Petualang Kehidupan

ugo untoro
Bagi Ugo, seni tidak hanya diukir di atas kanvas atau obyek, tapi juga di hati, perasaan dan kehidupannya
Satu halaman buku saja tidak akan pernah cukup untuk menuliskan Ugo Untoro. Seniman eksentrik yang kini bermukim di Yogyakarta ini memang menarik dikupas dari berbagai sisi. Dari penampilan hingga karya seni yang dilahirkan seolah menunculkan petanda-petanda yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Itu sebabnya penulis, sastrawan yang juga sahabat Ugo, Omi Intan Naomi sanggup menghabiskan 483 halaman untuk membukukan kisahnya: The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006). Buku yang dibuat dalam waktu sepuluh hari itu diluncurkan Desember lalu di Jakarta.
Seorang seniman kontemporer Indonesia yang namanya terus menanjak -sayang dia enggan disebut namanya-mengakui bahwa Ugo adalah sosok legenda dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia yang sangat total dalam berkarya. Ugo-lah yang membawa gaya corat-coret di atas kanvas sejak 15 tahun lalu, yang kini baru disadari, seperti dikatakan kurator Hendro Wiyanto, bahwa apa yang dilakukan itu dimaksudkan untuk “menghancurkan” gaya (seni lukis) di akademi seni rupa Yogyakarta yang sarat berpegang pada mutu keastistikan sapuan kuas dan garis. Tiga penghargaan bergengsi dalam dunia seni, Philip Morris Award sempat direbutnya pada tahun 1994, 1998, dan kemudian memenangkan 5 Best Asia Philip Morris Award di Hanoi, Vietnam. Ia juga ditasbihkan menjadi Tokoh Seni Rupa Tahun 2007 versi Majalah Tempo.
Ketika dewi mengunjungi rumahnya yang terletak di pedusunan yang asri pagi itu, ia baru datang dari kandang kuda. Ekspresinya dingin. Dari kejauhan suara gemerincing sepatu bootnya berbunyi seiring langkah. Dalam keseharian, ia memang dikenal nyentrik. Gaya berdandan hingga tato di tubuhnya sudah menunjukkan bahwa hidupnya tak bisa lepas dari apa yang disebut dengan seni. Ia tak seperti kebanyakan seniman masa kini yang sudah berpikir professional, seperti memiliki jam kerja tertentu, berpikir di atas meja, menjamu tamu-tamu dan mempromosikan diri sendiri. Sebaliknya, ia sangat pendiam, bahkan cenderung cuek. Meski demikian, banyak orang menyukainya. Terutama karena pikiran-pikiran cerdas dan celetukan humor-humor yang membuat suasana menjadi segar.
Setelah memberikan salam, ia kembali diam, duduk santai di kursi panjangnya. Sambil mendengarkan istrinya, Trisni Rahayu, yang dipanggil Mbak Yayuk, ia begitu menikmati rokoknya. Walau begitu, telinga dan pikirannya sangat peka. Bila ada jawaban yang dirasa kurang berkenan, tidak cocok atau perlu ditambahkan, ia langsung melontarkan celetukan. Seperti ketika Mbak Yayuk memperkenalkan sifat dasar Ugo yang pendiam, pemalu dan memiliki perasaan yang peka, tiba-tiba ia memotong cepat,” Romantis….Aku ini orangnya romantis.” Pernyataan yang cukup signifikan ini rupanya mampu memalingkan pandangan beralih padanya, mengubah keseriusan menjadi tawa renyah. Senyumnya yang sejak tadi terpenjara tiba-tiba kembali membayang di wajahnya. Mata sayunya terang seketika. Rupanya mood pembicaraan memancing kata-katanya kemudian.
“Sebenarnya cita-citaku itu menjadi sastrawan, bukan jadi seperti sekarang,”ujarnya pendek. Ia lalu pergi sejenak, dan kembali dengan sebuah buku kumpulan cerita pendek sekali (cerpenli) yang sudah diterbitkannya dengan judul Short Short Story dan buku kliping berisi artikel seni, dimana di terdapat tulisan wawancara dengan Drs. Ugo Untoro, seorang kritikus seni mengenai perkembangan seni di Indonesia, pada saat ia berusia 14 tahun! Tapi, ia terlihat begitu kecewa ketika tidak menemukan buku tulis tebal bersampul batik yang berisi puisi-puisi yang dikarangnya sejak belia dan masih disimpannya hingga kini.
“Makanya dulu aku pengen sekolah ke Yogya supaya bisa ketemu Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi, tapi nggak boleh ibuku, karena masih terlalu kecil,”ia mengenangkan keinginan masa SMP-nya. Dan keinginan itu akhirnya tak berhasil diwujudkan karena ketika ia tiba di Yogyakarta selulus SMA, Umbu, sosok misterius dalam dunia sastra Indonesia yang pernah membentuk komunitas penyair Malioboro, sudah tak ada lagi. Di atas meja, ia juga meletakkan kartu OSIS SMA dan kartu mahasiswa yang membuat sejarah tak terbantahkan: wajahnya putih, bersih dengan tekstur muka yang menarik. “Wajahku hancur kan setelah camping di suatu gunung, aku lupa namanya. Sejak itu, nggak pernah mulus lagi.”
Hingga kini, ia masih gemar menulis puisi dan cerpen. Biasanya ia menuliskannya dengan menggunakan tulisan tangan yang rapi di atas buku tulisnya. Sulit baginya menulis langsung di atas komputer. “Baru menulis satu huruf dengar suara adzan, eh, belum lima huruf sudah adzan lagi,” ia mengibaratkan situasinya, persis yang dituangkan dalam salah satu cerita di kumpulan cerpennya. Semangat seperti itulah yang terasakan dalam cerpenli-nya. Tak banyak kata, tapi bercerita. Misalnya begini: Dulu kukira Mohammad Ali orang Indonesia. Pernyataan ini seolah mengingatkan sebuah peristiwa di zaman 70-80an di Indonésia ketika anak sekolah diistirahatkan sebentar untuk menyaksikan pertandingan tinju Mohammad Ali di televisi.
Ugo dilahirkan di daerah Purbolinggo pada tanggal 28 Juni 1970 sebagai sulung dua bersaudara lelaki. Ia adalah pecinta cerita wayang kulit dan penggemar segala komik Indonesia, dari SH Mintardja sampai Zaldi. Ia belajar menggambar dan membuat karikatur dari ayahnya, meski sebenarnya ia lebih suka membuat boneka, kerajinan tangan satu yang dirangkaikan dengan berbagai kerajinan tangan lainnya, patung kecil, gambar-gambar ilustrasi, dan komik. Kesukaannya pada pelajaran menggambar meningkat ketika duduk di SMA. Ketika menghadapi pelajaran yang dianggapnya sulit, seperti matematika dan fisika, ia mengantisipasi kejenuhan dengan… menggambar! Apakah menggambar gurunya atau wajah teman-teman sekelasnya. Peristiwa inilah yang akhirnya menghantarkannya menuju Institut Seni Indonesia Yogyakarta hingga lulus.
Dengan latar belakang seperti itu terlihat bagaimana pengaruh masa kecil terhadap perjalanan dan karya Ugo. Apakah ilustrasi, komik, wayang, boneka begitu merasuk ke dalam ruhnya yang baru di dalam karya-karya bikinannya. Lebihnya, karya itu tidak diam seperti penampilannya, tapi gelisah seperti pikirannya. Persis dengan gaya cerpenli-nya, karya yang dibuat banyak bercerita, meski dalam bentuk sederhana. Tak banyak dekorasi, tapi meninggalkan pikiran-pikiran yang lantas menelisik masuk untuk kemudian dicerna. Ia menggambarkannya seperti segelas kopi yang belum habis dan ditinggalkan oleh pemiliknya di sebuah ruangan tak terduga. “Seni itu bagi aku semacam petualangan akhirnya. Seperti naik kuda ke tempat yang terpencil. Petualangan imajinasi, seperti petualangan dalam komik-komik yang aku ingin bangkitkan lagi. Dari silat Ko Ping Hoo hingga kisah asmara Zaldi.”
Sisi-sisi petualangan itu barangkali yang membawanya pada kuda-kuda yang tidak saja ia pelihara, tapi juga di atas kanvas-kanvasnya. Seperti dikutip dari Nirwan Ahmad Arsuka, bahwa kuda-kuda Ugo ternyata memiliki sesuatu yang krusial dalam dunia seni internasional. Setidaknya dalam tulisan Tamsin Pickeral, The Horse: 30.000 Years of the Horse in Art, kuda-kuda Ugo juga disebutkan di sana. “Kuda bercerita tentang keindahan, kecepatan, kekuatan, yang bagiku adalah salah satu penemuan manusia, penciptaan manusia yang memengaruhi budaya manusia sendiri. Dari padang-padang liar, manusia menaklukannya untuk dilatih sebagai kuda tunggang, perang, pacuan, sahabat dan masih banyak lagi,”tutur pemilik kuda pacu yang diberinya nama Kupu-kupu, Silver Surver dan Angin Tenggara. Setiap pukul lima pagi, setelah membuka email dan meminum segelas kopi, ia sudah berada di kandang kuda dan mengajak kudanya berkeliling, menyusuri pedesaan. Cita-citanya -yang tak mustahil bakal diwujudkannya-berkeliling Jawa dengan kudanya.
Di tiga jemari tangan kanannya, tampak tato koboi. “Aku ingin jadi koboi. Bahkan aku pernah melamar kerja ke beberapa ranch di Australia. Nggak dibayarpun tak papa. Ibaratnya, hanya untuk membuang kotoran kudapun aku mau. Tapi ditolak terus! Capai saya. Buat aku koboi itu petualang.. petualang yang kesepian.” kisahnya.
“Terus terang, aku ingin bertualang. Dari lahir hidupku mapan. Aku pengen merasakan hidup menjadi gelandangan. Makanya aku bener-bener menjadi gelandangan tahun 1993. Uang dari orang tuaku kuberhentikan. Aku mulai melukis wajah. Bergaul dengan banyak kalangan,”lanjutnya. Ia sendirian saat itu, tapi ia tak pernah merasa kesepian. “Aku pemalu, rendah diri, tapi yang penting bunyinya,” ia menunjukkan sepatu boot tingginya yang mengeluarkan bunyi gemerincing. Itu yang dia sebut sebagai totalitas dalam merasakan kehidupan. Hingga kini, ia masih sering melakukan berbagai hal yang sekiranya bisa membuatnya memperkaya pengalamannya.
Totalitas itulah yang sepertinya menjadi jiwa Ugo yang sejati. Ia sangat menghayati setiap proses kreatifnya, bukan semata-mata dilihat dari apa yang dia lakukan. “Penghayatannya terutama karena dia jujur. Membuat karya dari sesuatu yang ia merasa terlibat. Sesuatu yang untuk dia menggerakkan. Misalnya karya tentang kuda. Itu karena dia sedemikian mencintai kuda dan mereka sangat dekat dan memberikan semangat besar ke Ugo. Mungkin juga dia mencoba melakukan hal-hal ekstrem,”tambah Alia. Mungkin yang disebut sebagai hal ekstrem dalam hal ini antara lain membawa kuda pacu kesayangannya, yang sudah retak tulangnya, menuju tukang jagal, yang kemudian ia tuangkan dalam karya-karyanya. “Padahal hal yang ingin disampaikan Ugo adalah sebuah cerita pengkhianatan seorang sahabat,” tambah Heri Pemad, Art Manager, yang menjadi produser untuk pameran Ugo, Poems of Blood. Ia memang selalu punya agenda tersembunyi dalam setiap karyanya, yang tidak hanya indah, meninggalkan kesan, tapi juga sebuah pemikiran yang mendalam.
Bulan ini, ia kembali menggelar pameran tunggalnya. Mengambil tema kolam renang (swimming pool) di Nadi Gallery, Jakarta. “Sebenarnya, kolam renang kan aslinya di Roma atau di daerah Itali. Konsepnya: mandi bersama. Tapi sekarang aku melihat kok malah dijadikan simbol kekayaan. Kalau rumah ada kolam renangnya dan berpagar tinggi, wah ini orang kok kaya bener… Padahal aku melihatnya seperti orang yang kesepian. Mereka juga jarang memakainya. Untuk simbol kesepian itu, mereka ingin masuk ke dunia luar tapi tak bisa. Padahal untuk memiliki kolam renang itu kan biayanya mahal.” Di luar kegiatan pameran di Indonesia, ia sudah mengadakan kerjasama dengan Biasa Art Space milik sahabatnya, Susanna Perini, untuk melakukan pameran di luar negeri.
Keberhasilannya mengolah karya rupanya berasal dari moodnya yang tak bisa ditebak. Ia sulit menjaga emosi, ini yang kadang membuat ia berhasil menyelesaikan 12 kanvas dalam satu hari satu malam tanpa henti. Tapi sesudah itu, ia bisa saja dua bulan berhenti. Ia mengisi hari-harinya dengan membuat drawing, menulis cerpen atau puisi, nonton film dan membaca. Pengarang kesukaannya: Gabriel Garcia Marques, Milan Kundera dan Dostoyevski. “Aku senang novel itu karena menceritakan hal yang kelam…..” Acapkali, karyanya berasal dari hal yang dianggapnya sepele. “Semua kujadiin simbul. Payung. Rokok. Mantol. Kopi yang belum habis tapi sudah ditinggal orang. Hidupku tak bisa terikat dengan jam kantor. Aku tak bisa terikat..kecuali aku tinggal di kerangkeng yang empuk, dengan fasilitas yang lengkap… ya, aku mau dikerangkeng,” ujarnya dengan kerlip mata yang nakal.
“Aku bekerja dengan seluruh darah dan keringat. Kalo jelek, ya tak apa. Yang pasti aku sudah berjuang,”tuturnya. Di ruang tamu itu, ia meletakkan salah satu karya kesukaannya. The Thinker, adalah lukisan yang diinspirasikan dari patung The Thinker karya Rodin yang kini diletakkan di museum Louvre, Perancis. “Dia kan lagi mikir… kayaknya mikirnya sudah capek banget.. sampai-sampai kepalanya terpeleset dari tangannya.”katanya lagi. Karya tahun 1996 itu, cerita Ugo, adalah salah satu karya periode lama yang selalu memancing semangatnya untuk terus berkarya.
Bila memang karyanya dianggap kuat, kata Ugo, karena semua bermula dari cinta. „Semua karyaku bicara tentang cinta. Apakah cinta kepada sudut, cinta kepada air mata, cinta pada kesendirian. Aku ingin menjajah kemanapun dengan cinta ini, baik lewat puisi, cerpen, berkuda, melukis, bikin komik, boneka, dan masih banyak lagi,”ujar Ugo, yang biasanya menuliskannya dengan tangan sebelum berada di depan computer atau kanvas. Ini yang membuat semua memberikan getaran yang kuat yang ada di dalamnya. Ketika bicara cinta yang terjadi kemudian adalah karya yang terjadi dengan sendirinya. Ia tak pernah memikirkan apa bentuknya. “Cinta itu susah dijabarkan. Cinta itu seperti penggerak hati, otot, tulang, untuk segera bekerja, apapun bentuk dan warnanya.
“Aku itu kalau jatuh cinta total. Seperti ketika berkarya. Habis-habisan. Aku kejar. Kalo sinetron Indonesia, katanya aku cinta padamu. Tapi bagaimana aku menyatakan aku cinta padamu dengan bahasa yang lain petanda bahwa aku mencintaimu. Kadang kalau aku mau, kulamar langsung,”ia berkata, yang kemudian lantas ditujukannya pada tipe wanita yang disukainya. “Sebenarnya ini seperti sebuah obsesi. Atau dendam. Dari kecil aku sudah berada dalam tradisi agama yang sangat ketat. Jam empat pagi harus bangun, ke masjid, masak air, bersih-bersih kursi, kaca, tak boleh pelihara anjing. Ini yang membuat aku bercita-cita kalau aku punya istri, dia harus agamanya lain, entah dia orang mana, China atau kulit putih. Jadi aku bayangkan, pasti akan geger semua….”lanjutnya. “Tapi sekarang banyak cewek-cewek yang suka… itu kan karena aku… ganteng.” Gubrak!
“Sesuatu yang membuat aku cinta, itu biasanya berasal dari wajah. Kedua, apakah dia bisa diajak bicara. Ketiga: seks. Keempat, bisa mensuport, memberi rangsangan untuk saling maju. Jadi cinta adalah….” Ia memberikan dua potong puisi cinta yang dibuatnya 20 tahun lalu.
Kini ia sedang mengangankan cita-citanya yang sederhana -mengambil istilah Ugo. Hidup di atas bukit, punya rumah kayu. Punya ladang yang tumbuh pohon buah-buahan. Banyak kuda. Banyak anak. “Aku ingin nambah anak buat teman anakku… Eh, tapi kan aku sudah punya banyak anak ya.. itu di studio.. anak-anak memanggilku Eyak..,”ia mengingat studio dan Museum dan Tanah Liat miliknya yang dibuka untuk para seniman muda berkarya. Impiannya ini ternyata… tak jauh dari komik Djan Mintaraga dan Teguh Santosa. Tokohnya hidup di gunung dengan gaya hidup seperti yang diidamkan itu. Sesekali turun dengan naik kuda, mampir ke kedai arak, habis itu naik lagi ke gunung. “Ini supaya aku bisa mewujudkan cita-citaku yang total sebagai seniman. Seniman yang profesional. Yang aku akan jalan terus, sampai kapanpun….” (Rustika Herlambang)
Foto: Indra Leonardi
Bekas-bekas;
Sementara itu untuk pameran di dalam negeri, manajemen masih dipegang oleh Mbak Yayuk.”Semua yang urus dia. Aku tinggal tanda tangan. Jadi kalau sampai dibohoni, ini kan masalah kontrak ya.. itu tanggung jawab dia. Soal surat-surat aku kan nggak teliti, asal percaya saja. Nah istriku jago soal ini, jadi segala sesuatu bisa dibicarakan lagi.”
Seperti yang ia katakan, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada berhenti, itu pula yang ia lakukan dalam bulan ini. Ugo, yang selama ini dikenal sebagai pria tanpa tidak mabuk, kini telah memutuskan berhenti dari segala pil-pil halusinator yang selama ini akrab dengan hidupnya sejak tahun 1988. “Aku capek. Kalau tak ada barang, sudah gemetaran. Sakaw. Hari kelima masuk rumah sakit. Aku capek, kalu kemana-mana harus bawa. Nggak bisa kalau begini terus. Jadi aku ikut terapi saja.” Efeknya memang membuat dia agak resah dan suka makan. Dalam beberapa hari berat tubuhnya naik hampir 5 kilo, ini yang membuatnya terasa segar.
“Dulu aku nggak pakai (obat-obatan) juga bisa. Jadi aku memaksa harus bisa. Karena dengan obat-obatan ini ternyata membuat aku kehilangan rasa. Kehilangan menikmati suasana. Hal-hal yang sepele yang kadang artistik itu hilang. Berjarak sekali aku dengan hari-hari. Aku seperti di alam mimpi. Ini seperti tak terpegang. Aku jadi terasa ditumpuli. Jadi aku terapi saja.” katanya. Seluruhnya murni lahir dari keinginan Ugo. “Tak ada orang yang bisa memengaruhi aku.”katanya.
Dengan demikian, sesungguhnya dewi sungguh beruntung. Karena seluruh hasil wawancara dan pertemuan ini adalah sebuah ujud Ugo yang baru.
Bekas-bekas:
Ugo dilahirkan di daerah Purbolinggo pada tanggal 28 Juni 1970 sebagai sulung dua bersaudara lelaki. Dari ayahnya, ia belajar menggambar dan membuat karikatur. Sejak SMP ia ikut dengan kakekknya, dan dididik dalam tradisi Islam yang ketat. “Kakiku sampai kapalan. Dahiku sudah hitam waktu itu. Banyak solat. Mungkin kalau dimasukkan pesantren aku mau… Pesantren Putri,”tukasnya tanpa rasa bersalah. Kala itu, setiap subuh, ia sudah bangun dan melakukan berbagai kegiatan rumah tangga. Sementara itu, adiknya menderita penyakit asma yang harus berurusan dengan obat. Tapi obat-obatan ini bukanlah jenis obat-obatan yang dikonsumsi Ugo seperti tertuang dalam buku Omi, melainkan obat sakit asmanya.
Dalam kanvas, ia menuangkan segala sesuatu yang ada di dekat dirinya. Seni itu seperti petualangan dalam komik, tapi dengan media kanvas atau objek. Lukisannya tak pernah lurus, katanya. “Aku kan nggak punya style. Ngacak. Abstrak. Aku nggak peduli kurator bilang aku nggak punya jati diri. Orang susah bilang bahwa nggak punya style itulah style. Buat aku, memang ini yang kuperlukan. Kalau hujan, ya yang diperlukan mantol. Aku harus ngatasi ini dengan cara apa? Nggak harus terlalu dekoratif, yang penting aku ada ide, aku mikir, sampai ketemu… nah!
Soal karyanya dianggap laku atau tidak, ia tak ambil pusing. “Aku nggak pernah mau diarahkan oleh siapapun,”tegasnya soal karyanya. “Itu namanya lukisan pesanan. Bukan karya.” Ucap Ugo yang karyanya mulai laku di pasaran tahun 1994, ketika karya Corat-coret Dendam mencuri perhatian para juri di Philip Morris. Ia juga meraih penghargaan bergengsi dalam bidang seni itu lagi pada tahun 1998 Philip Moris Award Indonesian Art Award di Jakarta sebagai 5 Best finalis, dan Philip Moris Asean Art Award di Hanoi, Vietnam. Sejak saat itu karyanya terus menghiasi berbagai pameran bergengsi apakah di Indoensia ataupun di mancanegara.
Keasyikan itu barangkali berawal dari totalitas Ugo dalam berkarya. Ia sangat menghayati setiap proses kreatifnya, bukan semata-mata dilihat dari apa yang dia lakukan. “Penghayatannya terutama karena dia jujur. Membuat karya dari sesuatu yang ia merasa terlibat. Sesuatu yang untuk dia menggerakkan. Misalnya karya tentang kuda. Itu karena dia sedemikian mencintai kuda dan mereka sangat dekat dan memberikan semangat besar ke Ugo. Mungkin juga dia mencoba melakukan hal-hal ekstrem,”tambah Alia. Mungkin yang disebut sebagai hal ekstrem ini antara lain membawa kuda pacunya kesayangannya, yang sudah retak tulangnya, dibawanya menuju tukang jagal. Lalu ia menuangkan dalam karya-karyanya. „Sebenarnya Ugo tengah bercerita tentang pengkhianatan dalam karyanya,”tambah heri Pemad.
Sebenarnya yang jago gambar justru adiknya, yang sering menang di berbabai penghargaan menggambar bahkan hingga tingkat propinsi.
Semenjak mengenal kuda, hidupnya sudah mulai “teratur”. Setiap pagi dan sore, ia selalu berada di kandang untuk mengurus ketiga juda pacunya itu. Ia tak segan mendatangkan ahli kuda dari luar kota untuk mengajarinya memelihara kuda, setelah kuda kesayangannya mati dan kini sudah mendapat ganti. Ketika dewi datang, ia sudah bangun pukul 4 pagi, meminum segelas kopi, membuka email, lalu menuju kandang sambil menenteng sadel. Ia keliling desa. Ia sendiri pelihara kuda sekitar tahun 2001. “Kuda itu mengembangkan petualangan. Seperti komik. Aku selalu membayangkan bisa menembus apa sih di jauh sana? Misalnya di sana ada pohon angker, dan aku pasti akan ke sana. Angker adalah sebuah tantangan, ini kan bagian dari petualangan.”
Menurutku, proses kreatif itu kanpenghayatan. Ugo adalah seseorang yang sangat menghayati proses kreatifnya, jadi bukan semata-mata dilihat dari apa yang dia lakukan,”tambah Alia.
“Terus terang, dari lahir hidupku mapan. Aku pengen sekali merasakan hidup menjadi gelandangan. Makanya aku bener-bener menjadi gelandangan tahun 1993. Uang dari orang tuaku kuberhentikan. Aku mulai melukis wajah. Bergaul dengan banyak kalangan,”lanjutnya. Ia sendirian saat itu, tapi ia tak pernah merasa kesepian. “Aku pemalu, rendah diri, tapi yang penting bunyinya,” ia menunjukkan sepatu boot tingginya yang mengeluarkan bunyi gemerincing ketika ia melangkah.
Wah..Aku salut banget sama pemilik blog ini…
Artikelnya bagus.
Ngomong-omong, anda dapat bahan postingnya dari mana aja?
Saya akan menyimpan alamat url/link anda.
Aku akan sering-sering mampir kesini membaca tulisan anda.
Saya tunggu up-datetan nya..
Salam sukses
http://sekolahseks.wordpress.com
Terima kasih, sudah datang dan memberi komentar..
Semua artikel yang saya posting di sini saya ambil dari tulisan saya yang dimuat di majalah dewi…
Sayang, halaman sangat terbatas… padahal ceritanya tak terbatas… karena itu, saya tuangkan dalam blog pribadi saya…
Ugo Untoro needs to visit PGB Bangau Putih Silat in Bogor or contact Poppy Dharsono.
He will enriched his life and find that ” bencana dan keberuntungan adalah sama ” seperti yang dikatakan Poppy.
We want Ugo to find peace with his talent and to be show the world that he is.
dear Ih Toan,
terima kasih
saya sudah sampaikan ke Bu Poppy, Ugo dan juga Rudi Mantofani…
From Susanna Perini via SMS
Good writing on Ugo, Tika !
Ciao, Susanna.
aduh…,sudah cantik pinter nulis pula…,alamaaak?
saya seperti berhadapan langsung dengan salah satu perupa idola saya ugo (meski satu almamater tapi belum pernah ketemu langsung sama ugo). melalui tulisan Anda yang sangat jujur ngalir apa adanya menggambarkan ketika itu. saya menunggu tulisan Anda khususnya tentang seniman2 perupa lainnya, mampu mengungkap beyond of the artist.
terima kasih, Yuli..
kira-kira siapa yang ingin Anda ketahui?
saya salut atas tulisan,pengetahuan mbak ttg perupa.
Tolong mbak tulis perupa LIM TJOE ING.saya buth infonya.saya punya lukisannya dari saudara,mo saya jual karena ibu saya buth buat bayar hutang.
saya ingin belajar pada mbak.bidang saya di recicle plastik
teman-teman, adakah yang bisa memberikan informasi mengenai Lim Tjoe Ing? silakan dibagi untuk Mas Gatot..
Ugo icon seniman kontemporer indonesia.
Salud unt karyanya di biennale 2007, “Going Nowhere”
Tulisan anda suatu karya seni yang sangat menyejukkan sanubari dan mampu membuat saya merasa “bertemu” dengan setiap pribadi yang anda ulas tanpa merasa ini adalah sebuah wawancara. Apakah ada lagi blog lain yang secantik ini?
Salam.
terima kasih banyak, Pak Alex…
mas,artikelnya keren…aq suka n pngen blajar jauh soal seni n artikel seni.. aq lulusan SMSR Surabaya 2001….thanks
Mas Ugo, kali yha…..
soalnya yang nulis cewek… makanya bisa dalam.. he he he…
Jos, kemringet, manteb. Makasih Mbak bisa ikut baca. Salam
luar biasa …lama saya cari berita artis talk …makasih mbak…
Saluut saluut saluut, saya menyukai bahasa penulisan anda, yang membuat saya seolah2 berada di tengah wawancara anda lansung di tempat tersebut…
Anyway bahaslah seni yang lebih banyak lg dan mendalam saya yakin itu sumbangan besar untuk nalar dan rasa kita anak nusantara suatu hari.