Menapak Jalan Tanpa Peta
dewi lestari
Mengungkap kejatidirian adalah hal terpenting dalam kehidupannya kini
Dewi Lestari masih saja disibukkan oleh diskusi buku terakhirnya, Rectoverso, ketika akhirnya ia menyanggupi untuk bisa diwawancara oleh dewi. Tentu saja dalam waktu yang sangat singkat, karena jadwal acaranya sangat padat menjelang akhir tahun 2008 lalu. Sementara itu, salah satu lagu ciptaannya yang berjudul Malaikat Juga Tahu, diambil dari album yang sama dengan buku barunya itu, juga sedang diputar dimana-mana. Ini juga membuat jadwal manggungnya ketat. Bisa dibilang, ia menuai sukses besar dengan percobaan yang dilakukannya kali ini: menggabungkan antara kumpulan cerita pendek dan lagu.
“Terus terang, aku nyaman dengan format ini. Tapi aku tak mau memastikan apakah mau melanjutkan atau tidak. Akan jadi beban bila harus memastikan,”katanya terbuka. Ia rupanya tak mau diganggu dengan berbagai hal yang kiranya akan mengganggu konsentrasinya tahun ini: melanjutkan Supernova, novel yang melambungkan namanya hingga kini, setelah empat tahun tertunda. “Itu adalah pertanyaan yang paling membuat aku stress. Sebenarnya jawabannya simpel, belum waktunya. Karena satu karya lahir butuh proses pematangan. Seperti bayi, bila belum saatnya ia akan menjadi prematur. Dan kurasa, sekarang ini saat memikirkannya,” kisah Dewi yang biasa dipanggil dengan nama kesayangannya: Dee.
Supernova memang memiliki arti yang sangat besar dalam kehidupannya. Novel pertama yang ditulisnya tahun 2001 itu tidak sekadar mengantarkan ia menjadi salah satu finalis Khatulistiwa Award bersama Goenawan Muhammad, Danarto, Dorothea Rosa Herliany, Sutardji Calzum Bachri dan Hamzad Rangkuti, tetapi juga menjadi gerbang pertama yang mengungkapkan minatnya yang paling tulus dalam bidang spiritualitas. Memang agak mengagetkan mengingat alumnus dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung, ini menceritakan hubungan antara spiritualitas dengan ilmu pengetahuan (science) dengan sangat cair di dalam novelnya. Ia menelusuri segala hal yang menarik minatnya itu hingga menemukan sebuah kenyataan baru. “Ketika aku menemukan sisi filosofinya, science itu mudah dimengerti.”
Budi Dharma, sastrawan senior Indonesia, seperti dikutip Dee, pernah menyatakan bahwa inti dari seluruh karyanya adalah suatu upaya pencarian jati diri manusia. “Pernyataan ini seperti gong buatku. Aku mau cerita cicak, kopi, semua berkisah upaya mencari jati diri,” ia menandaskan. “Bagiku pencarian jati diri itu tujuan hidup yang berarti. Sisanya cuma main sandiwara di dunia ini. Yang memberikan makna adalah kita ini siapa sih, kenapa kita di sini. Bila dulu orang menyerahkan pada lembaga agama untuk dijawab… Bagi saya lebih asyik untuk mencarinya sendiri.”
Jalan menuju spiritualitas ini ternyata sudah dirasakannya sejak kecil. Dee, anak keempat dari lima bersaudara dari keluarga Abri dan tinggal di komplek militer, gemar melamun, suka merenung. “Aku seneng dengan pertanyaan eksistensial seperti itu,” ucap Dee yang akhirnya bisa mengeksplorasi keingintahuannya setelah sang Ibu, yang banyak mendidiknya untuk menjadi orang yang beragama, meninggal. “Aku merasa seandainya Ibu masih ada, belum tentu aku punya pemikiran aneh sampai memutuskan tak beragama. Ini hal yang tak mungkin terjadi karena Ibu adalah aktivis gereja. Aku sedih waktu ibu tiada, tapi itu ‘kan memberikan sayap juga untuk anak-anaknya agar menentukan jalannya masing-masing. Karena nggak ada yang nyuruh beribadah, akhirnya aku mencari sendiri.”
Pencarian ini seolah menemukan jawabnya ketika ia -yang sangat perasa-melihat konflik antar agama banyak terjadi di Indonesia akhir tahun 1999. “Hatiku hancur.. mengapa orang harus ribut atas nama Tuhan, agama. Hingga muncullah pertanyaan-pertanyaan yang sebelum ini dianggap pamali oleh masyarakat, dan aku memberanikan diri untuk bertanya. Tuhan itu apa sih? Apa itu cinta. Apa semesta.. hingga aku benar-benar mengalami chanelling. Tapi yang kurasakan adalah komunikasi langsung tanda perantara, sampai merasa the voice of wisdom and truth itu ada di dalam diri sendiri.” Kalau dulu ia percaya apa yang dikata orang, atau karena lahir di keluarga Kristen lalu dia ikut, kini ia ingin meng-alami sendiri, membuktikan sendiri. Tak takut berbeda dengan orang lain. Customized Spirituality. Itulah epifani pertama yang dirasakannya yang akhirnya membuka jalan hidup spiritualitas selanjutnya, yang ia sebut sebagai jalan tanpa peta.
Ia melakukan segala hal yang sekiranya bisa memenuhi kebutuhan spiritualitasnya. Salah satunya adalah meditasi. “Saya terkesan dengan suatu retret tiga hari yang dilakukan tahun 2006. Itu adalah saat pertama saya menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang permanen. Saya meng-alami bahwa ternyata tak ada yang permanen di dunia ini. Bahagia tak permanen. Duka juga tak permanen,” ungkap Dee yang mendapat banyak manfaat dari meditasi: menyadari diri, tubuh, mencari ke-elingan. “Aku merasa manusia senang dengan ilusi keabadian dan memusuhi kematian, perpisahan. Padahal segala sesuatu itu akan indah pada waktunya,”ucapnya bijak tentang Marcell yang dianggap sebagai guru kehidupan untuknya. “Yang fenomena akan hilang, tapi yang sejati harus kita temukan. Dan hasil meditasi itu tak pernah bisa dikatakan dengan kata-kata.” Begitu pula ia mengartikan yoga yang diikutinya secara serius sejak 2000 sebagai sebuah format ibadah untuknya pribadi,selain memperkenalkannya pada gaya hidup vegan.
Apapun alasannya, yang pasti sejak ia memilih jalan hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang itu, karirnya terus menanjak, bahkan kini atas namanya sendiri. Sebelumnya ia tergabung dalam trio RSD (Rida Sita Dewi) yang melambungkan namanya di musik Indonesia. Empat album yang dikeluarkan dari RSD mendapat sambutan di pasar. Tapi uniknya, di puncak kejayaan itu, ia memilih berpisah dengan sahabat-sahabatnya di RSD setelah delapan tahun bersama. “Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri,”ujarnya memberi alasan. ” “Ini adalah keputusan besar dalam kehidupanku. Tak beda dengan sebuah kehidupan perkawinan sehingga kami memutuskan untuk bubar. Sedih pasti. Itu sebuah keputusan besar dalam hidupku. Tapi aku tahu apa yang kumau di musik,”lanjut Dee yang akhirnya memunculkan album sendiri di tahun 2006, Out of Shell dan kemudian Rectoverso (2008).
Di bidang sastra, ia juga tak bisa diremehkan. Karyanya tidak bisa dikatakan hanya sebagai upaya ikut-ikutan selebritas menulis. Ia mengungkapkan sebuah persoalan yang serius -yakni pencarian kejatidirian, spiritualitas – dalam bahasa yang sangat mudah dipahami orang awam sekalipun. Prestasi bergengsi dalam dunia karya sastra Indonesia pun disabetnya: Top 5 Khatulistiwa Literary Award (KLA Award) 2001 seperti disebut di awal, Top 10 KLA Award (Supernova: Akar) 2003, Top 5 KLA Award 2006 untuk Filosofi Kopi, serta Karya Sastra Terbaik 2006 versi Majalah tempo untuk Filosofi Kopi. Novel pertamanya juga sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ini sebabnya ia sering diundang untuk menjadi pembicara sastra di Indonesia hingga Australia.
Di luar dunia intelektual, ia masih punya banyak kesibukan yang berkaitan dengan masalah pencitraan luar. Ia pernah menjadi spoke person atau brand ambassador dari produk Biotherm France (PT L’Oreal Indonesia) 2003-2005, IM3 Matrix 2003-2-4, Pro Optic (2003-2004), Nescafe Classic, Mark & Spencer Indonesia, SK-II Indonesia hingga “Cross-ou5t Cervical Cancer”, GlaxoSmithKline 2007-2008.
Apakah karena keinginan untuk jujur itu yang membuat Dee sampai membentuk perusahaan sendiri untuk menerbitkan album atau karya sastranya? Tidak juga. Tidak berarti tak percaya pada orang lain, ia hanya mengharapkan bahwa pemikiran yang ingin disampaikannya melalui karya tersebut diterima utuh oleh masyarakat, tidak tereduksi maknanya. Ia memang harus bekerja keras untuk mewujudkan kesempurnaan. Langkah yang ditempuhnya, dengan penuh resiko ini ternyata membuahkan hasil maksimal. Meski ia baru pertama kalinya menerbitkan buku, ia berhasil membuat gebrakan dalam dunia tulis menulis di Indonesia. Mau tahu kuncinya? “Kalau aku suka, aku pasti akan ngejar banget.”
Ia juga memberikan pandangan atas keberhasilan karyanya. “Sebenarnya semua karya itu berlapis. Di sana semua emosi sudah pernah aku alami, tapi kejadian persisnya belum tentu aku alami karena sudah bercampur dengan imajinasi, pengalaman diri sendiri, orang lain dan pengamatan. Bila diintisarikan sebagai pengalaman emosionalnya, sedihnya, merasa kehilangannya, harapnya, semua pernah kualami. Dan mungkin dialami oleh semua orang. Itulah sebab yang membuat karyaku bisa menyentuh banyak orang, karena pengalaman emosional yang dirasakan semua orang. Bungkus ceritanya saja yag macam-macam.” Ia juga tak menampik bahwa semua pengalaman ini juga terpengaruh dari hasil meditasi yang dilakukannya.
Memang agak unik mengingat Dee yang hidup di dunia selebritas dan dekat dengan dunia citra ini benar-benar tertarik pada dunia spirtitualitas yang tak tampak. Reza Gunawan, suaminya, menyimpulkan ia dalam satu kata: paradog. “Dia sangat pandai mengekspresikan pemikirannya dalam tulisannya secara artikulatif. Tapi itu di dalam karyanya, belum tentu orangnya. Karya dan dirinya sangat dikenal publik, tapi orangnya sangat privat. Mungkin dia dianggap sukses (karena kerja keras), padahal hatinya menyukai kemalasan. Dia jauh mencintai tidak melakukan apa-apa daripada melakukan apa-apa. Dia bisa mengatakan sesuatu yang sangat filosofis, tapi di sisi lain ia bisa mengeluarkan gaya kampungan,”ungkap Reza yang ditemui pada saat menunggui istrinya melakukan wawancara dan pemotretan dewi. “Yang saya kagumi dari Dee adalah dia menjunjung kejujuran di atas kebaikan. Ini hal yang tak mudah dilakukan orang,”puji Reza-yang akhirnya menikahi Dee karena hanya Dee-lah yang mengijinkan dia menjadi petapa.
Sementara itu, Dee akhirnya memilih Reza karena satu kesamaan: mengungkap kejatidirian.”Kalau dirunut saya tak tahu, tapi ini berlaku untuk semua pasangan hidup. Ketika kita memutuskan bersama dengan orang itu adalah saat kita menemukan cermin. Manusia kan selalu ada yearning untuk bersatu. Bersatu dengan Tuhan, kenapa kita punya pasangan karena kita ada rasa untuk saling melengkapi. Dan bagi saya hakekatnya ketika kita menemukan pasangan adalah menemukan keutuhan kita yang tercermin dari orang tersebut. Dan ini jua yang saya alami dengan Reza. Kalau dijabarkan, semuanya superfisial. Karena dia baik, ini itu, tapi kalau menurut saya lebih magis, misterius dari itu semua. Kenapa dia, mungkin sudah takdirnya !”
Selain menemukan “cermin”-nya di Reza, ia merasakan bagaimana hubungan di antara keduanya ini menyehatkannya secara mental dan spiritual. Kesamaan hobi untuk melakukan retreat bersama dan mengulik-ulik hal-hal kontemplatif membuat ia merasa ditumbuhkan. “Kubilang cermin, karena bagi saya seseorang bukanlah melengkapi satu sama lain karena setiap orang sesungguhnya terlahir utuh, tapi melalui hubungan dengan orang lain keutuhan kita tercermin, dan itu mengingatkan kita tentang keutuhan dan kelengkapan yang sesungguhnya sudah kita miliki.”
Dan perubahan yang terasa dalam kehidupan dan dirinya adalah ia sekarang lebih “seenaknya”, dalam arti lebih jujur dan apa adanya tentang kondisi dirinya sendiri. Ia juga mampu mengungkapkannya dengan lebih lugas dan gamblang ke diri sendiri juga ke orang lain. “Jadi kalau marah ya marah aja, kalau malas ya malas aja, kalau ada yang mengganjal yang bilang aja. Kalau dulu saya lebih sering memilih untuk memendam dan membungkus demi tidak terjadinya konflik.” Namun satu hal yang ternyata membuat Dee bersinar-sinar. Begini katanya,”Sekarang ini saya jadi suka masak! Dan segalanya dalam kehidupan saya terasa lebih seimbang.”
Ketika ia telah menemukan Rectoverso (cermin) – dia akan lebih bersantai. Tahun ini, ia sudah merencanakan berjalan-jalan sekaligus riset untuk Supernova terbarunya. “Aku pengen pergi ke Amerika Selatan. Ke Amazon. Ke Bolivia. Aku mau meng-alami,”katanya menyebut setting lokasi novel yang digarapnya itu. Lagi-lagi, ia ingin meng-alami. Proses pencarian jati diri itu terus berlangsung dalam dirinya…. (Rustika Herlambang)
Busana: Sally Koeswanto. Stylist: Dany David. Fotografer: Robin Alfian Lokasi: Newsmuseum, Jakarta.
Perubahan kesadaran itupula yang membawa dia pada Reza Gunawan, suaminya kini.
Dee juga percaya reinkarnasi.
Sebelas tahun sebelum ia mengenal Reza, ia pernah menuliskan “hidupnya”. Dalam Perahu Kertas, ia menulis tentang dua tokoh yang lahirnya tepat satu hari, sama-sama berbintang Aquarius. Cerita itu seperti insiden dalam kehidupannya bersama Reza karena mengalami hal yang sama: terpaut satu hari dan sama-sama Aquarius, bersahabat dan menjadi dekat. Itu nggak sengaja, tapi tiba-tiba bisa sama. Seperti perahu kertas, dibuat 11 tahun lalu, sekarang terjadi. Saya percaya reinkarnasi bahwa kita sudah jutaan kali lahir, mulai dari sel-sel, jadi kodok, sampai jadi manusia entah berapa kali, lahir dan mati. ” Hidup itu mengalir terus
“Aku memang magnet orang-orang nyentrik,”Dee tertawa. Lalu mengisahkan bagaimana persahabatannya dengan seorang profesor fisika UGM Prof. Dr. MSA Satroamidjojo menjadi guru besar di Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. yang tak lain adalah ayah sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang disukainya serta kakek dari sahabatnya Timur Angin. “Walau banyak orang bilang dia nyentrik, tapi entah kenapa aku senang sekali dengan karakter beliau. Lalu aku main ke rumahnya, main ke perpustakaannya, ditunjujkkan eksperimennya. Waktu beliau meninggal Mas Seno sempat bilang pada saya, sepertinya hanya aku yang mengerti beliau. Sementara saya benar-benar tertarik dengan filosofi hidupnya. ” Kala itu Dee seperti menemukan mata air dalam kehidupan spiritualitasnya. “Waktu itu aku seneng banget pertemuan antara science dengan spiritualitas. Keduanya seperti dua sisi koin mata uang. Bahkan pertemuan science dan spiritualitas berhubungan erat. Mereka mengatakan hal yang sama, tapi dengan bahasa berbeda. Menurutku, Bapaknya mas Seno itu bisa mengerti hal itu.”
Aww. Selamat ya Dik Tika smg goresan-goresanmu mewaliki potensi anak negeri dari kota klaten, alumni sma muhi…… Sll berkarya & terus berkelana buka cakrawala & tembus dunia … Tulisan yg berbobot, bahasa yg santun, ringan pengungkapan tapi bermakna dalam……. Sukses selalu ya Dik… kapan-kapan kita reuni yuk….alumni muhi yg di jkt kan ada mas hassan, ripto, nur laili, yusuf….siapa lagi ya…sy alumni 89 muhi rumah dekat kwarcab..dkt dg Mlinjon kan…msh ingat di PRMKK..? Saya yg dulu pernah punya impian/cita2 jd wartawan ehmmm krn tak dpt ijin Bapakku…impian itu kusimpan. Skrg tugasku di Mabes TNI AL Cilangkap..Selalu & tetap kusyukuri..kuambil hikmah dg propesiku skrg…. Slm untuk klrg….unt gadis mungil LILU….
Terima kasih Gatik… he he he.. monggo saja. Nur Laily itu adik kandungku.. Ripto temen satu band-ku waktu SMA – dulu dia vokalisnya. he he he… mas Hasan, anak Pak Thoyib? boleh, monggo diatur saja…