Mencari Tempat Menepi dan Untuk Selalu Kembali
Hidup itu rumit, tapi seni menyederhanakan. Pikirannya rumit, rumah bergaya sedehana mengimbanginya.
Sebuah rumah di tepi hamparan sawah, berpemandangan alam indah, menyepi, dan jauh dari keramaian tetangga sekitar. Itulah lokasi studio yang baru saja selesai dibangun Galam Zulkifli. “Kita bertemu di studio saja ya, karena studio itulah yang mewakili karakterku,” kata-katanya masih terngiang saat dewi menginjakkan kaki di desa Kasihan, Bantul, Yogyakarta beberapa saat lalu. Ia baru saja menerima kabar gembira. Pameran terakhir yang menampilkan pop art dengan kreasi ilusi di Avanthai Gallery, Swiss, Agustus lalu, terjual habis.
Dari pagar hingga pintu rumahnya terbentang jalan sepanjang 15 meter yang dibiarkan kosong. Tidak, sebenarnya tidak dibiarkan kosong, tapi memang kekosongan itulah yang diinginkan Galam. Sebuah tugu Sumba berupa sosok lima manusia berundak-undak diletakkan di sisi kanan halaman rumah itu. “Tepat di tugu ini, dulu berdiri rumah baru saya yang baru satu bulan jadi dan kami tempati. Namun gempa meluluhlantakkan seluruh rumah kami. Saya menegakkan tugu ini sebagai memori,” ia menerangkan.
Sebelum memasuki pintu rumah, dua patung kuda sumbawa seolah memberi salam. Pelukis kelahiran Sumbawa ini rupanya tak ingin beranjak dari suasana alam dan tradisi Sumbawa di mana ia dilahirkan 37 tahun lalu. Bahkan arsiteknya pun sahabatnya dari Sumbawa, Win Nawawi -arsitek yang kini memilih menjadi seniman. Rumah studio hasil kompromi itu bergaya sederhana dan modern, kendati didekorasi dengan batuan serupa batuan candi. Dari kejauhan, rumah itu serupa kotak candi di hamparan lansekap alam.
Ruang dalam studio itu terasa begitu lengang. Pada sisi kanan, Galam meletakkan rak-rak berisi buku-buku teori dan kebudayaan yang selalu dibacanya dalam kesendirian. Hanya ada sebuah meja kayu seperti bangku anak sekolahan. Di lantai, sebuah karpet berwarna coklat muda digelar. Selebihnya kosong. Menyandar pada dinding tembok sebelah kiri, sebuah lukisan besar bergambar Jim Morrison baru saja diselesaikan. Beberapa kaleng cat tampak sudah mengering. Beberapa karya yang sudah jadi diletakkan di ujung sudut kiri. Semua bergambar tokoh-tokoh dunia.
Dia adalah seniman yang fokus pada pop art dan ilusi dengan sebuah teknik yang teramat rumit yang khusus yang dipelajarinya hingga 5 tahun lamanya. Beberapa jenis karyanya berbentuk tiga dimensi. Dua atau tiga sosok dilukis dalam deretan strip-strip sehingga apabila dilihat dari sisi kiri atau sisi kanan akan menghasilkan ilusi dari sosok berbeda. Ia juga sudah mengembangkan teknik iluminasi dibuat dengan cat acrylic khusus yang mengandung fluorescent sehingga untuk melihatnya harus menggunakan sinar UV. Kerumitan teknik itu, katanya, harus diimbangi dengan sebuah ruangan sederhana. Ia juga butuh menepi jauh dari keramaian supaya bisa berkonsetrasi pada karyanya.
”Hidup itu rumit, tapi seni menyederhanakan,”ujarnya memberi alas an. Pikirannya rumit, ruang yang lapang menyederhanakan. Di studio yang diberi nama BBB (Bale Black Laboratory) itu ia membutuhkan suasana khusus yang nyaman untuknya. Ilusi yang dibuat di atas kanvasnya ternyata masuk juga dalam studionya, yakni ilusi tentang tanah kelahiran dan tentang kenangan.
Tugu di depan rumahnya adalah upayanya untuk mengenang sebuah momentum penting dalam kehidupan – persis seperti yang ia gambarkan dalam lukisannya. Kejayaan Jim Morrison, atau superstar Madonna, adalah kenangan yang selalu mengajaknya kembali sekaligus membiarkan angan terbang seperti laying-layang. Kenangan yang selalu mengingatkan pada ungkapan yang didengarnya ketika ia masih kecil. “Hidup adalah keindahan. Ia akan mati tanpa kenangan. Karena itu kenanglah apa yang bisa dikenang, sebelum mati membawa keheningan,” sebuah penegasan mengenai benda-benda tanah kelahiran yang ada di studionya.
“Saya kerap menemukan “kesadaran” ketika berada di studio. Dan yang tengah diumumkan dari BBB laboratory adalah: dalam medan kenyataan, ilusi adalah kebenaran! Inilah gambaran saya tentang arti rumah buat saya,” ia tersenyum. Baginya, hidup itu terus bergerak, tapi di studio itulah ia sanggup “menghentikan” waktu. Di studio ini pula ia menemukan terminal awal untuk sebuah perjalanan kesadaran (konsep/makna sebuah karya). Sebuah kesukaan yang membuat ia selalu ingin menepi dan ingin selalu kembali. Di sini. Mengenang cintanya, membiarkan inspirasinya. (Rustika Herlambang)
Foto: Rikki Zoel/ dalam blog ini Rustika Herlambang
Bravo saudaraku Galam “Gepsi” Zulkifli…..karyamu selalu kami tunggu….!!!
Setiap goresanmu adalah Anugrah terindah tanah Samawa
Bahkan arsiteknya pun sahabatnya dari Sumbawa, Win Nawawi -arsitek yang kini memilih menjadi seniman