Tarian Kehidupan

eko supriyanto
Waktu kecil dianggap sebagai kerikil. Kini dia telah tumbuh dan bermetamorfosa menjadi intan yang siap diasah…
Eko Supriyanto mulai menari ketika kabut mulai turun di Candi Sukuh. Tubuhnya terhanyut dalam gerakan yang ia rasakan ketika bersentuhan dengan alam, udara dingin, pepohonan, serta relief candi yang bertutur tentang kejadian manusia. Musiknya: desir angin dan jepretan kamera. Bangunan candi yang berupa kerucut terpotong, pohon-pohon dan langit berkabut menjadi latarnya. Ia bergerak seolah merayap seperti kura-kura lalu bergerak terbang ke udara seperti burung garuda. Kata-kata Eko sebelum menginjak bangunan candi bahwa ia menemukan kesadaran kepenariannya di sini kembali terngiang. Mungkin hal itu yang membuatnya trance ketika menari.
“Candi ini bercerita tentang pertemuan antara Ibu Bumi, yang disimbolkan oleh kura-kura, dan Bapak Angkasa yang disimbolkan oleh garuda. Tapi buatku, ini berarti bahwa kita harus meraih cakrawala, tapi harus tetap kembali ke bumi,”tuturnya tentang tarian yang baru saja diperagakan. Pernyataan ini sepertinya sangat cocok dengan dirinya yang kini tercatat sebagai penari, koreografer serta pemilik studio tari “Solo Dance Studio” yang disegani di dunia tari internasional. Meski memiliki latar belakang tradisi asal Jawa, namun ia begitu terbuka dalam menyerap berbagai khasanah dalam lingkungan global sehingga kehadirannya diperhitungkan dalam panggung kolaborasi internasional.
Namanya meroket ketika ia dipilih Madonna sebagai penari latar, yang memiliki peran signifikan, dalam Drowned World Tour 2001. Prestasinya tak berhenti sampai di situ. Master Fine of Art dari University of California Los Angeles (UCLA) ini sering bekerja sama dengan sutradara opera terkemuka di dunia seperti Peter Sellars dan Julie Taymor (The Lion King Disney di Pantages Theater, Hollywood). Selain mengajar di ISI Surakarta, Eko juga sempat menjadi pengajar tari di sejumlah universitas bergengsi di Amerika Serikat. Di Indonesia, ia merampungkan film “Opera Jawa” dan “Generasi Biru” bersama sutradara Garin Nugroho. Sementara itu, pementasan “Flowering Tree” dan “Iron Bed” di berbagai negara sudah memadati agendanya setahun ini.
Kisah kesuksesan itu barangkali tak pernah mengendap dalam pikiran masa lalunya. Ia lahir di Banjar, Kalimantan Selatan, dan besar di Magelang dalam keluarga yang sederhana dan sarat konflik keluarga akibat perbedaan status ekonomi. Ayahnya, meski dari keluarga berada, bekerja sebagai pegawai negeri golongan 2B di kantor saudaranya. Sang ibu, berasal dari keluarga kurang beruntung yang mengharapkannya bisa menjadi jalan keluar kesulitan ekonomi, sempat bekerja sebagai tenaga Satuan Pengamanan (Satpam) di pabrik payung, sebelum menerima pekerjaan bordir di rumah, tidak pernah diterima di pihak suaminya. “Kami harus laku dodok (berjalan sambil berjongkok) kalau kepengen lihat acara televisi di rumah saudara. Itupun kalau dibuka pintunya..,”ceritanya. Meski demikian, Eko merasa bahagia memiliki kakek dan orang tua yang menyayanginya.
Sejak kecil, ia belajar silat dan menari, mengikuti jejak kakeknya sebagai penari di Sriwedari. Ibunya sangat mendukung aktivitas ini, kendati lingkungan tidak bersahabat dengannya. Tubuhnya yang tidak tinggi dan aktivitasnya sebagai penari -dianggap lain dari lingkungannya – membuatnya kian terkucil. “Orang bilang aku jelek, pendek, pesek (berhidung kecil). Ditolak lingkungan, ditolak perempuan,”kata Eko yang karena dicemooh terus menerus sempat mogok menari ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). “Saya kembali menari karena waktu kelas tiga harus memilih ekstra kurikuler menari atau sepak bola. Saya benci sepak bola,” ujarnya. Sejak itu, ia kembali berlatih menari, mengambil jurusan Seni Tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, setahun kemudian, dan bertekad menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri di tengah kecaman keluarga bapaknya: “Menyekolahkan anak kok sekolah pengamen.”
Eko pernah mengambil pendidikan di sebuah universitas di Jawa Tengah, tapi langsung ditinggalkannya karena beranggapan guru tarinya tak lebih pintar dari dirinya. Ia belajar tari-tarian dari daerah lain dan juga memperdalam spiritualitasnya dalam tari pada Suprapto Suryodharmo, penari spiritual dari Padhepokan Lemah Putih, yang akhirnya membuka kesadaran pada kepenariannya dari tahun 1990-1997. “Ternyata aku bisa menemukan fakta bahwa detail tari jawa banyak yang menggunakan metode laku, puasa mutih, kungkum (berendam semalaman). Aku punya pengalaman dengan Pak Prapto ketika kami kungkum di malam Jumat di sungai Pengging atau sungai Progo, belajar meditasi, lalu menari di candi. Sekarang aku baru sadari bahwa yang kudapat bukanlah pencapaian teknik, melainkan kesadaran, saat di Candi Sukuh dan candi Cetho,”ujarnya.
Perjuangannya – meski enggan disebut sebagai berjuang karena ia merasa itulah aliran hidupnya-akhirnya mendapat jawaban ketika ia mewakili Indonesia dalam American Dance Festival (ADF) tahun 1997. Dan sejak itulah hidupnya sontak berubah. Ia yang memulai karirnya sebagai penari di acara pernikahan di kampung -kampung dengan bayaran Rp.7000 pertari itupun bergerak menuju panggung-panggung pentas teater dunia, termasuk mendapatkan beasiswa master dari UCLA. “Aku selalu ikut dengan aliran. Tak pernah ngoyo. Ada kesempatan ya kuambil,”katanya menjawab rahasia kesuksesannya. “Aku pasrah pada jalan hidupku,”lanjut Eko yang tiba-tiba saja merasa semua pintu menjadi terbuka untuknya. “Aku nggak pernah melamar untuk bekerja sama dengan Madonna atau Lemi, tapi tiba-tiba mereka menelponku,”ujar Eko. Lemi Ponifasio adalah seniman terkemuka dunia asal New Zelland yang ternyata sangat disukainya, selain Peter Sellars.
Dalam urusan cinta, ia pun mengalami pencerahan. Walau pengalaman dua cinta pertamanya boleh dibilang meninggalkan rasa sakit pada dirinya. “Aku memberikan seluruh hidupku untuk cinta. Tapi yang kudapat justru sebaliknya, tapi mencoba rela,” ujar eko yang sempat melakukan open relationship dengan salah satu pacarnya demi cinta. Kejadian ini sempat menumbuhkan rasa dendam pada wanita yang lantas dihabiskannya pada saat ia masih bergabung dengan Madonna. “Aku sangat mudah mendapatkan wanita kala itu,”katanya, tak bermaksud sombong.
Namun akhirnya ia menyadari bahwa semua ada batasnya. Segala fasilitas dan kemudahan yang diterimanya, justru membuatnya serius berpikir tentang cinta. “Prinsipku, kalau memang sudah kuanggap cukup, ya aku akan berhenti. Tanda titik sudah kububuhkan. Artinya petualanganku di wanita sudah berakhir.” Eko akhirnya menikahi penarinya, Astri Kusuma Wardani, dan memiliki seorang anak perempuan, Chandra Suryavimala Prabasti -sebuah nama yang diberikan oleh Peter Sellars.
“Seluruh karya tarianku tak akan pernah lepas dari permasalahan pribadi,”ucap Eko berbisik. Kalimat ini seolah membuka lorong-lorong masa lalunya. Ia lalu menuturkan bagaimana karya awal yang diciptakannya tahun 1993 tak jauh dari kesedihan dan kesakitan perasaan ibunya. Gerakan tariannya lantas berubah menjadi liar secara seksualitas, ketika ia mulai mengenal cinta, berbekal sedikit kesuksesan yang mulai diterimanya di tahun 1995-1998. Ia melakukan eksploitasi seksual yang diambil dari pengalaman risetnya sendiri. Termasuk ketika ia menjadi partisipan aktif di Gunung Kemukus, sebuah tempat ritual yang diyakini banyak orang bisa mendatangkan berkah kekayaan dengan melakukan hubungan seksual dengan orang yang ditemui di sana, atau menuju komunitas ronggeng di Purwokerto.
Saat menempuh pendidikan masternya di Amerika, ia mulai menciptakan karya yang diinspirasikan oleh pengembaraan kesendirian dan rindu yang meledak-ledak pada keluarganya. Peristiwa yang terjadi tahun 2000 ini lantas berkembang setelah ia bergabung dengan Madonna yang mengulik sisi-sisi bisnis dan entertainmen. Kini, setelah menjadi bapak, ia kembali memikirkan esensi masa kecil, kekanak-kanakan dan itulah yang terasa dalam pergelaran “El” dan “Awakening”.
Karya-karya Eko juga banyak dibicarakan karena reintepretasi yang ditawarkan acapkali menimbulkan kontradiksi. “Misalnya karya “Daub”. Ini pengalamanku sendiri. Aku itu Rahwana. Menurutku cinta sejati antara Rama dan Shinta itu bullshit. Menurutku cinta sejati itu justru ada pada Rahwana. Ia kehilangan keluarganya, kekayaannya, terlepas dari sisi apapun, kalau dilihat dari sisi humanismenya, dia lelaki seperti aku. Aku bikin karya banyak tentang Rahwana yang menikah dengan Shinta dan memiliki banyak anak. Aku selalu reinterpretasi terhadap pakem. Awalnya dicemooh, dikritik macam-macam, tapi aku tak peduli, karyaku sendiri kok,”ujar Eko yang secara khusus mempersembahkan “Daub” ketika meminang istrinya. Katanya ketika itu, “Dik, aku ini bajingan. Sejahat-jahatnya lelaki, tapi aku mencintaimu, ingin membangun rumah tangga bersamamu dan punya anak darimu.”
Dalam karya itu, ia mengenakan rambut sepanjang hampir 3 meter yang menjuntai hingga di balik panggung. Dengan gerakan sangat pelan, ia maju ke depan, dan membiarkan rambutnya satu persatu berjatuhan, hingga habis sampai di depan. “Ini tafsirku terhadap masa lalu yang sudah kutinggal di belakang. Harapanku bahasa itu bisa ditafsirkan sama. Ditafsirkan ulang oleh orang-orang yang mengalami hal serupa, cinta, dan ingin mengukuhkan bahwa cinta yang abadi membutuhkan pengorbanan yang luar biasa,”kata Eko yang sebenarnya paling berkesan pada karya “Leleh” yang diinpirasikan dari lelakunya di Gunung Kemukus.
“Kini hidupku sudah lengkap. Aku membayangkan punya dance company yang solid seperti di Amerika. Terletak di atas bukit yang dingin, antara gunung Merapi dan Merbabu, punya tempat latihan, punya pentas sendiri dengan program-program yang mapan, mendatangkan artist residency, datangin dosen tamu, bikin koreografi, pentas keliling dunia dan daerah, dan belajar tari-tarian tradisional ke berbagai daerah di Indonesia. “Para penariku tinggal di situ, latihan nari setiap hari, aku gaji setiap bulan, bikin target berapa karya dalam setahun,”ujar Eko yang sebelum menikah sudah memiliki kelompok penari seperti digambarkannya itu. “Setiap kali aku mood menari mereka kubangunkan,”katanya tersenyum. Ia juga sering mengajak penarinya bertualang ke gunung, pantai, candi, dan berbagai tempat yang sekiranya dapat meningkatkan rasa berolah tubuh, dan menari.
Meski demikian, ada hal yang selalu meresahkan pikirannya. Apalagi kalau bukan mengenai kedua orang tuanya yang tak sempat merasakan kesuksesannya. Ia lalu mengenang air matanya tumpah ketika mengucap adzan di telinga anak perempuannya. “Ia mirip sekali dengan ibuku. Ini seperti reinkarnasi. Kebetulan waktu adikku melahirkan anak lelakinya, mirip sekali seperti ayahku. Ketika keduanya bergandengan tangan, aku dan adikku menangis. Mereka kembali lagi. Dan kini aku ingin membahagiakan mereka,”lanjutnya. “Aku sangat mencintai ibuku. Sangat. Bahkan ketika kuliah saja, kalau pulang ke Magelang, pasti aku ngempeng sama Ibu, nggak mau diganggu.”
Apakah karena anaknya yang berwajah mirip sang ibu itu lantas membuatnya lebih tegas dalam menata langkah hidupnya? “Yang pasti kini tujuan hidupku sudah pasti. Tujuannya ya terus hidup untuk menari. Dengan menari aku bisa memberi kehidupan anakku, dan anakku bisa menari, dan aku juga akan bisa menghidupi tarianku. Jadi kalau kau tanya tentang menari. Menari adalah hidupku. Hidupku adalah tarianku.” Di Candi Sukuh, angin menerpa, seolah memberikan restu pada dirinya. (Rustika Herlambang)
Busana: Stylist: Quartini Sari. Fotografer: Ferdy Adrian, Kencana Art Photography, Yogyakarta. Website: www. kencanaphoto.com
Lokasi: Candi Sukuh, Karanganyar.
wah, saya ingin sekali bisa menulis profil seperti mba.. sangat menginspirasi gaya tulisan mba, Makasih
mmmm bisa bantu aku… aku sedang butuh data lengkap eko supriyanto.. dari tanggal lahir mpe beliaunya membangun keluarga? adakah data lain yang masih belum di keluarkan?terimaksih.
Hi just thought i would tell you something.. This is twice now i?ve landed on your blog in the last 3 weeks looking for completely unrelated things. Great Info! Keep up the good work.