Nyanyian Tubuh

dolorosa sinaga
Ia sublimasikan tradisi menyanyinya dalam tubuh-tubuh patung-patung yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan untuk perempuan
Bila diandaikan sebuah musik, patung-patung ciptaan Dolorosa Sinaga tentunya membentuk sebuah orkestra musik yang indah dan dramatik. Situasi ini terbangkitkan melalui bentuk keseluruhan patung yang begitu bergerak dan bercerita. Terlihat dari struktur tubuh, eskpresi, gestur, gerakan, tekstur patung, yang akhirnya memunculkan sebuah gerakan, melawan, bermain sepenuhnya mengikuti kata hati. Perasaan itulah yang muncul ketika dewi memasuki ruang studio Dolorosa akhir Juni lalu. Patung-patung yang “menghuni” ruangan seperti hidup, melayang-layang ruhnya, dan seolah ikut bercengkerama dengan makluk hidup yang memasuki wilayahnya.
Di luar ruangan, Dolo tengah menepuk-nepuk patung perempuan yang dibuat dari lempung khusus dari Yogyakarta, sambil bercengkerama dengan beberapa asistennya. Kaus warna ungu yang sudah berlapis lempung dan sarung kotak-kotak senada yang diikat begitu saja menjadi kawan bekerjanya. Musik pengiringnya campur aduk dari lagu dangdut dari radio, salakan anjing-anjing peliharaan Dolo yang bereaksi bila ada orang melewati wilayahnya, desir dedaunan tertiup angin, raung kendaraan dari jalan raya, dan musik klasik dari kantor studionya. “Sebenarnya tak ada kesengajaan unsur musik masuk dalam patungku, karena semua konsep patung sudah ada dikepala sebelum bekerja. Bekerja sambil mendengarkan musik lebih menyenangkan dari pada sunyi, musik bisa memberi semangat”.
“Eh, tapi sebenarnya aku senang musik,” ujarnya tiba-tiba. Darah Batak, asal Sibolga, Sumatera Utara, ini rupanya mengkonfirmasi kesukaannya pada musik. “Aku juga main piano dan main tennis loh, sampai sekarang,” ia menegaskan kesukaannya. Sementara itu, musik yang disukainya beragam dari musik klasik, jazz, musik tahun 1970-an sampai musik reggae pun bisa dia apresiasi. Mungkin kesukaannya pada musik telah menambatkan pilihan hatinya pada Arjuna Hutagalung, yang pernah mengajar di Jurusan Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang menjadi suaminya kini. “Selain musik, dia juga mengajarkan aku tentang asas keadilan saat melihat persoalan,”ucap Dolo yang terobsesi pada Led Zeppelin.
“Itulah yang aku heran, kenapa akhirnya ke seni rupa,” katanya kemudian. “Aku berusaha mengingat-ingat, kapan aku mulai senang menggambar (sebelum akhirnya terjun ke patung). Seingatku ada dua kawanku teman sebangku, kawan di SD dan kawan di SMP – aku memang tak pernah sebangku dengan perempuan – yang memengaruhiku,” ujarnya mengingat bagaimana asyiknya teman tersebut saat menggambar sendirian. “Kok kayaknya ketika menggambar, tak ada dunia lain di sekelilingnya. Lama-lama aku ikutan. Kupikir, mereka inilah yang membuat aku suka menggambar, karena ketika melihat mereka menggambar, mereka bisa merasakan kemerdekaan dan kebebasan yang luar biasa.”
Ia pernah juga menanyakan pada ibunya apakah kesenangan menggambar ini sudah terlihat sejak kecil. Namun yang terpikir dari ibunya justru hal yang mengejutkannya. “Katanya, aku sangat bandel, kerjanya nangis melulu. Lucunya, kalau aku nangis, anjingku yang berwarna hitam itu ikutan menangis di sebelahku! Auuuuuu…. ,”Dolo menirukan tangisan anjingnya dengan ekspresi yang justru mengingatkan pada gaya seringai serigala. “Mungkin dulu aku diharapkan jadi laki-laki. Maklum aku anak keempat, kakak-kakakku perempuan, trus sering dipakaikan celana monyet,” anak keempat dari 8 bersaudara ini akhirnya menjadi gadis tomboi. “Aku main kelereng dan main sepak bola jadi penjaga gawang. Aku pernah berantem dan memukul teman lelakiku yang merebut kelerengku. Eh, dianya ngadu ke ibunya. Ibuku pun pusing memikirkan aku,” ia tertawa terbahak-bahak. “Aku benci mainan perempuan, seperti main boneka, tapi lucunya, aku suka di dapur, memasak!”. Ia menolak pandangan bahwa pekerjaan memasak adalah pekerjaan perempuan , karena justru tukang masak atau chef-chef terkenal dunia biasanya berjenis kelamin lelaki.
Masa kecilnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti sang ayah. “Dulu Bapakku pernah kerja di Pemerintah dan akhirnya memutuskan keluar karena kondisi yang buruk, harus ikut korupsi. Ia lalu bekerja di Asuransi Jiwa Bumiputera sebelum akhirnya mendirikan perusahaan bernama Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, yang kini diteruskan oleh adik lelakiku,” kisahnya. Dalam kehidupan keluarga, ayahnya memegang kendali untuk masa depan anak-anaknya. Itu sebabnya, sang ayah kurang suka ketika ia memilih Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ/ kini IKJ) karena kehidupan seniman sangat bebas dan merdeka dan pada masa itu dianggap tak sesuai untuk perempuan. “Bapakku bilang, ‘kau sekolah dua tahun saja di sana,” Dolo mengutip kata-kata ayahnya yang akhirnya tak terwujud karena dalam dua tahun pertama ia berhasil meraih penghargaan Utama dalam Kompetisi Seni Lukis Mahasiswa tingkat nasional di Indonesia. “Pusing deh Bapakku….”
Ia merasa ayahnya sangat kecewa sehingga sempat tak bersedia membayar uang kuliahnya untuk beberapa waktu. “Aku pun terpaksa cari uang sendiri untuk bayar kuliah, walau dari belakang ibuku diam-diam memberi uang untuk beli cat, kertas dan kanvas,” katanya. Namun keadaan itu lantas berubah mana kala sang ayah melihat dan menemukan banyak karya seni seperti yang dibuat oleh anak perempuannya di tempat-tempat yang representatif saat berkeliling ke manca negara. “Sejak saat itu, ia selalu mengapresiasi dan mendukung,” Dolo terlihat tersenyum. Tanah luas yang menjadi studionya kini adalah bagian dari rasa kasih sayangnya itu. “Dialah yang member saya tempat dan punya studio, dan mengatakan, ‘Kau kembangkanlah dirimu’.
Setelah lulus dari LPKJ, ia mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pendidikan post graduate-nya di St Martin’s School of Art di London, serta berbagai short courses/training di bidang patung di Berkeley, San Fransico, Maryland, berdasarkan beasiswa yang diterimanya. “Karena aku belajar atas uang orang lain, aku mesti kembalikan hasilnya itu buat orang lain, yakni masyarakat. Ini komitmen yang aku wujudkan melalui karyaku. ”
Perjalanan karyanya kemudian terfokus pada seni patung ternyata bukan sebuah kebetulan. Ia merasa menemukan “chemistry” pada patung ketika menjelang ujian akhir di LPKJ. “ Ternyata aku lebih senang pada volume waktu bekerja, membentuk massa menjadi sebuah ekspresi, dan kerja keras seperti laku-laki! Aha itu, benar, ini sebuah pengakuan,” ia tertawa keras-keras. “Aku kini bertanya, apakah ada hubungannya dengan sejarah kelahiranku yang diharapkan sebagai bayi laki-laki. Karya patung pertama Dolo berupa figur abstrak yang dibentuk dari lempengan lilin. Gaya yang disebut sebagai “kepipihan” ini telah membuatnya termahsyur.
Belakangan, ia memilih figur perempuan. Mungkin saja ia ingin melesapkan seluruh energi keperempuanan yang dimilikinya melalui figur perempuan yang dibuatnya. Sampai pada tahun 2005, hanya ada dua karya figur lelaki yang dia buat yaitu DalaiLama dan Wiji Tukul. Perempuan-perempuan yang dibentuknya hampir semuanya memiliki bentuk tubuh yang tipis dan gelung rambut yang mengingatkan pada bentuk tubuhnya sendiri. Figur-figur itu seperti berteriak, menyampaikan sesuatu yang pedih, tapi tetap terlihat artistik. “Itu sebuah metafora bahwa dalam keindahan itu ada pengorbanan, ada luka, kepedihan. Tak tahu mengapa perempuan tiba-tiba menjadi fokusku. Dari penghayatan dan pengalamanku, masalah perempuan mengambil perhatianku. Sejak itu aku mengambilsikap dalamberkarya, dan memutuskan bahwa karya-karyaku adalah tentang mereka, karena merekalah yang perlu dibela.”
Setiap patung yang dibuat, ia selalu menyampaikan pesan yang dalam, atau bahkan sebuah perenungan. “Dalam keringkihan, perempuan itu tetap kuat. Saya buat strukturnya sangat kuat,” ujarnya. “Aku ingin menyampaikan sebuah citra perempuan yang terus melawan ketidakadilan. Penindasan terhadap perempuan harus dilenyapkan dari muka bumi, karena mereka adalah mata rantai kehidupan di bumi,” katanya berapi-api.
Apakah karena empatinya pada soal-soal perempuan yang membuat patung-patungnya begitu berjiwa? “Ha ha ha… saya tak tahu bagaimana ruh itu muncul dalam karya-karya saya. Tapi barangkali rasionalisasinya mudah. Aku beruntung punya pengalaman bahwa aku ditempa untuk selalu melihat dari dalam, baru ke luar, bukan dari luar ke dalam. Jadi, baik dalam materi di mana semua gestur itu memberikan arti dalam ekspresi, di mana setiap struktur juga harus mendukung. Pemahaman ini aku dapat waktu belajar di Inggris.” Di sana, ia dididik mempelajari tubuh manusia seperti layaknya di laboratorium. Belajar tentang bangun manusia dari Dokter ahli tulang dan otot. Di studio sekolah tempat kami bekerja, proyek tentang figur ini dibuat tidak dengan medium tanah liat yang memiliki massa, melainkan dengan medium kertas. “Tapi dari situ aku paham maksudnya, bahwa studi tentang tubuh manusia membuat kita mesti menemukan bentuk, ada gagasan inovasi diajarkan di sini.”
Persoalan teknis tentu saja sudah dikuasainya dengan baik. Ibaratnya, sambil menutup matapun, ia mampu mencipta patung figurnya. Lalu ia menjelaskan beberapa hal lain yang perlu dipertimbangkan diluar penguasaan teknik dalam berkarya, anatar lain membangun kepedulian dalam dirinya. “Dengan kepedulian, kita bisa membangun rasa simpati, mengasah kepekaan rasa. Mengasah tidak dengan meletakkan diri seperti melihat dari atas, tapi merasakan seperti mengalami,” ungkap Dolo yang kemudian mengutip dari dosen ahli tulangnya,” Kamu hanya bisa menemukan bentuk ketika kamu merasakannya. Kalau kita tidak merasakan apa yang dirasakan orang lain, kita tidak akan mungkin bisa mengeluarkan rasa itu (di patung).”
Baginya, pekerjaan ini adalah sebuah pertaruhan. Apa yang sudah dikerjakannya harus memiliki makna buat orang lain. “Aku berkarya seperti studi. Ini yang mengasah bentuk, melakukan interpretasi, menemukan ekspresi bentuk. Mempelajari figur bukan untuk menirunya, tapi untuk mencari esensinya ke dalam sebuah makna,” lanjutnya. “Aku menyatakan suatu ekspresi untuk menyuarakan, barangkali dengan melihat ekspresi itu orang dapat merenungkan kembali pengalaman yang pernah ia alami atau yang pernah dia ketahui. Menguatkan ingatan orang pada hal-hal yang mudah dilupakan.” Seperti ketika akhir-akhir ini ia gemar menyentuh patung-patung sepasang kekasih yang berdekapan dan berciuman dengan hangat. “Sekarang aku mulai bicara juga soal cinta, kasih sayang dan kehangatan. The power of love.” Itulah Dolorosa Sinaga, perempuan 56 tahun, yang mendapatkan Penghargaan Anugerah Seni 2009 dari Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 26 Juni. Ia memakai profesinya untuk memformulasikan tanggung jawabnya sebagai seniman yang peduli pada persoalan perempuan dan kemanusiaan. (Rustika Herlambang)
Catatan:
Bukan berlebihan kiranya bila ada pendapat yang mengatakan bahwa memasuki dunia Dolorosa Sinaga seperti halnya memasuki Neverland. Hanya 10 meter dari jalan raya Taman Mini Indonesia Indah yang begitu padat, tiba-tiba kita dihamparkan dalam suasana pedesaan yang asri, tempat pematung perempuan ini menciptakan patung-patungnya.
Pertemuan kami berlangsung dalam suasana yang ajaib. Di sebuah teras rumah yang mengingatkan pada situasi rumah di Jawa tahun 70-an, dengan gebyog jawa, menampilkan pembicara Batak dengan majalah Tapian untuk orang Batak, iringan musik alam, gesekan dedaunan, raung kendaraan dari jalan raya, dan sayup-sayup musik klasik dari dalam rumah. Di atas meja, terdapat patung-patung kecil sedang bercengkerama, yang rasanya, mereka ikut memperbincangkan pembicaraan kami. Saya bilang, ruh patung-patung itu terasa nyata melayang-layang di antara kami, dan pembuat patung itu, Dolorosa Sinaga, tertawa mendengarnya. Di tangannya, menu gudangan, tahu, dan karak, disantap dengan nikmatnya.
Leave a Reply