Memberi Ruang pada Jiwa
Musik adalah bagian dari spiritualitas yang sangat dipercaya olehnya.
Gerimis hanya datang kala I Dewa Gede Budjana memainkan lagu Ruang Dialisis. Seperti sebuah anugerah alam yang mengiringi lagu yang dipersembahkan untuk almarhum ayahanda tercinta, IDN Astawa. Suasana Candi Gedong Songo, tempat pengambilan gambar untuk acara ulang tahun stasiun televisi swasta tersebut, berubah dramatis. Budjana terhanyut dalam guyur rintik hujan yang menyatu dengan petikan dawai gitar. Rekaman suara sang nenek (yang tak bisa datang karena sakit) terasa mencekam. Keduanya melebur dalam simponi duka. Mungkin juga, lara.
Pada saat acara tersebut ditayangkan di televisi, Jro Ktut Sidemen, sang nenek, meninggal dunia. Peristiwa ini sangat mengguncang perasaan Budjana. Apalagi sebuah teks duka cita diselipkan di sepanjang lagunya. “Akhirnya aku seperti disadarkan bahwa lagu mengandung spirit sangat tinggi. Aku tak tahu bagaimana logikanya ketika hujan hanya turun pada saat aku memainkan lagu ciptaanku. Di sisi lain, ternyata lagu ini dinyanyikan nenek untuk anak lelakinya, dan juga untuk dirinya sendiri. Ini membuat aku tak mau main-main dalam bermusik. Musik ternyata memiliki kekuatan atau energi yang tak pernah kita bayangkan,” ungkapnya, ketika ditemui dewi di kediamannya yang nyaman di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan.
Hari-hari belakangan ini, ia kian banyak disibukkan oleh berbagai acara. Bersama grup musiknya, GIGI, ia baru saja merampungkan syuting pengambilan gambar untuk soundtrack film Sang Pemimpi, diangkat dari novel laris Andrea Hirata. Desember ini, ia kembali pentas reuni dengan mantan kelompok musiknya, Javajazz, di Bentara Budaya Jakarta. Di luar GIGI, Budjana masih aktif membuat album instrumental solo yang lebih banyak mengungkap perasaan pribadinya. Keempat album yang sudah diluncurkan bertajuk Nusa Damai, Gitarku, Samsara, dan Home.
“Sebenarnya, tak ada dalam sejarah keluargaku yang hidup di musik seperti aku,”kisahnya. Ia adalah anak ke enam dari 9 bersaudara dari sebuah keluarga yang berprofesi sebagai ahli hukum. Ayahnya jaksa, kakeknya hakim pertama di Klungkung, kakek buyutnya perbekel (kepala wilayah) yang mengabdi pada raja yang bertugas selayaknya hakim di Klungkung juga. Ibunya seorang perawat yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Ia sendiri lahir di Waikabubak, Sumba Barat, 46 tahun lalu. Ia dibesarkan dalam suasana Bali tradisional, di mana kedekatan anak-orang tua tidaklah secara fisik melalui sentuhan atau makan bersama di meja makan, melainkan secara emosional yang ia baru rasakan ketika dewasa.
Bila dianggap sebagai persentuhan pertamanya pada dunia musik, ia menyebut dua nama yang berpengaruh dalam kehidupannya. Mereka adalah I Dewa Nyoman Pater dan Jro Ketut Sidemen, kakek neneknya. Sang kakek yang hakim itu juga seorang komposer dan ahli kidung Bali. Istrinya, penyanyi kidung Kakawin Bali. Meski ia hanya sempat tinggal bersama mereka saat duduk di kelas 5 dan 6 sekolah dasar, memori itu masih mengendap dalam alam bawah sadarnya. “Waktu itu, kidung Bali menjadi dengaran setiap hari. Setiap sore, keduanya bersila dan membacakan lontar, sementara setiap malam minggu mereka siaran di satu-satunya stasiun radio di Klungkung,”ujar Budjana yang mengaku tak bisa menyanyikan kidung Bali tradisional.
Di rumah kakeknya pula ia pertama kali memikirkan gitar. Sebuah poster yang menggambarkan Benny Soebardja, vokalis dan gitaris band Giant Step (1978) memegang sebuah gitar dalam gaya -yang tak bisa dilukiskan oleh perasaan Budjana- sungguh mengganggu pikiran. Imajinasi menguasai dirinya sehingga ia terobsesi untuk memiliki, dan melakukan sebuah “kejahatan”. Budjana kecil mengambil uang neneknya demi membeli gitar. Itulah perkenalannya dengan gitar, sesuatu yang tak lepas dari citranya hingga kini.
Meski demikian, ia mengaku bahwa kehidupan bermusik melalui gitarnya terasah ketika bergabung dengan kedua orang tuanya di Surabaya dua tahun kemudian. “Aku rasa, Surabaya-lah yang membentuk musikku,” katanya. Sebagai catatan, pada tahun 1970-an Surabaya dan Bandung adalah ladang tumbuhnya band-band besar Indonesia. Dari Surabaya ia bertualang ke Jakarta, sendirian, dan mengalami berbagai pahit manisnya kehidupan demi bisa melanjutkan kesenangan bermusiknya. Termasuk ketika ia tak punya biaya untuk melanjutkan sekolah musiknya di Jack Lesmana. “Saya bilang Om Jack, saya ingin sekolah gitar, tapi tak ada uang,” ia tersenyum mengenang. Dan dia bersyukur karena dia diperbolehkan sekolah di sana gratis. Untuk menopang kesehariannya, ia menunggu panggilan bermain musik di lounge hotel-hotel bersama Ireng Maulana Associate.
Perjuangan itu teramat panjang dan berliku bagi anak kampung dari Bali untuk bisa menembus belantara industri musik ibukota. “Tapi ini bukan cerita pahit kok. Penuh tantangan dan harapan,” ia menegaskan. Sebagai catatan, perjuangan itu akhirnya mendapat jawaban ketika ia akhirnya bisa bergabung dengan GIGI, sebuah grup musik yang tetap eksis hingga lebih dari 15 tahun lamanya, kendati banyak grup-grup baru bermunculan. Ia juga berhasil bisa bermain bersama musisi dunia dalam album rekamannya, Home, seperti dengan Peter Erskine -drummer Weather Report yang legendaris sekaligus drummer favoritnya sejak SMP- serta Dave Carpenter dalam album Home. “Ini seperti mimpi !”
“Bermusik itu sesuatu yang indah,” ia tersenyum. Ia memiliki pengalaman bagaimana musik menjadi harmoni dalam kehidupan. “Aku pernah rekaman album Natal. Aku juga menikmati Tour Ngabuburit sepanjang bulan Ramadhan dengan album bernuansa Islam. Aku pergi ke pesantren-pesantren dan menemukan fakta bahwa agama itu damai dan memberikan toleransi padaku. Ketika mereka puasa, mereka melayani aku yang tidak berpuasa dengan sangat baik. Aku juga pernah membuat album rohani Hindu dan dibantu oleh umat agama lain.” Musiklah yang menyatukan semua perbedaan agama, dan ia sangat meyakininya.
Lingkungan Pulau Dewata yang sangat mengagungkan seni, termasuk musik, membuat Budjana menjunjung tinggi musik sebagai sesuatu yang sakral. Kondisi ini sempat membuat jurang antara sisi komersialisasi dalam dunia industri dengan spiritualitasnya. Armand Maulana, vokalis dan sahabatnya di kelompok GIGI menegaskan bahwa Budjana perlu waktu hingga sepuluh tahun lamanya untuk menyadari bahwa musik adalah bagian dari sebuah industri – hal yang membuat roda ekonomi kelompok ini terus berputar. Alasan inilah salah satu hal yang mendasari Budjana merancang album solonya. “Mungkin sebagai penyeimbang antara industri dan idealisme.”
Gitar pula menjadi sarananya menuju spiritualitas. Baginya, dalam genggaman tangannya, gitar seperti memiliki chemistry kuat. Seperti terasakan ketika pemotretan berlangsung di rumahnya, ia terus memainkan dawainya: membentuk melodi, yang hanya dia sendiri bisa memaknainya. “Orang Bali bilang, gitar itu ada taksunya,”ujar Budjana yang menyerahkan hampir seluruh koleksi gitarnya pada seniman-seniman besar Indonesia untuk dilukis atau diukir. Seniman itu antara lain Putu Sutawijaya, Gusti Agung Mangu Putra, Erica Hesti Wahyuni. “Apakah berpengaruh terhadap suara dan semangatku, malah justru itu yang kumau, supaya bisa berbeda dari yang lain,” ucapnya.
Baginya gitar adalah sebuah misteri. “Ada berbagai cara memainkannya. Belum lagi gitar elektroniknya. Efek yang dihasilkannya. Seperti petualangan yang tak akan pernah ada habisnya,” ia tersenyum. “Apalagi suara akustiknya natural banget, bisa membuat perasaan tenang,”ujarnya.
Soal ini ia menyamakannya dengan Yoga yang ditekuninya sebagai olah raga jauh sebelum olah raga ini popular kembali di Indonesia.“Olah raga ke dalam itu jauh lebih penting dari pada menjaga bentuk tubuh yang lebih merupakan gaya hidup.” Ia juga anti obat-obatan yang dianggapnya tak organic pada tubuh manusia yang sudah memiliki antibody. “Selama 15 tahun tur keliling Indonesia bersama GIGI, aku bisa dianggap hampir tak pernah sakit. Aku tak punya persediaan obat-obatan, karena aku percaya sakit itu harus dilewati,” kata Budjana. Selama itu, ia sekali masuk rumah sakit karena malaria. Ia sangat terinspirasi pada spiritualitas.
“Bali itu artinya kembali. Mungkin itu sebabnya aku selalu kembali, pulang, kembali ke akar budaya atau juga ke akar hidup, ”ia mencari pembenaran atas pikiran-pikirannya selama ini. Bahkan pilihan pada perempuan pun jatuh pada Borrawati – gadis Bali, yang kini sudah memberikan dua anak lelaki untuknya. “Banyak teman yang mengatakan bahwa musikku sangat terinspirasi Bali, padahal aku tak pernah sengaja menuju ke sana. Mungkin tanah leluhur tak bisa pisah dari diriku ya,” ia tersenyum.
Akar budaya ternyata tak pernah lepas dari dirinya. Seperti dikatakannya, dalam menciptakan musik, ia seperti sedang berbicara mengenai perasaannya. “Berbeda dengan lagu, dengan mudah kita ungkapkan perasaan dengan kata-kata. Tapi melalui instrumental, kita harus bisa ungkapkan dengan pilihan nada-nada yang tepat, dan ini tidak mudah,” ucapnya. Berkidung yang selama ini ia hanya sengar dari suara kakek neneknya ternyata terus mengendap dalam jiwa. Namun kini, kidung-kidung itu terucap melalui petikan-petikan dawai gitarnya. (Rustika Herlambang)
Fotografer: Honda Tranggono. Stylist: Dani David.
dewa bujana koleksi gitarnya bagus-bagus, sayang postingan ini tidak ada gambarnya.
Apa yang kamu katakan benar adanya, Budjana adalah seorang musisi yang menebarkan Hinduisme, ajaran-ajaran religi yang tanpa disadari membius keyakinan para penggemarnya agar bisa lebih patuh dan manut kepada Sang Pencipta.