Puisi dalam Segelas Wine

Yohan Handoyo
Bila wine adalah segelas puisi, maka ia telah menciptakan ribuan puisi dari tangannya.
Di balik meja bar, Yohan Handoyo menyiapkan tiga gelas minuman. Warnanya coklat keemasan, cantik, dengan hiasan di pinggiran gelas. Hazelnut Martini, namanya. Rasanya manis, aromanya wangi, dan istimewanya, tetap meninggalkan rasa manis dan wangi itu di bibir. Dalam hitungan menit, suasana perjumpaan menjadi lebih rileks. Perbincangan mengalir lancar. Pemandangan senja restoran Segara, Ancol, terasa lebih indah dibanding sebelumnya. Tak tahu apakah karena pantulan cahaya matahari keemasan yang jatuh di pantai, atau karena efek minuman yang Anda boleh merasakannya sendiri.
“Kamu tak bakal mendapatkan minuman itu dimanapun. Never. Never!,” tegasnya dalam aksen Jawa Timuran yang kental. Ia rupanya baru saja menemukan satu racikan minuman baru, hasil perpaduan Martini dengan minuman lain, yang memunculkan aroma dan rasa kacang di dalamnya. Hazelnut Martini adalah minuman ke-8, dari 10 macam yang dihidangkan pada kami sore itu, melengkapi Udang Tequila, Strawberry Baileys, Oyster Vodka, serta macam-macam jenis white dan red wine dengan aroma buah-buahan.
Hari itu Yohan juga terasa sangat riang. Humor-humor segar terus diluncurkan. Sepertinya ia merasa senang ada teman untuk berbagi hasil eksperimen memasak dan meracik minuman. Bulan-bulan ini, ia memang sedang dikejar target, memasak 8 resep dan minimal membuka 8 botol wine dalam sehari demi menuntaskan proyek buku selanjutnya: Bagaimana Memadukan Wine dengan Masakan Asia serta panduan wine dalam bentuk komik. Tentu pekerjaan ini harus dilakukan di luar tugas wajibnya sebagai wine educator, penulis, Wine Director di restoran Segara dan General Manager di restoran Decanter yang baru saja didirikan bersama Bondan Winarno.
Proyek buku ini seperti obsesi baru buat Yohan, setelah pertengahan tahun lalu ia, melalui bukunya Rahasia Wine, membawa pulang piala kemenangan sebagai juara pertama di Kompetisi Gourmand Cook Book Award 2007 untuk kategori Wine Education Book. “Seperti mimpi, bisa mengalahkan terbitan Dorling Kindersley, How to Choose Wine – Vincent Gasnier, DK – UK, seorang somelier terkenal di dunia di tempat kedua,”katanya bangga. Bagaimana tidak, ia baru pertama kali menulis buku. Sementara buku yang diterbitkan Gramedia dan berbahasa Indonesia itu bersaing ketat melawan 8000 buku yang sama, dari 107 negara!.
Tak bermaksud sombong. Hanya tak pernah menyangka. Satu-satunya mimpi masa kecilnya hanyalah menjadi batman. Yohan yang besar di Surabaya dan Bogor sama sekali tak pernah membayangkan dirinya bakal berurusan dengan wine, sebuah minuman yang sejak jaman romawi dikenal sebagai lambang minuman enak, pesta pora dan kenikmatan.
Hidupnya biasa-biasa saja. Senang musik, senang ke gereja. Ayahnya, bekas marinir yang pernah ikut perang pembebasan Irian Jaya, adalah pengusaha yang bergerak di bidang Penyaluran Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Ia sendiri mengambil pendidikan di jurusan Akutansi, dan kemudian meneruskan pendidikan masternya di bidang Statistik di Australia, kemudian bekerja di sebuah kantor yang bergerak di bidang IT. Di gereja pula, ia menemukan belahan jiwanya: Clara Caecilia yang kini memberinya putri cantik, Darlene Lesmana (6).
Pengalaman pertama menenggak wine adalah sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan, atau dengan kata lain, memalukan. Suatu ketika, ia membaca sebuah ulasan mengenai salah satu wine terbaik, berbintang lima, di sebuah harian Australia. Nama wine berbintang lima itu Jim Barry the Armash Shiraz. Kata-katanya yang berbunga-bunga membuat imajinasinya membuncah ingin mencoba. Apa daya, harganya yang sangat mahal, sehingga harus ditebus dengan pengorbanan sebagai anak kuliahan: bekerja keras dan menyisihkan tabungan.
Rasa percaya diri yang tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai pada akhirnya akan menyesatkan. Dan inilah yang kemudian terjadi. Untuk membuka botol wine, ia harus mengerahkan satu sumpit, satu tang, dua teman, satu serbet yang membuat gabus wine itu rusak, lalu ia menuangkannya di sebuah gelas kopi. Rasa wine itu sepat dan pahit sekali! “Saya sampai bertanya sebenarnya yang bodoh itu saya atau pengulas wine itu?,” katanya, mengisahkan pertemuan pertamanya dengan wine, di tahun 1997. Pengalaman pahit inilah yang lantas memacunya untuk mengerti wine, “I start to learn“. Sambil bekerja paruh waktu di sebuah restoran di Australia, ia mulai belajar tentang wine dari segala literatur.
Kembali ke Indonesia, ia langsung bergabung dengan komunitas Jalan Sutra, pimpinan Bondan Winarno, yang bergerak dalam bidang kuliner. Pertemuan dengan Bondan inilah yang kian membuka jalan menuju dunia wine sejati. Atas rekomendasi Bondan, ia akhirnya menuju negara penghasil wine, Perancis, dengan beasiswa dari Sopexa, sebuah organisasi pemerintah Perancis yang bergerak di bidang agrikultur. Boleh dibilang, ia sangat beruntung karena seharusnya ia pergi ke Perancis untuk mengikuti kursus wine dasar, akhirnya lompat ke tingkat advance, gara-gara Country Manager Sopexa mendengarkan wawancara Yohan di sebuah stasiun radio. Di kelas ini, ia bergabung dengan chef-chef dari berbagai negeri. “Saya lulus dengan nilai terbaik,”katanya.
Keberuntungan kembali menghampiri ketika penerbit Gramedia memintanya untuk menulis buku. Oleh Yohan, hal ini dianggap sebagai sebuah sinyal masa depan. Ia lalu menghubungi Sopexa dan selama dua tahun kemudian dia dikirim ke Perancis selama dua tahun untuk belajar wine. Kemudian ia menuju ke Austria untuk belajar wine, undangan dari pemerintah setempat. Dan sejak itulah hidupnya terus berkutat dengan wine-wine.
“Dulu aku hanya mengenal dua tambah dua sama dengan empat. Tapi kini, aku merasa hidupku penuh warna. Aku menikmati wine, seperti aku menikmati hidupku kini. Mencoba menangkap sensasi yang ditawarkan oleh kenikmatan rasa wine,”kata Yohan, kali ini ber-aku-aku. Lalu ia menambahkan pernyataan bahwa setiap wine memiliki story dan kenikmatan yang berbeda-beda. Seperti puisi, masing-masing memiliki sensasi yang berbeda-beda, yang dengan sangat baik diungkapkan dengan kata-kata olehnya.
Salah satu pengalaman menikmati wine yang paling dikenang adalah pada sebuah perjalanan di Verona, Itali. Kala itu, ia berkunjung ke kediaman Franco Tommasi, ahli wine yang pernah membuat Reciotto della Valpolicella: wine of king, king of wine. “Waktu itu aku ditanya, kamu lahir tahun berapa. Dia lalu mengambil wine buatan tahun 1974. Wuff… enak.. lalu dia bilang, mari kita balik, tahun 1947. Wuuuuuuf!!! Itu rasa tak bisa dijelasin… enaaaaak banget!,”tukasnya sambil membandingkan rasa minuman yang dikatakannya seperti sutera, seandainya bisa dimakan: lembutnya, teksturnya, dan kenikmatan saat mengenakannya.
Belakangan ini, ia baru menyadari bahwa keberhasilannya dalam dunia wine tak jauh dari rumah dan lingkungannya sendiri. Ia yang selama ini berpikir sederhana dan logis -tentu yang diperoleh dari ilmu matematika, akutansi, statistik- akhirnya mampu menyederhanakan pengetahuan wine yang rumit di dalam buku yang memenangkan penghargaan internasional itu. Kelebihan lainnya, ia memberikan pemahaman dan cara pandang baru terhadap wine. Bila dulu kita harus menghapal white wine dengan daging merah dan sebaliknya, maka kini ia mengajarkan untuk memadukan wine dan makanan melalui rasa dasar yang masing-masing: asam, manis, sepat, berat, ringan, dsb. “Untunglah saya memiliki mami yang gemar memasak dan sangat tidak percaya diri,”ia membuka rahasia.
Lalu meluncurlah cerita gelap masa lalunya. Sebagai anak kedua dari empat bersaudara, 3 lelaki dan bungsu perempuan, dengan jarak yang berjauhan, ia sering bertugas menemani sang ibu memasak. Termasuk menjadi komentator hasil olahan. Suatu ketika, ibunya memiliki pemikiran dasyat -seperti dikatakan Yohan, “Bagaimana anak-anak saya tahu bahwa makanan ini kurang bumbu, sementara rasa masing-masing bumbu saja mereka tak pernah tahu?”. Demi tujuan itu, ia “dipaksa” untuk mengunyah laos, mengunyah serai, merasakan kemiri mentah, merasakan bedanya dengan kemiri sangrai, merasakan kunir, merasakan kluwak, dan masih banyak lagi. “Dulu buat saya ini siksaan, rasanya pengen nangis. Tapi kini, setelah masuk ke dunia wine, inilah latar belakang yang sangat sangat bagus,”kata Yohan yang memuji-muji kluwak matang yang rasanya seperti dark chocolate atau black olive yang dipuree. “Itulah yang saya sebut sebagai bless in disguise sekarang.”
Dunia wine kini adalah profesionalitasnya. Di luar itu, ia juga menikmatinya. “Tak hanya soal rasa asam, manis, buah, tapi sesuatu yang lebih subtil. Inilah yang yang saya rasakan kini sebagai petualangan setiap waktu dan petualangan sensasi.” Peradaban itu benar-benar diekspresikan dengan baik oleh Yohan.
Tapi tidak demikian halnya ketika ia bicara tentang perasaan atau kata hatinya. Ia hanya mengatakan…”Next question please…Aku ini orang yang tak pandai mengutarakan perasaan dengan kata-kata.” Bahkan dengan anakpun, Yohan mengaku tak pandai. “Cara saya mengutarakan perasaan itu bukan dengan kata-kata, tapi sentuhan.”ujarnya. “Walau saya anak mama, tapi kami tak pernah sama sekali membicarakan perasaan saya, pacar saya, atau juga sex. Mungkin itu sebabnya waktu saya kecil, saya nembak langsung. Mau atau tidak. Kalau dia bilang pikir-pikir dulu, pasti langsung aku tinggal. Buatku ini adalah penolakan,” kata Yohan yang pada saat sekolah di Australia pengeluaran terbanyaknya berasal dari biaya telepon dengan ibunya.
Walau kemudian ia menjawab pertanyaan ini di waktu malam…”Wanita seksi itu buat saya kalau cerdas dan adventurous, nggak takut untuk mencoba sesuatu yang baru.” Lalu buru-buru ia berkata,”Untunglah istriku 180% berseberangan dengan aku. Aku suka mencoba makanan, dia tidak. Aku suka wine, dia tidak.. Opposite attraction. Mungkin kalau aku punya istri yang sama, bisa-bisa kami sudah transplantasi liver!,” cerita Yohan tentang istrinya yang usianya lebih tua tiga tahun dari dirinya itu. “Kita sama-sama musik dan buku. Tapi di luar itu, saya punya colorful life. Banyak hal yang aku kerjakan sendiri, tapi itu tetap menyenangkan.” Ia lalu menyebutkan salah satunya adalah menenggak wine-wine tertentu yang sudah disiapkan di rumahnya yang khusus dinikmati harus sendirian.
“Hidup itu harus kita lakukan dengan passion. Kalau kita tak senang, jangan lakukan. Percayalah pada dirimu sendiri,”katanya mengungkapkan prinsipnya. Lalu berceritalah ia tentang mimpi-mipinya kemudian, “Saya ingin keliling dunia, sebulan di Spanyol belajar gitar flamingo, sebulan di Paris belajar masak, sebulan di Hawai belajar surving dan menyelam.” Di Segara dan sebuah decanter di sisinya itu ia lalu berkata,” I will be happy man… ” Dan menutup mimpinya dengan sebuah rumah baru di pinggir pantai selatan Sydney yang setiap pagi ia akan dibangunkan oleh deburan ombak dan matahari yang jatuh tepat di atas wajahnya. (Rustika Herlambang)
Busana: X (s.m.l), Plaza Senayan Stylist: Karin Wijaya. Fotografer: Suryo Tanggono. Lokasi: Segara Restaurant, Ancol, Jakarta.
good story yohan handoyo