Menantang Angan
Dunianya berkelana dari satu tempat ke tempat lain, tapi tidak untuk cintanya
Selalu berpakaian rapi, memberikan senyuman, dan menaburkan aroma wewangian di sekelilingnya. Setidaknya suasana itulah yang terasakan kala menemui Direktur Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dalam tiga pertemuan yang berbeda-beda. Apakah itu pada sebuah perjumpaan di pagi hari di sebuah restoran di Hotel Mulia, ruang press conference di Singapore Air Show 2010, ataukah di meja kerjanya di kantornya yang terletak di Cengkareng. Meski, arloji belum menunjukkan genap angka 8 pagi, Emir sudah berada di posisinya. Hanya empat puluh lima menit waktu yang diberikan untuk melangsungkan wawancara.
Tahun ini, Emir seperti sedang memetik hasil kerja kerasnya sepanjang menjabat sebagai direktur utama Garuda Indonesia. Di tengah persaingan luar biasa dalam dunia penerbangan- bahkan Japan Airlines pun dinyatakan bangkrut- Garuda justru mengibarkan benderanya di ajang Singapore Air Show. “Pesawat terbaru Garuda dipamerkan sebagai salah satu contoh terbaik,” kata Emir. Prestasi ini tentu saja seperti melanjutkan keberhasilan Emir setelah menyelamatkan Garuda dari keterpurukan (baca: kerugian besar-besaran, dijerat utang trilyunan).
Apakah karena keberhasilan ini Emir jadi terlihat awet muda dan segar selalu? Entahlah. Yang jelas, beban dan target kerja yang diharapkan pemerintah jelas tidak main-main. Ataukah karena ia berhasil merilekskan dirinya dengan menikmati hobinya, seperti bermain golf di pagi hari di tempat yang indah, atau menyetir mobil di setiap akhir pekan? Kala ditanya mengenai hal ini, ia malah tertawa. Wajahnya bersinar, tidak dibuat-buat. Lalu menjawab, “Saya selalu menikmati kehidupan, menikmati juga setiap masalah yang ada. Setiap ada masalah, saya melihatnya seperti sebuah tantangan yang siap untuk ditaklukkan.”
Begitulah. Sesuatu yang membuatnya “hidup” adalah tantangan. Dalam berbagai pertemuan wawancara dengannya, ia selalu menegaskan satu hal, “Saya suka tantangan.” Kalimat ini seolah dengan cepat menghubungkannya dengan “kebiasaan” berpindah pekerjaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Walau demikian, rekam jejaknya bisa didapatkan di perusahaan-perusahaan besar dan “bernama”. Ia memulai kariernya sebagai akuntan di perusahaan akuntan publik di PricewaterhouseCoopers, lalu berpindah ke Citibank yang memberinya jabatan sebagai direktur keuangan hanya dalam waktu 5 tahun. Setelah itu ia bergabung pada Jan Darmadi Group, Niaga Factoring Corporation, Niaga Finance, sempat menjadi direktur keuangan Garuda pada tahun 2001, dan menuju Bank Danamon, sebelum akhirnya dipanggil sebagai Dirut Garuda (2005).
“Anda akan salah sangka bila materi atau jabatan dianggap sebagai pokok persoalan kepindahan saya,”katanya, seolah memahami apa yang menjadi pertanyaan kemudian. “Ada, tapi tidak yang utama. Terutama sekarang ini. Tantangan-lah yang membuat saya bergabung dengan perusahaan tersebut,” ia lantas menyebut posisinya kini yang dianggapnya sebagai contoh tepat. “Gaji saya turun saat masuk Garuda. Tapi saya pikir, tabungan saya sudah cukup. Toh, nanti yang kita butuhkan di masa tua hanya segelas kopi setiap hari,” ujarnya. Seperti diingatkan, ia kembali mereguk kembali kopinya yang selalu dibuat dengan sedikit gula. (“saya mengurangi gula,” – ia lalu sedikit bercerita mengenai gula dan kesehatan.)
Seperti halnya dengan merawat kesehatan, Emir mengaku sangat menjaga hubungan baik dengan seluruh “rumah” tempat ia bekerja professional selama ini. “Bahkan saya selalu berkonsultasi pada perusahaan, sebelum akhirnya memutuskan pindah ke tempat lain. Mereka bahkan memberikan banyak saran. Saya percaya, dunia ini kecil. Seperti dalam idiom barat dikatakan don’t burn the bridges.” Dan akhirnya kini ia benar menyadari bahwa perjalanan kariernya selama ini lebih banyak didorong oleh tantangan.
Tantangan pula yang membelokkan arah cita-citanya sebagai arsitek menjadi seorang akuntan, hanya dalam waktu yang singkat! Ia, yang waktu itu tengah kembali ke Jakarta dari Perancis sebelum melanjutkan pendidikan di sana, iseng mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. “Saya hanya memilih satu jurusan. Ekonomi. Alasannya…,” ia menghentikan kalimatnya lalu tertawa terbahak-bahak, “Waktu itu 9 dari 10 menteri berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.” Alasan memilih jurusan akuntasi pun tak lepas dari survey pribadinya: “Saya membaca lowongan kerja. Tujuan saya ingin menjadi direktur keuangan. Ternyata syarat yang dibutuhkan adalah lulusan akutansi.”Ia kembali terkekeh, terasa benar ia tertawa seolah melepaskan setiap beban yang ada dalam pekerjaannya. Ia akhirnya menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Itulah Emir. Katanya, hidup harus dibuat logis. Dari dunia arsitek yang dibayangkannya penuh imajinasi tiba-tiba saja harus berubah total. Pekerjaan akuntan tentu berkutat dengan angka-angka yang sangat detail. “Awalnya saya membayangkan pasti sangat membosankan. Ternyata tidak. Semua ilmu bisa dipelajari selama kita pakai logika. Kecuali hukum, karena harus banyak menghafal.” Alasan ini akan semakin menarik apabila kita memahami bahwa sebelum Emir mengikuti tes masuk perguruan tinggi di Jakarta, ia sempat mengambil pendidikan diploma Sastra Perancis di Sorbonne University, Perancis.
Mengapa Perancis dan Sastra, nah ini baru ada rahasia yang harus dikuak dari kehidupan masa kecilnya. Emir terlahir sebagai anak ke lima dari enam bersaudara: empat lelaki dan dua perempuan, masing-masing terpaut usia 2 tahun. Ayahnya seorang diplomat yang sangat sibuk dan tekun, pernah menjadi Kepala Bidang Ekonomi di Kedutaan Indonesia di Cekoslowakia – negara pertama yang dikunjungi Emir. Ibunya seorang ibu rumah tangga – yang tentunya harus berkutat dengan kesibukan sebagai istri diplomat masa itu.
Situasi ini membuat Emir kecil kadang merasa kurang diperhatikan. Itu sebabnya dengan jujur ia mengatakan bahwa ia sengaja pergi ke Perancis selulus sekolah menengah atas di Meksiko dengan alasan agar ia bisa “lebih” diperhatikan. “Dua kakak lelaki saya sudah di Amerika, saya tak mau ke sana. Saya lebih suka Perancis. Selain ada kakak perempuan, Paris kotanya sangat indah. Saya suka dengan keindahan.” Emir merasakan kehidupan masa kanak-kanak di Cekoslowakia hingga kelas 2 sekolah dasar, sebelum kembali ke Indonesia dan menamatkan pendidikan dasarnya. Setelah itu, ia mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai Duta Besar di Meksiko. Ia mengambil pendidikan di American High School hingga lulus – barangkali karena ia diharapkan melanjutkan pendidikan di Amerika seperti kakak-kakak lelakinya.
Ia juga paham bagaimana kehidupan ketika ayahnya sedang bertugas di luar negeri dan di dalam negeri – sehingga ia memutuskan tidak mau mengikuti jejak ayahnya menjadi diplomat. “Saya melihat Ayah sangat disibukkan oleh pekerjaan, saya tak ingin melanjutkan profesinya. Karena saya suka seni, suka keindahan, saya mengambil pendidikan sastra dan berkeinginan mendalami arsitektur,” katanya. Dan bila pada akhirnya ia tidak meneruskan pendidikan di bidang yang pernah dicita-citakan, kesukaan pada keindahan dan juga fashion tidak pernah hilang pada dirinya. Selain penampilan yang selalu parlente, ia juga memberikan sentuhan seni pada dekorasi interior Garuda, hasil karya “tukang kain” Indonesia, Obin. Ia juga mengajak William Wongso, ahli kuliner Indonesia, menggarap menu di penerbangan. Itulah salah satu strategi Emir dalam menaklukkan segala sesuatu yang dianggap menjadi persoalan untuk dirinya.
“Sebenarnya yang banyak membantu saya menata kehidupan adalah saat bekerja di Citibank. Saya pikir saya sudah lari cepat, ternyata teman-teman larinya jauh lebih cepat. Persaingan sangat ketat. Hal inilah yang membuat saya seperti terus tertantang,”satu persatu ia bercerita tentang rahasianya. Memang sangat tidak mudah memasuki “dunia” Emir hanya dalam sekali dua kali pertemuan. Kesibukannya membuat ia seolah “terperangkap” dalam profesinya – dan ini artinya ia berhasil secara professional. “Di sini saya dituntut berpikir logis. Bekerja dengan ritme sangat cepat. Disiplin kerja dan profesionalisme dituntut keras. Namun, di situlah saya seperti disadarkan bahwa perusahaan Indonesia pun bisa melakukannya.”
Prinsip profesionalisme seperti itulah yang kemudian diterapkannya. Ketika ia menjabat menjadi Direktur Keuangan Garuda Indonesia tahun 2001, ia berperan sentral dalam restrukturisasi keuangan sebesar 1,8 miliar dolar Amerika sehingga berhasil menyelamatkan Garuda Indonesia dari ancaman kebangkrutan. Kesuksesan restruksturisasi ini diapresiasi dengan baik oleh majalah Travel Finance di New York dan dinobatkan sebagai “Financial Restructuring of the Year”. Prestasinya ini tidak membuatnya tinggi hati atau berharap mendapat jabatan lebih tinggi di sini. Ia justru meninggalkan Garuda untuk menjadi Deputy CEO Bank Danamon. Pada tahun 2005, ia kembali dipanggil untuk menjadi President dan CEO Garuda Indonesia. Lagi-lagi, ia berhasil menaikkan Garuda dari kebangkrutan untuk kedua kalinya. Akhir tahun lalu, ia mendapatkan penghargaan sebagai The Best CEO dari majalah Warta Ekonomi.
Tiba-tiba ia seperti diingatkan akan satu hal penting dalam perjalanan kariernya: cinta dan istrinya. Mungkin saja dianggap satu hal klise atas keberhasilan seorang lelaki, bahwa ada peran perempuan di dalamnya. Tapi ia benar-benar menegaskannya. “Istri saya sangat mendukung saya sejak awal karier saya. Dia bisa sabar dan mengerti saya ketika saya rata-rata pulang hampir selalu jam 10 malam, terutama ketika saya masih di Citibank,” ia menceritakan sosok Sandrina Abubakar, perempuan pintar, smart, bisa diajak berdiskusi apa saja, yang ditemuinya di Universitas Indonesia. “Syarat menjadi pasangan saya memang dia harus berpendidikan supaya bila ada diskusi nyambung. Selain itu, karena kulit saya hitam, saya ingin perempuan berkulit putih. Setidaknya ada perbaikan keturunan. Ha ha ha..” Emir adalah bapak dari berapa anak? “Kalau Anda tahu istri saya, seperti itulah perempuan yang benar-benar saya butuhkan.” Kini ia sudah menjadi bapak satu anak lelaki, Ega Dhana Rasyid Satar (17).
Lalu apalagi yang ingin diraihnya setelah keinginannya terlampaui? “Cita-cita saya ingin sekali menjadikan Garuda meraih bintang lima dan menjadi airline yang bisa dibanggakan,” ungkapnya. Rupanya keinginan ini tak lepas dari harapan yang ingin diraihnya kemudian. “Usia saya sudah lebih dari 50 tahun, saya ingin santai dan menikmati hidup dari segala kerja keras yang saya lakukan,” katanya. Lalu di pagi itu, ia membayangkan angannya. “Suatu hari nanti, ketika saya sudah tak di Garuda, saya ingin berkeliling dunia. Lalu duduk di pantai, menatap samudera yang luas, atau pemandangan tebing yang indah.. Peacefulnes.. “ia menghela nafasnya dalam-dalam. Sekretaris sudah memberikan kode padanya. Ia pun menutup perbincangan dengan menghabiskan kopinya. Di luar hari masih pagi, kantor-kantor swasta baru saja memulai aktivitasnya. (Rustika Herlambang)
B U L L S H I T !
keren! baru baca tulisan ttg pak emir yag sedetail ini.
hallo..Setelah membaca tulisan anda, saya tertarik untuk mengundang bapak Emirsyah Satar untuk upcoming conference event kantor saya. Boleh saya tahu contact person atau nomer yang bisa dihubungi untuk mengecek kesediaan beliau dan juga availability nya? bantuan anda sangat dihargai. terimakasih sebelumnya.
Same like Starina.. management perusahaan saya juga sangat tertarik dengan achievements Pak Emirsyah dan ingin mengundang beliau untuk menjadi guest speaker untuk event akhir tahun kami.. Bolehkah kita tahu contact person beliau? Kami sangat berterimakasih dan menghargainya.. terimakasih..