Bersiaplah menuju dunia imajinasi Louis Vuitton: Passion for Creation yang membuka pandangan baru seni kontemporer tentang sebuah kolaborasi.

cao fei
Ketika label Louis Vuitton pertama kali berdiri, mereka memposisikan dirinya sebagai the art of travel. Barangkali para pendiri Louis Vuitton sudah berpikir panjang mengenai istilah ini. Buktinya, hingga kini, label asal Perancis ini masih tetap berjaya di tengah persaingan dunia citra yang luar biasa. Travel di sini akhirnya berkembang tidak hanya sekadar perjalanan, tapi juga petualangan. Nah, petualangan itulah yang tampaknya ingin dibagi bersama masyarakat, setelah 150 berkarya, hidup berdampingan dan saling menguntungkan.
Apabila kali ini mereka membawa sebuah petualangan dan pengalaman seni, tentu hal itu bukan hal yang berlebihan. Seperti diungkapkan Marc Jacobs pada media, ”Louis Vuitton adalah kemewahan, seni adalah kemewahan –persamaan konsep itulah yang menjadi landasan kolaborasi menjadi tercipta karenanya.” Ide ini kemudian mendapat tempat ketika datang sepucuk undangan dari French May Festival – yakni ajang kebudayaan tahunan setiap musim semi di Hongkong. Louis Vuitton pun lantas mendedikasikan Foundation Louis Vuitton pour la Creation untuk berpartisipasi melalui sebuah pameran akbar seni dengan tajuk Louis Vuitton: Passion for Creation.

gilbert & george
Pameran yang diselenggarakan di Hong Kong Museum of Art ini diorganisir oleh Hong Kong Museum of Art bekerja sama dengan Konsulat Jendral Perancis di Hong Kong dan Macau. Passion for Creation menjadi bintang dari Festival Seni French May yang ke-17, dan dibuka oleh Sekretaris Museum, Henry Tang Yin-yen. Hadir sebagai tamu kehormatan antara lain Chairman and CEO LVMH (Moet Hennessy Louis Vuitton), Bernard Arnault, Yves Carcelle (president of Louis Vuitton Asia Pasific), dan Jean-Baptiste Debaud. Di antara mereka tampak seniman dunia asal Jepang, Takashi Murakami, dan arsitek Frank Gehry.
Menanggapi acara ini, Bernald Arnauld, Chairman dan CEO LVMH, mengatakan bahwa kesuksesan ekonomi dan kreativitas yang ada dalam grup Louis Vuitton sebaiknya diletakkan pada pelayanan untuk tujuan bermakna dan komitmen yang konstruktif. “Atas dasar itulah, pameran ini tidak hanya sekadar sebuah hiburan, tapi ada pesan yang ingin disampaikan,” ungkap kurator pameran Passion for Creation, Susanna Page.
Memasuki dunia Passion for Creation, pengunjung sudah disadarkan sejak awal ketika sebuah karya seni berupa serial gambar-gambar cover novel pulp-fiction yang bertema After Dark, karya seniman Amerika Richard Prince, membungkus fasad Hong Kong Museum of Art. Pemandangan ini tidak saja memberi wajah baru dari sisi Victoria Harbour, tempat museum itu berada, tapi juga semacam peringatan: “bersiap-siaplah Anda menuju dunia seni Louis Vuitton”.
Passion for Creation mengetengahkan berbagai karya yang cukup signifikan, baik seni lukis, fotografi dan video art, dari benua Eropa, Amerika, dan Cina. Bila ditarik benang merah, karya yang mereka tampilkan benar-benar merefleksikan budaya urban yang penuh semangat, menuju lansekap fiksi, yang terletak antara mimpi dan petualangan, sesuai dengan gaya hidup global dan cepat yang ada di Hong Kong, tempat pameran berlangsung. Pameran dibagi dalam tiga bagian, yakni proyek arsitektural karya Frank Gehry, The Collection, a Choice, serta The Hong Kong Seven.
Mercusuar Arsitektural

Foundation Louis Vuitton - frank gehry
Tahun 2012 nanti, Anda akan mendapati sebuah bangunan yang berbentuk sebuah kapal dengan sauh kaca yang tiba-tiba muncul dari pepohonan di Jardin d’Acclimation, jantung Bois de Boulogne – lahan hijau yang subur di sebelah barat wilayah Perancis. Matahari langsung menyapa isi bangunan tanpa basa-basi, sementara itu hawa segar dan pemandangan hijau tampak mengintip dari sela-sela bangunan. Sebuah keindahan yang transparan. Sebuah “kapel” hijau di Jardin d’Acclimation, jantung Bois de Boulogne.
Sebegitu pentingnya mercusuar arsitektural ini bagi Louis Vuitton, sehingga mereka menempatkannya sebagai bagian pertama pameran Passion for Creation. Itulah maket bangunan tiga dimensi dengan skala 1:100 yang dibuat untuk Foundation Louis Vuitton pour La Creation, yang didesain oleh Frank Gehry. “’Mimpi nyata’ ini adalah sebuah perkawinan antara semangat visioner salah satu arsitek terbesar era kami, Frank Gehry, dengan nilai keindahan dan kreativitas yang mendefinisikan Louis Vuitton,” ujar Bernard Arnault dalam sebuah pernyataan kepada pers. Bangunan seluas 8900 square meter yang ditujukan sebagai museum seni koleksi Foundation dan tempat pertunjukan itu diperkirakan akan selesai dibangun pada tahun 2012 dan diharapkan mampu memberi wajah baru bagi lansekap Paris di masa yang akan datang.
Sementara itu Frank Gehry, yang hadir dalam pembukaan pameran itu, tampak bersembunyi di balik maketnya, tak banyak bicara, meski sesungguhnya ia antusias menerima tantangan tersebut. Seperti dikatakannya,” Saya suka museum, saya suka seni, saya cinta Marcel Proust, dan Jardin d’Acclimation. Ketika Bernard Arnault meminta saya ke Jardin, saya seperti melangkah balik ke suatu waktu di dalam dunia Proust. Untuk menangkap pengalaman magis ke dalam desain adalah sebuah tantangan yang berat, antara artistik dan emosional.”
The Collection, a Choice
Bagian kedua pameran menampilkan berbagai koleksi permanen Foundation. Meski demikian, Susanna Page, tidak serta merta meletakkan segala karya hebat untuk dipamerkan di sini. ”Presentasi koleksi Foundation ini didesain sesuai dengan konteks Hongkong sebagai kota yang kompleks dan penuh energi. Kompleksitas kota yang kadang terasa santun, namun acap sulit ditaklukkan. Karena itu kunci dari pameran ini adalah pemikiran seni sebagai bagian dari dialog interkultural melalui keragaman sensibilitas yang dimunculkan dari berbagai sumber,”tegasnya.
Hal itulah yang menjadi jawaban ketika karya Gilbert and George menjadi pintu masuk menuju pameran-pameran yang ada. Apa yang disampaikan dua pria melalui karya tryptych photography (tiga panel yang sejajar yang berbentuk fotografi dan lukisan yang mengingatkan pada gambar-gambar di gereja) adalah sebuah potret yang sangat baik mengenai kehidupan kaum urban yang gagap terhadap identitas dan kebebasan mereka. Hongkong sebagai kota yang modern dengan kecepatan gaya hidup dan isyu keterasingan rupanya menjadi pemikiran utama.
Dialog interkultural ini juga menyentuh antara pertemuan kultur tinggi dan rendah seperti digaungkan oleh kaum postmodernis. Karya ini terasakan pada karya seniman Michel Basquiat yang memadukan kultur jalanan dengan simbol Afro Caribian yang luhur. Termasuk juga Richard Prince yang me-reappropropriasi citra iklan rokok Malboro yang termasyur dan menemukan kembali ikon koboi dan epik barat.
Sementara itu, sisi petualangan menuju dunia fiksi disampaikan dengan sangat baik oleh Jeff Koons. Karyanya menunjukkan lansekap liris yang muncul dari pertarungan waktu dan persimpangan di antara gambar-gambar yang berbeda (burung, kuda, kereta, dsb) dengan referensi cultural yang beragam (dari lukisan abstrak hingga Picabia sampai Darwin). Tapi yang paling menyenangkan tentulah dunia fantasi yang dibawa oleh seniman Jepang Takashi Murakami. Nuansa warna-warna yang ceria, bunga-bunga tersenyum bahagia dan buah cherry yang ranum menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Apalagi Murakami sangat terbuka terhadap para pengunjung sehingga menjadi lokasi kunjungan favorit selama acara pembukaan.
Berbagai presentasi Foundation ini lantas menjadi benang merah dari konsep seni sebagai keterbukaan dan dialog seperti yang tergambar dalam bagian ke tiga, The Hong Kong Seven.
The Hong Kong Seven
Susanna Page menyatakan bahwa salah satu tujuan dari pameran ini adalah untuk mempromosikan kelahiran seni sebagai dialog kultural. Untuk itu tidaklah lengkap tanpa ”mendengar” suara-suara asli dari seniman-seniman Hong Kong itu sendiri. Bagian ke tiga dari pameran ini disebut sebagai Guest of Foundation: The Hong Kong Seven. Mereka adalah Nadim Abbas, Lee Kit, Leung Chi Wo, Pak Sheung Cheun, Tsang Kin Wah, Adrian Wong, dan Doris Wai-Yin Wong, dan dikuratori oleh Phillip Tinari.
The Hong Kong Seven diinspirasikan dari pemikian dan gairah untuk kehidupan urban, masalah social, budaya, psikologi, yang kesemuanya mencerminkan ekspresi kreatif dan memenuhi karakteristik sebagai seni kontemporer. Seniman-seniman ini mewakili semangat zaman, di mana mereka dilahirkan antara tahun 1968-1981, generasi baru yang mengalami percepatan budaya global. Dan berceritalah mereka yang bergerak dalam dunia yang semu dan bermain dalam identitas budaya. Doris dengan konsep museum yang ideal di matanya, Lee Kit dengan suasana apartemen sempitnya, Tsang dengan instalasi kata-kata yang memprovokasi pemikiran, serta Nadim yang membawa teralis jendela yang mengingatkan pada budaya Cina yang membelenggu mereka.
Membaca Semangat Zaman

Doris Wong
Apa yang dilakukan oleh label Louis Vuitton melalui pameran ini tak luput dari semangat untuk terus membaca semangat zaman. Label, kini tidak hanya berfungsi guna, tapi juga bermakna. Bukan sekadar alasan kepraktisan atau kegunaan, tapi juga citra. Itu sebabnya, Louis Vuitton dalam beberapa tahun terakhir melakukan terobosan dengan membuat kolaborasi label dengan seniman-seniman dunia seperti Takashi Murakami, Stephen Sprouse dan Richard Prince. Tak hanya itu, Louis Vuitton bahkan juga memberikan tempat khusus untuk pameran berbagai karya seni yang sudah dikurasi untuk membawa semangat Louis Vuitton itu sendiri.
Meski demikian, pameran akbar seni ini baru pertama kalinya digagas oleh Louis Vuitton. Oleh karena itu pertanyaan mengapa Hongkong dipilih menjadi tuan rumah menjadi perbincangan yang menarik. Dalam wawancara dengan beberapa media, Yves Carcelle, Chairman dan CEO Louis Vuitton dan Jean Baptiste, mengatakan bahwa pemilihan Hongkong sebagai tuan rumah lebih ke alasan pragmatis, selain tentu saja peluang pasar dalam 30 tahun terakhir ini tak bisa diabaikan. ”Hongkong adalah destinasi penting dalam mempresentasikan dunia seni kontemporer China,”ujar Yves Carcelle.
”Apa yang kami lakukan bukanlah sesuatu dengan tujuan langsung komersial. Melainkan untuk melihat kelahiran sebuah kreativitas. Kami tidak mempertimbangkan untuk melakukan sesuatu yang komersial, secara institusi, kami memfokuskan pada Passion for Creation,” lanjut Yves Carcelle. Lebih kanjut, Carcelle menjelaskan bagaimana pertemuan Louis Vuitton dengan Takashi Murakami ternyata memecahkan konsep baru bahwa antara seni dan produk adalah hal yang tak terpisahkan. ”Kerjasama adalah sesuatu yang sangat fantastik, dan rupanya memengaruhi dunia fashion. Pertemuan inilah yang kami ingin sampaikan kepada masyarakat agar masyarakat mengerti.”
Direktur kreatif Louis Vuitton, Marc Jacobs, yang hadir dalam kesempatan itu menyambut gembira. Ia menanggapi Passion for Creation sebagai bagian dari memberi dan menerima dan mencoba menemukan sesuatu yang baru, selain berbagi ide. Di akhir pertemuan, ia berkata, ”Louis Vuitton is not necessity must have. It is a luxury that the world would be dull without”. Kalimat ini tampaknya bisa mewakili ajang Passion for Creation, yang memberikan warna baru dalam dunia seni kontemporer di Asia. Ibarat kata, tanpa Passion for Creation, dunia seni pasti tak akan lengkap karenanya!. (Rustika Herlambang)
Foto: RH dan dok.Louis Vuitton
Leave a Reply