Dna Kehidupan
Herawati Sudoyo
Ia percaya kebahagiaan bisa diraih bila diperjuangkan dengan ketangguhan
herawati sudoyo
Dr. Herawati Sudoyo, Ph.D. adalah penganalisa dna forensik dari Lembaga Biologi Molekul Eijkman, Jakarta, Indonesia. Lahir tanggal 2 November 1951. Teman-temannya mengenal ia sebagai ilmuwan yang amat cermat dan teliti, kendati selalu berusaha tampil modis. Meski dibesarkan dalam keluarga tentara, hubungannya dengan Kepolisian Republik Indonesia berjalan amat mesra. Ia pernah mendapatkan Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian (2007), penghargaan Habibi Award untuk kemajuan ilmu kedokteran dan bioteknologi dan Australia Alumni Award for Scientific and Research Innovation (2008). Ketika bom meledak di Bali dan kemudian di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dalam waktu 13 hari, ia berhasil mengenali pelaku melalaui metode analisis forensik dari DNA mitokondria.
Kisah di atas bukanlah sebuah pengenalan nama tokoh seperti yang ada dalam film dan serial televisi CBS, Amerika, Crime Scene Investigation (CSI) yang memenangkan Penghargaan Emmy. Herawati, adalah sebuah nama nyata di Indonesia, yang dalam pekerjaannya melakukan aktivitas serupa kelompok tim forensik Las Vegas dalam menguak sebuah misteri, kematian tak wajar, dan kejahatan lainnya. Termasuk bom bunuh diri. “Berbeda dengan kasus pengeboman di Amerika dimana para pengebom mengaku bertanggung jawab, di Indonesia tidak pernah ada. Akhirnya kami bisa temukan pelakunya dari metode DNA forensik. Ini seperti pekerjaan yang sangat menantang. Seperti CSI,”katanya gembira.
“Kalau saya ditanya, apa sih yang kamu (peneliti) berikan ke masyarakat, maka saya sudah bisa memberikan jawaban. Senangnya lagi, meneliti adalah sesuatu yang awalnya hobi, ternyata bisa bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara,” Hera seolah memberikan hawa segar dengan kesan tentang seorang peneliti selama ini dianggap sebagai orang -sesuai kutipan dari Hera– yang berjarak dengan masyarakat, kutubuku, berwajah tua, berkacamata tebal, asyik dengan dirinya sendiri dan sama sekali tidak modis. “Peneliti itu sangat dinamis hidupnya. Bahkan hampir seperti seniman. Apa yang kita lakukan di laboratorium itu seperti seni. Orang dengan rutin begitu, tanpa menghayati tak akan berhasil, karena hidupnya harus benar-benar menyatu dengan apa yang dilakukan,”ujarnya yakin. “Mereka sama-sama dedikasi dengan apa yang dilakukan dan mendapat kebahagiaan bila bisa dinikmati orang.”
Hera lantas mengenang suatu hari ketika ia memutuskan untuk mengambil spesialisasi di bidang genetika molekul. Hanya sedikit orang yang berkecimpung dalam dalam bidang ini karena dianggap sulit atau wilayah “kering”. Bidangnya memelajari keturunan atau hal-hal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain di tingkat molekul. Di sini ia melakukan pemeriksaan mengenai perunutan, pengaruh dna dalam diri manusia. Dengan demikian, pekerjaan ia dalam forensik terjadi karena forensik adalah melakukan identifikasi berdasarkan dna. Sayangnya, penelitian ini sangat sulit karena tidak boleh dilakukan langsung pada manusia. Ia harus melakukannya di laboratorium dan untuk mendapatkan kelainan-kelainan, bahan tersebut harus diinduksi. “Bagi saya, ini seperti tantangan dimana orang lain tidak bisa atau tidak mau melakukannya,”katanya. Lima belas tahun lalu, ketika ia memulai penelitian biologi molekul, orang belum begitu paham apa gunanya. Konsep itu rupanya menjadi sangat “hip” dalam dunia kedokteran kini.
Keinginan untuk selangkah lebih maju rupanya juga terbaca melalui berbagai sentuhan seni dalam lembaga penelitian yang dipeloporinya itu. Hera menata ruang kantornya dengan gaya kolonial klasik yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Pemandangan di dalam ruangan sarat dengan tanaman segar dalam pot, pernik-pernik kerajinan dari daerah, lukisan-lukisan bebungaan bergaya Mooi Indie karya Lee Man Fong, Ratmini Sudjamoko, Rukmini, serta lalu-lalang peneliti wangi yang berdandan modis. Hera sendiri tampak intim menyambut dewi. Suasana kaku tak terasa di sana. Jauh dari kesan seram, kendati posisinya tak jauh dari ruang Gawat Darurat RS Cipto Mangunkusumo.
“Seram tidak seram itu tergantung pada pimpinannya, kok,” kata Hera yang sangat berharap bisa memberikan kesan modern bagi Lembaga Eijkman yang sudah pernah mati. “Saya banyak memberikan masukan supaya tempat ini menjadi tempat nyaman bagi peneliti. Supaya terasa seperti tinggal di rumah. Memang pada saat itu konsep seperti ini belum ada,”lanjutnya. Baginya, konsep ini sangat penting sehingga para peneliti -yang melakukan hal yang rutin tidak hari-tidak menjadi bosan karenanya.
“Saya tak pernah membayangkan jadi peneliti sebelumnya,”ia menuturkan riwayat hidupnya. Sang ayah, seorang tentara generasi pertama di Indonesia. Sementara sang ibu adalah mahasiswa jurusan hukum ketika diminta menikah dengan ayahnya. Hera mengingat ayahnya sebagai pria yang disiplin dan memegang janji untuk melanjutkan ilmu yang dipilih oleh sang ibu. “Beliau tentara bidang hukum yang sangat disiplin,”lanjutnya. Hingga kelas 3 SD, Hera tinggal di Bandung sebelum akhirnya pindah ke Jakarta hingga kini.
“Masa kecil saya sangat bahagia, karena bisa menceritakan apa yang terjadi,” ia tersenyum. Setiap liburan panjang, ia dikirim ke rumah eyangnya, seorang mantan bupati, yang tinggal di Kediri. “Saya belajar bangun pagi, jalan ke sawah, melakukan pekerjaan wanita, menjahit, masak, haken, tata krama, semua diajarkan dengan sangat ketat. Hal-hal ini yang memengaruhi perkembangan jiwa saya kemudian.” Di rumah, ia belajar mengenai penghargaan. “Kalau dapat nilai 10 selama 40 kali, saya dapat skuter. Ini yang memicu saya terus-terusan belajar. Kebetulan memang saya hobi membaca,”ucap Hera yang menikmati masa remajanya dalam tren generasi bunga dan jaman 70-an yang menurutnya sangat menyenangkan.
Cita-citanya menjadi arsitek, itu yang selalu ditegaskan, karena ia merasa memiliki jiwa kesenimanan yang sangat kuat. Tapi di sisi lain, rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga luar biasa besar. “Di keluarga besar kami, hanya ada satu orang yang jadi dokter. Padahal saya anak pertama, cucu pertama. Karena itu saya memilih dua jurusan: arsitek dan kedokteran. Yah, memang bukan takdirnya masuk ITB, ya akhirnya di Fakultas Kedokteran UI,” ia tertawa. Selulus dari Fakultas Kedokteran UI, Hera sempat bekerja di klinik. Tapi, ia merasa sangat bosan. “Tak ada tantangan. Zaman dulu model penyakit hanya sedikit, tak seperti sekarang. Jadi saya memilih mencoba menjadi peneliti di bidang yang menantang tadi.” Alasan lain: ingin fokus mengurus dua anak kandungnya.
“Kalau saya sudah menetapkan, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kemampuan dan pengalaman dengan mengambil jenjang lebih tinggi.” Hera lalu menuju Australia dan mengambil penelitian mengenai biologi molekul karena bidang ini masih langka di Indonesia. “Saya ini orangnya tidak akan mengalah. Kalau memang punya suatu target, dan ada tantangan, maka saya tidak akan mundur. Carilah jalan lain untuk mencapai target tersebut. Karena kalau diterobos, saya kan bisa babak belur, selalu ada jalan lain. Itu yang kemudian saya pelajari dari pengalaman. Orang harus berjuang dulu kalau mau dipercaya.”
Seperti disebut di atas, ia akan fokus dengan kedua anaknya. Maka ia memutuskan untuk membawa kedua anaknya yang masih belia menuju Australia. Ini pekerjaan yang paling sulit mengingat posisinya sebagai mahasiswa PhD yang sangat kompetitif itu, ia masih harus berbagi pikiran untuk anak-anaknya. Di sisi lain, ia juga disarati dengan beban sebagai satu dari tiga orang Asia pertama yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia. Ia harus berprestasi. “Saya bertekad menaklukkan tantangan itu. Karena dalam pikiran saya, Ibu adalah faktor utama dalam mengisi anak-anaknya, Ibu dapat menjadi ayah untuk anaknya, tapi tidak sebaliknya.”
Hera lantas tinggal dengan dua anaknya yang masih berusia 9 dan 6 tahun yang tidak bisa berbahasa Inggris. Ia pun membagi waktu untuk mengantar anak sekolah, memasak, membersihkan rumah, semua dalam keterbatasan. “Tapi saya justru mendapatkan kebahagiaan bersama mereka. Mereka jadi tahu kerepotan saya. Jadi bila saya memasak, saya tak pernah melihat piring kotor tergeletak, mereka belajar bertanggung jawab. Ini merupakan bagian kehidupan yang tak pernah mereka lupakan, bahkan mereka nikmati. Ia akhirnya berhasil meraih Strata 3-nya dari Departemen Biochemistry , Monash University.
“Apakah ini sebuah pengorbanan? Tidak juga. Kalau dianggap pengorbanan, mungkin karena saya kehilangan masa mahasiswa saya karena saat duduk di tingkat dua saya sudah punya anak,” katanya. Ia lalu bercerita bagaimana ia membawa anaknya kemanapun ia pergi. “Ini jadi anak seluruh kelas malah. Saya nggak tahu apakah itu pengorbanan bila saya menikmatinya. Mungkin bedanya, pulang kampus mereka bisa jalan-jalan, sementara saya harus pulang. Dan saya tidak pernah merasa “seandainya”,” katanya. “Bahkan dua hari setelah melahirkan, masih pakai gurita, saya menuju kampus untiuk mengikuti ujian..”
“Sekarang, suami saya bilang begini: dulu kalau aku menunggu sampai lulus pasti enggak dapat kamu ya… ha ha ha. Dulu itu memang semuanya serba romantis. Saya mencintainya, karena dia seorang pemusik,” ia tertawa, membayangkan suaminya Aru Wisaksono Sudoyo, bekas teman sekampusnya., “Dia ngeband dan bisa berbahasa Inggris. Menurut saya, kalau dia bisa berbahasa Inggris, ia pasti membaca banyak, pengetahuan banyak, perspektif luas. Itu terbukti.”
Kebahagiaan terasa di raut wajahnya, Segala tantangan berhasil ditaklukkannya. Kedua anaknya kini sudah mandiri, kendati tak ada yang mengikuti jejak orang tuanya menjadi dokter. Buat Hera, ini bukan masalah. “Yang penting, saya bisa memberikan kebebasan mereka untuk menentukan mereka sendiri. Seperti juga orang tua saya memberikan jalan untuk saya. Biarkan mereka mencari jalan kebahagiaan, seperti yang pernah saya alami.” Peneliti dna forensik ini ternyata tidak “melanjutkan” dna – kedokterannya untuk anak-anaknya, tapi untuk kebahagiaannya. (Rustika Herlambang)
Pengarah Gaya: Dany David. Foto: Firmansyah. Busana: Tuty Cholid. Rias wajah & rambut: Aries Irianto. Lokasi: Lembaga Eijkman.
Leave a Reply