Aktivis LSM Bersepatu Boot

yuyun ismawati
Ia ingin menjadi bagian dari sebuah perubahan. Kendati untuk itu ia harus berbenturan dengan segala persoalan yang sepertinya tak bisa diselesaikan
Apa lagi kata yang lebih tepat untuk menggambarkan Yuyun Ismawati kecuali sifat pemberontaknya yang sangat menonjol? Ibu tunggal dengan dua anak perempuan ini memang benar-benar memberontak dengan segala sistim yang ada dan mencoba menciptakan tatanan tersendiri yang menyangkut sampah dan sanitasi –sesuatu yang pasti tak berbau wangi dan selalu dijauhi. Sebaliknya, ia memikirkan, menggalang, dan melata bersama komunitas masyarakat pengguna sampah sehingga sampah menjadi benda yang berharga sebelum akhirnya dibuang. Atas dasar itulah ia mendapatkan penghargaan Goldman Prize Award 2009, atau yang sering disebut nobel dalam bidang lingkungan.
Ada banyak pesan yang disampaikan melalui kemenangan ini. Salah satunya ia ingin membuat teknologi – sesuatu yang selama ini dikaitkan dengan maskulinitas atau kerumitan – menjadi sesuatu yang lebih mudah dan memasyarakat, selain tentunya ia membangkitkan semangat kaum miskin untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. “Menunggu bantuan dari pemerintah pasti akan sangat lama, apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang kita miliki. Jadi memang tak terlalu fancy atau gigantic technology, karena sistem yang saya dan kawan-kawan perkenalkan memang demistifiying engineering, low cost technology, tak menggunakan listrik, atau bahan kimia dan mudah dikelola oleh masyarakat,”ucapnya. Sistem sanitasi yang diperkenalkan mitra LSM Jermannya dan lalu dikembangkan Yuyun kini sudah tersebar di 300 lokasi di seluruh Indonesia dan diadaptasi di Zambia, Afrika Selatan, India dan Filipina.
Ia bukan sama sekali menolak teknologi yang gigantic, melainkan melihat pada fakta yang ada dan manfaatnya bagi orang banyak. Teknologi tinggi seperti insinerator (alat pembakar sampah) yang rupanya membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya sangat meresahkannya. Dari berbagai penelitian, abu insinerator ditengarai mengandung senyawa karsinogenik dan partikel nano hasil pembakaran yang bisa masuk langsung ke dalam paru-paru dan menimbulkan penyakit ISPA serta kanker. “Maaf ya, kalau berbincang-bincang sama aku kadang terasa seram-seram. Tapi itulah kenyataannya.” Yuyun sekaligus memberikan alasan mengapa ia akhirnya bersama beberapa LSM Indonesia Oktober 2008 yang lalu mendirikan Indonesia Toxics-Free Network (IFTN) untuk menyoroti isu pengelolaan limbah dan bahan berbahaya beracun.
Dan ketika menerima penghargaan bergengsi tersebut, ia merasa seperti mendapatkan suntikan energi luar biasa. “Kaget, saya tak mengira, apa yang saya selama ini saya kerjakan, dan membuat banyak bingung orang lain, terutama ibu saya, ternyata mendapat apresiasi yang luar biasa,” Yuyun tertawa mengingat sang ibu yang hingga saat menemani Yuyun di San Fransisco saat penerimaan penghargaan bergengsi itu masih juga tak tahu apa yang membuat anaknya yang “pekerjaannya” mengurusi orang lain, menyuruh orang lain membersihkan sampah, membersihkan WC, itu bisa mendapat penghargaan internasional. “Itu sebabnya, waktu speech di Goldman, saya sampaikan ‘sulit bagi keluarga saya untuk mengerti apa yang saya lakukan, terutama ibu saya, tapi dengan ini saya katakan bahwa saya tidak sendirian.’ Mungkin saya dianggap langka atau aneh, tapi orang yang melakukan hal yang sama dengan saya ternyata ada banyak.”
Ia lalu tersenyum. Penggalan-penggalan kenangan masa lalunya dengan segera berhamburan di lorong Galeri Cemara tempat wawancara dilakukan. Ia terlihat sangat antusias mengisahkan liku-liku hidupnya yang unik dari masa kecilnya. Yuyun (45) dibesarkan di sebuah lingkungan militer yang sangat ketat. Sebagai anak tentara, hampir dipastikan ia tiap tahun pindah dari satu daerah ke daerah lain mengikuti tugas sang ayah. Antara lain, Bandung, Cirebon, Kupang, dan Waikabubak. “Tapi ketika Ayah jadi bupati di Bima, saya memilih sekolah SMA di Surabaya, dan menolak membeberkan identitas saya. Kalau ada teman membocorkan atau mengatakan pada teman lain bahwa saya anak bupati, saya pasti marah sekali. Saya enggan dikenal sebagai anak bupati.” Sementara itu, sang ibu adalah seorang ibu rumah tangga sejati di mata Yuyun yang sangat memahami anak-anaknya.
“Sebenarnya cita-citaku ingin jadi dokter. Aku diterima di fakultas kedokteran di Perintis III, tapi aku juga diterima juga di Teknik Penyehatan ITB. Makanya aku mengajukan diri ambil kedokteran saja. Tapi ayahku marah-marah dan memaksaku masuk ITB,” kisahnya. Argumen itu sebenarnya sangat bisa diterima akalnya mengingat ITB adalah sebuah nama besar universitas di Indonesia. “Itu sebabnya, aku malas-malasan kuliah hingga dua tahun pertama. Kerjaku main-main dan ikut organisasi kemahasiswaan. Dan yang pasti pramuka… ha ha ha.. aku ini memang pramuka sejati,” kata Yuyun yang akhirnya jatuh cinta pada fakultasnya setelah terjadi perubahan kurikulum dari teknik sanitasi menjadi teknik lingkungan yang dianggapnya memiliki perspektif lingkungan yang lebih luas.
Di kampus ini, Yuyun tumbuh dewasa dan menjadi kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Masa mahasiswanya bersamaan dengan masa puncak orde baru di mana penyeragaman pendapat dan depolitisasi terjadi di kampus-kampus mengakibatkan segala hal yang berkaitan dengan aktivitas kemahasiswaan terepresi karenanya. Akibatnya, ia ikut membenci sistem kemiliteran yang masuk ke dalam lingkungan pendidikan masa itu melalui NKK (Normalisasi Kegiatan Kampus).
Ia mungkin lupa bahwa ayahnya adalah seorang militer sejati yang karena prestasinya diangkat menjadi bupati. Ia menyadari sepenuhnya betapa kecewanya sang ayah ketika mendapatkan putri sulungnya mengenakan kaus T bergambar rakyat tertindas melawan tentara dengan tulisan: Pembangkang yang Terhormat, menemukan poster dan buku-buku anti militer di kamarnya, yang lantas dibuang oleh sang ayah dengan sangat marah. “Aku bilang proporsional saja, pada saat tertentu Indonesia butuh tentara, tapi pada saat lain, Indonesia butuh belajar demokrasi. Saya tak membenci militer, tapi sistemnya. Dan ternyata, baru tahun 1998 hal terjadi. Peristiwa inilah yang membuat aku selalu berpikiran bahwa ‘aku ingin membuat perubahan’, ‘aku ingin membuat perubahan’, dan aku ingin menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.”
Hal yang kemudian dilakukannya: ia menikah dengan anak bungsu DN A, tokoh yang dianggap sebagai musuh negara nomor satu oleh kekuasaan Orde Baru – sebuah persoalan mendasar yang hingga kini tak juga diselesaikan oleh negara. “Menurutku, kita harus memberikan penjelasan yang berimbang pada publik. Jangan telan “brainwash” kekuasaan mentah-mentah. Aku bersimpati pada hal itu. Kita harus memerjuangkan keadilan.” Kendati untuk itu, ia harus membayar mahal atas pilihannya. Ia “dibuang” oleh keluarganya, terutama ayahnya, hingga putri sulungnya berusia dua tahun. “Kami (dia dan suami) hidup susah sekali, dari nol, dan kemudian melahirkan anak yang lahir premature. Ini semua pukulan berat bagi saya,” desahnya.
Selulus kuliah dan menikah, ia lantas bekerja sebagai konsultan air bersih pedesaan di Bandung (1989-1992). Namun ia tetap saja merasa belum menemukan suatu pekerjaan yang menyentuh hatinya. Ia kemudian pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai konsultan lingkungan di Amdal (Analisa Dampak Lingkungan) dan konsultan proyek-proyek infrastruktur. Tak puas, ia menjadi dosen di Trisakti. “Aku rasanya frustasi. Jadi konsultan kok, hasilnya cuma jadi buku, tak bisa memberikan suatu perubahan apapun,”ujar Yuyun yang kemudian memilih untuk pindah ke Bali tahun 1996, mengikuti sang suami, seorang arsitek, yang kebetulan mendapat proyek di sana.
“Pikiran saya waktu itu, saya ingin memberikan memori yang indah bagi anak-anakku. Bali memiliki pemandangan yang indah dan pulau internasional. Kebetulan kondisi situasi sosial politik memungkinkan, selain memiliki bandara internasional sehingga sewaktu-waktu kita mau escape mudah,”ujarnya ringan. Escape? Dia lalu tertawa dan menjelaskan,”Tahun 1998 saat terjadi reformasi, kondisinya kan rumit. Kita tak pernah tahu dengan apa yang terjadi selanjutnya. Jadi kami selalu siap-siap.” Kisah hidup suaminya dan sejarah yang tak pernah menyelesaikan persoalannya membuat pengalaman bersama suaminya bukan hal yang mudah pula dilewati.
Awalnya, ia hanya ingin bekerja sebagai volunteer di Yayasan Wisnu, sebuah LSM lingkungan di Bali. Karena dianggap overqualified, ia diberikan jabatan sebagai Direktur untuk mengembangkan yayasan tersebut yang kala itu hanya “berbekal” dana sebanyak Rp. 250 ribu di rekening dan dua orang staf. “Belakangan aku sadar, ketika temanku arsitek, Popo Danes bilang padaku: Yun, kamu juga seorang arsitek, karena build something from the scratch.. ha ha ha, senang juga, ternyata arsitek tidak hanya bikin bangunan,”ujar Yuyun yang kemudian berhasil mengembangkan LSM tersebut.
Persoalan sampah adalah hal pertama yang terpikirkan ketika ia tiba di Bali. Keindahan dan kebersihan ternyata hanya dinikmati di wilayah-wilayah pariwisata. Di kampung-kampung, satumeter dari jalan raya, sampah menumpuk di mana-mana. Itu sebabnya ia langsung tergerak untuk melakukan perubahan dalam bidang lingkungan khususnya mengenai sampah. “Karena tak ada orang yang mau mengurusi sampah. Sementara, sampah adalah persoalan nyata yang dialami oleh setiap manusia,” ia beralasan. Juni tahun 2000, ia bersama 4 orang kawan akhirnya mendirikan LSM sendiri, Bali Fokus, yang bergerak dalam isu lingkungan perkotan dan pemberdayaan masyarakat.”Sampah itu ‘kan sebetulnya sustainable business, sepanjang manusia masih nyampah, pasti bisnisnya jalan. Kalau orang lain menganggap sebagai masalah, buatku ini menjadi peluang.” Apa yang diperbuatnya boleh jadi merupakan inovasi karena tidak ada satu perusahaan pun yang mau mengangkut sampah untuk dibawa ke fasilitas mereka, kemudian dipilah-pilah, sebelum akhirnya dibawa ke tempat pembuangan akhir.
“Itu adalah perjuangan pertama saya ketika berhadapan langsung dengan masyarakat. Ketika itu belum ada seorang pun yang mengerjakannya. Saya panas dingin saat menjelaskan pada mereka. Syukur mereka mau percaya dengan apa yang saya sampaikan. Tapi gara-gara itu, aku sangat berhati-hati dengan mulutku, karena apa yang kukatakan orang lain mendengarnya,”kata Yuyun yang rupanya terpengaruh pada The Secret, if you say to the universe, the universe will send it back to you and it will be happen. Tapi buru-buru ia menambahkan bahwa kemenangannya di Goldman adalah sesuatu yang tak pernah terungkap dari dirinya melalui kekuatan The Secret.
“Yang ini karena kerja. Di rumah nggak ada kerjaan karena single parents. Ha ha ha.. dan aku bisa bosan kalau hanya mengerjakan satu hal saja. Buatku, makin hectic, makin menantang, makin aku bersemangat,” Yuyun akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan suaminya di tahun 2003, sebuah peristiwa yang memunculkan tekanan hidup luar biasa pada dirinya. “Saya mulai dari nol lagi, tak punya apa-apa, dan harus bekerja keras untuk dua anak saya dan staf saya,” kata Yuyun yang lantas seperti mabuk dalam dunia pekerjaan demi mengusir kesedihan. Yang membuatnya termotivasi justru para “kliennya”. “Aku melihat masyarakat di kampung-kampung lebih sedih dari aku. Aku ngerasa masalahku tak ada apa-apanya dibanding mereka. Inilah yang membuat aku termotivasi. Syukurlah aku bisa bantu mereka.”
Perjuangan tak selalu berjalan mulus. Akhir tahun 2007 lalu, ia bersama dua kawannya dari US, India dan Filipina, ditangkap polisi Bandung dan ditahan selama 24 jam atas aktivitasnya. Ketika itu ia menolak dibangunnya pembangkit listrik tenaga sampah yang hanya berjarak 200 meter dari permukiman yang ditengarai memiliki dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan. Bahkan untuk itu ketiga kawannya dideportasi. Begitulah, ia tak kapok untuk menyuarakan berbagai hal yang membahayakan keselamatan umat manusia dan efek rumah kaca. “Teman-teman yang tahu perjalanan hidupku selalu bilang: against all odds.. you rock, lady!” ha ha ha… istilahnya itu yang selalu membuat aku merasa geli,” ia lalu menceritakan tentang darah pemberontak yang rupanya kental dari dirinya dari turunan kakek neneknya. Kakek ibunya adalah keluarga Arab pedagang di Semarang yang membelot jadi pejabat publik di karesidenan. Punya gelar raden tak pernah mau dipakai. Kakek dari ayahnya, dari Banten, masih satu famili dengan Surjadi Surjadiredja, mantan Gubernur DKI, yang konon malah menjauhkan diri dari klan dan pindah ke Cimahi.
“Mungkin anakku lebih parah. Mantan ibu mertua keturunan RA Kartini, Bapak mertua sekeluarga dengan Marah Rusli. Terbayang deh anakku, bakal jadi better atau rebel than me ya…” ucap Yuyun. Anak sulungnya yang dulu lahir premature kini kuliah di FE UGM dan sedang menjalani summer semester di universitas di Hiroshima, Jepang, sementara putri keduanya baru saja lulus SMP. “Dia dulu ketua Osis loh,”katanya bangga. “Tapi sejujurnya, aku merasa bersalah sama anak-anakku. Sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk pekerjaan,” tukasnya sedih.
“Pernah anakku nomor dua itu menangis sepulang sekolah ketika bertanya tentang darah yang mengalir dari kakeknya dan kebenaran pelajaran sejarah versi gurunya. Kukatakan, ‘itu hal yang tak bisa terelakkan dalam dirinya. Satu hal yang bisa dan harus selalu kamu lakukan adalah kerjakan yang terbaik, dan biarlah orang lain yang menilai kita. Tapi, bukankah di sebagian dirimu juga mengalir darah ibumu? Seseorang yang kamu banggakan?’,”ia mengisahkan sebuah pengalaman yang memukul perasaannya ketika mendapati anaknya frustasi karena buku pelajaran sejarah yang masih saja belum berubah. “Malamnya, saya menangis mengingat kesedihan mereka,” ujar Yuyun yang kini patut berbahagia. Anak sulungnya pernah mendapatkan emas dari olahraga taekwondo dan penghargaan sebagai pemain teater wanita terbaik di wilayahnya. Ia yang berusaha mengajak masyarakat menyelesaikan masalah lingkungannya sendiri itu rupanya juga piawai meredakan masalah yang terjadi pada diri dan keluarganya.
Keistimewaan Yuyun tak berhenti pada soal prestasi. Kisah hidupnya ternyata jauh lebih istimewa dari apa yang teraba dari kesan yang teraut pada wajahnya yang selalu tergores senyuman riang. Ketangguhan pribadinya bukan terletak pada sepatu boot militer yang selalu dikenakannya, tapi pada kekuatan pikirannya dalam mengelola segala hal yang sepertinya tak bisa terpecahkan itu menjadi mudah untuk dijalankan –untuk mengambil alasan Goldman saat memberikan penghargaan padanya. “Kekuatanku ternyata terletak pada komitmenku bekerja dan berbuat untuk orang banyak,” katanya yang kemudian menemukannya kembali pada sosok sang ayah – yang berhasil mengubah wilayahnya yang kekeringan dan rekor mati karena kelaparan menjadi lumbung beras dalam 10 tahun pemerintahannya.
“Aku baru sadar sekarang, ternyata cara kerjaku sedikit banyak dipengaruhi dan terinsipirasi oleh ayah. Bahkan aku suka mengenakan baju-baju ayah,”kata Yuyun yang di sisi lain, ia kian merasakan betapa banyak sekali “darah” ayahnya yang kemudian mengalir pada dirinya, selain tentu saja tekanan hidup yang dirasakannya selama ini telah membentuk jiwa dan dirinya. Ia lalu mengenang saat ia membuat acceptance-remarks saat di Goldman Award Reception. “Saya katakan: ‘I dedicated this award for my late father who had show me how to work and lead the people with passion..’Lalu adikku bilang, ‘Papap di sana pasti akan bangga padamu,sis..’ Waaa saya langsung nangis…”
Tapi kemudian, raut mukanya berubah. Ia memang sangat mudah berpindah dari satu ekspresi ke ekspresi lainnya dengan cepat. “Aku harus segera menata masa depanku dan anak-anakku. Tahun depan, aku akan kuliah lagi di jurusan manajemen lingkungan, Universitas Oxford, beasiswa dari Ancora Foundation, Gita Wiryawan Fellowship,” katanya. Lalu ia menitip pesan dalam bahasa Jawa,” Doakan ya, semoga lancar sehingga aku bisa lebih banyak membantu perempuan dan manusia Indonesia dan membuat perubahan yang berarti buat kejayaan Indonesia baru.” Penghargaan internasional itu rupanya belum juga melunturkan niatnya untuk tetap bersemangat membuat perubahan dan menjadi bagian dari perubahan itu. (Rustika Herlambang)
Stylist: Karin Wijaya. Busana: Oscar Lawalata. Fotografer: Steve Wahyu. Lokasi: Galeri Cemara
kurang panjang postnya ;P
Hebaaaattttt….
Posting yang panjang, saya tidak heran kalau pembaca akan terengah-engah. Mungkin bisa membantu pembaca kalau diberi subjudul dan dibagi lagi isinya, entah menurut kronologis, menurut objek cerita – bapaknya, anaknya misalnya, atau mungkin menurut tema cerita.
Sayapun, tidak biasanya, membaca dengan beberapa jeda, bukan karena cerita tidak menarik, justru karena too much of a good thing. Seperti berlari jarak jauh … dengan hadiah yang tidak bisa ditolak, harus finish. Itu di sisi pembaca, dan saya terbayang beratnya beban penulis menerima curahan cerita sebanyak itu, seheboh itu, dan seberat itu. Penulis pasti sudah berusaha maksimal menarasikan kisah ini. Seperti berlari marathon mungkin ? 42 km ?
Anyway. Ini dia kisah yang menurut saya paling menarik dari gambaran tokohnya. Seorang pemberontak sejati, konsisten, berani, nekat dan berbeda. Sometime, a rebel without a cause. Kadang tanpa alasan yang jelas, itu kalau saya pinjam judul film James Dean. Tapi saya suka, karena begitulah saya idealkan dari gambaran seorang aktivis mahasiswa, kebetulan beliau seorang senior saya di kampus. Konsisten dengan ideologinya, tidak asal mengambil jarak dengan pemerintah, berkarya nyata, dan bukan seseorang di kerumunan.
Satu hal, saya tidak menangkap alasan yang jelas mengapa dia menikahi anak DN A. Apakah hanya demi perubahan, ataukah ada keterlibatan cinta di dalamnya ? Memang perjuangan tidak hanya dilakukan dengan kata-kata, tapi perbuatan satu orang saja juga tidak akan cukup. Untuk membuat perubahan yang cukup berarti, seseorang harus mempunyai massa, mempunyai pengaruh luas. Jika tidak saya prihatin itu hanya akan menjadi martir yang sunyi. Maksud saya, tindakan Yuyun dulu, akan berbeda impact nya ke masyarakat dengan posisi dia sekarang.
Whatever, yang saya suka adalah cara dia menghancurkan comfort zone yang dia miliki. Anak bupati, militer, pasti berkecukupan, tapi memilih menjadi mahasiswa aktivis anti kemapanan, bukan berhura-hura. Menikah dengan anak DN A, kurang apalagi pemberontakannya. Memulai dari nol lagi setelahnya. Dengan semua itu, saya tidak akan heran bahwa dia menjadi sukses seperti sekarang. Salut setinggi-tingginya. Pertanyaannya : what next ? Sudah puas dengan ini atau ada apa lagi ?
Yuyun!
I love you!!!! Pokoknya apapun yang kamu lakukan, aku selalu dukung deh!
I have built a website and I was thinking of changing the template.I got some ideas from here! Feel free to visit my blog and suggest things!
Any update on this ? Excellent information keep it up!
Salam kenla,,,,
fiber optik
pakaian
kosmetik