran-pikirannya sangat maju dan terbuka karena arus informasi yang diterima.
Tak heran pula apabila karyanya kemudian banyak disukai dan dibeli pada saat dia masih duduk di bangku kuliah. Salah satunya adalah seorang perempuan yang kemudian jatuh cinta padanya dan memberinya kesempatan menuju Swiss.
“Awalnya dijanjikan pameran di sana,” kata Eddie. Ia cuti selama satu semester pada tahun 1984. Pada saat inilah pengetahuan dan wawasannya terbuka lebar. Ia juga mulai mengenal kesetaraan perempuan secara nyata – suatu hal langka dibandingkan dengan kehidupan keluarganya. Namun di sisi lain, ia belum siap secara emosional untuk berpacaran dengan perempuan yang 20 tahun lebih tua itu. “Tugas saya adalah bawa jalan-jalan anjing setiap pagi dan sore,”katanya. Cinta itu putus sebelum jadwal kepulangannya tiba.
Meski akhirnya ia tak sempat pameran, pengalaman selama 3 bulan di Eropa memberikan pengaruh besar dalam perjalanan kariernya. “Baju-baju saya paling trendi. Namun yang paling berkesan karena karya saya lebih diterima. Swiss membawa perubahan secara teknis, konsep, dan ide yang berkembang secara bagus.”
Sejak itulah, ia fokus pada kesukaannya: komik. “Bahkan sampai kini fantasi dan imajinasi saya, tentang binatang, alam, hubungan manusia dengan alam, dipengaruhi oleh komik Wiro,” ujarnya, seperti menegaskan bahwa komik yang dibacanya waktu SD itu rupanya tak pernah hilang dari pikirannya. Eddie juga membawa gaya visual street art ke dalam karya. Ia gemar membubuhkan tulisan atau teks langsung di atas lukisan – yang sekarang banyak dipakai oleh seniman-seniman muda seperti Eko Nugroho atau Wedhar Riyadi- sejak tahun 1990-an. “Menurut saya, komik adalah sarana menarik untuk membuat kritik atau situasi sosial. Self- irony adalah salah satu ciri saya. Saya ingin orang melihat kefrustasian dalam lukisan saya, namun mereka masih tetap terhibur dengan visualisasinya,” ujarnya.
Hingga kini, ia membawa binatang-binatang di dalam kanvasnya sebagai ikon-ikon – sesuatu yang mengingatkan pada komik Wiro dan pengalaman di Swiss di mana penduduknya sangat mencintai binatang sebagaimana diperlakukan manusia. Bahkan ia pernah mengalami gegar budaya ketika mendapati seorang nenek berpakaian bagus mengantarkan tikus putihnya yang sedang kena flu ke dokter hewan. “Makna hewan-hewan itu adalah untuk memberikan unsur keprimitifan namun dengan taste kontemporer.”
Pilihan pada gaya street art, graffiti, komik, mengacu pada kehidupan sub kultur yang berbicara tentang suara kebebasan, suara urban, kehidupan kota, budaya pop, kisah anak muda yang mencari identitas diri, tidak secara serta merta ia pilih. Gaya lukisan ini memang membuat banyak orang mengira bahwa ia memang masih muda – selain mengingatkan bahwa dorongan kebebasan itu tidak lepas dari dirinya. “Bukan karena saya terperangkap dalam jiwa muda, namun memang ternyata spirit kemudaan itu (baca kebebasan) tidak bisa hilang karena usia,” ujar Eddie yang ternyata suka berteman dengan anak muda usia 25-35 tahun. “Saya merasa mereka memiliki daya eksperimental dalam hidup. Spirit mereka belum dengan orientasi karier. Di Eropa, pria seusia saya kebanyakan frustasi dan marah karena karier tak jalan atau sebaliknya kerja dan kerja. Ada yang depresi padahal mereka kaya dan memiliki posisi bagus. Ternyata tidak bahagia itu menakutkan saya…”
Suasana ini kemudian berubah ketika ia bercerita tentang kisah cintanya yang begitu berliku. “Pada waktu muda, saya oedipus complex. Saya selalu jatuh cinta pada perempuan yang oleh ibu dikatakan lebih cocok untuk menjadi ibu saya. Namun setelah tua, kenapa selera saya menjadi yang muda?,” ia terbahak-bahak. Ia pernah menikah dengan perempuan Amerika dan sempat tinggal di Los Angeles. Sayang pernikahan itu kandas. “Dia tak ingin memiliki anak karena ingin konsentrasi dengan pekerjaan. Dulu memang saya tak ingin punya anak, karena ingin bebas dan tak ingin terbebani. Namun ketika usia 35 tahun, saya begitu gelisah. Setiap kali menjual lukisan, saya ingin membagi kebahagiaan tidak hanya untuk istri,” ia memberikan alasan.
“Yah itulah, saya selalu melawan arus besar. Saya menyukai perempuan feminis. Saya pikir, kita hidup bukan sekadar makan. Kesetaraan intelektualitas perlu buat saya,” ujarnya. Ia akhirnya bertemu dengan perempuan feminis dari Swiss yang mau berkeluarga dan mengganti nama keluarga dengan namanya. Perempuan itulah yang mengajaknya tinggal di Basel hingga kini. Ia seorang librarian yang bekerja di Akademi Seni dan Desain Basel yang cukup bergengsi di Swiss. Namanya Catherine Hara-Maeder, ibu dari Mimmo Asmara Hara (11) dan Nestor Adinda Hara (6). Bersama istrinya, ia bisa bercerita tentang apa saja, termasuk tentang perkembangan seni dan desain dunia, membuat dunianya terus terasa muda di matanya. Itu sebabnya, karya-karyanya terus eksis dan bersaing di tengah tumbuhnya seniman kontemporer baru dunia. (Rustika Herlambang)
Fotografi: Anton Jhonsen. Stylist: Karin Wijaya. Lokasi: Galeri Nadi
Bekas-bekas:
“Waktu itu saya berpikir, kenapa orang kulit putih selalu menang dan Indian selalu kalah,” ujarnya – sebuah pemikiran yang terus mengganggu pikirannya hingga akhirnya ia malah jatuh cinta pada perempuan-perempuan berkulit putih.
“Saya ingin orang melihat kefrustasian dalam lukisan, namun mereka masih tetap terhibur dengan visualisasinya.”
Eddie Hara bertanya pada anaknya yang masih berusia enam tahun, apakah wawancara bisa dilakukan di tempat lain. Ia berbicara dengan sangat lembut dan kebapakan. Sebuah pengalaman yang ternyata sama sekali berlainan dengan gaya Eddie di keseharian yang selalu terlihat nyentrik dan menikmati kebebasan dalam hidupnya. Rupanya ada hal yang bisa menaklukkannya: anaknya. Dan dia adalah bapak yang sangat perhatian pada anaknya, yang sengaja dibawa dari Basel, untuk menemaninya sepanjang tiga minggu di Indonesia dengan segudang kegiatannya.
Lalu pertanyaan kemudian bermunculan. Apakah sosok-sosok mirip robot, superman, boneka, itu diinspirasikan oleh anak dan terutama mainan-mainan anaknya? Ataukah ia tak mau kehilangan masa anak-anaknya?
Bahkan ia pernah mengalami gegar budaya ketika mendapati seorang nenek berpakaian bagus mengantarkan tikus putihnya yang sedang kena flu ke dokter hewan. “Makna hewan-hewan itu adalah untuk memberikan unsur keprimitifan namun dengan taste kontemporer.”
saya termasuk orang yang tidak suka membaca lebih tepatnya mungkin tidak diberi rasa “suka” membaca, jadi ketika ada kalimat “gegar Budaya”, bagi saya itu kalimat baru, mohon pencerahannya akan kalimat itu…
di alinea terakhir mengenai “sifat kebapaan mas eDi hara, saya pernah mengalaminya, waktu itu ada seniman dari Belanda mengadakan workshop di kampus saya (Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta) sekitar tahun 1995, dengan sangat sabar dia menerjemahkan apa yang dikatakan seniman dari belanda pada kami yang rata-rata tidak mampu berbahasa inggris, kebetulan saya yang jadi panitia nya, sampai ketika acara itu selesai, saya masih dapat kenikmatan ngobrol dengn seniman itu yang terus didampingi oleh mas edi sebagai translatornya.
Reblogged this on Sepenggal Kisah and commented:
wonderful