Kado Cinta untuk Bapak

yenny wahid
Kali ini, biarkan dia bercerita tentang diri dan kesehariannya di luar sorot kamera
“Ah.. Kau pasti hanya tahu hidupku bergelimang nikmat. Padahal jauh dari itu, hidupku adalah sebuah perjuangan panjang yang teramat berat.” Perempuan berambut sebahu itu lalu tertawa. Wajahnya tampak senang, meski ia baru saja mengucapkan sesuatu yang terasa getir. Tapi itulah Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, sosok perempuan berdaya yang selalu disapa dengan nama Yenny Wahid. Siang itu, ia mengenakan terusan putih tanpa lengan yang dipadu dengan kardigan warna hitam, senada dengan boot panjangnya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan bando mutiara berpita hitam. Tahi lalat di atas hidung yang menjadi ciri khasnya kini sudah dihilangkan. Wajahnya bersih dan berseri-seri. “Kaget ya.. inilah penampilan sehari-hariku,”ujarnya memberi senyuman.
Di kantor Wahid Institute, di mana Yenny duduk sebagai Direktur, pertemuan berawal. Di sinilah ia banyak membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalime dan di kalangan umat muslim di Indonesia dan seluruh dunia, yang menjadi obsesinya selama ini. “Tempat ini semacam laboratorium-lah. Aku mengajak teman-teman di NU untuk membbaskan pikiran-pikiran mereka di sini, dan melakukan re-interpretasi atas segala hal,” perempuan 35 tahun, master dari John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Michigan, Massachusetts, menjelaskan.
“Di antara semua benda di ruangan ini, hanya macan yang mewakili karakterku,”ujarnya, seperti mengerti keheranan yang dilihat pada lawan bicaranya ketika melihat beragam hal yang ada di ruang kerjanya. “Selain karena shio, secara pribadi aku suka dengan macan,” tambahnya. “Macan, hanya berburu untuk kebutuhan makan. Ia tak suka mengganggu, tapi juga jangan diganggu. Dan yang penting, macan adalah hewan setia. Ia penyendiri, tapi terus menjaga apa yang harus dilakukan, menjaga hutan.” Meski tak dipungkiri bahwa macan adalah sebuah simbol kekuasaan dalam kultur di Asia – dan hal ini rupanya juga sangat dekat dalam kehidupan Yenny yang hidup dan lahir dalam keliling kekuasaan. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral partai politik PKB yang dibentuk ayahnya –sebelum kemudian ia dan ayahnya dicopot keanggotaannya oleh pamannya sendiri. Ayahnya, mantan presiden RI. Kakeknya, Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama di masa Soekarno, sementara kakek buyutnya, KH Hasyim Ashari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa terbesar di Indonesia.
Meski demikian, ia mengaku tidak hidup di sangkar emas seperti yang dibayangkan orang . “Keluargaku adalah keluarga pergerakan, di mana mereka memberikan apa saja yang mereka miliki untuk orang yang membutuhkan. Sebelum menjadi Presiden, bapak pernah bekerja sebagai tukang batu di Eropa dan berjualan es di Jombang demi menyambung kehidupan,”kata Yenny yang waktu kecilnya berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya di daerah Ciganjur, hingga keluarganya sanggup membeli rumah. “ Kami tidak lebih tidak kurang. Buat kami, materi jauh dari pikiran. Nilai yang ditanamkan di keluarga benar-benar berada pada soal intelektualitas, kesederhanaan, dan ketulusan mengabdi pada masyarakat.”
Masa kecilnya dilaluinya sebagai anak kampung dengan pengalaman yang menyenangkan. “Aku suka main petak umpet, mencari kecapi, dan main kasti. Karena tak punya uang, bolanya dibuat dari kertas yang dikaretin,”ia tertawa mengenang bagaimana serunya petualangan itu. “Tapi setiap libur panjang aku malah dikirim ke pesantren di Jombang, sementara anak-anak lain bisa bermain-main. Rasanya seperti hukuman,” Yenny sendiri mendapat pendidikan agama dari sang ibu dengan sangat ketat. “Kalau nggak ngaji, bisa-bisa aku dicubitin. Apalagi kalau tak sholat, waaaah..”.
Ayahnya sudah menjadi kyai sejak dia lahir. Seperti laiknya pria Jawa didikan pesantren, ia merasa hubungan dengan ayahnya sangat kaku. “Waktu kecil aku sering bertanya, mengapa Bapak tak bisa mengungkapkan perasaannya. Kadang aku pingin glendotan dengan Bapak seperti teman-teman lain,”harapnya. Hingga suatu hari, ia melakukan perlawanan. “Waktu itu Bapak lagi duduk di sofa. Aku duduk di sebelahnya, trus merangkulnya. Eh! Tiba-tiba tubuh Bapak jadi kaku! Aku juga nggak tahu mau apa, tapi tangan tetap saja tak kulepaskan. Setelah lama, pelan-pelan Bapak rileks juga,”ia mengenang momen yang sangat berkesan ketika ia duduk di bangku SMA. “Sejak itu, hubunganku dengan Bapak lebih mencair. Walaupun hingga kini Bapak tetap bukan orang yang mudah mengekspresikan perasaannya. Sekarang, aku suka mengelus wajah Bapak. Lalu kubilang, I love you, Pak. Dan beliau selalu menjawab: hmh!”
Karena posisi ayahnya, ia tumbuh dalam keluarga komunitas. Setiap jam lima pagi, pintu rumahnya sudah terbuka. Rombongan tamu yang datang banyak sekali, tak jarang yang menginap di sana. Ia melihat ayahnya sangat menikmati suasana ini. “Bapak seperti mendapat energi dari berkumpul dengan banyak orang,” simpulnya. Konsekuensinya, ia acap merasa tak punya privacy. “Kadang aku pingin banget dapat momen sendiri karena terbiasa terlalu banyak orang. Sampai aku pernah waktu aku kecil berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tak akan mau punya suami aktivis”. Anak kedua dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan ini tiba-tiba diam dan berpikir. Lalu menyeletuk,” Atau karena aku anak kedua, merasa nggak diperhatikan, sehingga aku jadi butuh perhatian?” Ia lalu tertawa terbahak-bahak.
Cita-citanya menjadi animator, itu sebabnya ia mengambil pendidikan sarjananya di jurusan Desain Visual Universitas atas saran ayahnya. “Waktu kecil aku membayangkan, kelak kalau aku hamil, aku akan membuat buku cerita bergambar. Persis yang dibuat Madonna sekarang,”katanya menyebut nama penyanyi superstar dunia yang meluncurkan buku cerita beberapa waktu lalu. (Kelak kebiasaan menggambar ini kembali dilakukan saat menemani ayahnya bertemu tokoh-tokoh dunia. “Untuk menghilangkan bosan…”)
Tapi nasib membawanya ke tempat lain. Selulus kuliah, ia malah menjadi wartawan di koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne), dan meliput daerah-daerah konflik seperti Aceh, Ambon dan Timor-timur. Rumitnya persoalan yang terjadi di daerah itu menyentuh perasaannya. “Sejak itulah aku memikirkan Negara,” ia pun boleh dibilang beruntung karena dalam waktu bersamaan ayahnya diangkat menjadi Presiden. Ia lantas bergabung dengan ayahnya menjadi semacam staf khusus yang bertugas memberikan informasi. Pengalaman ini sangat berat bagi Yenny yang masih belia dalam urusan politik. “Karena Bapak dikelilingi oleh orang-orang ABS (Asal Bapak Senang), aku memposisikan diri sebagai penyampai berita buruk supaya seimbang. Memang jadi sering berantem. Tapi itu adalah cara ungkapin cinta untuk Bapak, dan akhirnya beliau menyadari bahwa aku tidak omong kosong”.
Hidupnya kembali terayun ketika sang ayah dilengserkan dari jabatan. “Nggak ada lagi yang mau berteman dalam tanda kutip. Babak belur perasaanku waktu itu,”katanya. Kini ia merasa beruntung dengan peristiwa itu karena bisa menemukan pertemanan sejati yang akan dijaga sepanjang hidup. Ditambah ketika ia dan ayahnya berkunjung ke Jawa Timur seusai lengser, ia dihadapkan pada sebuah fakta masih begitu banyaknya masyarakat yang mengelu-elukan ayahnya. “Aku seperti disadarkan bahwa perjuangan ini harus diteruskan.” Ia akhirnya masuk ke dunia politik 3 tahun setelah peristiwa itu.
”Aku ingin mengubah citra politik dengan mengajak orang baik masuk ke politik,” kata Yenny yang sering dikritik teman-teman feminis karena kerudung dianggap menyuburkan represi untuk perempuan. ”Kukatakan bahwa pertempuranku lain. Aku harus berbaur dengan orang-orang yang hatinya ingin kumenangkan. Aku akan sangat bangga bila komunitas tradisional maju, melihat kita jadi terinspirasi, itulah yang ingin aku capai,” ujar Yenny yang mengaku sudah kebal bila dikritik karena model kerudung yang dikenakannya,”Masuk angin tuh, Mbak.. bolongnya terlalu banyak. Ha ha ha.” Ia mengaku sangat tersentuh ketika melakukan perjalanan ke kalangan grassroot dan menemukan banyak orang yang hidupnya sangat sederhana tapi memiliki ketulusan luar biasa. Hal itulah yang menjadi energi buatnya untuk memperjuangkan nasib mereka.
Meski demikian, ia mengaku bahwa jalan hidupnya kini lepas dari campur tangan ayahnya. ”Bapak takut dianggap nepotis, jadi aku harus mencari jalanku. Aku sangat mengapresiasi ini, dan sekarang Bapak sering membanggakan aku karena Beliau merasa aku matang tak dikarbit,”tutur Yenny yang sempat shock ketika sang ayah tidak memberikan suaranya saat maju sebagai Sekjen partai PKB, bahkan memintanya tidak maju ketika berpeluang maju di muktamar. ”Sedih iya. Tapi mau apa lagi. Apapun keputusan beliau harus kutaati karena beliau bukan cuma bapakku, tapi juga pemimpinku.”
Ketika berjumpa soal spiritualitas ia begitu larut. ”Ada nyai menyarankan untuk meminum air cucian kaki ibu saat aku banyak persoalan kemarin. Aku melakukan itu karena aku percaya, dan mencintai orang tuaku sangat dalam. Dan ternyata benar, persoalan itu hilang!,” ujar Yenny yang menemukan banyak kedamaian dari ritual semacam itu. ”Kupikir ini seperti meditasi. Cara mengantisipasi dan menenangkan pikiran sehingga kualitas hidup menjadi jelas. Jangan ngoyo dalam hidup.” Tapi lucunya, ia juga gemar belanja, walaupun selalu merasa bersalah sesudahnya.”Apalagi kalau ada diskon besar-besaran, kadang seperti kalap!,”ujar Yenny yang menyukai sepatu Jimmy Choo, Louboutin, yang semakin tinggi semakin baik, serta tas Louis Vuitton, Channel klasik dan Kate Spade. ”Sebenarnya aku suka yang edgy, tapi minatku pada Miu Miu karena playful.”
Hal lain yang membuatnya kemudian sangat bahagia adalah soal cinta. ”Walau di luar aku terlihat garang, tapi di dalam, aku hopeless romantic! Aku sungguh ingin jatuh cinta. Aku nggak pingin kawin terpaksa,”katanya jujur. Syarat yang diinginkannya memang agak rumit,” Pertama, dia harus tinggi untuk mengantisipasi kesukaanku mengenakan hak tinggi, selain merasa terlindungi. Kedua, unik, misalnya pria madura tapi fasih bahasa Itali. Ketiga, harus bisa masuk ke dunia tradisionalku tapi harus punya kepekaan internasional. Tak harus keluarga kyai, tetapi dia harus mengerti sisi spriritualku. Ini penting, karena aku rindu pria menjadi imam dalam sholatku. Karena di dunia luar, di politik sering “berantem”,I want my home to be home.” Iapun berjanji akan menjadikan suaminya raja di rumah, andai saja ia diberi ruang gerak bagi ekspresinya di luar (dalam politik).
Sepertinya ia hampir mendapatkannya. “Ini gara-gara air cucian kaki ibuku!,” katanya tertawa. “Kini, obsesiku cuma satu. Aku ingin segera menikah dan memberikan cucu untuk Bapak Ibuku. Inilah kado cinta yang ingin segera kupersembahkan untuk mereka.” Penerus dinasti Wahid ini tampaknya ingin segera melanjutkan estafet sejarahnya, sambil menunggu lima tahun lagi untuk mempersiapkan partai baru, dan terus memperjuangkan kebenaran. (Rustika Herlambang).
Stylist: Karin Wijaya. Fotografer: Honda Tranggono. Busana: Ghea. Tata rias wajah & rambut: Aries. Lokasi: Wahid Institute.
Catatan: artikel panjang Yenny Un-edited! akan segera saya posting di blog..
Tambahan dari Yenny:
“Say, sebenarnya da satu kejadian lagi yang sanagt berkesan bagiku, yaitu ketika aku melakukan perjalanan politikku di kalangan grassroots. Aku banyak menghabiskan waktu di jalan, berinteraksi dengan bermacam orang. Keluar masuk desa ke pelosok2 menghadiri undangan menjadi pembicara atau berkampanye. Yang memberiku energi adalah ketika aku bertemu dengan orang-orang yang sebenarnya hidupnya sangat sederhana, tetapi mereka punya ketulusan yang luar biasa. Pernah aku ke Jember, setelah selesai berpidato dihadapan ribuan massa, aku turun panggung. Orang seperti biasa banyak bersalaman. Tiba2 diantara mereka ada yang menyelipkan uang ketanganku. 10 ribu, 5 ribu. Uangnya sudah lusuh dan bau. Padahal mereka sendiri cuma punya uang 20 ribu didompetnya. Tetapi dalam kepercayaan mereka, mereka ingin mendapatkan berkah apabila memberikan uang kepada orang yang mereka hormati. Uang yang sedikitpun dibagi dua. Aku rasanya ingin menangis. Uang-uang lusuh yang kudapatkan itu akhirnya kuluruskan dan kusimpan baik-baik, sebagai pengingat bahwa aku membawa amanah perjuangan mereka.
Perjalanan semacam inilah yang sering kulakukan sekarang. ”
great story , I love it. terima kasih dah di sharing
beneran tuh Yenni Wahid..? Oh Maigot, gahul banget dweeeeeeeh (lebay)
jauh dari kesan islami (wanita muslimah) padahal bapaknya kan kyai kondang dari jombang jawa timur,
celakalah wanita-2x yang meniru dia