(dewi edisi Desember 2007)
Perempuan Dari Titik Nol
Master kebaya yang juga ibu rumah tangga ini merasa bahwa dia adalah manusia pilihan
Kami berjumpa di kapel Maria Magdalena. Semilir angin berhiliran memasuki ruangan kapel sembari membawa bunyi indah dari gesekan alat musik bambu tradisional. Gemericik suara air dan lagu-lagu rohani yang dilantunkan dalam kelembutan memberikan suasana yang nyaman. Hawa panas kota Semarang tak terasakan. Yang tersisa kemudian adalah sebuah rasa yang damai, sejuk, tenang dan melenakan. Dari lantai empat rumah tinggal itu, suasana malam dengan kerlip lampu kota, reramai pelabuhan, hingga laut di kejauhan tampak berjarak. Inilah “gua” modern tempat bertapa desainer Anne Avantie.
Anne adalah sosok tepat saat bicara soal kebaya modern masa kini. Karya-karyanya selalu menawarkan kebaruan yang dibangun dari sisi keanggunan dan keglamouran. Pergelaran shownya selalu dipenuhi selebritas dan sosialita papan atas. Inilah pesona yang ditawarkan Anne: sebuah dunia yang glamour dan berjiwa. Selain di Semarang, Anne memiliki butik privatnya di Mal Kelapa Gading, Jakarta. Desember ini, dia akan kembali mengembangkan sayapnya dengan membuka butik Roemah Pengantin di Grand Indonesia, Jakarta.
Tapi di malam itu, kilau gemerlap dunia fashion sama sekali tak terlihat. Anne mengenakan atasan serupa kebaya warna hitam dipadu celana panjang senada. Rambut sepanjang paha digelung rapi dalam harnet. Di sisi kanan gelung, ia sematkan bunga kamboja putih segar yang dipetik dari halaman depan rumahnya, memberi warna di tengah olesan kelopak mata, anting, serta cat kuku dominan hitam.
“Inilah hidupku yang sesungguhnya. Jauh dari hingar-bingar dan gebyar pesta,” tukas Anne. Pernyataan ini jelas membuka tabir baru. Di balik kemeriahan panggung show yang menghadirkan lebih dari seribu penonton di Hotel Mulia beberapa waktu lalu, di tengah kemewahan bahan dan busana yang selalu dibuat, ia berterus terang bahwa ketenangan inilah hakekat hidup yang sesungguhnya.
“Mungkin ini sebuah pernyataan kontroversi. Tapi saya merasa, saya adalah manusia pilihan Tuhan,” ia memulai pembicaraan. Kenangannya pada perjumpaan dengan Tuhan di tahun 1998 kembali berhamburan. Dia berada di titik nol saat itu. Prahara mencengkeram seluruh kehidupannya secara mendera-dera, mulai dari kisah perceraian, dendam pribadi berkepanjangan, morat-marit bisnis yang dibangun dengan susah payah hingga salon satu-satunya milik ibunya dibakar massa. Di saat kemarahan memuncak, dia merasakan Tuhan mendatanginya.
“Saya mengosongkan diri, dengan meminta maaf kepada setiap orang yang menyakiti hati saya,” serak suaranya masih terasa. Mulai dari mengirimkan makanan hasil bikinannya, ia mendatangi orang-orang yang selama ini dia dendami. “Awalnya memang berat. Tapi sekarang saya mendapatkan hikmahnya. Tahan sakit ketika disakiti, bisa mencintai seseorang tanpa harus dicintai, bisa menerima saat ditolak, dan bisa memaafkan tanpa dimaafkan.” Hidupnya jauh lebih tenang kini. Ia lalu memulai kehidupan religiusnya dengan menjadi relawan di rumah sakit dan membuka Wisma Kasih Hydrochepalus.
Gaya hidup barunya ini memang tak pernah lepas dari sorotan publik, iapun mengakuinya. Apakah itu positif maupun negatif, ia bilang sudah tidak peduli. Katanya, ia justru ingin memperlihatkan segala aktivitas religiusitasnya itu kepada masyarakat umum. “Saya justru ingin mengubah pandangan orang bahwa kalau tangan kanan memberi, tangan kiri harus diberi tahu, supaya dua-duanya mau melakukan perbuatan yang baik,”ungkapnya. Ia mengaku sangat ingin menjadi inspirasi dan aspirasi bagi banyak orang. “Saya ingin jadi terang, sekecil apapun sinarnya.”
Sebagai seorang desainer, tentu banyak yang mengingingkan dia bicara tentang karya dan kesuksesan yang telah diraihnya. Tapi apa katanya?. “Teman-teman wartawan bilang, saya ini cocoknya jadi rohaniwan. Lah, saya mau bicara apa tentang fashion, wong fashion saya hanyalah karunia Tuhan, mujizat, “katanya dengan logat Semarangan. Ia lalu menjelaskan bagaimana seorang Anne Avantie yang tidak pernah sekolah mode, tidak tahu pola, tidak tahu cutting, tidak bisa menjahit, tapi bisa menjadi seorang desainer. “Saya pengen dianggap sebagai orang biasa dengan karya yang luar biasa.”
Tapi semoga Anne tidak lupa. Keberhasilannya kini tidaklah semata-mata datang dari langit. Dari rangkaian kisah sedih yang diceritakannya baik melalui buku biografinya Aku, Anugerah dan Kebaya, maupun diungkapkan secara langsung telah membuktikan adanya kerja keras itu, setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Waktu kecil, ia banyak membantu ibunya membuat rangkaian bunga atau jepit bunga. Kelak, kemampuan inilah yang ia pergunakan untuk mencari uang demi menghidupi diri dan ibunya, Amie Indriyati.
Memang bisa dibilang, kehidupan masa lalunya bukanlah satu kenyataan yang menyenangkan. “Saya bahkan nggak punya cita-cita waktu kecil, karena keluarga saya antah berantah, “tuturnya sedih. Keluarganya terpisah karena perceraian. Ia dikucilkan dari pergaulan sehari-hari. Wanita periang itupun berubah menjadi sangat minder dan tidak percaya diri.
Ia pun lari dari rumahnya di Solo menuju Semarang untuk mencari kehidupan baru, lepas dari ibu yang sangat dikasihinya. Sendiri. Ia pernah bekerja sebagai penata busana untuk sebuah grup tari, membuka usaha cetak foto, jualan manisan mangga, hingga ikut berdagang berlian (ditipu pula), sebelum menjadi desainer sukses seperti sekarang ini. “Di balik kelembutan dan sifat keibuan, Anne adalah seorang pekerja keras dan juga nekat (berani) dengan perhitungan matang,” Anne Kanapi, sahabat Anne, menuturkan.
Beragam pengalaman hidup membuatnya kian bijaksana dalam menghadapi berbagai cobaan. Ketika seluruh karyanya diplagiat secara terang-terangan, ia malah tersenyum. “Saya harus bersyukur karena bisa dijadikan saluran berkat bagi banyak orang, “tukasnya. Tidak khawatir kehilangan pasar? Dengan senyuman khasnya, ia menggeleng tegas. “Bukan bermaksud sombong, tapi pelanggan yang antri di butik masih mengalir.” Tak ada sedikitpun rejeki yang berkurang karena persoalan itu. Ia lantas menceritakan pengalaman spesialnya,” Saat itu, seorang sahabat membeli banyak baju dari saya. Saya senang-senang saja. Eh, suatu saat saya melihat baju saya dipajang di sebuah butik baru. Tapi, eh label nama saya sudah diganti nama dia..” Ia tersenyum mengenang. Senyuman yang tulus, tak dibuat-buat.
Karena ia beranggapan bahwa dunia fashion adalah satu energi yang digunakannya untuk subsidi silang –dimana ia bisa membagi jiwa, materi dan pengharapan baru bagi orang banyak– dia memilih diam terhadap semua hal menyakitkan yang telah diterimanya. Pengagum Ibu Theresa ini lebih menyukai persahabatan dari pada harus berkonfrontasi, dengan siapapun. “Saya ingin siapapun yang berhubungan dengan saya mendapatkan nilai plus, atau energi positif yang mengalir melalui hal-hal kecil,” begitu prinsipnya.
Seperti dikatakan Joseph Henry, suami Anne, dunia fashion tak hanya mengubah drastis kehidupan Anne secara material, tapi juga psikologis. “Dulu, dia sangat minderan, tidak pede, bisa dibilang kuper-lah..tetapi kini, dia berubah 500%,”kenang Henry. Henry mengingat bagaimana emosinya Anne saat marah, lelah, gusar, menghadapi berbagai persoalan yang bertubi-tubi menghinggapi kehidupannya. Tapi kini, Anne menjadi tipe wanita mandiri, pasrah, tegar dan penuh percaya diri. Persoalan memang masih terus membelit, Henry mengakui, tapi kini Anne menjadi sosok yang pengalah dan penyabar. “Dia belajar banyak juga dari dunia fashion.”
“Dia itu seperti orang laki,” Henry mencontohkan bagaimana Anne bergelut dengan semua kesulitan hidup yang dihadapi. Istri yang sangat dikasihinya ini bahkan sanggup “mengubah” wataknya yang sebelumnya sangat “brangasan” –seperti ditukasnya sendiri– menjadi tidak mudah emosional lagi. “Kalau biasanya yang nyupir itu lelaki, di rumah saya itu “supirnya” Anne,”ungkap Henry ringan.
Tapi saat di rumah, pemilik nama lengkap Sianne Avantie ini selalu memasak dan menyiapkan makanan untuk sarapan keluarganya. “Dia pasti sangat marah kalau dia sudah masak dan kami membeli makanan di luar. Ha ha ha,” tutur ayah Intan Avantie (23), Ernest Christoga (16) dan Deo Christoga (9).
Sifat perfeksionis, profesional, sangat disiplin, termasuk menghilangkan hubungan ibu-anak yang selalu ditegakkan di kantor-yang tak lain berada di sisi kanan rumah tinggalnya– tiba-tiba saja ditanggalkan saat Anne berada di rumah.
Intan Avantie, putri sulung sekaligus pemilik butik Intan Avantie menuturkan hal itu. “Bunda fleksibel, tidak memaksakan pendapat dan tidak ambisius.” Ia lalu menceritakan bagaimana sakit hatinya ketika di awal ia menset-up perusahaan, ibunya “memaksa” untuk membuat managemen sendiri, termasuk membayar telepon sendiri. “Awalnya kaget, tapi sekarang saya jauh lebih dewasa. Bunda membuat saya memahami dunia kerja yang sesungguhnya.”
Intan juga menceritakan bagaimana Ibunya mengubah busana pengantin yang awalnya berwarna coklat menjadi beludru hitam dengan benang gym. “Saat Bunda tahu dari karyawan bahwa saya kurang sreg dengan busana pengantin bikinannya itu, ia langsung memutuskan membuat kebaya impian saya itu sepuluh hari menjelang hari H.” Akibatnya, siang malam Anne menyelesaikan pakaian pengantin dan pontang panting mengganti seluruh busana seragam keluarga yang sudah selesai dibuat. “Bayangkan saja, kebaya itu selesai di malam tepat sebelum resepsi.” Agak nekad memang. Tapi memang inilah Anne. Ia ingin membuat anak perempuan satu-satunya ini mencapai keinginan dan kebahagiaannya.
Tapi tak hanya untuk anak. Kata Intan, “Bunda itu mami minded, apa yang dikatakan oma pasti langsung diikutin mama.” Mami adalah sebutan untuk ibunda Anne Avantie. Gaya rambut hingga penampilannya kini tak lain adalah bagian dari “petunjuk” Ibunya. “Ibu adalah aspirasiku sepanjang masa,” Anne meneguhkan pernyataanya.
Kesuksesan dalam fashion ternyata bukan tujuan akhir Anne. “Jika disuruh memilih mana yang dikorbankan dari semua yang saya lakukan, saya akan memilih melepaskan profesi saya sebagai desainer,”katanya tegas. “Saya bahkan sudah menyiapkan pada usia berapa mundur. Saya sudah bicarakan pada ibu, suami dan anak-anak. Saya ingin memberikan tenaga saya, saat badan saya masih sehat dan kuat,” ungkap wanita kelahiran 20 Mei ini sembari menceritakan rencana akhirnya: mengelola klinik Hydrochepalus. “Bukan bermaksud menjadi peri atau malaikat, tapi saya yakin kapal saya akan kesana.”
Pada akhirnya, yang dilihat dari pengalaman Anne Avantie adalah kisah manusia yang unggul dan penuh kasih, bukan kisah seorang manusia yang menyerah pada jalannya nasib. (Rustika Herlambang)
Anne is the best!
Berhasil dimata manusia tapi yg terpenting berharga di mata Tuhan…itulah ungkapan untuk apa yg telah n sedang dilakukan Ane avantie…sukses n Jesus Bless U.
amazing work!!!
GBU
wanita yang luar biasa…
Anne Avantie benar2 sosok wanita yg menginspirasi. Sy beruntung bisa melihat melihat sosok dia sebagai pribadi yg tangguh dan memliki iman yg hidup. Diberkati dan menjd berkat. Teruslah berkarya dg hati dalam bimbingan tangan Tuhan. Teruslah menjd terang, Tuhan memberkatimu berlimpah..