Petualang Kehidupan

ugo untoro
Bagi Ugo, seni tidak hanya diukir di atas kanvas atau obyek, tapi juga di hati, perasaan dan kehidupannya
Satu halaman buku saja tidak akan pernah cukup untuk menuliskan Ugo Untoro. Seniman eksentrik yang kini bermukim di Yogyakarta ini memang menarik dikupas dari berbagai sisi. Dari penampilan hingga karya seni yang dilahirkan seolah menunculkan petanda-petanda yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Itu sebabnya penulis, sastrawan yang juga sahabat Ugo, Omi Intan Naomi sanggup menghabiskan 483 halaman untuk membukukan kisahnya: The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006). Buku yang dibuat dalam waktu sepuluh hari itu diluncurkan Desember lalu di Jakarta.
Seorang seniman kontemporer Indonesia yang namanya terus menanjak -sayang dia enggan disebut namanya-mengakui bahwa Ugo adalah sosok legenda dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia yang sangat total dalam berkarya. Ugo-lah yang membawa gaya corat-coret di atas kanvas sejak 15 tahun lalu, yang kini baru disadari, seperti dikatakan kurator Hendro Wiyanto, bahwa apa yang dilakukan itu dimaksudkan untuk “menghancurkan” gaya (seni lukis) di akademi seni rupa Yogyakarta yang sarat berpegang pada mutu keastistikan sapuan kuas dan garis. Tiga penghargaan bergengsi dalam dunia seni, Philip Morris Award sempat direbutnya pada tahun 1994, 1998, dan kemudian memenangkan 5 Best Asia Philip Morris Award di Hanoi, Vietnam. Ia juga ditasbihkan menjadi Tokoh Seni Rupa Tahun 2007 versi Majalah Tempo. (more…)