Melebur dalam Peran
Kini ia percaya benar bahwa perjalanan hidupnya dipenuhi dengan “invisible hand”
Seandainya saja perilaku seseorang bisa dicerminkan melalui bahasa, barangkali Anas Urbaningrum akan dengan sangat mudah diinterpretasikan. Dia adalah orang yang berbahasa dengan sangat rapi, terstruktur, dan berisi. Setiap kalimat yang diucapkan, lengkap dengan tanda-tanda bacanya, ia katakan dengan sangat baik dalam bahasa lisan – sesuatu yang spontan begitu saja hadir dan mengalir. Tak ada bahasa puitis yang memeluntir sehingga memerlukan energi ekstra, karena setiap kata yang terucap sudah langsung menuju pada maknanya.
Kerapihannya dalam menyusun kalimat dan senantiasa meluncurkan kalimat yang sejuk-kendati untuk mengkritik lawan telah mencuri perhatian banyak pihak belakangan ini. Ia juga disebut-sebut sebagai seseorang di balik kesuksesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di mana ia duduk sebagai salah satu tim suksesnya. Dalam berpolitik, ia selalu terlihat santun, tidak pernah menyakiti pihak lain, pilihan menjawab “serangan” pun dilakukan secara taktis dan diplomatis. Hal positif inilah yang membuat ia menjadi salah satu politisi muda yang paling menonjol di Indonesia.
Oktober lalu, ia dikukuhkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tentu kita berharap banyak padanya, sebagaimana halnya ia bisa membawa sinar terang dalam kubu dunia politik yang bersih di Indonesia. Beberapa bulan sebelumnya, ia bekerja keras untuk melakukan upgrading pembekalan kepada angggota DPR terpilih baik di tingkat pusat dan daerah khusus Partai Demokrat, dengan total pasukan sebanyak 4000 orang. “Ini tantangan serius yang harus dijawab dengan sungguh-sungguh,”katanya.
Pada sebuah Sabtu pagi setelah pengumuman kemenangan Partai Demokrat, ia menyediakan waktunya. Perbincangan dilakukan di rumahnya yang besar, namun terasa kesederhanaannya. Keempat anak-anaknya yang masih kecil –paling besar 9 tahun, paling kecil 1,5 tahun- tampak lalu lalang, dan bergelendotan pada tubuh ayahnya secara bergantian. Barangkali mengekspresikan kerinduan pada ayahnya setelah berbulan-bulan disibukkan dengan kegiatan kampanye pemilihan presiden. “Karena saya empat bersaudara, maka saya berharap minimal anak saya empat,” katanya tersenyum.
“Menjadi politisi seperti sekarang itu bagi saya seperti aliran kehidupan saja. Tak pernah ada dalam cita-cita saya. Tapi memang benar saya mulai berorganisasi secara serius sejak saya kecil, mulai dari OSIS SMP, kegiatan social di kampung, serta Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).” Anas dilahirkan di sebuah keluarga komunitas Nahdlatul Ulama yang kental di daerah Blitar, Jawa Timur, tepat 40 tahun lalu. “Waktu kecil saya tinggal di desa. Kampung saya terletak lima kilo meter dari pusat kota. Berkultur agraris, NU, dan setting tahun 1970-1980-an.”
Ayahnya seorang guru ngaji yang memberi ceramah di pengajian-pengajian dan belakangan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) – menjadi guru agama berpindah-pindah dan pernah menjadi gurunya saat di madrasah tsanawiyah. “Ayah saya pendiam, tak banyak bicara kalau di rumah, itu yang membuat setiap kata-kata Bapak sangat berpengaruh pada saya. Walaupun kalau sedang memberikan pengajian beliau sangat lucu dan menyenangkan,” tuturnya. Sementara sang ibu adalah wanita sederhana, hangat, dan perhatian. “Ibu saya adalah ibu rumah tangga sambil ikut mengurus pertanian. Karena kami tinggal di daerah pertanian, kami juga bertani. Leluhur ibu saya petani dan pedagang hasil bumi, seperti kacang, jagung dan padi.”
Sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat Sekolah Menengah Pertama), ia sudah tinggal (mondok) di Pondok pesantren Al Kamal milik alm. Kyai Tohir Wijaya (generasi awal NU yang masuk Golkar dan mendirikan Majelis Dakwah Islamiah yang juga underbow Golkar). “Saya merasakan kehidupan di pondok. Bagaimana memasak sendiri, atau makan beramai-ramai di tampah,” ia menceritakan pengalamannya. Namun yang pokok dalam pendidikan di sini adalah pembelajaran mengenai sikap hormat terhadap pemimpin, kyai, loyalitas dan kesederhanaan sebagai hal yang signifikan. “Kesederhanaan yang aktualisasinya kontekstual. Saya membahasakannya tidak berlebih-lebihan. Menurut saya, loyalitas adalah salah satu prinsip. Karena dengan loyalitas dibangun kepercayaan dari kedua belah pihak. Di situ juga terkait integritas seseorang.”
Meski besar dalam tradisi NU yang berpegang pada Islam tradisionalis masa itu, Anas sudah terbiasa menerima perbedaan pandangan dan bersikap rasional. Termasuk keputusannya untuk aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ketika duduk sebagai mahasiswa di jurusan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. “Orang tua saya dari awal mendorong untuk membuka cakrawala lebih luas,”ia mengungkapkan alasannya. Ayahnya banyak memberikan contoh mengenai perbedaan pandangan sebagai hal yang wajar. Sejak kecil, ayahnya berlangganan majalah Panji Masyarakat (jelas-jelas bukan majalah NU, melainkan majalah Mashumi Muhammadiyah) yang menganut Islam modernis yang berbeda pandang dengan Islam tradisionalis seperti NU.
“Pikiran-pikiran Islam yang berbeda dari yang diajarkan NU sudah saya pelajari dari kecil. Saya suka mendengar, mengintip, perdebatan keagamaan dengan tokoh NU lokal tentang praktek keagamaan, seperti jumlah rokaat dalam solat tarawih. Bapak bisa menjelaskan secara rasional tentang perbedaan itu,” ungkapnya. Bapaknya yang pegawai negeri itupun diam-diam bersimpati pada Partai Persatuan Pembangunan (P3) karena Golkar saat itu dianggap berperilaku tidak demokratis. “Hal-hal inilah yang menjadi pembelajaran awal saya tentang politik.”
Dibesarkan dalam suasana seperti ini membuat Anas begitu mengagungkan intelektualitas. “Ketika kuliah, saya ingin menjadi dosen. Karena itu nilai akademis harus bagus dan saya sangat serius mengurus nilai akademis. Alhamdulilah, lulus dengan baik,” ujar Anas yang menjadi Mahasiswa Teladan sekaligus lulus dengan nilai terbaik. Bekal ini ia jadikan sebagai prasyarat melamar menjadi dosen di kampusnya.“Tapi dua kali melamar saya tidak diterima. Ada yang bilang faktor non teknis. Waktu itu kan ada kompetisi warna. Teman-teman menduga karena saya terlalu aktif di HMI.”
Peristiwa ini benar-benar memukul perasaan dan rasionalitas yang dibangunnya..”Menurut ukuran saya pribadi, menurut ukuran kewajaran, mestinya saya diterima menjadi dosen. Akhirnya sejak itu saya tak pernah merumuskan cita-cita saya secara teknis. Bahkan bercita-cita menjadi dosen saja tak bisa,” nada suaranya merendah. Saat itu, ayahnya medatangi dan memberikan nasehat untuknya. “Apa yang kamu suka belum tentu baik bagi kamu. Apa yang kamu tidak suka belum tentu tidak baik bagi kamu. Nah rupanya kalimat yang dikutip Bapak dari Alquran ini mampu mencairkan kekecewaan hati saya,” ia mengenangkan. “Akhirnya kalau saya dapat kepercayaan, saya kerjakan saja dengan baik. Saya percaya sudah ada yang mengatur semuanya.” Selulus kuliah, Anas pernah menjadi wartawan Gatra biro Surabaya, sebelum menuju Jakarta, memimpin HMI Pusat, dan melanjutkan pendidikan S2-nya di Magister Sains Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Kepasrahan itu rupanya berbuah. “Akhirnya saya merasa bahwa dalam hidup saya dikelilingi “invisible hand”, tapi bukan dalam konsep ekonomi. Ha ha ha…,”ia tertawa,” karena saya percaya betul kalau konteksnya ‘kekuasaan’- bisa didefinisikan peran atau jabatan- itu jelas ada yang mengatur. “Kalau diterjemahkan negatif bisa dibilang trauma. Tapi kalau diterjemahkan positif bisa dibilang sebagai satu kesadaran dan pencerahan. Kalimat sederhana Bapak saya yang dikutip dari Alqur’an, ya itulah adanya.” Anas lalu dipercaya sebagai anggota Tim Revisi UU Politik (Tim 7), anggota Tim Seleksi parpol peserta Pemilu 1999, Anggota KPU (2001-2005), Ketua Partai Demokrat (2005 hingga kini), serta Ketua Yayasan Wakaf Paramadina (2006-sekarang)..
“Sebenarnya, kalau mau disederhanakan, pilihan saya pada dunia akademis itu karena intelektualitas adalah sesuatu yang dibanggakan. Di HMi dibanggakan, sesuatu yang intelektual, dianggap tinggi. Tapi ketika saya ada di Tim 7, saya menemukan fakta bahwa kalau seseorang punya otoritas, satu titik koma bisa memengaruhi jalannya sejarah. Apalagi satu kata, satu kalimat, satu ayat, satu pasal, bahkan satu undang-undang, dan itu adalah wilayah kerja politik,” katanya tentang Tim 7 yang merumuskan paket RUU bidang politik yang akhirnya mengubah sudut pandangnya tentang kehidupan. Kesadaran ini membawanya pada satu kesimpulan: “Saya punya definisi baru tentang peran intelektual- minimal bagi saya pribadi- intelektual bisa melanjutkan kerja atau perjuangan, dan idealismenya di bidang politik. Dan bahkan kalau dunia politik diwarnai kerja intelektual yang memadai, hal itu isa menjadi sumbangan dunia politik menjadi lebih baik, lebih hidup, lebih akuntabel.” Kata Anas yang kini sudah menemukan “rumah” baru.
Kepasrahan itu pula yang menemukannya pada rumah cintanya pada seorang perempuan. Namanya Athiyyah Laila. “Cinta itu membuat dunia lebih berwarna, bermakna, akan memotivasi melakukan yang terbaik dalam pengertian yang luas ada tanggung jawab,” kata Anas yang mengaku kurang pandai mengeksplorasi rasa cinta pada perempuan. “Dalam cinta ada loyalitas, tujuan, kedalaman makna. Tanpa itu, saya kira akan hambar, tidak ada motivasi apapun. Saya pernah belajar mengenal perempuan, tetapi karena tidak berbakat ya, tidak lama. Lalu melakukan refleksi, kalau tujuannya bukan untuk ke jenjang pernikahan, lebih banyak mudlorotnya.”
Alasan itulah yang membuat ia langsung menikahi perempuan yang ditemuinya di sebuah seminar HMI di Yogyakarta. “Saya sudah di ambang deadline untuk menikah, yakni 30 tahun. Kebetulan dia memiliki semua sisi yang menarik. Latar belakang pesantren NU, secara fisik juga menarik, dan yang pasti karena ada inner beauty-nya. Saya membayangkan bahwa latar belakang diri dan keluarganya bisa menjadi patner yang baik. Bayangan saya akan lebih banyak di luar rumah, tentu saya membutuhkan patner yang bersedia dan mampu di dalam rumah, dan dialah orangnya.” Bila dalam memutuskan memilih peran ia lakukan berdasarkan kalkulasi rasional, maka soal politik selain kalkulasi, intuisi, ada ruang yang bernama harapan dan rahmad dari Tuhan. “
Kalimat-kalimat yang disampaikannya kian lama kian terasa formal dan diplomatis. Anas seperti mengurung dalam-dalam sisi-sisi perasaannya sendiri. “Menjadi politisi itu berarti sisi pribadi ruangnya makin sempit. Sebetulnya ruang publik akan minimal akan sama dengan artis, mungkin malah lebih luas dan dalam, kalau artis milik publik dalam pengertiannya sendiri, kalau politisi ya betul-betul milik public, itu yang membuat saya harus berhati-hati,” ujarnya. Sepertinya peran sebagai politisi telah merasuk dalam dirinya. Ia tersenyum tak memberi jawaban. (Rustika Herlambang)
Stylist: Dany David. Fotografer: Erwin Yaputra
Tulisannya enak dibaca… ada yang hilang dikit, kata “tidak” dalam kalimat “Dalam berpolitik, ia selalu terlihat santun, pernah menyakiti pihak lain,..”
Salam,
Bimo
@Pak Bimo.. terima kasih atas masukannya.. sudah dibenerin sekarang 🙂
orang model anus eh..anas ini adalah serigala berbulu domba, yg keliatan aja santun, baik dst, padahal aslinya….tdk lebih dari kotoran anjing
anas.klo aku baca kau itu bukan dari keluarga milioner, tp sederhana aja. jadi gak mungkin ada sejarahnya dalam waktu singkat tiba-tiba punya uang milyaran. sederhana aja berapalah gaji anggota DPR klo jujur.apalagi klo kau sempat punya perusahaan yang asetnya puluhan milyar? sungguh ga masuk akal ya? dan nama kau itu tidak tercatat sebagai pengusaha sukses. jadi dari mana uang yang kau punya ? gak usah lah pura-pura jadi orang suci dan bersih, dasar munafik kau !!! rakyat hidup msh banyak yg susah. mau dibuat tambah melarat kalo kau jadi presiden !! DEmoKrat ga akan menang,