Pada akhirnya, karya adalah sebuah hal yang sangat personal. Itulah yang terasakan pada MUSE Exhibition di Galeri Louis Vuitton, Tsim Tsa Tsui, Hong Kong

passion for creation
Adalah sebuah kemewahan ketika memasuki sebuah lorong panjang yang kemudian menghadapkan Anda pada sederetan maha karya dalam sebuah jejak rekam perjalanan label Louis Vuitton. Hal ini tidak saja merupakan indikasi mengenai sejarah waktu yang sedemikian panjang bagi sebuah label, yakni 150 tahun, namun juga pergulatan yang terjadi agar senantiasa eksis di tengah persaingan kebutuhan gaya hidup lainnya. Pemandangan ini begitu terasakan ketika menghadiri pembukaan pameran MUSE Exhibition di Galeri Louis Vuitton, Tsim Sha Tsui, Hongkong, akhir mei lalu.

ruang pamer passion for creation
Pameran yang diselenggarakan di lantai atas butik Louis Vuitton ini mengetengahkan pameran karya kolaborasi label Louis Vuitton dengan desainer-desainer dunia. Tentu saja yang diharapkan dari kolaborasi ini pada awalnya adalah penemuan dan pertemuan cita rasa dari berbagai sudut pandang terhadap suatu karya (label). Jejak ini kemudian dimulai ketika Louis Vuitton memulai kolaborasi yang awalnya diinpirasi dari monogram ikonik LV.
Langkah itu kian progresif tatkala label Louis Vuitton mengundang desainer ternama dunia untuk membuat sebuah koleksi terbatas untuk memeringati 100 tahun monogram di tahun 1996. Mereka antara lain Isaac Mizrahi, Vivienne Westwood, Romeo Gigli, Helmut Lang, Manolo Blahnik, Sybilla dan Azzedine Alaia. Perusahaan yang awalnya bergerak dalam seni travel ini lantas mem-fashion-kan dirinya. Louis Vuitton mencoba membuat sebuah hubungan mesra dengan desainer terdepan.
Pertemuan ini lantas memunculkan beragam kreasi tas yang unik seperti yang terlihat dalam pameran. Peleburan itu memang terasa, kendati mongram LV masih mendominasi. Seperti terlihat dalam karya Vivienne Westwood. Desainer yang sangat dipengaruhi oleh gaya punk-70-an ini menginterpretasikan tas LV dari korset dan crinolin dengan gaya Inggris eksentrik. Izaac Mizrahi dari New York, menyulap kanvas ikonik LV menjadi sebuah tas transparan yang sangat memuja pada unsur simplisitas dan kenyamanan – sesuai dengan gaya hidup Amerika. Sementara itu, pematung fashion dan visionaris Azzedine Alaia membentuk gaya tas LV yang glamor dengan siluet perempuan.
Kehadiran Marc Jacobs sebagai Direktur Artistik tahun 1997, rupanya membawa hawa baru dalam label LV. Ia kemudian menafsirkan kembali makna sebuah karya, dengan melakukan kolaborasi dalam dunia seni, desain dan fashion. Ia pun mengajak Robert Wilson, Julie Verhoeven, Stephen Sprouse, Takashi Murakami dan Richard Prince untuk sama-sama mendefinisikan ulang pengalaman kontemporer dari seni dan kemewahan. Hasilnya pun bisa dibilang kian segar.
Pertemuan Marc Jacobs dengan Richard Prince, salah satu seniman paling inovatif sepanjang 30 tahun terakhir di Amerika, mengubah sudut pandang baru tentang apropriasi dalam karya. Prince mengunjungi kembali segala kanvas ikonik LV, termasuk Pulp Monogram misalnya, dengan satu bentuk interpretasi baru. Tak segan, Prince memasukkan lelucon-lelucon populer yang diambil dari tahun 1970-an untuk dicetakkan di atas monogram LV.
Dalam sentuhan berbeda, Stephen Sprouse membawa semangat punk 1980-an, dengan memasukkan unsur mawar di atas monogram, dengan warna-warna yang sangat mencolok. Sesekali, memberi nuansa baru atas monogram menjadi suatu graffiti. Sementara itu, seniman kondang asal Jepang, Takashi Murakami memberikan warna-warna dan motif komikalnya ke dalam karya kolaborasi dengan LV. Ia membawa keceriaan musim panas dengan bunga-bunga cherry yang segar dan membuai. Tak tanggung-tanggung, Murakami mengembangkan 33 warna – dari 3 warna- pada monogram LV.
Suasana pameran terasa sangat menyenangkan dengan kreativitas seniman Hongkong, Tsang Kin Wah. Ia melumuri ruang pamer yang bersih itu dengan suasana motif-motif yang ada dalam monogram LV yang dibangun dari teks yang vulgar dan sinis. Meski demikian, banyak pengunjung yang kurang kritis pada karya ini akibat terbuai pada bentuk karyanya yang indah dan berwarna-warni. Tsang seperti ingin menegaskan bahwa bahasa dan citra bisa saja digunakan untuk memanipulasi dan makna. Sementara itu, di tengah pameran yang eksklusif, seniman Doris Wong Wai Yin asal Hongkong justru membuat karya serupa dari kertas untuk membuatnya jadi barang tak berguna. Memang terasa satir, tapi juga membawa pesan mengenai seni dan komersialisasi kultur.
Di sini, kita seolah disadarkan tentang perjalanan sebuah karya sebagai sesuatu yang organik. Karya dan imajinasi lantas menjadi sebuah hal yang personal, kendati dalam pameran kolaborasi terasa ada percakapan antar LV dan penciptanya. Akhir kata, eksekusi berada di tangan penciptanya. Di luar itu, masyarakatlah yang menjadi penentunya. (Rustika Herlambang)

tsang kin-wah

vivienne westwood
Foto: RH dan dok LV.
Keberhasilan seluruh pameran ini tak lepas dari keleluasaan yang diberikan Marc Jacobs kepada para seniman untuk bebas berkreasi. ”Seni adalah kemewahan. Dan kemewahan adalah Louis Vuitton. Kerja sama ini terjadi dengan sangat alami,” kata Marc Jacobs dalam sebuah wawancara bersama wartawan dari berbagai negara di Asia di Hongkong. Baginya, mempertanyakan kembali makna seni adalah sesuatu yang menyenangkan dan penting.
Leave a Reply