“Rumah Idaman”

anies baswedan
Keberhasilannya selama ini barangkali datang dari sudut pandang yang penuh optimisme terhadap segala hal tentang kehidupan
Di antara 100 intelektual dunia versi jurnal Foreign Policy (Amerika Serikat) 2008, terdapat nama Anies Baswedan. Pria 40 tahun yang dikenal sebagai peneliti dan kini menjadi Rektor di Universitas Paramadina, Jakarta, tercatat bersama nama-nama besar intelektual penting dunia seperti Samuel Huntington, Francis Fukuyama, dan Thomas Friedman. Prestasi ini tak berhenti sampai di situ. Awal tahun, ia dikukuhkan sebagai Young Global Leaders 2009 oleh World Economic Forum yang berpusat di Jenewa.
Kebesaran namanya tidak lantas membuatnya arogan. Hal itu sangat terasakan saat menemui Anies dalam beberapa kesempatan di tengah padatnya agenda. Sebaliknya, ia sangat rendah hati dan santun. Wawasannya yang luas ditambah ilmu retoriknya yang luar biasa membuat suasana wawancara terasa seperti bapak yang bercerita untuk anaknya. Senyum dan tawa renyahnya banyak mewarnai. Saat ditemui di kampus, ia mengenakan kemeja putih lengan pendek dengan celana panjang hitam, yang rupanya seragam dengan beberapa stafnya, ia tampak begitu bersahaja.
Ketika itu, ia tengah memersiapkan dirinya sebagai moderator debat calon presiden yang diselenggarakan Komite Pemilihan Umum (KPU). Karena tak ada panelis lain, otomatis hanya ia yang bakal mengajukan pertanyaan kepada para capres. “ Saya menerima berbagai masukan baik melalui telepon atau email. Tadi, datang warga Sidoarjo bicara soal Lapindo. Mereka punya hak untuk didengar,” Anies yang pernah menjadi Direktur Riset pada Indonesian Institute memberikan alasan. Persoalan kebangsaan memang sangat menyentuh hatinya.
Apabila segala pengakuan dunia internasional ini kini mengarah pada dirinya, hal itu bukanlah sebuah peristiwa yang instan, melainkan perjalanan kehidupan yang amat panjang. “Ada dua hal yang membawa saya. Mereka adalah orang tua dan istri saya,” ujar Anies yang lantas menyambung wawancaranya di sebuah kedai kopi. Ia mengenakan kemeja batik bermotif kawung warna coklat yang serasi dengan warna teh camomile yang diteguknya kemudian. Mengajak ia untuk bercerita tentang dirinya sendiri memang tidak mudah. Perlu sedikit waktu dan kesabaran.
“Istri saya adalah orang yang sangat mendukung apa yang saya lakukan. Pada saat kami di Amerika, dengan 3 anak, dua-duanya mengambil pendidikan, dia sanggup mengurus semua, sekaligus menamatkan pendidikan masternya dengan baik,” katanya menceritakan keadaan saat ia mengambil pendidikan doktoralnya di Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat. Padahal di saat yang sama, ia harus juga bekerja, apakah sebagai dosen pembantu atau di lembaga penelitian, sebagai timbal balik dari beasiswa yang diterima. “Ia adalah kritikus utama seluruh tulisan saya,” ia menyebut istrinya, Fery Farhati, yang baru saja melahirkan anak keempatnya.
Anies lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Anak dosen ini tinggal bersama kedua orang tuanya, tak jauh dari kampus universitas Gadjah Mada (UGM). Ayahnya dosen di Universitas Islam Indonesia (UII), dan ibunya Guru Besar di IKIP Yogyakarta. Suasana “kampus” sendiri senantiasa terasakan di rumahnya. Setiap hari, banyak mahasiswa yang datang untuk berkonsultasi. Berdebat dan berdiskusi adalah hal yang sangat normal dirasakan Anies kecil.
Sementara itu, “rumah”-nya yang lain adalah kediaman kakeknya, AR Baswedan, yang dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan, diplomat dan juga sastrawan Indonesia. “Sejak kelas 3 SD, saya yang mengetik surat beliau. Di akhir tulisan, selalu dia katakan begini: ‘Surat ini saya diktekan pada cucu saya Anies’. Waah saya bangga betul,”ia mengenang kakeknya. Di rumah ini, ia belajar mengenai dunia pergerakan. “Ketika usia saya masih 9 tahun, paman saya ditangkap polisi karena gerakan mahasiswa di kampus UGM. Bisa dibayangkan situasi pada masa itu. Tapi kakek saya tenang-tenang saja. Kata kakek, kalau ikut dunia pergerakan ya, jangan takut ditangkap,”ungkap Anies yang akhirnya paham pesan yang tersirat bahwa setiap tindakan selalu ada resiko yang harus dihadapi. Meski kemudian kakeknya menegaskan bahwa untuk menjadi pejuang tidak harus selalu mendekam di penjara.
“Itulah lingkungan yang sangat membantu who I am today. It’s not me. Merekalah yang mengarahkan semua,” ujarnya. Ia sendiri masih berusia 9 tahun ketika membuat sebuah kelompok sepakbola, Kelabang (Kelompok Anak Berkembang). “Mereka yang mengajarkan saya supaya kepandaian tidak hanya diperoleh dari sekolah, tapi juga dari organisasi.”
Di sisi lain, ia menegaskan peran penting dua perempuan dalam hidupnya. Mereka adalah ibu dan neneknya. Baru-baru ini, ia mendengar cerita dari tantenya sebuah peristiwa yang membuatnya sangat tersentuh. “Waktu saya berusia 6 tahun, saya agak nakal dan suatu ketika saya dikeroyok dan dipukuli oleh teman-teman. Ibu pulang dari kampus dan melihat peristiwa itu. Ia menghentikan motornya, dan melihat dari jauh. Ia sama sekali tidak melakukan intervensi, hanya diam, mungkin sekadar memastikan bahwa anaknya tidak mengalami hal yang serius,” ia mengisahkan pengalamannya. “Meski Ibu hatinya remuk melihat saya dikeroyok, tapi buat Ibu, itulah bagian dari pelajaran kehidupan. ‘Biarlah dia mulai belajar dihadapkan kenyataan di luar’ kata Ibu pada tante saya,”lanjutnya. Helaan nafasnya terdengar kemudian. “Ibu juga yang membantu saya membuat teks pidato sendiri ketika saya menjadi khotib di sholat Iedul Adha waktu SD kelas 5.” Itulah pengalaman pertamanya bicara di depan masyarakat.
Dari sang nenek, ia belajar mengenai sejarah pergerakan. “Nenek saya adalah seorang tokoh pergerakan perempuan Islam yang gemar mengajak diskusi mengenai pergerakan dan sejarah,” lanjut Anies yang wawasannya kemudian bertambah luas akibat kegemarannya membaca. Sejak kelas 3 SD, ia sudah memiliki kartu perpustakaan di harian Kedaulatan Rakyat. Hobinya membaca biografi tokoh-tokoh dunia. Hatta adalah nama tokoh pertama yang saya baca. “Itulah alasan mengapa saya tak memiliki cita-cita yang fokus seperti anak-anak lainnya. Setiap kali membaca tokoh tertentu, saya langsung membayangkan jadi dia,”ujarnya tersenyum geli. Meski demikian, ia sempat menyebut sosok Haji Agoes Salim sebagai salah satu idolanya.
Pengalamannya berorganisasinya berkembang pesat ketika kuliah di Fakultas Ekonomi, UGM. Ia pernah menjadi Ketua Senat di UGM, selain dikenal sebagai aktivis gerakan mahasiswa menentang orde baru. “Saya risih cerita masa pergerakan. Masak perjuangan kayak gitu dicerita-ceritain. Kalau orang lain mau cerita terserah, tapi itu not me,”ia mengelak menceritakan hal saat kepalanya dipopor sejata ketika berhadapan dengan tentara yang memasuki kampusnya tahun 1994. Tentang hal ini, ia cuma berkata, “Pengalaman di pergerakan mahasiswa itu merupakan satu faktor yang mewarnai. Muda, keras, beda ide, cukup intensif, tapi pada saat yang sama membuat saya belajar tentang kedewasaan perbedaan pendapat, mengerti ambang batas. Dalam situasi sekarang, saya berusaha terus, untuk santun. Ide disampaikan, meski beda, tapi disampaikan dengan baik.” Ia baru meninggalkan kota kelahirannya setelah mendapatkan beasiswa Fulbright untuk melanjutkan pendidikan Master Bidang International Security and Economic Policy di University of Maryland.
Namun bukan soal aktivitasnya yang berjibun bila ia tak banyak bicara cinta. Dengar katanya,” Cinta adalah sesuatu yang very noble, sehingga saya rasa untuk berbaginya hanya setelah memikirkannya secara serius. Saya tak ada pengalaman, saya tak pernah hang-out dengan perempuan yang berbeda-beda.” Ia hanya tak bisa membayangkan betapa beratnya bila suatu saat hubungan itu akan berakhir. Lalu dengan humor ia berujar, “Di masa kuliah dulu, saya bisa menghadapi tentara, tapi tidak dengan perempuan. Saya tak tega. Saya sangat hati-hati betul. Saya nggak ingin melakukan yang bernuansa cinta bila akhirnya saya harus mengakhiri.” Kali ini, ia merasa lebih nyaman menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa Inggris.
Akhirnya, seperti mudah ditebak. Perempuan yang disukainya tak jauh dari profil ibu dan neneknya. “Cerdas, suka berdiskusi, terbuka, hangat, merangsang untuk berpikir lebih jauh, dan bersamanya saya bisa merasa nyaman (like to be with).” Ia merasa kembali diuntungkan ketika sang istri benar-benar mewakili apa yang dia bayangkan sebelumnya. Bila di luar rumah ia lebih banyak didengarkan, maka ketika kembali ke rumah, katanya, ia sangat merasakan butuh untuk mendengarkan. “Tapi hal yang membuat saya tersentuh justru ketika ia memilih untuk tidak memiliki baby sitter. Katanya, kebahagiaan saat merawat bayi merupakan satu hal yang tak bisa diukur nilainya,” ia membicarakan sang istri yang Master di bidang Parenting Education itu saat ini memilih mendidik anak-anaknya yang masih kecil di rumah ketimbang berkarir di kantor.
“Ada 3 hal yang menjadi kriteria memilih profesi saya selama ini,” katanya kemudian. Tiga hal itu adalah profesi yang memungkinkan ia tumbuh secara pengetahuan dan intelektual. Kedua, berurusan dengan finansial, karena ia harus menunaikan kewajiban untuk keluarga dan tak perlu menitipkan pada negara. Terakhir, ia mengidamkan sebuah tempat di mana ia bisa memberikan kontribusi signifikan pada masyarakat. “Jadi kalau Anda tanya, ya, saya sudah dapatkan jalannya!,” ia tersenyum. “Kampus adalah rumah yang bisa didatangi kapanpun,” suasana “kampus” seperti yang dialaminya sejak kecil rupanya masih menjadi tempat yang paling homy buat Anies.
“Kini, alhamdulilah, saya bersyukur atas yang sudah saya dapatkan. Keluarga dan anak-anak yang berbahagia. Sekarang, bagaimana saya membayar kembali untuk negara ini karena saya sudah menerima segala sesuatunya dari sini,” ungkap Anies yang akhirnya memutuskan fokus pada perkembangan pendidikan melalui Gerakan Indonesia Membaca. “Saya rasa republik ini akan maju kalau pendidikannya maju. Mungkin ini klise, tapi itulah kenyataannya. Saya merasa, apa yang saya kerjakan, tangan Tuhan membimbing. Ini obsesi saya sampai merasa bahwa saya harus memberikan kontribusi untuk negara ini.”
“Saya percaya masa depan Indonesia bagus untuk generasi saya dan anak-anak saya,” ujarnya. Lalu melanjutkan bicara,”Mengapa kita tidak sama-sama memikirkan sesuatu yang positif untuk bangsa ini?” Sebuah pernyataan yang terasa seperti sebuah oasis di tengah kecamuk “perdebatan” para suporter calon presiden di negeri ini. (Rustika Herlambang)
Stylist: Karin Wijaya. Fotografer: Wisnu Wardhana
Tribute to Anies Baswedan so you can….
Success ….
Mengamati tokoh dengan latar belakang aktivis mahasiswa ada satu pertanyaan kunci : kapan, bagaimana, mengapa mereka mengubah pandangan pesimisme menjadi optimisme. Ini berangkat dari satu fakta, bahwa mayoritas, kalau tidak semua, aktivis mahasiswa melihat dunia di luarnya sebagai suatu yang kelam. Mereka cenderung berjalan di sisi kiri, melawan kapitalisme, memusuhi kemapanan, mengambil posisi di seberang pemerintah.
Pada saat mereka semua keluar dari bangku idealisme dan memasuki ranah pragmatis, harus menghidupi diri sendiri dan tidak bergantung orang tua lagi, tersisa sedikit sekali, sangat sedikit yang masih bertahan dengan mimpi lamanya. Sebagai seseorang yang tumbuh dan tidak berjarak dengan pergerakan mahasiswa, sering saya melihat betapa pragmatisme membuat kompromi yang dilakukan senior-senior saya terasa menyebalkan. Kebanyakan hanya satu penyebab, memaksakan diri menjadi politisi tanpa independensi dalam ekonomi, dan akhirnya terseret di arus politik yang tak kenal ampun. Panggung politik modern, di manapun, akan dikendalikan pemegang kapital, para pengusaha dan pemilik modal.
Anies lebih mengambil jalur yang netral, akademisi. Itu membuat dia lebih bisa berbicara dengan bebas, dan saya salut dengan pilihannya. Semoga, dan saya yakin itu, dunia pendidikan akan menikmati buah kerja dan inovasinya. Memang bukan panggung yang riuh dan penuh tepuk tangan, tapi di situlah nasib bangsa ini diletakkan.
dear Bon Jovi,
terima kasih, masukannya sangat berguna bagi saya.. ke depan, saya akan lebih kritis mengenai hal itu.
Tentang hal itu, saya akan tuliskan lagi mengenai Anies, dalam versi yang lain, yang merupakan pengembangan atau detail dari tulisan ini –yang kebetulan untuk konsumsi majalah kami- majalah dewi.
tunggu tanggal mainnya ya..
salam..
Setelah membaca tulisan yang disampaikan, saya merasakan bahwa ada banyak sekali cara2 untuk memperbaiki hal hal kurang yang masih sering muncul dalam dalam keseharian… antara lain disamping rasa optimis yang harus truuus dijaga dan memmupuk rasa persaya diri yang tidak berlebihan, selalu rajin menggali ilmu dari bangku sekolah dan berorganisasi.
Insyaallah kebaikan yang bisa ditularkan kepada pembaca melalui tulisan ini pun akan bisa ditularkan lagi kepada generasi penerus.
Saya mengagumi tokoh Anis Baswedan yang begitu haus trus pada ilmu…
Terima kasih
I quite like looking through an article that can make people think.
Also, thanks for allowing for me to comment!
It’s enormous that you are getting thoughts from this
piece of writing as well as from our dialogue made
at this place.