Apapun yang terjadi pada diriku saat ini, ada kehangatan dan ketulusan kasih yang diberikannya padaku ketika ku kecil
(this picture: Mas Basuki, Ovie, aku, ibuku, Mbak Sam, Mbak Sur, Mbah Darmo, Mbak Mus. Lokasi: depan rumahku, tahun 1970-an)
Mbah Darmo,
Aku selalu mengenangmu di setiap langkahku. Bahkan hingga ku sampai di sini, ada andilmu dalam diriku. Kenangan yang sangat manis, indah, dan romantis!
Setiap hari, sejak aku kecil, aku selalu berada di rumahmu, terutama setelah bapak dan ibuku berangkat ke pasar. Meski pintu rumahku hanya setengah meter dari pintu rumahmu kala itu, aku lebih suka berlama-lama duduk di kursimu. Bila haus, aku mengambil minum dari kendil tanah liatmu. Adem, alasanku ketika itu. Kadang-kadang, aku suka makan di meja makanmu. Meja makan bundar dan terbuat dari kayu, warnanya hitam. Sayur bobor bayem dan gereh, kesukaanku. Dan aku suka bandel menimba sumur dari sumurmu yang berpagar rendah. Ini yang membuat kamu suka marah-marah padaku, takut aku tercebur. (Aduh, kemana lagikah aku bisa menemukan kehangatanmu dan keluargamu? Mbah Kakung, Mbak Sur, Mas Riyanto, Mas Gendut, dan Wawan?)
Setiap sore sampai malam, aku lebih suka duduk di kamar tamu rumahmu. Dua buah tikar yang sudah bolong menemani aku menonton televisi hitam putih 14 inci milikmu. Setiap kali, aku selalu menyandarkan kepala di kakimu, sambil melihat tontonan Galarama atau lawakan srimulat. Setiap menyadari kepalaku sudah memberatkan dudukmu, kamu berkata, “Dasar bokong kukusan!”. Aku tertawa-tawa mendengarnya, tapi tetap saja tak beranjak pergi. Itu karena aku merasa nyaman bersamamu. Bokong Kukusan, alias pantat kukusan, adalah sebuah ibarat orang yang tak bisa duduk sendiri. Kukusan, sejenis makanan yang dibungkus dengan daun pisang, selalu menyandar pada kukusan-kukusan yang lain.
Satu hal yang aku tunggu adalah ketika kamu meminta Wawan (Rachmad Kurniawan, cucumu) untuk mengantar makanan ke PKPN, di mana Mbah Darmo Kakung bertugas sebagai penjaga malam. Dengan senang hati, aku pasti ikut sama Wawan. Kadang naik sepeda kecilku, kadang minta dibonceng Wawan. Aku duduk di belakang sepeda dewasa warna hitam yang kamu punya – meskipun aku tahu kaki Wawan belum panjang sehingga pedal sering terlepas dan kakinya menunggu ketika pedal kembali memutar ke atas. Aku membawa rantang berisi nasi di boncengan belakang. Romantis ya.. namun dengan jujur kukatakan bahwa sebenarnya aku ingin ikut ke PKPN karena aku ingin naik-turun loteng perkantoran itu. Aku pingin merasakan tinggal di kamar loteng – sesuatu yang baru kurasakan ketika usiaku menginjak 33 tahun. Bersama Wawan, aku naik turun tangga, dan memetik buah-buahan kecil entah apa namanya dari beranda lantai dua. Indah sekali kala itu. Memandang malam dari beranda lantai 2 PKPN.
Kalau aku sakit, ha ha ha.. ini kenangan tak terlupakan. Kamu selalu mencengkiwing tubuhku – ah aku tak tahu istilah apa lagi yang lebih cocok dari hal ini – lalu mengeroki. Dan seperti biasa, aku pasti menangis, menggeliat-geliat melepaskan diri dengan seluruh energiku. Bila gagal lepas, aku meronta-ronta sambil berteriak, “Mbah Darmo dibeléh! Mbah Darmo dibeléh!.” Lalu dengan kalemnya kamu berkata,’Iya, nanti Mbah Darmo dibeleh..” Ha ha ha… padahal dibeleh artinya disembelih! Puluhan tahun kemudian, aku tak bisa melepaskan diri dari kerokan. Ternyata aku kecanduan. Hingga kini, aku selalu merasa sakitku tak sembuh sebelum kerokan. Mungkin aku harus berterima kasih padamu, setidaknya sudah mengenalkan kerokan padaku. (apa bahasa Indonesianya kerokan ya..?)
Lalu kenangan memalukan masih ada lagi. Kalau aku menangis, merindukan ibuku dan ingin ibuku cepat pulang, kamu selalu mencoba menghiburku. Terutama bila aku sedang tidur, dan ibuku menyelinap meninggalkanku untuk bekerja, aku sepertinya sakit hati sekali ditinggal ibuku – meski nanti sore atau malam pasti kembali dan bawa oleh-oleh untukku. Yah, saat itu belum ada telepon, menyusul ibuku ke pasar yang jaraknya hanya 5 km itupun rasanya mustahil. Angkutan belum banyak. Naik becak harganya 75 rupiah, padahal uang sakuku hanya 25 rupiah. (harga es saat itu segelo, alias 2,5 rupiah). Jadi suatu kali aku menangis, berteriak-teriak, sehingga orang sekampung datang, ya benar sekampung pondok ngepos tercinta! Karena masih kecil, aku langsung ngompol di jalanan tanah depan rumahku waktu itu. Dengan santai Mbah Darmo bilang, “hayo tuh pipisnya buat raup! Ha ha ha.. Mbah Darmo bandel juga ya.. tapi lucunya.. aku melakukannya! Aku garuk-garuk tanah dan kuusapkan di mukaku! Ha ha ha…Tak terbayang sekarang bagaimana aku dulu bisa melakukannya!
Kalau pagi tiba, kadang kita bertemu di kebon (sebuah kebon kosong yang terletak di belakang (atau samping?) rumahmu. Kalau tak sedang antri BAB, ya kamu pasti sedang menyapu kebun itu. Waktu itu wc belum populer, hanya ada di rumah Budhe Hamdani atau Budhe Toro, ya? Tapi WC kita WC bersama. Kita cukup duduk di atas wc yang terletak di atas sungai kecil. Sambil menanti antrian, aku mainan bluluk (kelapa kecil yang jatuh). Atau kadang mencari sesuatu di tempat sampah yang dibuat dari tanah yang digali. Walau sering aku harus dibilang hati-hati, karena masih banyak ular berkeliaran di sana. Banyak cacing, jadi harus pakai sandal. Lalu aku paling senang kalau Atik datang. Cucumu, yang juga kembar dampit Wawan, yang tinggal di Bandung ini tak bisa bahasa Jawa, hanya Sunda, atau bahasa Indonesia. Jadi setiap Atik datang ke sana, aku selalu berada di dalam rumahmu seolah-olah aku ini bagian dari keluargamu. Tahu nggak kenapa aku selalu ingin berteman dengannya? Karena aku ingin mempraktekkan bahasa Indonesiaku!
Mbah Darmo, Mbah Darmo, bersamamu aku melalui masa-masa menyenangkan. Kurasa aku sampai di sini, ada peranmu yang tidak kecil. Aku sangat menyesal, hingga selasa lalu aku masih di Jogja, Ipul cucumu sudah mengajakku mampir ke tempatmu. Tapi aku merasa sangat sibuk dengan aktivitasku. Padahal lebaran lalu, aku tak sempat pula ke rumahmu yang kini jauh dari rumah ibuku – sesuatu yang selalu kurindukan setiap tahun, dan mendapat serantang lontong yang enaknya minta ampun. Penyesalan selalu hadir belakangan. Aku menyesal, melewatkan hari-hari terakhirmu. Maafkan aku, Mbah Darmo. Pelajaran ini sungguh mahal.
Meski kini kamu sudah pergi, aku selalu mengenangmu. Mengenang senyummu. Mengenang masakanmu yang lezat di lidahku. Mengenang guyonanmu. Mengenang gertakanmu. Semuanya indah. Semoga kamu rasakan keindahan ini di alammu yang baru.
Mbah Darmo, selamat jalan..
Peluk ciumku untuk kamu.
Semoga kamu bahagia, seperti yang pernah aku rasakan.
Amiin
tanpa sengaja (saat search”darmo”) , kami menemukan sebuah cerita yang mengalir dan “manusiawi”.
makin menarik karena kami juga mengenal “pak darmo pkpn” , bapak tua yang merelakan tempat kerjanya unuk nongkrong “anak-anak bpm & tegal spoor” ;
selamat berkarya untuk mbak rustika , salam u semua
Sampai sekarang pun masih menetes air mata ini ketika membaca tulisan mbak atik… Salam buat keluarga tercinta