Dua Sisi Jumaldi Alfi
Ia percaya, rumah, sebagaimana lukisannya, adalah sebuah terapi personal. Karena itu ia butuh dua rumah tak terpisahkan untuk merepresentasikan keinginan bawah sadarnya.
Masuk dalam rumah Jumaldi Alfi, seperti masuk dalam karya yang dibuatnya. Ada selubung makna yang ia ingin sampaikan melalui rumah yang dibangunnya, seperti juga ia ingin memberikan cerita di dalam seluruh karya-karyanya. “ Ada dua hal yang tak bisa terpisahkan saat bicara tentang rumahku. Rumah untuk keluargaku dan rumah untuk studioku. Keduanya saling mendampingi. Tak terpisahkan satu sama lain. Seperti otak kiri dan otak kanan,” ujar salah satu anggota kelompok Jendela yang kini karyanya laris manis di pasaran ini dengan mimik serius.
Ia seperti ingin menghadirkan konklusi bahwa lukisan adalah terapi personal, begitu pula ketika ia menghadirkan dua rumah dalam hidupnya. Meski saat ini, Alfi –sapaan akrabnya- juga tengah membangun pendopo dan museum seni di tanahnya yang lain.
Rumah pertamanya, yakni rumah keluarga, adalah rumah dengan pemandangan yang sangat bersih, teratur, dan rapi. Bisa dikatakan bahwa saking bersihnya rumah ini bahkan pemiliknya tak rela ada sebutir batu – sebuah ikon yang sering ada di dalam lukisan Alfi – pun berada di atas lantai marmar putihnya. Setidaknya pemandangan ini terasakan pada saat pemotretan terjadi.
Ruang utamanya bukanlah kamar tamu seperti galibnya, melainkan sebuah ruang kosong tempat anak-anaknya bermain. Dapurnya justru terletak di depan – sesuai permintaan istrinya, Retno Widyastuti. “Rumah ini memang khusus untuk menerima tamu keluarga terdekat,” ucap Alfi.
Sebuah meja kayu dan kursi kayu panjang berada di sudut ruang. Berdekatan dengan kamar mandi tamu yang terbuat dari kaca dan batu bata di mana di dalamnya terdapat pepohonan dan pasir putih seperti suasana di laut seusai berenang. Cahaya matahari yang jatuh di kaca kamar mandi membentuk pantulan unik dan artistic di lantai yang bersih. Eko Prawoto, sang arsitek, memahami benar keinginan Alfi dengan memberikan beberapa ruang bertekstur batu bata. “Untuk keluarga, aku ingin rumah yang bersih, rapi, enak dilihat, nyaman dihuni, dan aman buat anak-anak. Sebuah konsep yang penuh kompromi, termasuk siap dengan kondisi ruangan steril, ”ia langsung menyambung dengan tawa lebar. Yang dimaksud steril adalah adanya peraturan dilarang merokok di dalam rumahnya – suatu kebiasaan buruk yang tak bisa dihilangkannya.
Meski demikian kompromi itu merasuk dengan baik di dalam rumah keluarganya. Sebagai putra Padang yang dibesarkan dalam rumah panggung, Alfi menyukai unsur-unsur kayu, terutama pada undak-undakan. “Karena terkesan dengan pengalaman itu, aku ingin ada memori seperti aku pulang (ke rumah panggung) ketika aku berada di rumah. Namun tak mungkin mengaplikasikan seperti itu. Makanya aku menangkapnya melalui rindang pohon, unsur kayu, dan keterbukaan.” Rupanya ia sepakat dengan sang istri soal ruang yang lapang. “Kalau aku biasa dengan halaman luas, istriku yang terbiasa dengan rumah dempet mengobsesikan suasana lapang. Klop. Aku ingin mengembalikan memoriku.”
Bila suasana siang diliputi permainan cahaya matahari yang memanjakan cita rasa visual, maka suasana malam sangat dinikmati Alfi sebagai pengalaman spiritual yang sangat unik. Sebagai seniman yang biasa “hidup” di waktu malam, ia selalu merasa kesepian.”Pada saat itulah aku suka memandang wajah anak-anakku ketika tidur di kamarnya. Aku sering merasa aneh melihat mereka. Ajaib. Ada bagian diriku di dalam diri mereka. Sebagai orang yang tumbuh besar di sebuah keluarga kecil dan terbiasa sendirian, tiba-tiba aku merasa tidak sendiri ,” akunya. Alasan inilah yang membuat ia sengaja membuat kamar-kamar terpisah, untuk anak-anaknya, dan bahkan untuk istrinya sendiri.
“Aku trauma. Ketika melewati hari-hari pertama pernikahanku aku menendang istriku ketika tidur – karena aku biasa tidur sendiri. Aku juga pekerja malam, tak ingin mengganggu dia,” katanya. “Tapi kami memiliki kamar bertemu. Jadi kalau dia berada di kamar bertemu, artinya dia mau bertemu,” ia tertawa. “Aku orang yang tidak ingin terikat tapi aku ada ikatan. Aku lebih senang seperti layang-layang karena pola kerjaku tak tertentu.”
Sementara itu, rumah kedua yang dianggap sebagai otak kiri adalah ruang studionya. Rumah ini sungguh berbeda sama sekali dengan rumah keluarganya. “Aku senang nilai tekstur dan nilai raba,” katanya sambil memperlihatkan batu-bata yang dibiarkan terbuka di studio yang terletak tak jauh dari rumah keluarga. Lantainya dari lapisan semen biasa yang bergurat-gurat, penuh dengan ceceran cat. (itu pula alasan mengapa ia memilih berbagai jenis tanaman bertekstur koleksi yang menghiasi kebun rumah keluarga.)
“Di studio, seratus persen mauku. Bila mau berbincang denganku, datanglah di studioku,” katanya. Ia seperti menemukan oase ketika mengeluarkan rokok dari sisi saku celana panjang jeansnya. Lalu menikmati setiap kepulan asap rokok yang dihembuskannya pelan-pelan dari kursi kulit yang diletakkan di sudut ruangan itu.
Studio merepresentasikan diri dan karyanya. Ia sengaja bikin terbuka karena ia suka bersosialisasi. “Aku butuh orang. Sehari tak bertemu orang aku gelisah,” ujarnya. Karena itu ia meluapkan kesendiriannya di studio dan menciptakan karya-karyanya. Kala berkarya, lukisan anak-anaknya yang digantungkan di salah satu sisi menemaninya. Atapnya dibuat tinggi, tak ditutup, sehingga terlihat kayu-kayu yang menyangga kokoh.
Pada salah satu dinding, ia meletakkan kuas-kuasnya dengan rapi dan teratur. Sisa cat yang masih menempel di kuas tampak meleleh melewati dinding-dinding bata yang dicat putih bersih memberikan catatan tersendiri. Lelehan cat itulah yang menjadi saksi pergulatan kreativitas itu. (Rustika Herlambang)
Fotografer: Rikki Zoel (untuk dewi). Rustika Herlambang untuk blog ini… Terima kasih untuk Heri Pemad yang membantu terselenggaranya artikel ini…
salut buat Alfi…seniman yg konsis dengan cita2 kecilnya…darii shobat lamo di madukismo. AL Hakim Firdaus.