Komunikator Mencari Cinta
Komentator politik lulusan Cornel yang mantan juara lawak ini memiliki pandangan-pandangan yang tajam, cerdas dan tentu lucu. Namun mengapa pelopor parodi politik di Indonesia ini tak segera melabuhkan hatinya?
Effendi Gazali adalah sosok pria dalam dua sisi yang berlawanan. Dalam banyak kesempatan, ia terlihat sangat terbuka. Tak pelit bicara. Mudah ditemui di mana saja. Mungkin karena ia seorang pakar komunikasi politik yang sudah jadi selebritas televisi.
Tapi bila diajak pertemuan untuk sebuah wawancara profil pribadinya, pria yang usianya awal 40’an itu tiba-tiba berubah bentuk menjadi belut. Licin dan susah ditangkap.
“Saya ini paling tidak suka diwawancara soal pribadi,” ungkap Effendi yang mengaku telah menolak puluhan media massa yang ingin mewawancarai kehidupan pribadinya. “Biar saja masyarakat menilai saya, Biar saja mereka dengan imajinasinya tentang saya. Itu lebih menyenangkan.”
Dalam keseharian, ia adalah pribadi terbuka, terus terang, apa adanya, dan tak suka basa-basi. Ia juga pria periang, yang selalu memberikan aura kebahagiaan bagi orang di sekitarnya. Senyumnya selalu mengembang dan selalu ramah pada setiap orang yang menyapanya.
Tapi pesona kepribadian Effendi — memang penampilannya janganlah dibandingkan dengan bintang sinetron atau kaum pria rupawan lain yang sarat kedangkalan — bersumber pada kepeduliannya pada nasib bangsa. Juga pada kepiawaiannya dalam membaca wacana politik, atau pada keahliannya dalam mengupas dan mengulas pembicaraan serta tingkah pejabat publik. Effendi mempunyai hati yang peka dan nalar yang tajam, serta rasa humor yang langka, baik di dunia hiburan mau pun di akademia saat ini. Ketiga hal ini adalah magnet bagi semua pemirsa yang haus informasi cerdas.
Kemampuan analisis dan kritiknya memang sudah terasah sejak kecil. Ayahnya yang mengajarkannya agar selalu bersikap kritis. Siaran berita hingga siaran bola di televisi menjadi media kajiannya bersama ayahnya. Sikap ini pula yang membuatnya tak nyaman dengan lingkungan yang dimasukinya. Di bangku sekolah, banyak guru yang tak suka padanya. “Karena aku melawan mereka, aku tak pernah jadi siswa teladan,” tambah Effendi yang selalu jadi ranking utama semasa sekolahnya di Padang.
Bagaimana ia menjawab semua “tekanan” dari guru? “Panggung adalah wilayahku,” tuturnya tertawa. Di panggung inilah ia menumpahkan segala sesuatu yang dipertanyakan oleh logika berpikirnya. Ia berbalik “membantai” orang-orang yang telah melukainya. Maklum, saat itu ia telah menggenggam piala pertama juara lawak se-Sumatera Barat. Hal itu berlangsung hingga kini. Panggung menjadi kekuasaannya untuk menumpahkan sesuatu yang dikritisinya. Tanpa beban.
Waktu kuliah di Universitas Indonesia (UI), pada tahun 1988-1989, ia sudah membuat kelompok lawak dan wajahnya pun rutin mengisi acara di TVRI. Karena bermain di luar mainstream, lawakan berujud parodi politik ini lantas ditolak muncul lagi oleh stasiun milik pemerintah itu. “Di masa itu, lawakan yang kritis dan cerdas, jelas tidak diterima.”
Kecewa, jelas. Effendi lantas memutuskan untuk pergi ke luar negeri mengambil pendidikan S2 di Cornel University, Ithaca, New York dan S3 di Radboud Nijmegen University, Belanda. Sewaktu kuliah di New York, ia tak pernah melewatkan pertunjukan lawak cerdas dari Jay Leno, David Letterman serta Jon Stewart. Dan kini, ia bisa kembali tersenyum setelah acara yang digagasnya sudah bisa diterima masyarakat dan stasiun televisi.
“Aku akan terus melawak, sambil menyadarkan masyarakat,” tukasnya. Selain di televisI swasta nasional, ia juga merencanakan tur ke 52 kota untuk mensosialisasikan program-program parodi politik. Ia ingin mempopulerkan lawakan bergaya cerdas dan membawa suara rakyat arus bawah dengan penampilan yang canggih.. “Kalau kondisi nasional sudah bagus, masyarakat sudah kritis, kami akan berubah konsep. Mungkin kami akan menjadi penulis cerita-cerita misteri,” sambungnya menyindir.
Apa hanya soal serius seperti persoalan bangsa yang menarik minatnya? Tidak juga. Ia juga senang bicara soal gaya hidup terkini. Mobil-mobil terbaru hingga gossip-gosip di seputar artis muda pun dia pahami. Apalagi soal wanita. Ia tampak antusias membicarakannya.
Wanita yang diinginkan Effendi cukup jelas. Berkulit putih, berambut panjang, dan tidak banyak bicara “Putih itu enak dilihat. Saya suka warna putih dan biru. Karena nggak ada orang berkulit biru, saya memilih orang berkulit putih,” tukas Effendi.
Saat menjadi koresponden di Itali, ia pernah berpacaran dengan wanita yang ditemuinya saat menyusuri rel kereta. Saat itu, ia harus segera kembali ke Roma untuk membuat laporan dan bergabung dengan teman-teman lainnya. Tapi karena merasa cocok dengan wanita itu, iapun seperti kerbau dicocok hidungnya. Ia menghabiskan waktu selama 3 hari di rumah wanita itu. “Saya kenalan dengan keluarganya, tinggal disana. Setiap hari kami jalan-jalan ke kebun apel miliknya. Indah sekali,” kenangnya.
Jatuh cinta? Bukan juga, katanya. “Aku hanya merasa senang dan mengikuti aja apa yang terjadi,” ungkapnya. Setelah 3 hari, ia tak meneruskan hubungannya. Ketidakcocokan menjadi kata kunci. Tapi untuknya, peristiwa ini hanyalah sebagai bentuk perlawanan. “Perlawanan terhadap sesuatu yang seharusnya aku lakukan, yakni kembali ke Roma. Serta perlawanan terhadap sebuah hubungan,” katanya sambil tertawa.
Tentang kisah cintanya, pakar komunikasi inipun sering dapat sandungan. Hal ini terjadi karena ia paling takut bicara dengan wanita, tentang cinta. Inilah ironi yang paling menyolok, dan karena itu mungkin pahit, mengenainya. Ini kelemahan yang diakuinya. “Meski aku udah terkenal, waktu SMA aku paling takut bicara dengan wanita,” kisahnya. “Aku tahu dia suka sama aku. Kami selalu jalan bersama, berangkat dan pulang sekolah, karena sudah sama-sama tahu “jam berangkat dan pulang”,” katanya. Tapi tak pernah lebih dari 4 kalimat yang terungkap dalam sepanjang perjalanan itu. Padahal hal ini terjadi selama dua tahun.
Bertahun-tahun berikutnya, tak pernah ada kabar berita. Satu malam menjelang pernikahan, wanita itu menelponnya. Setelah basa -basi, akhirnya mereka masuk ke satu percakapan yang serius. Bahwa keduanya saling mencintai, tapi tak pernah memiliki keberanian untuk mengungkap. Hingga di malam itu. “Sampai jam 5 pagi kami berbincang. Padahal pagi itu juga, dia menikah dengan orang lain. Aku nggak tahu apakah ini romantis ataukah tragis..,” ia tampak berduka. Nada bicaranya sedikit memberat.
“That’s life. Buat aku, persoalannya bukan pada bagaimana hidup memperlakukan aku. Tapi bagaimana aku memperlakukan hidup,”ia berfilosofi. Mencoba memadamkan gejolak di hatinya.
Boleh jadi, karena kendala komunikasi dengan lawan jenis ini, pakar komunikasi ini masih tetap melajang hingga kini. Meskipun ia mengakui bahwa dalam kehidupan percintaannya bisa saja ia menggunakan ilmu komunikasi politik untuk menggaet cewek. “Sebenarnya, saya bisa saja melakukan political marketing dan political communication untuk menggaet wanita. Tapi saya tidak mau mereka salah persepsi terhadap (perasaan) saya,” tambahnya. Artinya, sang pakar komunikasi tidak ingin dengan sengaja melakukan desain-desain imaji supaya ia kelihatan mempersona di mata lawan jenis.
Ia memang tak mudah untuk mengutarakan perasaannya. Lihat saja bagaimana ia mengatakan hubungan dengan wanita yang sudah 3 tahun ini dekat dengannya. “Yang terakhir ini, almost.. Belum ada komitmen,” katanya. Di sisi lain, ia juga mengaku bukan pria yang bisa memanjakan wanita secara klise, seperti memberikan kejutan hadiah, bunga, atau sesuatu yang kecil dan berwujud. “Mungkin aku bukan orang yang romantis seperti itu,” dia terdiam. Mungkin berfikir.
Effendi lantas mengklaim bahwa terlepas dari itu semua, ia sebenarnya sangat menikmati hidup sendiri. Tapi, memang kata-kata ini datang dari mulut seorang pakar komunikasi. Apalagi kita masih dalam konteks pembicaraan soal kesukarannya mengkomunikasikan isi hatinya. Rasa skeptis bukanlah reaksi yang berlebihan ketika mendengar pernyataan tadi itu.
Apalagi jika pengakuan Effendi berikutnya disimak. “Kadang berpikiran, hidup ini untuk apa,” katanya. “Jadi sebenarnya apa yang kulakukan selama ini, seperti tertawa dalam kesunyian, seperti lagu Panbers,” kata Effendi, ia kedengaran seperti mencoba membumbui pengakuan tadi dengan lelucon. .
Karena itulah, Effendi bermaksud mengakhiri masa lajangnya tahun ini. “Kata Pak SBY, di tahun 2007 itu kita harus berbuat kongkrit. Harus lebih tegas,” katanya lagi, sekali lagi sambil memplesetkan pernyataan seorang politisi yang kedengarannya bagus tapi sebenarnya sumir maknanya. (Rustika Herlambang)
usai membaca beberapa tulisan mbak rustika ini, bagus-bagus, jernih, runut dan mudah dipahami. Pengen menjadi jurnalis seperti Anda, bagaimana sih caranya, Mbak?
Hmmm. seorang pakar komunikasi politik yang takut dengan wanita….. Jika saya menjadi dia, saya tidak akan ragu untuk memanfaatkan kemampuan saya dalam berkomunikasi untuk melakukan pembicaraan dengan wanita yang dicintai. Justru segala sesuatu harus dimanfaatkan sebaik mungkin, kalu tidak “mubadzir”(kata orang islam)
saya berharap suatu saat, effendi ghazali bisa menjadi ketua KPK, amin