Kata Hati
Gadis Arivia

gadis arivia
Strategi bermain cantik -seperti penampilannya- itulah cara dia memerjuangkan persoalan perempuan di Indonesia
“Selebriti” itu bernama Gadis Arivia Effendi. Dia baru saja datang dari Amerika, untuk mampir sebentar di Indonesia, meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya: Yang Sakral dan Yang Sekuler. Ditemui di Yayasan Jurnal Perempuan, lembaga swadaya masyarakat bentukannya, ia tampak sibuk menemui dengan rombongan kawan-kawannya sesama aktivis yang datang silih berganti hingga malam hari. Mereka berdiskusi, melepas kerinduan untuk bercerita, lalu diakhiri dengan foto bersama. Suasana begitu cair dan akrab. Gadis sendiri tampak menikmati suasana itu.
Dua puluh tahun sudah Gadis berkecimpung dalam dunia feminis di Indonesia. Doktor filsafat dari Universitas Indonesia ini adalah salah satu penggagas Jurnal Perempuan (JP), yakni sebuah media yang menyampaikan pengetahuan akan pemikiran feminis kepada masyarakat awam. Kini JP disebut-sebut sebagai referensi studi feminis Indonesia, dimana di dalamnya tercantum teori feminisme dan juga hasil investigasi atas praktik diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 2006 lalu, ia mendapatkan pernghargaan Tasrif Award-AJI, sebagai Pejuang Kemerdekaan Pers 2006. Ia dinilai memiliki semangat, visi dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman dan demokrasi di Indonesia.
Meski dibebani dengan atribut sebagai filsuf dan feminis, yang kadang masih dikonotasikan masyarakat awam sebagai perempuan tomboi atau gemar marah-marah –seperti dikatakan Gadis– akibat ketidakpuasan dalam berbagai hal, tidak terasakan pada dirinya. Ia terlihat feminin, matang, dewasa, kalem, penuh humor, banyak tertawa, dan suka clubbing! Mungkin bisa dihitung di dunia ini, berapa banyak yang menikmati dunia intelektual dan bersenang-senang menikmati dunia seperti dia. Gadis juga menjaga penampilan dan tubuhnya dengan sangat prima. Di usianya yang menginjak 45 tahun, kulitnya segar, tak ada selulit di tubuhnya -akibat olah raga bersepeda dan jogging secara rutin.
Itu penampilan luarnya. Tapi bagaimana dengan pemikirannya? Anda bisa membacanya dalam kumpulan puisi terbarunya. Ada puisi yang bergaya kalem, tapi maknanya sangat menusuk. Ada pula yang tegas dan sangat provokatif. Yang jelas, kumpulan puisi bergaya pamflet itu seolah mengingatkan pada gaya penyair Rendra. “Mungkin karena mengalami kebuntuan, imajinasi lebih hidup ya..,”katanya sambil tertawa. Memang agak sulit memadukan dengan penampilannya yang kalem dengan gaya bahasa di dalam puisi-puisinya itu.
Gadis mengaku bahwa ia sudah ditodong untuk kumpulan puisi berikutnya oleh seorang dosen sastra. “Dia bilang genre puisi saya menarik. Tapi sepertinya tak mungkin ada yang kedua, karena seluruh puisi itu terjadi dalam kondisi mental khusus,” mungkin yang dimaksud di sini adalah ketika ia berada dalam posisi Acomodador, yakni titik menyerah ketika menyadari segala jalan yang ditempuh menemukan jalan buntu. Ia resah ketika agama Islam dipersepsikan secara bias. Ia resah ketika ada pemaksaan semua perempuan harus berjilbab. Ia resah ketika rok mini diharamkan di daerah-daerah. Ia marah ketika diberlakukan jam malam hanya untuk perempuan. Ia marah ketika banyak pejabat publik yang terang-terangan melakukan poligami.
“Selama ini aku bikin artikel ilmiah, dengan argumen kuat, menjelaskan tanda-tanda diskriminatif, tapi hal itu tetap saja berlangsung. Poligami diperbolehkan. UU pornografi disahkan,”tukasnya. Ia tertawa. Getir. “Mungkin ada rasa frustasi. Mengapa paper akademis tidak mempan. Jadilah puisi Men-delete Poligami yang keluar di milis di-forward kemana-mana,” ia mengisahkan pertemuan awalnya dengan dunia puisi.
Jejak baru ini memang sebenarnya bisa diprediksi bila melihat gerak langkah Gadis dalam gerakan feminisme Indonesia. Ia berangkat dari seorang akademisi, yang kemudian terjun di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan menjadi aktivis. Jarang memang menemukan orang yang memadukan dua hal tersebut secara harmonis. Tapi ia bisa. “Kubilang, aku lebih lengkap karena dua kaki menjejak tanah, jadi lebih mantap,” ia lalu menjelaskan,” memang mudah membuat paper mengenai trafficking, hanya argumentasi teori. Tapi kalau kita tidak melihat dan mengalami bersama mereka, anak-anak itu dijual, kita tak akan bisa merasakan pengalaman, menyentuh emosi kita. Bila kita kuat di teori dan memiliki pengalaman emosi, tulisan akan lebih hidup. Aku merasa bersyukur bisa masuk bidang itu.” Bila sekarang masuk fase puisi, itu adalah semua bagian yang menyatu, tak bisa dipisahkan.”
Keterusterangan Gadis barangkali terlahir dari lingkungan keluarganya yang sangat demokratis. Sang ibu, Atikah, adalah perempuan yang sangat berdaya luar biasa dalam pandangan Gadis. Sementara itu, ayahnya seorang feminis di masa itu, karena mau melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci. “Mereka mengajarkan pada kami bersaudara bahwa lelaki dan perempuan itu egaliter,” Gadis adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. “Karena ibuku berlatar belakang matrilineal, dia sangat berharap punya anak perempuan.”
Masa kecilnya juga berpindah-pindah. Ia lahir di New Delhi, lalu pindah ke Ethiopia, Jakarta, Budhapest dan kembali ke Jakarta. Ia mengambil pendidikan di Sastra Perancis dan kemudian Studi Filsafat di Universitas Indonesia, sebelum akhirnya menuju Ecole Haute Etudes Scientifique Sociale, Perancis. Pengalaman ini membuatnya sangat sensitif terhadap persoalan minoritas. Ia juga lebih banyak terekspose dengan masalah pluralitas. Namun di sisi lain, ia mengaku terkaget-kaget dengan kondisi perempuan di Indonesia yang relasi dengan pacar masih submisif, menikah karena orang tuanya yang memilih mereka harus menikah, dan anggapan bahwa usia 25 tahun dianggap sebagai perawan tua. Dua hal inilah –yakni antara minoritas dan soal ketidakadilan terhadap perempuan– yang membuat Gadis tertarik untuk terjun di dalamnya.
“Jadi ketika Prof Toeti Herati meminta saya mengajar paradigma studi wanita, saya langsung bilang mau. Apalagi ini satu tantangan. Tahun 1989 tak ada yang tahu gender,”ucapnya. Waktu mengajar pertama kali, mahasiswanya hanya empat orang, kini jumlahnya sudah berlipat-lipat. Tapi yang berkesan darinya adalah ketika apa yang diajarkannya di bangku kuliah itu bisa memberi kesadaran bagi orang lain.
Menjadi feminis di negara yang masih memegang tradisi patriarki tentu tidak mudah. Tapi hal ini tak dialami oleh Gadis. Hidupnya mengalir. Bila dianggap sebagai pengorbanan terbesar, barangkali ketika ia ikut ditahan pada saat berdemontrasi di Bundaran HI mewakili Suara Ibu Peduli (SIP) bersama Karlina Leksono dan Wilasih. “Saya tak bisa membayangkan menjadi orang yang ditahan lima tahun karena aktivitasnya. Akhirnya saya merasakan, begini ya rasanya saat kita memerjuangkan sesuatu yang kita anggap penting dan benar?,” ucap Gadis yang ketika itu menitipkan bayinya yang berusia delapan bulan dan masih menyusu, memperjuangkan susu, bersama teman-teman aktivis lainnya.
Ia lalu tersenyum geli. “Padahal waktu itu, sebenarnya kami demo untuk melengserkan Soeharto. Tapi kami kan harus main strategi dengan tidak memakai nama aktivis perempuan, melainkan suara ibu. Tidak menggelar banner Turunkan Suharto, tapi turunkan su..su.. Ini kan permainan kata yang kalau aku pikir sekarang, gendeng banget deh. Kalau disuruh lagi, mungkin aku mikir 10 kali. Cukuplah sekali dalam hidupku,” buat Gadis hal itu adalah keputusan yang paling gila. “Bagaimana tidak? Demo itu kami lakukan pada saat Siaga Satu yang artinya tembak di tempat. Ini pengalaman pertama saya turun jalan. Makanya kami sengaja berpakaian rapi. Banyak masyarakat mendukung karena menganggap kita memperjuangkan su..su.. Memang kita berpikir untuk break the silence, tapi kita harus bermain cantik.”
Perjuangan itu berhasil. Reformasi bergulir. Tapi rupanya ada “musuh” yang masih terus mengintai. “Masih banyak orang-orang yang tak menghargai kesetaraan hak-hak perempuan,”kali ini ia berkata tegas, mengingat berbagai pengalaman yang ia alami ketika terjun ke daerah-daerah. Gadis dipaksa mengenakan jilbab ketika bicara di Padang. “Saya nggak ngerti. Dari keluarga Ibu saya, ayahnya Padang, tak ada tuh tradisi memaksakan orang? Saya bilang sama mereka, kok lain ya tradisi yang diajarkan keluarga Ibu saya dengan yang diajarkan di sini?,” akibat kejadian itu seminar sempat tertunda hingga akhirnya ada kompromi. “Saya ceramah, dan ada beberapa orang laki-laki yang meninggalkan tempat itu.”
Begitu pula di Aceh. “Nenek saya orang Aceh. Baginya, perempuan Aceh itu kuat. Dandanan sehari-hari cuma sanggul dan pakaian biasa. Lalu ini tradisi mana ya yang ada di Aceh. Yang pasti ini bukan budaya Aceh.. mungkin ini tradisi budaya luar, ya,” ia berusaha bijak, walau merasa terkaget-kaget dengan peraturan daerah mengenai jilbab itu. “Waktu disana, saya didatangi perempuan-perempuan muda, cantik-cantik. Mereka mengaku sangat stress karena adanya perda itu. Mereka ingin bisa mengenakan blus, rok, short, rok mini, tapi tak bisa. Saya kasihan melihatnya,” ucapnya resah. “Apa kriteria kita dianggap lebih rendah dari perempuan berjilbab? Jangan mau ditindas dan dijajah oleh sesuatu. Jangan mau dibodohi oleh intepretasi agama yang salah,” tandasnya.
Dengan prinsipnya yang kuat ini, apakah ia mengalami masalah dengan pasangannya? Gadis lagi-lagi tersenyum. “Sejak awal kan saya punya syarat. Pacar saya harus feminis!,” ia akhirnya menikahi pria Amerika, Richard Pollard. ” Cinta itu kebebasan. Mencintai itu artinya membebaskan. Kalau dimiliki, itu namanya dipenjara. Hal ini pasti memiliki banyak konsekuensi, termasuk merelakan orang ini dilepas. Misalnya cinta pada anak, kerelaan melepas dia, membiarkan dia menjadi pribadi yang mandiri, ternyata banyak Ibu punya problem soal ini,” tukas ibu dari Annisa Joice dan Benyamin Arif.
Kini Gadis tinggal di Amerika mengikuti tugas sang suami. Cuti sebagai pengajar tetap di departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, UI, ia mengambil visiting research di Center for Values and Philosophy, CUA, Washington DC. “Saya sudah diminta menjadi Guru Besar Filsafat.. Tapi saya membayangkan kok kalau Guru Besar itu sudah kakek-kakek.. ha ha ha…,” sepanjang wawancara terasa sungguh Gadis sangat ramah dan terbuka. Ia juga acap menyuguhkan humor-humor yang segar.
“Untung saya punya sense of humor, melihat sisi-sisi yang lucu dan santai, kalau nggak sakit jiwa saya…” Gadis kembali melepaskan tawa. Dengan demikian ia masih bisa menyimpan energi untuk terus berjuang. Seperti dikatakan dalam bukunya “Feminisme: Sebuah Kata Hati”, “Tidak ada kata berhenti sebab feminisme sesungguhnya adalah kata hati. Detak jantungnya akan terus berdenyut hingga ke generasi berikutnya. (Rustika Herlambang)
Pengarah gaya: Dany David, Foto: Ferry Zulfrizer, Busana: Deden Siswanto
Tata rias wajah & rambut: Aries Irianto, Lokasi: Yayasan Jurnal Perempuan
Hi, interesting post. I have been wondering about this topic,so thanks for posting. I will definitely be subscribing to your posts. Keep up great writing
thank you very much..