Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

singgih kartono susilo saat wawancara berlangsung
Totalitas, keras kepala, konsisten, dan penuh daya hidup dalam menjalani pilihan adalah sebagian dari rahasia kesuksesannya
Di sebuah desa yang sunyi, jauh dari keramaian kota metropolitan, salah satu produk termewah 2008 versi majalah Time diproduksi. Produk bernama Radio Kayu Magno yang kini menjadi kegemaran baru di pasar Amerika, Jepang, dan Eropa itu justru dibincangkan karena kesederhanaan yang ditawarkan.
Singgih Susilo Kartono adalah nama di balik seluruh kerja besar ini. Ia adalah desainer produk yang memusatkan segala aktivitas bisnisnya dari desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Terbuai dalam alam pedesaan masa kecil, tinggal di atas tanah orang tua yang sejak dulu diimpikan, ia mengajak masyarakat setempat untuk bekerja di workshop sederhana yang berpemandangan alam pedesaan, pesawahan, pepohonan bambu, bermusik desau angin, dan suara anak-anak bermain sepakbola kertas.
Tahun lalu, ia menduduki posisi 6 dari 276 nominator People Design Award, Cooper-Hewitt National Design Museum New York, Amerika Serikat. Prestasi ini berlanjut di Jepang ketika membawa penghargaan Good Design Award – Japan 2008, sementara ia baru saja meraih Grand Award “Design for Asia Award” 2008 by Hong Kong Design Center. Tahun 2009, ia “menaklukkan” Eropa dengan membawa pulang penghargaan Design Plus Award – Ambiente Frankfurt Germany 2009, serta Brit Insurance Design of the Year 2009, Design Museum, London. Prestasi luar biasa ini ternyata tetap disikapi rendah hati oleh Singgih – seperti yang dirasakan dewi ketika mengunjungi workshopnya beberapa waktu lalu.
“Ini kan seperti ramalan Alvin Toffler. Kita bisa bekerja dari pelosok pedesaan dan memiliki akses koneksi internasional,”kata Singgih yang juga harus membagi waktunya untuk mengajar di Toyota Shirikawa- Go-Eco Institute Jepang, selain menjadi dosen tamu di Falmouth University dan Central Saint Martin College, London, Inggris. Meski demikian, ia mengaku paling kerasan tinggal di workshopnya, dan meminimalisir kepergian ke luar kota. “Andai saja semua bisa dilakukan dengan naik kereta api.. Saya takut naik pesawat,” ujarnya malu-malu, membuka sebagian rahasianya.
Di desa ini, Singgih dilahirkan empat puluh satu tahun lalu. Ia adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Orang tuanya berprofesi sebagai guru yang menambah penghasilan dengan mendirikan tempat penggilingan padi dan pembibitan cengkeh. “Yang sekarang jadi rumah saya, dulu merupakan tempat penggilingan padi yang disewa orang tua saya. Waktu itu saya mimpi betul seandainya tanah ini milik kita,” katanya berbinar-binar sambil menunjuk rumah yang sedang dibangun di depan workshop. “Lucunya, di tempat yang sama saya membuat pembibitan tanaman kayu, mirip yang dilakukan orang tua saya,” ia tersenyum, mengenang masa kecilnya yang dididik dengan sangat keras dan disiplin oleh ayahnya. “Waktu kecil saya sangat peragu, penakut, pemalu, dan sangat kaku. Ibu saya bilang, kalau saya punya kemauan harus jalan, egonya besar,” ia tertawa. Suatu hari nanti, ia akan menyadari bahwa sebagian kesuksesan yang diraihnya kini tak lain dari tingginya ego yang dimiliki.
Tapi yang paling berkesan darinya adalah soal sensitivitas visual. Ia punya pengalaman dengan pompa air. “Saya diminta untuk memasang pompa air. Karena menurut saya bentuknya tidak indah, saya pasang sesuai keinginan saya. Eh, ternyata pompa air tak bisa dipakai. Saya sampai menangis karena dipaksa memasang pompa air yang menurut saya jelek bentuknya,” ia menertawakan dirinya. Termasuk ketika ia mengganti badge OSIS dengan badge lain yang menurutnya bagus.” Ketika dipanggil guru BP, saya bilang, badge itu jelek dan tidak sesuai dengan jiwa anak muda. Ha ha ha..”
Ia memang sangat memperhatikan hal-hal di sekelilingnya. Terutama pada orang yang dikasihinya. “Sejak SMP, saya sering membuat pernak-pernik untuk diberikan kepada orang yang saya sukai. Saya senang melihat ekspresi orang yang menerimanya,” katanya. Bisa jadi keinginan ini dipacu untuk mendapatkan perhatian dari orang lain. Ia lalu bicara, “Saya dulu sering ada rasa iri pada kakak-kakak. Memang hal ini yang membuat saya jadi agak badung. Tapi sikap (cemburu) itu justru mendorong saya untuk bisa lebih baik, seperti ingin dapat sekolah bagus,” kata Singgih. Ia berhasil masuk jurusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) kendati nilai mata pelajaran menggambarnya 6! “Sholat tahajud selama sebulan penuh . Karena melihat keseriusan saya, Ibu sering menemani,” ia membuka rahasianya.
Persoalan kembali hadir. Selama setahun penuh, karena merasa tak bisa menggambar, ia bekerja keras untuk bisa menyeimbangkan kemampuan dengan teman sekelasnya. “Saat itu saya hampir frustasi. Duh Tuhan, jangan-jangan Kamu hanya mengabulkan doaku, tapi sesungguhnya aku tak mampu menjalaninya,” Ia kembali tersenyum karena mampu menyelesaikan masa kuliahnya dengan baik dan langsung mendapat tawaran bekerja di PT Prasidha Adhikriya. Di sini ia benar-benar belajar pada sang pemilik, Surya Pernawa, mengenai bagaimana mengembangkan kerajinan yang ada di Indonesia. Tapi, ia hanya sanggup bertahan hingga dua tahun lamanya.
“Saya ternyata tak bisa hidup di kota karena ramai, bising, rumit, dan yang pasti saya cuma jadi sekrup. Tak pernah sekalipun saya berpikir untuk jadi karyawan. Di perusahaan Pak Surya, hubungan kami seperti teman,” ia menjelaskan alasan mengapa akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya di tahun 1995. Bersama Haryanto Aly, ia mendirikan perusahaan serupa bernama PT Aruna Arutala. “Saya tahu, orang tua saya kecewa karena saya belum punya apa-apa, sudah pulang,” kata Singgih yang menjalankan proyek pertamanya dari perusahaan sebelumnya. Sedihnya lagi, enam bulan kemudian perusahaan yang sudah merekrut 40 karyawan itu terancam bangkrut karena salah managemen. Ia harus bertindak tegas.
“Eh, tiba-tiba saya bisa memiliki gaya kepemimpinan! Mungkin karena saya dipaksa menghadapi situasi,” saat itu, ia mengurangi karyawan hingga berjumlah delapan dan mengatakan pada karyawan bahwa ia hanya mampu memberikan uang sebesar Rp.2500/hari, sambil disertai janji bila perusahaan berkembang, mereka juga akan dinaikkan. Ia memang akhirnya menepati kata-katanya. Di tahun-tahun berikutnya, perusahaan berjalan lancar dan menuai kesuksesan.
Tapi ia masih merasa hidupnya tak tenang. Ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Hal itu adalah soal kebebasan dalam berkarya. “Ternyata kami memiliki proses kreatif yang berbeda. Teman saya sangat sistematis dan terstruktur, sementara saya memutuskan desain berdasarkan feeling dan pendekatan emosional. Terus terang tak bisa berpikir berdasarkan rentang, atau mendiskripsikan dari a ke z prosesnya bagaimana. Tapi saya tahu, tujuan saya radio kayu, ”ungkapnya jujur. Setelah tujuh tahun, ia pun memutuskan mundur, dan mendirikan perusahaan baru bernama PT Piranti Works yang bergerak pada produk kayu berdimensi kecil.
Akibat keputusan ini, ia kembali dari nol. “Dari pada pusing memikirkan jumlah asset di perusahaan lama, mending saya fokus saja,” katanya. Berbekal ruang tamu miliknya sebagai workshop, ia memulai usaha dengan memproduksi kaca pembesar dari kayu. “Istilah Magno berasal dari situ (magnifying glass). Saya artikan, saya memang membuat barang yang kecil, detail, saya pilih huruf g yang unik, karena menurut saya cantik,” ceritanya. “Tahun 2004, saya naik vespa ke luar kota untuk mencari kayu bekas karena tak mampu membeli kayu banyak. Saya memotong-motong sendiri di depan rumah, ” ia mengisahkan perjuangannya.
Padahal, ia hanya berpikir sederhana. Bila memang sudah mentok di sini, artinya ia harus berbelok. Perjalanan desain seperti sebuah petualangan, banyak trial and error. Kadang ia tak berpikir panjang, hanya mengikuti kata hati, namun tak banyak orang bisa memahami. Contohnya ketika gagal mendapatkan mesin radio dari supplier dan industri karena terbentur kuantitas minimum, ia menuju pasar dan membeli radio hanya untuk diambil mesinnya. “Habis mau gimana lagi? Ya harus dengan cara kanibal,” ia tertawa.
Ia juga pernah melakukan fund rising untuk dirinya ketika tak memiliki biaya untuk pameran di Jepang tahun 2005. “Saya jual produk melalui email dengan foto produk prototype, lalu saya tuliskan “Tolong bayar dulu, nanti setelah pulang, saya siapkan barangnya”, kata Singgih yang sejak awal memilih berorientasi ekspor karena dianggapnya menjadi pasar yang paling kuat dan mendorong produsen untuk punya disiplin kerja yang baik. (Itu sebabnya ia sering mengalami kendala berhubungan dengan sumber daya manusia di daerah yang masih kurang menghargai porfesionalitas bekerja.)
Perjalanan ini ternyata tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Order pertamanya didapat dari pria Jepang – yang seperti dikatakan Singgih, wajahnya kurang meyakinkan karena kumal – berupa boneka kayu yang ternyata memiliki nilai sama persis dengan asset yang ditinggalkan di perusahaan lama. “Ini seperti hadiah dari Tuhan,”katanya riang. Dari keuntungan yang diperoleh, ia membeli tanah luas di desanya, membesarkan perusahaan, dan membangun kembali mimpi masa lalunya. “Waktu kecil, saya baca buku mengenai Thomas Alva Edison, saya pingin jadi inventor dan punya hak cipta,” lanjutnya.
“Saya ini orangnya nekad saja. Sebenarnya yang paling sengsara istri saya. Karena saya adalah orang yang di depan, orang yang punya gagasan. Kalau gagal ya wajar, tapi yang merasakan kesusahan kan orang lain. Kalau diprotes, saya nggak bisa terima, karena saya sangat keras kepala,” ia menengok pada sang istri, Tri Wahyuni, yang menemani sepanjang wawancara. Wajahnya terlihat bahagia. Bersama sang istri – mungkin satu-satunya orang yang bisa memahami gagasan-gagasannya – ia melanjutkan kayuh bisnisnya.
“Terus terang, saya tak bisa mengurus segala sesuatu yang monoton, terus menerus, dan detail. Proses produksi itu kan rumit, untuk satu radio memerlukan lebih dari 20 proses, banyak komponen, dan masing-masing dibuat dengan tangan. Saya tak bisa, kelebihan istri saya, dia bisa kerja ini dengan cara “awangan” ( membayangkan),”kata Singgih yang berhasil merumuskan kembali pemahaman tentang industri kerajinan dengan pendekatan modern berbasis kerja tangan. Lagi-lagi, ia matang karena ditempa dengan berbagai pengalaman.
Kembali ke Desa
Banyak hal yang bisa dipelajari dari Singgih. Salah satu yang menarik adalah ketika ia memutuskan pulang ke desa, itulah yang dianggap sebagai sebuah sikap. Seperti ingin mengisi selembar kertas kosong untuk membuat sejarah di desa – yang dalam pandangannya kian banyak ditinggalkan anak-anak muda terdidik dan berprestasi.
“Mimpi saya ingin memberikan kontribusi langsung ke masyarakat. Di desa, saya punya komunitas yang maju dan saya pikir itu bisa diciptakan dalam komunitas terbatas,” katanya berandai-andai.
Ia tak main-main dengan keinginannya. Ia pernah menjadi anggota dewan perwakilan desa dan membuat “koran” bernama Entho Cothot yang terbit setiap minggu yang digarap bersama sang istri. Media pedesaan ini mencermati seluk beluk kehidupan pedesaan dengan visi ke depan, sambil menitip harapan bahwa desanya bisa maju di kemudian hari. “Karena saya tak bisa menulis, saya bangun jam 4 pagi, dan terus-terusan selama seminggu, akhirnya berhasil,” di sini ia belajar bahwa bila dia bisa memaksa diri, sesuatu yang awalnya tak bisa menjadi bisa. Sebanyak 161 edisi ia lakukan demi mewujudkan keinginan membangun desa yang lebih bervisi.
Namun, ia juga dipaksa menerima sebuah keadaan bahwa keinginan atau bayangan seindah apapun belum tentu bisa diterima oleh orang lain. Itulah yang terjadi. Ia sempat frustasi, tak sanggup menghadap kenyataan yang dialami. Rumah tempat tinggalnya pernah hampir saja menjadi sasaran amukan massa karena tulisan yang dibuatnya dianggap terlampau kritis.
“Saya hanya memberikan saran yang terbaik untuk masyarakat. Tapi saya sering kalah voting, saya membayangkan arahnya begini, tapi tak bisa berjalan apa adanya,”ujarnya. Nada kekecewaan terasakan pada dirinya. Ia memang tegas, kaku, dan tak mau bermanis-manis mulut. Semuanya langsung pada sasaran. Mungkin caranya ini kurang disukai banyak orang. “Tak apa saya jadi korban salah persepsi sepanjang apa yang saya lakukan benar,” ucapnya kecewa. Ketika ia merasa gagal, ia kembali ke jalannya. Sendirian. Kembali ke bisnisnya, radio kayu Magno.
Keberuntungan dari Radio
“Sebenarnya, radio itu banyak unsur keberuntungan buat saya,” akunya jujur. ‘Barang itu hampir dimiliki semua orang. Desain simple ada di mana-mana. Saya hanya memasukkan unsure filosofi yang membuat orang menjadi memiliki “hubungan” dengan radio, dan untungnya lagi, produk saya diterima pasar,” kata Singgih yang sudah mengutak-atik radio sejak masa skripsinya. Di tangannya, radio menjadi sangat personal. Di produk terbarunya, ia bahkan tidak memberikan skala (untuk mengetahui gelombang). “Supaya si pemilik bisa belajar dengan perasaannya untuk bisa mengetahui di mana letak gelombang radio yang tepat dengan cara belajar, sampai dia hafal, melalui sentuhan tangannya,” ujarnya.
“Radio itu sempurna karena ketidaksempurnaannya. Karena tak ada gambar, seperti halnya televisi, masing-masing orang jadi punya imajinasi,” ia seperti mendapat inspirasi, “Menyenangkan bagi saya bisa mendesain radio, energinya bisa keluar dengan murni. Kini, saya bisa mengekspresikan perasaan dalam produk yang saya buat. Saya senang bisa menceritakan penghayatan saya atas sepotong kayu seperti menulis sebuah puisi,” ia tersenyum. Ia ternyata mudah tersentuh dengan hal-hal kecil atau mudah menangis bila melihat ketidakadilan atau ketidakberdayaan yang ia lihat melalui berbagai media. Seperti juga desainnya yang hangat, begitu pula pada ia ketika bicara tentang perasaannya. Segala sesuatu dipikirkan dalam-dalam dan penuh perasaan.
Seperti ketika ia bicara mengenai kayu yang menjadi materi radio. “Kayu bicara mengenai hidup dan kehidupan, tentang keseimbangan, dan soal keterbatasan.” Cita-citanya ingin memiliki hutan sendiri sehingga bisa menjaga keseimbangan alam yang menjadi obsesinya. Mungkin juga ia tengah memikirkan tentang kelanjutan cita-cita lainnya: membuat produk kayu menjadi ikon desain dunia. “Negara kita kaya akan kayu, tapi tak ada barang dari Indonesia yang desainnya bagus dan dikenal dunia,” ucapnya prihatin. “Apalagi saya melihat salah satu masalah dalam kehidupan kita adalah over production dan pergantian produk yang sangat cepat. Saya pikir dengan desain klasik, sederhana, basik, bisa menarik bagi orang. Mungkin orang tak suka prinsip ini, tapi saya suka, karena dalam sejarah desain itulah yang bertahan,”ujarnya serius.
Lalu ia seperti diingatkan akan suatu hal, sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak mengenai alas an personal kedekatannya dengan produk bernama radio. “Dulu, istri saya bekerja sebagai penyiar radio. Tapi saya jatuh cintanya bukan karena membayangkan suaranya, karena kami pacaran dari SMA. Ha ha ha…Nah, apakah ini menjadi alasan personal, saya tak tahu. Mungkin supaya dia tidak sedih ya, sehingga menstimulir saya untuk membuat proyek ini, “ Bapak dua anak bernama Wening Lastri dan Lilo Liris Lituhayu itu kemudian berpikir kembali apakah kesukaan yang ia lakukan merupakan salah satu wujud rasa cinta yang mengendap untuk istrinya. Bila ia sudah berpikir, Anda tentu akan tahu apa yang akan dilakukannya kemudian. (Rustika Herlambang).
Fotografer: Ferdy. Lokasi: Workshop Singgih Susilo.
Tulisannya enak dibaca, sepertinya jalan panjang selama bertahun tahun yang dijalani Singgih dapat lengkap termuat dalam satu halaman.
Salam kenal
Bambang PE
Wow keren
apakah kami bisa menampilkan tulisan ini http://berbahaya.org?
Menarik sekali tulisan maupun obyek yg ditulis.
Jadi sangat tertarik untuk mengenal lebih jauh Anda berdua ( Penulis /Rustika Herlambang dan tokoh/Singgih Susilo Kartono, beserta karyanya), jika boleh.
Ngomong-ngomong saya adalah istri dari seorang seniman kayu yg menggeluti produk kayu dari bingkai sampai peti mati, yg beranjak dari kerja tangan yg ditunjang peralatan seadanya dan kemudian meningkat ke mesin sederhana.
Saya punya kisah mendukung suami menghidupi ide “gila” dan cara kerja perfeksionisnya merangkak tatkala dari nol, walaupun tidak sespektakuler Pak Singgih hasilnya, namun seperempat abad sudah kami geluti kayu-kayu sambil membesarkan 2 putra kami.
Terima kasih boleh menikmati tulisan yg memberi inspirasi
dan membua saya kagum.
radio yang susah di dapat di negerinya sendiri .. lebih suka uang asing drpd rupiah …