Di Balik Panggung

rinny noor
Di balik gemerlap panggung musik, ada kesederhanaan ia dalam membuat semua mimpi artis menjadi nyata
“Dia menunjukkan padaku sebuah peta dunia dan membukanya di atas meja. Lalu ia bertanya, ‘Nah, Rinny, sekarang tunjukkan padaku, di mana letak Indonesia.'”
Rinny Noor tersenyum. Sebuah kenangan indah bersama Bill Graham kembali mengusik pikirannya. Alunan musik terompet dan hawa dingin yang merasuki ruang privat Restoran Seribu Rasa, Jakarta, kian menghanyutkannya. Ia menikmati suasana itu, bersamaan dengan kepulan asap rokoknya yang terus menerus dihisapnya, mengenang sebuah kisah sangat berkesan ketika menginjakkan kakinya di kantor Bill di San Fransisco, 22 tahun lalu. Bill adalah legenda promotor tur musik rock dunia yang pernah membawa Santana dan Rolling Stone dari Eropa menuju Amerika. Pertemuan bersejarah itu tak hanya membuat mimpi bertemu sang idola menjadi nyata, namun juga mengarahkan biduk kehidupannya di kemudian hari menjadi seorang promotor musik yang sukses.
Kini, ia dikenal sebagai promotor wanita pertama di dunia yang mempromotori artis kelas dunia, yakni Mick Jagger, pada tahun 1989. Di dunia promotor dunia (Eropa Barat, Amerika, Jepang dan Australia), apabila seorang promotor sudah pernah menyelenggarakan show Mick Jagger atau Rolling Stones, ia dianggap bisa jadi promotor bagi artis selevelnya. Hal ini terjadi karena Mick Jagger dan Rolling Stones merupakan artis dengan tuntutan paling tinggi, dan merekalah yang pertama kali menciptakan Technical Rider (persyaratan/permintaan artis yang jumlahnya mencapai 40 halaman, sejak 40 tahun lalu). Beberapa nama besar yang pernah dipromotori Rinny di Indonesia mengalami sukses besar. Di antaranya Duran-Duran, Beyonce, Richard Marx, Linkin Park, Alicia Keys, Craig David dan Hanson. Rinny pula yang meletakkan standar tur musik internasional di Indonesia.
Sebentar lagi, Anda akan menyaksikan pertunjukan Britney Spears atas kerja kerasnya. Berbeda dengan kegiatannya yang selama ini untuk kepentingan komersial, acara terakhir ini adalah awal dari kegiatannya bergabung dengan Live Earth, sebuah komunitas galangan Kevin Wall dan Al Gore yang percaya bahwa entertainmen memiliki kekuatan untuk mengubah bumi menjadi lebih baik. “Saya pikir, apa yang saya cari selama ini sudah saya dapat. Artis sebesar apapun saya bisa. Jadi saya ingin memanfaatkan wadah saya untuk kepentingan masyarakat banyak,” ungkap Rinny yang juga mempromotori World Tour Orchestra pimpinan Dwiki Darmawan dalam kampanye komodo. “Mungkin ada hubungannya dengan masalah umur juga ya..,”ia tertawa sambil menunjukkan kartu namanya, Rinny Noor Presents (RNP), menggantikan label Nepatya yang digunakan sebelumnya.
Keberhasilan ini tidak datang dari langit. Meski anak seorang diplomat, dan pernah tinggal di Kopenhagen, Brussel, dan Belanda, ia menapak selangkah demi selangkah karir selanjutnya, yang ternyata semua diikat oleh satu kata: cinta. Cinta pada musik, satu kesukaan yang tak jauh dari keluarganya. Kecuali sang ayah, Rusli Noor, seluruh saudara dari pihak ayahnya bisa memainkan musik. Kakaknya, Ida Noor, salah satu personel Noor Bersaudara, grup vokal yang cukup tersohor di tahun 1970-an. Meski tak suka menyanyi, ia senang mendengarkan musik. Beruntunglah ia banyak tinggal di negara Eropa sehingga memiliki referensi musik yang lebih progresif. “Uang saku habis untuk beli majalah musik, terutama yang ada cerita mengenai Beatles dan Led Zeppelin, dan piringan hitam.”
Di dunia musik, Rinny memulai karir sebagai make up artist dan stylist untuk penyanyi Indonesia seperti Euis Darliah, Berlian Hutahuruk, Chrisye, Anggun C. Sasmi, Hetty Koes Endang, Camelia Malik dan Godbless. “Pendidikan saya hanya sampai SMA, lalu kawin. Semua hal yang kini saya dapat, saya pelajari dengan otodidak,” Rinny sempat menikah dengan Donny Fatah, musisi Godbless. Ia lalu belajar make up sendiri serta belajar menjahit dari ibunya. “Saya pernah punya label baju, Ono namanya, khusus untuk busana pentas artis.”katanya. “Setelah saya pikir ternyata saya bukanlah orang yang suka berada di atas panggung. Saya tak suka kelihatan menonjol. Yang penting kerja. Kepuasan itu terasa ketika kerja keras saya dapat hasil yang maksimal.”
Meski ia sudah meraih apa yang dia inginkan, ada ruang kosong dalam dirinya yang terus mencari apakah sisi lain dari musik yang bisa dieksplorasi. Pertanyaan ini terjawab ketika ia berada di Kopenhagen, menanti kelahiran anak keduanya, Iman Fatah. “Waktu itu ada serial sejarah musik yang diproduksi televisi Jerman. Di sana ada cerita mengenai promotor musik Bill Graham. Sejak saat itu, saya merasa, itulah yang saya inginkan,” ia mengisahkan sebuah peristiwa di tahun 1977. Sejak itu, ia habis-habisan berburu buku-buku musik dan managemen lalu memelajarinya sendiri. “Karena tak pernah sekolah tinggi, saya menjadi merasa kurang manajemen. Jadi saya belajar. Setiap ke Amerika, pasti sekoper penuh isinya hanya buku. Saya tahu, persaingan di dunia ini sangat keras,”akunya.
Kerja kerasnya terbayar sepuluh tahun kemudian ketika ia membuat pertunjukan pertamanya, Google V vs Gaban. “Ini kerja keras. Internet belum ada. Saya “ngulik” dari berbagai tempat untuk mengetahui Google V. Dan saya akhirnya dibantu oleh Kamar Dagang Jepang,”ucapnya berbinar. Sesuatu yang diinspirasikan dari kesukaan anak lelakinya itu sukses berat. “Saya lalu ada alasan untuk menulis surat pada Bill Graham,”ia kembali mengingatkan.”Saya bilang bahwa saya sudah pernah menyelenggarakan pertunjukan. Sekarang saya ingin disupervisi dan konsultasi mengenai tur musik. Waktu itu Bill kaget, loh kok surat dari Indonesia, tempat yang asing buatnya. Dia membalas surat melalui fax, dan dijanjikan bertemu,” ia terkekeh. Pertanyaan di awal artikel ini adalah hal pertama yang ditanyakan Bill. Setelah ia berhasil meyakinkan segala sesuatunya, Bill akhirnya setuju memasukkan Indonesia sebagai salah satu tujuan tur Mick Jagger.
Pertunjukan ini hampir saja tak berlangsung mulus. Beberapa jam sebelum mulai, terjadi bakar-bakaran mobil di luar stadion. Sekitar 200 penonton tanpa tiket mendesak ingin memasuki lapangan. Segala sesuatu yang sudah dirapatkan berbulan-bulan seakan sia-sia mendapati kenyataan keamanan di lapangan jauh lebih rumit dari yang dipikirkan. Meski pihak keamanan Indonesia memaksa untuk membuka pintu karena situasi memanas, Bill bersikeras tidak melakukannya. “Dari pengalaman ini, saya jadi belajar. Mending saya berdarah-darah daripada membuka pintu, karena itu artinya tidak mendidik masyarakat. Ini soal kultur masyarakat yang tak menghargai, dan merasa bangga bila bisa nonton pertunjukan dengan gratis,” ujar Rinny. Penonton yang membuat keributan tersebut, akhirnya bisa diamankan petugas. Pertunjukan pun berjalan sukses, tepat pada ulang tahunnya yang ke-33, dengan bayinya yang berusia 3 bulan.
“Kunci buat seorang promotor adalah servis yang baik. Kita harus benar-benar menaati Technical Reader dengan sangat ketat. Harus jujur. Kalau tak bisa, bilang di awal. Jangan sampai kita hanya janji-janji, itu sangat berbahaya,” katanya arif. Artis gemar membanding-bandingkan pelayanan dari satu negara ke negara lain. Kesan yang baik akan memudahkan jalan masa depan karirnya. Agar semua berjalan sesuai kontrol, ia perlu turun sendiri saat menjemput artis. “Ini adalah hal yang paling krusial karena kita belum kenal sehingga tak tahu mood-nya. Saya selalu memastikan bahwa sejak turun dari pesawat hingga tiba di kamar hotel semua harus lancar,”katanya tegas. “Bila di bandara sudah macet, wah, pasti shownya ikut kacau. Jemputan itu paling penting. Makanya saya paling deg-degan kalau lagi menjemput mereka,” ia lalu menceritakan beberapa kisah unik para artis, misalnya saja Craig David yang tiba-tiba tak mau show gara-gara chef-nya salah memasakkan telur sesuai resep dari ibunya. Ia juga panik ketika Alicia Keys hampir batal datang karena isyu rokok. Yang terakhir ini merupakan bagian dari persaingan yang luar biasa dalam dunia promotor.
Karena tekanan pekerjaan yang luar biasa sulitnya membuat Bill Graham sempat terkaget-kaget melihat sosoknya yang mungil, berani mengambil tantangan sebagai promotor musik yang di tahun 1970-an dikenal sangat dekat dengan drugs, hell angels, keributan, dan dianggap tidak cocok dengan perempuan. Tapi itulah ia, keinginan menyimpul menjadi energi yang luar biasa. “Soal kerja capai, itu tak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan kepuasannya yang tak terhitung. Saya seneng karena ada tantangannya. Selain dengan agen artis, saya kan harus meeting sama polisi, tentara, wah rasanya gimanaa gitu. Semua ini dilakukan demi show yang berlangsung hanya dua jam, tapi dalam waktu dua jam itulah 1001 masalah terjadi bersamaan. Tugas saya hanyalah bagaimana memberikan kepuasan bagi penonton, bagi musisi yang datang, dan nama baik Indonesia.”
“Menjadi promotor itu seperti PR (Publik Relation),” ia lalu bercerita bagaimana citra Indonesia langsung berubah di mata para anggota Linkin Park. “Mereka benar-benar kaget. Yang berdiri di depan justru wanita-wanita berjilbab yang hafal syair-syairnya. Padahal awalnya mereka khawatir karena salah satu personilnya Yahudi. Kejadian ini direkam oleh anggota mereka dan dipamerkan ke mana-mana. Ternyata Islam di Indonesia tidak seperti bayangan mereka.”
Namun tiba-tiba ia diam, seolah ada sesuatu yang mengganjal. “Meski kami ini seperti PR, kami masih mengalami kesulitan. Pajak tontonan 15%, sebelumnya 25% bahkan 30% di Surabaya. Di Amerika tak lebih dari 6-7%. Kedua, soal perijinan yang harus melewati banyak pintu dan mahal sekali,”ia lalu menjelaskan bahwa di Singapura masalah keamanan dijamin oleh pemerintah setempat, sementara di sini masalah ini menduduki bugdet tertinggi. Padahal risiko harus ditanggung sendiri. “Waktu reformasi, saya dua tahun tak bikin show. Artis tak mau datang, tak ada yang bisa menjamin keamanan. Saya membatalkan Ricky Martin. Akhirnya, kerjaan saya bagi-bagi sembako dengan Adrie, ” ia menyebut nama Adrie Subono, karibnya sejak SMP. Ia sendiri pernah bergabung dengan Adrie di Java Musikindo.
Lalu ia kembali tertawa. “Nah, bila dulu saya PR untuk Indonesia, kali ini saya ingin yang lebih besar lagi,”yang dimaksud di sini tentunya keterlibatan ia dalam pertunjukan Live Earth yang bakal berlangsung serentak pada 12 September 2009 di 192 negara. “Sebenarnya target saya Madonna untuk tahun ini. Tapi dia masih berpikir karena belum pernah show di wilayah ini. Produksinya terlalu besar,”kata Rinny yang kemudian mengajak Britney Spears. “Saya sedang berjuang supaya Indonesia bisa jadi tuan rumah event Live Earth. Apa yang saya lakukan sekarang adalah sebuah strategi jangka panjang,” ujarnya. Memang diperlukan situasi politik, keamanan dan kepercayaan bahwa Indonesia mampu untuk meyakinkan artis-artis dunia datang ke Indonesia. “Untunglah referensi artis saya bagus-bagus, sehingga mereka lebih terbuka.”
Ia tampak menikmati hidupnya kini.“Selama kita dedicated sama satu hal, kita harus kejar terus sampai dapat. Yang penting adalah kejujuran. Itu yang membuat saya survive sampai sekarang,”ia memberikan nasihat. Tiba-tiba, dia terdiam.”Tapi, dari segi waktu, saya tak merekomendasikan pekerjaan promotor untuk seorang wanita. Terlalu menyita waktu. Apalagi kalau sudah menikah, sebaiknya jangan terjun di bidang ini,” ia kemudian “mengistirahatkan” anak perempuan sulungnya, Cindy Fatah yang selama ini membantunya, demi fokus pada cucu pertamanya. “Bahayanya di sini, kalau sukses satu, pasti ingin terus,” ia tertawa menyebutkan alasannya. Dunia ini membutuhkan pengorbanan teramat banyak. Artis sangat demanding. Karena perbedaan waktu dengan Indonesia, kontak komunikasi dilakukan di malam hari, sementara pekerjaan hariannya dilakukan pada jam kerja. Promotor juga harus bermental baja menghadapi kerasnya persaingan. “Kalau disebut pengorbanan, itu adalah kegagalan pernikahan pertama saya,”ia kini menikah dengan Rizali Noor, pengusaha kayu, yang memberikan satu putra, Rachman Noor.
“Sebenarnya, saya ingin sekali reuni Led Zeppelin,” katanya tiba-tiba. Idola masa remajanya ini rupanya masih menyisa di pikirannya. “Itulah. Saya tak bisa pindah hati selain memikirkan musik,” ucapnya. Mungkin benar kata Shakespeare, bila musik adalah makanan cinta, maka mainkanlah. Rinny percaya, ia akan terus menggali cinta hingga terus terbakar api cinta, pada dunia musiknya, apapun bentuknya. (Rustika Herlambang)
Pengarah Gaya: Dany David, Foto: Steven Wahyu, Busana: SPOUS by Priyo Oktaviano for Fashion First @ Senayan City, Tata rias wajah dan rambut: Aries Irianto ,Lokasi: Seribu Rasa
Leave a Reply