Bukan Sekadar Kulit Luar
Semakin ditekan, semakin sulit, semakin tertantang ia untuk menaklukkan
Indahnya purnama memantul di atas air kolam renang. Udara dingin malam itu. Anthony Handoko harus menyelesaikan wawancara. Antrian pasien di klinik sudah mengular. Tapi ia seakan enggan beranjak. Kalimat terakhir yang baru diucapkan seolah menyadarkannya. Apa yang dimilikinya bukanlah sebuah mimpi. Kini, ia adalah salah satu dokter dermatologi dan ahli bedah kosmetik populer di Indonesia. Ia juga pemilik klinik kecantikan “erhaclinic” yang belakangan ini menjadi bahan perbincangan dunia kecantikan Indonesia. ”Saya merasa, pada akhirnya kerja keras dan jatuh bangun saya di waktu lalu, akhirnya terbayarkan.”
Di rumahnya yang asri – tak jauh dari klinik pusat erhaclinic – Anthony menemui dewi. Gayanya chic. Aroma wewangian menguar sepanjang percakapan. Pembicaraan mengalir lancar. Terasa ada jiwa muda yang muncul dari setiap pemikiran. Ia memang masih relatif muda, 39 tahun. “Bila dulu kita mengenal dokter yang dipercaya itu selalu tua, berkaca mata, berpakaian putih-putih, maka saya mencoba mendobrak dominasi pemikiran itu. Dokter pun bisa muda, segar, dan mengerti fashion,” ia tersenyum. Membuka kemejanya. Tatoo tribal memenuhi sebagian tubuhnya yang bersih hingga tepat di perbatasan kemeja lengan pendek. Nama anak dan istrinya tergurat di sana.
“Tatoo adalah sebagian dari seni. Saya menyukai seni. Seni juga sangat penting untuk profesi saya sebagai seorang cosmetic surgeon,” ujarnya. Anthony meletakkan karya seni, baik berupa lukisan, patung, atau instalasi, hampir di setiap ruang dalam rumah dan tamannya. Kebanyakan berbentuk lingkaran. “Saya memang suka lingkaran. Hal ini berujar tentang keseimbangan. Seperti kehidupan, harus dijaga keseimbangannya. Namun lingkaran juga bermakna pergerakan roda kehidupan. Kadang di atas, kadang di bawah, kita harus siap menghadapi apapun. Saya orang yang sangat well plan dan sangat detail. Ini membantu saya tatkala saya berada di bawah.”
Prinsip ini benar-benar ia tandaskan. Dalam sepanjang sejarah hidupnya, ia mengaku betapa keberhasilan yang diraih kini adalah sebuah kerja keras yang sangat panjang. Jatuh bangun. Terus berusaha bangkit. ”Saya percaya Tuhan memberikan cobaan sekuat tenaga saya. Kebetulan bintang saya juga menegaskan bahwa semakin dalam kondisi tertekan, semakin sulit, nilai yang saya peroleh semakin bagus.” ia tertawa. ”Kadang jatuh itu tidak menyenangkan, tapi saya pikir diperlukan. Kalau seseorang pernah bangkit, dia akan tahu bagaimana cara dan hal itu diaplikasikan dalam segala hal kehidupan. Jatuh bangunnya sakit dan melelahkan sekali. Tapi saya percaya, selalu ada alasan di balik setiap peristiwa yang kita tak pernah mengetahuinya.”
Lalu mengalirlah berbagai cerita dalam kehidupannya. Anthony adalah sulung dari dua bersaudara. Keduanya lelaki. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga berkecukupan. Ayahnya, Ronny Handoko, adalah seorang dokter kulit yang cukup terkenal sejak tahun 1972. Ia mengenal sang ayah sebagai sosok pekerja keras sehingga hubungan emosional ayah-anak pada umumnya sedikit terganggu. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang berperan besar untuk membuat ia merasa dekat dengan sang ayah. ”Kata-kata yang ditanamkan Ibu, ayah sangat menyayangi saya sehingga harus bekerja keras agar bisa membahagiakan keluarga. Untunglah masalah ini tidak membuat konflik dengan saya.”
Konflik itu justru datang dari luar. ”Dari kecil, saya selalu dibanding-bandingkan dengan ayah. ’Kamu harus jadi dokter ya, supaya bisa meneruskan usaha ayahmu’. Situasi ini tidak mengenakkan. Sepertinya masa depan saya sudah diatur. Saya tak suka,” kata Anthony yang gemas dengan kondisi yang sering membuatnya gamang dalam menata masa depan. Untunglah ia segera menemukan tempat untuk mengasah jati dirinya sendiri di luar nama besar dan bayang-bayang sang ayah. Tempat itu adalah dunia musik.
Sejak usia 5 tahun, ia sudah disibukkan dengan les piano. Awalnya memang dipaksa orangtuanya, tapi ternyata menikmati permainannya. Ia juga berbakat. Buktinya dalam waktu singkat ia terpilih masuk dalam kelompok musik anak-anak seusianya, dan sering diminta untuk tampil di panggung-panggung. ”Kami sering dianggap sebagai 5 anak ajaib karena kemampuan kami. Salah satu anggota kelompok saya adalah Yani Danuwijaya,” ia mengenangkan masa-masa indah yang telah memperkenalkannya pada dunia citra dan penampilan di atas panggung.
”Puncak karir” musiknya terjadi ketika ia berusia 15 tahun. Peristiwanya terjadi pada sebuah kompetisi electone yang memperebutkan satu wakil dari Jakarta untuk dikirim ke tingkat internasional. ”Saya memainkan lagu electone paling sulit di dunia, dan saya yakin menang atas kemampuan teknis saya. Tapi saya dikalahkan oleh orang lain karena dia membawakan lagu ciptaannya sendiri,” ia menyebut satu nama yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua dari usianya. ”Selama empat bulan saya belajar electone dengan mengenakan sepatu khusus selama berjam-jam setiap hari agar tidak canggung. Saya juga merasakan ”siksaan” dijewer ketika permainannya salah. Ini membuat saya harus tampil sempurna. Saya berhasil. Tapi saya kalah,” katanya. Kekalahan itu telah membuatnya frustasi. ”Itulah kali terakhir saya memegang piano atau electon.”
Dari musik, ia beralih ke olah raga. Ia bergabung dengan klub tennis yang berada di belakang rumahnya. Rasa berjuangnya terasah. ”Saya pernah menjadi juara pertama tenis tingkat kotamadya,”ujarnya tersenyum. Sedikit langkah, ia bisa tergabung dengan atlit-atlit lain di pelatihan nasional (pelatnas). Apalagi ia sempat belajar tenis serius di Amerika Serikat. Tapi, keadaan keluarga membuatnya ragu. ”Ayah sepertinya tak ingin saya jadi atlit, karena setiap bertanding saya harus bolos sekolah.” Ia tahu ayahnya sangat menginginkan dirinya meneruskan sekolahnya.
Ia lagi-lagi merasa kecewa. Situasi ini kian diperburuk ketika ia gagal pula masuk Fakultas kedokteran Universitas Indonesia – sekadar keinginan untuk ”menjalani kehidupan sebagai anak dokter terkenal”. Ia beruntung didampingi ibunya ketika merasa terpuruk. ”Ibu saya habis-habisan membantu saya agar bisa diterima di fakultas kedokteran Universitas Atmajaya. Sayangnya, waktu itu saya tak berminat kuliah. Nilai saya hancur,” kata Anthony, yang kemudian berangkat ke Boston untuk menjajal pendidikan bisnis.
Namun siapa sangka rahasia kehidupan berawal di sini. Sebuah kalimat yang disampaikan seorang kerabat di Boston membuat ia sangat tersinggung dan memutuskan kembali pulang ke Indonesia. ”Katanya waktu itu, ’potong telinga saya kalau kamu bisa menjadi dokter’. Memang dalam bayangan mereka saya sangat bodoh,” Anthony mengutip pernyataan yang membangkitkan egonya. Ia merasa sangat dilecehkan. Saat itu juga ia memutuskan untuk harus menjadi seorang dokter. Ia lantas kembali ke bangku kuliah yang sempat ditinggalkannya. Kali ini dengan kesadaran penuh. ”Saya gila-gilaan kuliah dan mengambil SKS hingga 35 setiap semesternya, dan selalu mendapatkan nilai di atas 3,” tak bermaksud menyombongkan diri, hanya untuk menjawab ’tantangan’ yang diterimanya. ”Tapi jangan dibayangkan bahwa saya lalu belajar terus ya.. saya tetap bergaul bersama teman-teman. Clubbing, jalan-jalan menikmati kehidupan masa muda saya dengan bahagia.” Ia tertawa.
Masalah belum berakhir. Ketika menjadi dokter, ia masih tertekan karena “merasa” harus memiliki kemampuan setidaknya sama dengan sang ayah yang menjadi pendahulunya. Soal ini ternyata ia belajar pada ayahnya yang menjadi role model yang bagus. “Dia punya disiplin tinggi, integritas, workaholic, dan sangat religius. Selama 30 tahun dia diberi tenaga super karena ia bekerja keras. Setiap hari setelah praktek, ia selalu berdoa di catedral.” Beberapa pandangan ini memengaruhi sikap dan integritas pada diri Anthony, meski dalam caranya sendiri. Ia bekerja keras untuk menaklukkan pandangan itu. “Kerja keras itu antara lain dengan bangun pagi, belajar on time, belajar, updating pengetahuan kedokteran, karena saya perlu segudang pengetahuan untuk menjawab pertanyaan pasien yang semakin kritis.”
Peran keluarga dalam karirnya memang sangat besar, ia mengakui. “Saya dibesarkan dalam keluarga one man show. Menjadi dokter kulit enak. Sayang, praktek papa sudah banyak. Orang sudah percaya. Satu pihak, ayah saya dokter yang sukses. Ini menjadi tantang bagi saya. Kendati sebenarnya saya ingin menjadi dokter kebidanan.Ada tantangannya. Tapi kalau dilihat dari kerjanya, sepertinya tak ada waktu buat keluarga. Apalagi saya punya bakat seni. Secara rasional, menjadi dokter kulit mungkin bukan pilihan terbaik saya, tapi baik untuk kehidupan saya,“ ungkapnya bijak. Bila dulu ia merasa ”gemas” atas kondisinya ini, kini ia sudah bisa tersenyum. Ketidaknyamanan di masa kecilnya menjadi menjadi pemicu keberhasilannya.
Dengan sedemikian banyak warna dalam kehidupan, ia berharap menemukan sosok perempuan yang bisa mengerti dirinya. Dulu memang ia berpikiran untuk menikahi perempuan perkasa seperti Margaret Thatcher, Madeleine Albright, yang selalu cekatan dalam berpikir dan bertindak untuk mengimbangi ritme hidupnya yang sangat cepat. “Tapi ternyata saya tak bisa begitu. Perempuan itu cocok sebagai patner kerja, tapi tidak patner hidup,” ujar Anthony yang justru bertekuk lutut pada Ita karena sifat opositnya. “Ita sangat pendiam, pasrah, tak banyak menuntut, tak mengontrol, tak posesif, dan tak dominan. Ini membuat saya menjadi diri sendiri. Menjadi orang bebas. Kita berpasangan bisa tumbuh dengan karakter masing-masing,” ia bercerita tentang perempuan yang ditemuinya pada saat pemakaman kakeknya.”Dikenalkan salah satu tante saya,” ujarnya. Sehari setelah upacara itu, keduanya bertemu, dan saling jatuh cinta.”
Cinta ini kian berkembang ketika Ita memilih menjadi ibu rumah tangga. ”Saya sangat menghormati profesi ibu rumah tangga yang menurut saya merupakan profesi yang paling tangguh di dunia. Ironisnya, banyak ibu rumah tangga yang tidak menghargai profesinya sendiri. Saya ingat waktu kecil betapa nyamannya perasaan saya ketika Ibu ada di rumah,” pengalaman masa kecil itu sangat berpengaruh pada dirinya. Kebahagiaan ini kian lengkap dengan kehadiran dua anaknya, Keira dan Troy. ”Pengalaman masa kecil pula yang membuat saya tidak ingin menjadi seorang workaholic seperti ayah. Saya ingin kehidupan saya berimbang.”
Profesinya sebagai dokter mendukung kebutuhan ini. Ia bisa memilih waktu praktek dan mengisi masa luangnya di rumahnya. Bermain bersama anak-anaknya. Bertemu istrinya. Mengurus keluarganya. Dan melanjutkan obsesinya di tahun 2010 yang ditulis di blackberry-nya: Balance, slow down, take a pause, target weekly, one in time. “Saya punya cara berpikir cukup cepat. Maunya serba cepat. Itu sebabnya saya ikut meditasi di Reza Gunawan. Saya kini menginstruksikan diri untuk melambat. Kadang saya berpikir orang lain lambat, padahal sayanya yang terlalu cepat.”
Seperti waktu yang bergulir sangat cepat ketika akhirnya wawancara harus diakhiri. Di depan pintu, dengan buru-buru ia menyisipkan pernyataan baru, ”Saya sepertinya berbakat menjadi penyanyi tenor. Dalam beberapa pementasan saya melihat saya punya potensi itu…”. Nah, apakah ia akan kembali tertantang untuk mengejar bakatnya di kemudian hari seperti waktu-waktu yang telah lalu? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan ini. Selain Anthony. (Rustika Herlambang)
Fotografer:
Pengarah Gaya: Karin Wijaya
Lokasi: kediaman Anthony Handoko
Definisi cantik menurutnya penting sekali diketahui olehnya sebagai dokter untuk mengerti bila kita bekerja di bidang kosmetic surgery dan dermatology. Dokter seperti kosmetik surgery dan cosmetic dermatology, sebagai dokter kulit, penting untuk mengerti sense of art. Bagusnya orang kayak apa sih. Cakep kayak apa. Parameter berbeda. Mungkin bisa dari kata-kata. Tapi proporsinya belajar dari mana? Ini sense. Dan ini gift. I feel lucky saya gifted punya sense itu. “ Kepekaan pada seni ini didapatkan dari pengalaman keluarganya. “Saya beruntung dibesarkan dalam keluarga berkecukupan. Sejak usia 10 tahun saya liburan ke luar negeri, sehingga saya banyak melihat kecantikan masing-masing orang. Hal ini berpengaruh dalam menjalankan profesi saya,” Anthony, kini banyak bekerja berdasarkan atas asas seni dan proporsional. “ini seperti kembali ke asas keseimbangan yang saya anut.” Anthony mengakui bahwa idealisme ini sering berbenturan dengan pasien yang ingin melakukan jalan pintas. “Kosmetik seperti memahat. Tidak boleh rombak total, semuanya proses. Tak ada yang instan.” Termasuk ia merasa sebal ketika banyak perempuan yang menginginkan kulit putih. “Bagi saya, semua warna kulit menarik, sejauh dia bisa menjaga kesehatan kulitnya. “
aku mau tanya sm dktr anthony,, aku ad flek bekas nyamuk di kaki sm tangan banyaak,, bs di hilangkan gak yaaa.. gmna… reply email yaaa..
thanks
Aku tergugah setelah membaca kisah ini, mirip seperti kisah hidupku. Blog ini baik untuk membakar semangat orang yang sedang membutuhkan motivasi.
kalo buat ilangin bekas luka sma bapak na antony tuhh,, si Dokter Ronny,, 😀
saya dlo jg bgtu,, hehe
bagus banget ya … ada kemungkinan ga sich kita ketemu dokter ronny langsung?
Klu luka bekas oprasi bisa hilang gk pak.terima kasih.