Bulan di balik Awan Hitam

Gede Mahendra Yasa
Ia berdayakan seluruh kelemahan dan penderitaan selama bertahun-tahun menjadi sebuah kekuatan dalam menata hidup dan masa depan.
Di akhir senja, Gede Mahendra Yasa bisa bercerita tentang dirinya. Formalitas yang tampak di jam-jam pertama pertemuan tak lagi ada. Seniman Bali yang baru saja meraih penghargaan Award of Mapping Asia di CIGE 2009 ini rupanya memerlukan waktu yang khusus untuk memanggil mood-nya. Di atas balkon SigiArt, menghadap keramaian kota, dan matahari jatuh di kejauhan, ia “membawa” dewi menuju rumah-rumah masa lalunya nun jauh di sana, di Singaraja.
“Singaraja adalah Bali Utara,” Hendra, nama akrabnya, membuka pertemuan dengan perbincangan serius. Wilayah ini memiliki tradisi sedikit berbeda dibandingkan dengan Bali Selatan yang masih ketat memegang adat – tempat banyak seniman asal Bali yang namanya kini menanjak dalam percaturan seni rupa Asia Tenggara. Karena terletak di pesisiran, pernah menjadi ibu kota propinsi di masa pendudukan Belanda, kehidupan masyarakatnya jauh lebih dinamis. Apalagi ia dilahirkan dari keluarga berkecukupan dan tinggal di wilayah perkotaan. Ayahnya seorang dokter. Hubungan dengan tradisi Bali pun relatif longgar karenanya. “Boleh dibilang Bali abangan. Perkenalanku dengan wayang justru dari RA Kosasih.”
Tak ada satupun dari keluarga besarnya yang pernah bersentuhan dengan dunia seni. Tapi ia bersikukuh ingin jadi seniman yang menurutnya memberi banyak kebebasan. ”Makanya, aku dianggap aneh, karena saudara-saudaraku rata-rata menjadi profesional atau pegawai negeri,” kata Hendra. Ia kemudian mengambil pendidikan formal seni di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI/ISI) tahun 1998. Sayangnya, perkembangan seni rupa di Bali pada masa itu kurang kondusif dalam sudut pandangnya. Ia menengarai bahwa seluruh perkembangan seni rupa tengah bergerak menuju Yogyakarta sebagai pusat. Katanya,”Apa saja yang ada di Yogya, di Denpasar selalu ada duplikatnya.” Apalagi situasi ini juga masuk ke ranah kampus yang seharusnya ”bebas nilai”.
Situasi itu kemudian berkembang luas. Banyak seniman Bali yang tinggal dan bersekolah di Bali yang berada di luar ”garis besar” menjadi terpinggirkan, tak diakui, dan mengalami kesulitan ketika akan berpameran. Ia menjadi sangat kecewa dan merasa ”muak” menghadapi ketidakadilan dan dominasi hegemoni seni di Bali. Kondisi lingkungan seni lantas memaksanya menjadi “kiri” dan membuat sebuah aksi tandingan “Mendobrak Hegemoni” pada tahun 2001 bersama teman-temannya dari kelompok Taxu. Ia dan kelompoknya yang bergerak sebagai antitesis ini sempat menghebohkan dunia seni rupa di Bali karena membuat banyak pihak merasa tersudutkan. Respon yang diterimanya pun luar biasa: diteror, diskors, diusir dari kampusnya sendiri, diadukan ke polisi hingga dianggap sebagai kelompok mahasiswa yang frustasi.
Meski demikian, ia tak peduli, tetap kritis, dan melakukan segala sesuatu untuk dapat melepaskan diri (antitesis) dari pengaruh itu. Di tengah orang lari ke kontemporer, ia menuju Realisme Sosialis yang sudah ditinggalkan. Di saat seniman kontemporer (Bali-Yogya) mengambil inspirasi lokal, ia justru anti ikon Bali. Resikonya memang besar, termasuk melawan “pasar”: kelihatan tidak seperti orang Bali, tidak berciri, yang sebenarnya merugikan di tengah gejala seni rupa kontemporer yang membawa identitas keperempuanan, etnik, ras, dan agama. “Mau tak mau saya harus menanggalkan,” katanya. “Saya rasa, pasar hanyalah tren, yang suatu saat akan berubah, seperti halnya musim,” ia menguatkan dirinya sendiri.
Alasan itulah yang kemudian menjadi jawaban mengapa ia “menengok” ke Barat. Tiga pameran tunggal di Singapura, Malaysia, dan Jakarta dalam dua tahun terakhir, ia melakukan apropriasi karya Jackson Pollock, Robert Ryman dan Willem de Kooning. Karya terakhir itulah yang mengantarkan penghargaan CIGE Beijing. “Appropriasi adalah sebuah alat untuk melakukan studi sejarah seni. Kalau dalam sastra dikatakan bahwa pengarang sudah mati, demikian pula dengan karya seni,” ia mengutip Roland Barthes, semiolog asal Perancis. Mengapropriasi itu seperti aktor, katanya. Tantangannya adalah bagaimana ia bisa meniru pola pikir seniman tersebut dengan membaca biografi dan “memanggil” kembali perasaan Pollock, Ryman dan de Kooning dalam kanvasnya.
Dalam pameran tunggal di SigiArt beberapa waktu lalu, lukisan “woman I” karya de Kooning yang diapropriasi terlihat memancarkan pendar emosi yang sangat kuat. Percampuran warna, permainan tekstur, dan sosok perempuan yang dihadirkannya kemudian tampil sangat berdaya. “Saya sudah prediksikan sebelumnya, pasti soal perempuan yang akan ditanyakannya. Perlu saya tegaskan, saya hanya berkutat soal konsep. Tak ada makna. Dalam seni, saya berpikir ala konseptual, mendalam. Saya anggap, seni otak kiri-lah,” katanya tegas, mengelak segala hal tentang analisa karya dan karakternya.
Tapi beberapa waktu kemudian, ketika duduk dan menikmati kepulan-kepulan asap rokok yang dihembusnya terus menerus secara sedikit emosional, ia tiba-tiba berkata,” Aku pernah mengalami depresi selama hampir 11 tahun lamanya..” Raut mukanya yang ceria lantas sirna begitu saja. Ia lalu terdiam beberapa lama. “Itu sebabnya aku mudah sekali mendapatkan emosi Pollock ataukah de Kooning. Kalau mau mengeluarkan “roh”, aku tinggal panggil saja. Trauma, itu kan memori yang mau tak mau merupakan bagian dari sejarah hidup saya.” Ia terlihat begitu sedih tatkala satu demi satu penggalan kenangan masa lalunya terbuka- sesuatu yang sesungguhnya tak ingin dikatakan pada siapapun.
Serangan depresi pertamanya terjadi kala usianya menginjak 16 tahun. ”1983, Ketika Tuhan menjadi hantu”, katanya lirih. Penyakit warisan itulah yang rupanya selama ini telah menyembunyikan ia dari kehidupan bahagia dan membawanya dalam alam yang sepi, sendiri dan menyakitkan. “Rasanya seperti distorsi. Jadi kalau puisi mengatakan dunia ini begitu kelabu, deep blue, ataukah cerita bahwa dunia ini murung, ya itu memang benar-benar terjadi dalam duniaku,”katanya. Sensibilitasnya menjadi terganggu. Di antara orang-orang yang terbahak-bahak menyaksikan pertunjukan Srimulat, ia justru menangis terisak-isak. Kesendirian kian menjadi-jadi manakala banyak orang tak mengerti perasaannya. Ia kian dijauhi, kian tak dimengerti, sebagaimana ia tak pernah bisa memahami perasaan dirinya.
Ia merasa seperti kehilangan Tuhan, kehilangan kepercayaan hidup. Ia terus menolak kenyataan yang menimpanya hingga 9 tahun lamanya. Akibatnya, ia tak bergaul, takut keluar dari rumah karena selalu merasa paranoid pada sekolompok orang. “Saya selalu merasa, jangan-jangan gue yang diomongin.” Akibatnya, kuliah arsitektur di Institut Teknologi Surabaya (ITS) yang dijalaninya selulus SMA selama 2 tahun pun berantakan. “ Saya drop out, tapi saya pakai itu sebagai pelajaran. Saya melawan rasa kecewa dan kesendirian itu dengan membaca tanpa berhenti. Konsentrasi memang susah, tapi saya paksa.” Ia mendekam sendirian selama 10 tahun di rumah. Membaca menjadi sarana menghilangkan kelelahannya. Sementara itu, biografi seniman-seniman dunia yang dibacanya justru memberikan energi bagi jiwanya yang sudah babak belur tak tersisa.
Ketika serangan itu tiba-tiba menyerang, ia mengalami kesakitan yang luar biasa. Dorongan untuk bunuh diri sudah terlampau besar. “Tahukah kamu bahwa ketika itu tubuhku sakitnya luar biasa…? Fisik itu hancur. Rasanya, aku ini sudah selalu dibawa pergi ke bibir jurang dan tinggal selangkah lagi aku mati,” keluhnya. Tapi seperti watak aslinya, ia menolak, dan berusaha pergi dari kondisi menyakitkan ini dengan penuh perjuangan. ” Saya bilang ke orang tua, dan mereka membantu saya melakukan terapi habis-habisan.” Penyakit yang bakal menemaninya seumur hidup itupun kemudian dilawan –seperti ia melawan dominasi – dan ia berhasil melakukannya. “Dua tahun secara disiplin aku berobat dan sembuh sampai sekarang.” Ia akhirnya dinyatakan pulih di tahun 1994.
“Menjadi seniman bukanlah pilihan. Kalau seandainya saya “normal”, mungkin sudah jadi pegawai negeri, tamat sekolah, kerja dan menikah,” ia mengandaikan. Setelah sembuh, ia pun mengambil pendidikan lagi di ISI Denpasar ketika usianya menginjak 31 tahun. Pendidikan inipun akhirnya tak tamat karena faktor politis seperti disebutkan di awal wawancara. “Aku sadar, penyakit ini bisa mendapat tempat hanya di sini. Seni mentolerir itu. Mau gila juga boleh, yang penting bikin karya bagus. Saya tertarik karena kondisi itu merangsang sensibilitas saya,” katanya yang juga merasa beruntung karena di balik “kelemahan”-nya, ia memiliki sensibilitas berlebih dalam warna. “Bagi saya, alam yang saya lihat itu seperti manipulasi drugs, seperti alam yang dilihat oleh orang yang memakai mushroom, LSD atau cimeng. Begitu berwarna-warni.”
Pilihannya benar. Ia bisa menguasai diri, sementara “penyakit”-nya seperti mendapat tempat. “Saya tinggal memancing-mancing perasaan dan membangunnya. Kalau berhasil sih, oke.. Tapi ngerinya, ujung-ujungnya terapi, ha ha ha.. ” kali ini, ia sudah bisa tertawa. “Kalau saya pikir, penderitaan saya impas juga,” ungkap Hendra yang kini namanya sudah terus berada di garda depan seniman Indonesia di balai-balai lelang terkemuka di Asia Tenggara, dengan gaya seninya yang tetap berbeda jalur dengan seniman kontemporer Bali Yogya – yang sejak dulu ditolaknya.
Kebahagiaan ini lengkap dengan hadirnya “bidadari” yang menemaninya dari usia 16 tahun, Ketut Indira Dewi. “Perkawinan ini seperti opposite attract,”kata Hendra yang mencintai wanita yang sangat berseberangan dengan sifat-sifatnya yang- seperti dikatakannya sendiri- tidak normal, hangat dan memiliki imajinasi berlebihan.“Dia adalah counter part saya. Saya beruntung mendapatkan istri yang baik dan pendiam. Bahkan setelah menikah pun ia rela menunggu selama 9 tahun karena saya tak berani punya anak….” Tapi kini, dua jagoan kecilnya sudah menemaninya berkarya.
Itulah misteri kehidupan yang luar biasa baginya. Namun kesanggupan untuk menaklukkannya menjadi sebuah prestasi istimewa. “Ke depan, saya akan terus mengeksplorasi,” katanya. Sementara itu suasana malam terus menjelang. Di pinggir balkon itu, ia lalu tampak sibuk mencari bulan yang bersembunyi di balik awan hitam. (Rustika Herlambang)
Stylist: Karin Wijaya. Lokasi: SigiArt. Fotografer: Wisnu Wardhana
Ternyata kesuksesan itu banyak merahasiakan penderitaan. Selama ini kita hanya tahu tentang gemerlap suasana pasar lelang, taunya, jauh di lubuk hati terdalam, ada luka, ada lara.
Hendra,
aku bersimpati padamu
kisahmu, bisa memberikan inspirasi bagi banyak manusia di bumi ini, untuk selalu bangkit. menatap dunia.
apapun duka lara yang dialami.
Terima kasih, komentarnya Solihah
Semua manusia luar biasa memang pasti punya latar belakang yang tidak biasa. Bisa positif, tapi kebanyakan negatif, walau positif atau negatif itu juga relatif. Justru dari kekurangan, penderitaan, duka, kehancuran, kesia-siaan, apapun itu bentuknya, bagi yang bisa melewati akan menjadikan pribadi yang berbeda, kuat, berdaya, mampu dan paling bersinar. Didikan tanpa tantangan, hanya akan memanjakan, melenakan, dan tidak mendewasakan.
Kebanyakan kisah di blog ini mempunyai pesan moral ini, pahlawan yang bangkit dari reruntuhan, walau saya tahu bahwa bisa jadi lebih dahsyat true story nya. Mungkin off the record, atau narasi tidak tercatat ? Bukan kisah film, tapi kisah nyata, skenario dari atas sana.
Tetapi semua tokoh tidak hanya punya masa lalu, di depannya terbentang kisah panjang yang belum dituliskan. Masih ada di pikiran, dan sangat menarik untuk disampaikan. Dan itu porsi yang belum terlalu tergali di sini. Saya cenderung ingin melihat sejauh mungkin pandangan tokoh-tokoh ini, mimpi-mimpi mereka. Karena saya yakin, mereka harus menghancurkan comfort zone yang sudah dinikmati, harus bisa berubah, untuk bisa bertahan dan maju ke depan. Kalau tidak, waktu, dan dunia akan melupakan mereka, begitu saja.
Buat Pracety,
Terima kasih atas masukannya. Yah, begitulah yang terjadi. Kejadian nyatanya barangkali jauh lebih dasyat dari yang dikatakan, atau juga kutuliskan. Atau dalam kata lain – kisahnya jauh lebih sinetron daripada sinetron yang ada di Indonesia. he he he…
Seperti juga masa lalu, masa depan juga sebuah misteri yang kita tak pernah tahu bagaimana endingnya. Aku hanya mencoba menggali apa rencana, mimpi, dan obsesinya di masa depan. Sejauh apa yang bisa kugali, ternyata juga terbatas pada jumlah halaman. he he he.. Kisah mereka pun pasti tak akan pernah selesai kutuliskan, andai saja aku punya waktu untuk melakukannya.
Urusan lainnya, kembali ke para sumber-sumber yang kuwawancara. Apakah artikel kejayaan mereka ini hanya akan menjadi fosil, ataukah terus berkembang dan terus mematahkan sejarah-sejarah baru yang pernah dibuatnya.
salam!
Saya salah satu penikmat Blog Mba’, jujur saja banyak artikel yang “harus” beberapa kali saya ulang membacanya supaya lebih afdhol.. (semoga tidak ada argo nya) hehehe
Dari tulisan² di blog Mba, beberapa sangat mengedepankan porsi “pasangan-hidup” nya yang cukup dominan dalam setiap pembentukan karakter dari tokoh tersebut, walaupun porsi “orang-penting itu” yang ditulis dalam tulisan sang tokoh biasanya sangat sedikit… yang terkadang hanya 1-2 paragraf saja.
Tapi justru dari berbagai penggalan paragraf² kecil tersebut membuat saya sadar pentingnya “pasangan-hidup” yang membantu kita dalam pembentukan karakter individu kita sendiri…..
Saya jadi teringat pesan sineas alm. Yasmin Ahmad tentang “pasangan-hidup” bagi setiap orang yang pasti memiliki banyak kekurangan …….
“Many little imperfection that make them perfect for us..”
@ antonie triyono,
terima kasih atas masukannya… saya juga baru menyadarinya. kok ternyata mata batin saya ketika mewawancarai narasumber saya tak pernah lepas menyentuh pasangan hidupnya.
Kebetulan saya juga seperti disadarkan Gede Mahendra Yasa ketika dia bilang bahwa bagi seorang seniman, peran istri ternyata sangat luar biasa. Seniman, dengan segala keunikannya, hanya bisa dipahami oleh orang yang jiwa besar – di mana ia harus mau menerima keadaan suami dengan ego sangat tinggi dalam kehidupan kesehariannya. Masriadi- tak akan pernah jadi I Nyoman Masriadi dengan karya milyaran tanpa hadirnya Anna. Ugo Untoro, tak kan jadi Ugo, tanpa ada Mbak Yayuk yang menemaninya. Mahendra Yasa, mengakui, ia tak bisa menjadi dirinya kini tanpa kesabaran Ketut Indira Dewi.
Kalimat pesan dari sineas alm Yasmin Ahmad dari Anda, membuat saya bisa berpikir dengan lebih dalam tentang makna pasangan hidup dalam kehidupan banyak orang sukses besar -lepas dari itu mereka berlanjut ataupun tidak.
Terima kasih banyak, Pak Anthonie..
Hendra…
Tidak ada yang bisa mengenalnya dengan baik. Hanya sosok Ibu yang selalu menjadi “pengawal” meluruskan jalannya kembali. Hendra sosok yang angkuh, sombong, egois, anti sosial, bagi yang mengenalnya di permukaan. Hendra bukan orang yang mudah diajak bicara, sehingga ketika ada mood-nya untuk mengajak bicara maka pembicaraan itu menjadi istimewa walaupun ringan. Hendra saya umpamakan as a “dark patron” like there will be no light without darkness, as “dexter”. Jeli memperhatikan gerak-geriknya, Hendra si jenius dlm keluarga ini tanpa sadar menjadi contoh bagi keponakan, adik dan saya sendiri. Hendra menjadi sosok yang membuat orang lain iri atas kejeniusan dan keberhasilannya di dunianya. Hendra dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah memberikan standar maksimal kualitas kecerdasan “to be able to survive in this horrific life”.
Helo,
Saya menulis buku tetang Bali, dan pas ada di Bali waktu ada pameran “Mendobrak Hegemoni”, yang tokohnya Hendra. Saya mau include itu di buku. Saya mau minta fotonya dari Hendra untuk masukkan ke buku. Sudah lama saya coba menghubunginya, tetapi belum bisa. Sekarang dapat kemungkinan untuk menerbitkan buku, tetapi harus selasainya dengan cepat. Saya mau minta suruh dia menghubungi saya secepat mungkin.
Terima kasih,
Aniko
aniko_photo / at / yahoo / dot / fr
Saya Akan sampaikan ya… Memang Hendra agak introvert.
Mba Tika…saya adalah seseorang yg selalu kagum terhadap orang2 sukses yg bisa bangkit dari keterpurukan…dan orang yg memegah teguh prinsip hidupnya dan tegar berdiri meskipun orang2 disekitarnya melecehkan,menghina dan menganggapnya aneh….
Nyaman sekali rasanya membaca artikel2 mba…
Saya seperti berada di dunia yang selama ini tidak bisa saya ekspresikan…
Dari kecil saya adalah penyuka dan penikmat keindahan,khususnya lukisan dan tulisan…
Ingin sekali suatu saat saya bisa mengekspresikan gejolak yang ada dalam dada saya….
Membaca artikel Mahendra Yasa yang bisa bangkit dari sakit selama 11 thn… Wooowww….sungguh menjadi inspirasi bagi saya…
Ternyata benar…”Tak ada kata terlambat” untuk meraih mimpi….