Kisah Tak Pernah Usai
Malam ini, Trans TV menayangkan video ulang rekayasa kasus pembobolan BNI yang melibatkan Adrian Waworuntu dan Maria Pauline Lumowa.
Tiba-tiba segala hal tentang Maria berkelebat dalam bayanganku. Maria adalah sebuah nama yang begitu lekat dalam pikiranku. Ia menjadi misteri dalam kehidupanku. Pertemuan kami di suatu hari menjelang natal 5 tahun lalu masih menyisakan kenangan. Berikut ini adalah catatan harian saat aku melakukan investigasi reporting, mencari Maria di Singapura.
Kami bertemu atas bantuan seorang teman baik -thanks buat Bapak-yang memberikan waktu ketemu dengan Maria di negeri Singa. Thanks buat Bang Andy Noya -pemred Media Indonesia-yang sudah memberikan kesempatan buat aku.
Pertemuan dengan Maria memang membawa banyak kisah tersembunyi. Saat aku bertemu, bersapa, berbincang, hilang segala kesan tentang Maria sebagai pembobol bank yang namanya menjadi momok di dunia perbankan. Maria, adalah wanita yang sangat fight dalam menjalani kehidupannya sendirian. Dia sangat sederhana dan religius. Ia sangat memahami arti dan makna kehidupannya, seperti kecintaannya pada bacaan-bacaan filsafat.
Maria adalah wanita yang tangguh. Kehidupan yang keras tampaknya telah digariskan dalam garis tangannya. Dilahirkan dari sebuah keluarga pegawai negeri biasa di wilayah Manado, 27 Juli, 45 tahun lalu. Meniti masa kecilnya di Jakarta, dengan sifat yang sangat tomboy. Hobinya memanjat, mendaki gunung. Tapi di sisi lain, ia sangat menyukai kegiatan melukis dan menyulam krusitik. Dua kegiatan yang sangat bertentangan tampaknya, yang satu sangat maskulin, di sisi lain sangat feminine. “Tapi itulah kehidupan manusia, ada yang terlihat, ada yang the other side. This is my life,” ungkapnya bijak, sambil menghembuskan nafas rokoknya perlahan-lahan.
Ascott Lounge Hotel Hyatt Singapura yang eksklusif, kami bertemu Maria. Saat kami datang, ia tengah menjawab telepon dari seorang rekan dari Indonesia, karena Maria menjawabnya dengan bahasa Indonesia yang fasih. Raut mukanya sangat tegang. Ia tampak sangat tertekan. Berkali-kali, ia mengusap dahi yang sebenarnya tidak berkeringat itu sebagai sebuah isyarat betapa berat cobaan yang diterimanya kali ini. “Oke, I call u later,” ia mencoba memutuskan hubungan telepon tersebut. Lalu tersenyum pendek.
Ia mengulurkan tangannya pada Media. Sambil menahan nafas yang berat, wanita yang namanya tiba-tiba melejit karena kasus pembobolan Bank BNI itu berkata pelan, “Saya tidak mau ngomong lagi. Saya capai sekali.” Ia mengambil sebatang rokok dan memainkannya. Di asbak depan tempat dia duduk, sudah terdapat 3 puntung rokok yang masih menyisakan asapnya. “Jadi apa yang harus aku ceritakan padamu ?”, Maria tersenyum menatap.
Telepon kembali masuk ke Comunicatornya. Ia menjawab melalui earphonenya. Lantas menjawab beberapa sms yang masuk berbarengan. “Stop Maria, Stop. Don’t say anything. Aku nggak bilang apa-apa. Aku udah nggak mau ketemu ama wartawan lagi, ” ia seakan berbicara pada kami seakan berbicara dengan dirinya sendiri. Pembicaraan berlangsung sangat lambat, sampai salah seorang rekan meminta ijin pamit pulang.
“Beginilah aku. Pada dasarnya aku sangat tomboy dan advonturir,” wanita berambut pendek, ikal, ini memulai pembicaraan. Ia tampak sangat berhati-hati dalam mengucapkan kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirnya yang pucat tanpa polesan lipstik. Wajahnya tampak sederhana, hanya berpoles bedak tipis, dan sedikit alis pendek seperti ditato. “Kalau aku berdandan pasti terlihat sangat Manado. Aku nggak suka berdandan macam-macam, pasti menor” tutur ibu dua anak yang malam itu terlihat segar dalam balutan atasan berbahan kaos cokelat, celana panjang hitam dan sandal jepit dari bahan kulit. Ia tampil sangat sederhana. Salah satu tanda sisa-sisa kekayaannya di masa lalu hanyalah pada cincin berlian, gelang bertahtakan nama panggilannya Erry, serta jam tangah dalam nuansa keemasan.
Keberhasilan yang ditempuh dalam hidupnya kini, bukanlah sebuah bonus gratis ataupun sebuah berkah yang datang dengan sendirinya. Kerja dan kerja keras adalah prinsip hidup yang dianut oleh wanita berwarga negara Belanda ini. Sejak usia 14 tahun, ia telah melangkahkan kakinya sendirian, lepas dari pingitan orang tua, mengembara ke negeri Belanda yang menjadi cita-citanya sejak kecil. Berbekal relasi persahabatan yang dimilikinya, gadis kecil ini memilih tinggal dan berjuang di negeri orang, dan berpisah dari orang tuanya. “Dua tahun setelah saya di Belanda orang tua saya menyusul ke Belanda dan meminta saya kembali,” kisahnya tentang kekawatiran orang tua yang sangat dikasihinya. “Saya menolak pulang,” Maria tegas. “Saya mengambil sekolah di sini, pada jam lain saya mengikuti pendidikan laser, karena saya terobsesi bekerja membersikan laser,” kisah Maria tentang pekerjaan pertamanya yang sangat berbau pria.
Maria memesan ice cappuccino, melanjutkan pembicaraan yang tampaknya mulai mengalir. Lantas memanggil waitress dan meminta segelas batu es. Hawa AC yang sangat menyengat malam itu, tampaknya tidak mempengaruhi pemilik mata indah ini. Saya suka sekali menggeletuk-geletuk batu es sejak kecil, ungkapnya sambil sesekali mengunyah batu es itu. Nikmat.
Pembicaraan berkali-kali terputus oleh aliran telpon dan sms yang ditujukan pada dirinya. “Saya sudah diteror berkali-kali untuk tidak mengatakan apa-apa pada wartawan,” ia mendesah. Ia mengaku tidak tahu apa-apa saat kasus ini mencuat di bulan September lalu. “Saat itu, saya tengah ada di Hongkong untuk sebuah bisnis,” ia memulai kisahnya. Ketika ia cek out dari sebuah hotel di Hongkong setelah 8 hari menginap, ia mendapatkan kenyataan baru bahwa 9 dari 9 kartu kreditnya ditolak karena diblokir dari bank-bank bersangkutan. “Bagaimana mungkin ?,” ia mengaku kebingungan dengan apa yang terjadi, dan memutuskan untuk mengontak salah satu bank.
Jawaban yang diterimanya hampir membuatnya pingsan. “Rekening Ibu diblokir karena Ibu di black list sebagai salah satu pembobol rekening bank BNI”. “Oh my God,” ia memegang dahinya. “Saya kaget, tetapi persoalan utamanya adalah bagaimana saya membayar rekening hotel, sementara saya nggak punya uang cash sama sekali,” tuturnya. Ia lalu memilih untuk kembali menginap di hotel itu sambil mengontak rekan dan kantornya untuk membayar hotelnya. “Tolong, pinjami aku uang cash untuk membayar hotel saya, ” pintanya memelas.
“Ibu, seluruh rekening Ibu telah diblokir, kita tidak bisa membayar apa-apa,” tutur salah satu pegawainya mengabarkan berita buruk padanya. Terbayang sudah 700 pegawai yang bekerja padanya harus tetap digaji. “Jual apa yang ada, berikan untuk gaji mereka,” Maria mencari penyelesaian. “Mereka adalah tanggung jawab saya sepenuhnya, apapun yang terjadi pada saya, saya harus tetap bertanggung jawab pada mereka. Apalagi, mereka akan berlebaran, saya harus memikirkan THR untuk mereka,” ia menjelaskan kepada Media.
“Saat itupun saya masih harus menerima kabar bahwa perusahaan saya dibakar…,” raut mukanya terlihat sangat sedih. Cobaan terus datang bertubi-tubi. “Saya lemas sekali. “Oh, God, apa yang sebenarnya terjadi ?”, ia terus bertanya-tanya. “Saya kehilangan semuanya,” tuturnya sedih. Sedih yang semakin berkelanjutan, saat ia juga menemui kenyataan bahwa semua temannya di Indonesia menolak telepon darinya.
Bertemu wartawan
Kepanikan mulai melanda. Ia meraung pada setiap orang bagaimana caranya untuk memberikan pembelaan terhadap sebuah persoalan yang ia tidak tahu duduk perkaranya. “Puji Tuhan, saya bertemu dengan wartawan. Saya melepaskan seluruh beban yang ada di pikiran saya,” ungkap Maria mengenai pertemuan dengan seorang wartawan yang banyak disertai isak tangis karena pemberitaan tentang dirinya yang sangat menyudutkan. Persoalan pun bergulir menjadi lebih cair. Setidaknya jeritan hatinya sudah disampaikannya kepada publik.
Namun ternyata hal itu bukan sebuah penyelesaian. Persoalan muncul belakangan. Ia diteror oleh berbagai pihak agar diam. Beberapa rekan-rekan telah diperiksa kepolisian, bahkan beberapa diantaranya masuk ke dalam penjara dalam 2 bulan ini. Tapi ia enggan diperiksa di Indonesia. “Saya memberikan niat baik untuk diperiksa di sini saja, dengan bantuan pengacara saya. Tapi kebaikan itu ditolak. Kini aku udah nggak punya harapan lagi di sini. Aku mau kembali ke Belanda secepatnya. Aku no hope di sini, aku nggak ada harapan”, nada suaranya sangat berat. Ia begitu tertekan. “Aku give up”, ia berkata sambil menengadahkan tangannya. Terlihat kuku jarinya yang terawat rapi dan menggunakan nail art, atau semacam kuku sambung yang warnanya masih terlihat baru.
Damai dan Kasih
Ia membayar ice cappucinonya lantas mengajak Media menyusuri Ascott Road yang mulai ramai di malam itu. Hiasan-hiasan dan lampu-lampu natal telah terpasang di ruas-ruas jalan, memberikan kesejukan Natal sebentar lagi datang. Saat melewati Brix, sebuah tempat hiburan yang terletak di lantai dasar Hotel Hyatt yang malam itu mulai ramai dikunjungi muda mudi, ia berkomentar pendek.
“Dalam seumur hidup, saya belum pernah pergi ke diskotik.” Dalam kondisi apapun, dia mengaku lebih suka diam, menyepi, dibanding pergi ke diskotik. “Saya tidak suka keramaian,” katanya.
Kami menuju apartemen Ascott yang letaknya tak jauh dari Hyatt. Meski memiliki akses langsung ke pusat perbelanjaan, apartemen ini tampak terasa sunyi. Maria menyebutnya, suasana damai. Di sana sini dipasang hiasan natal. Ia tampak familier dengan beberapa pegawai yang bekerja disana. Mungkin karena ia memang seorang wanita yang hangat dan ramah, mungkin juga karena ia memang sering menginap di hotel itu.
Saat pintu lift terbuka, Maria menyapa seorang anak kecil yang digendong baby sitternya. “Saya adalah kid lovers,” katanya sambil memencet angka 5. Kami menuju pada sebuah tempat duduk-duduk yang sepi, di atas swimming pool hotel. Kami bisa menatap langit dan air dari kejauhan. Kami duduk di bawah payung-payung yang disediakan disana. Tak ada seorang pun yang duduk atau berada di sana, kecuali kami berdua. “saya menyukai kedamaian,” tuturnya religius. Islam itu berarti damai, sementara Kristen berarti kasih, tidak ada perbedaan makna di dalamnya, ia mulai berfilsafat.
Kasih sayang itu ia tujukan kepada setiap umat manusia. Saya diberi kelebihan, sehingga saya harus memberikan kasih sayang itu kepada sesamanya, katanya. Ia lantas bercerita, bahwa dalam salah satu fase kehidupannya ia pernah mendirikan sekolah untuk pemilik tubuh mini. Ia memberikan pelajaran entertain kepada mereka, mengajarkan juggling, acrobat, dan yang paling penting adalah bisa menningkatkan rasa percaya diri pada mereka sehingga mereka bisa mandiri. Tak hanya itu, maria pernah memboyong anak buahnya ini mengunjungi negara luar. “agar mereka yakin pada kekuatannya sendiri,” lanjutnya sambil menyebut nama Totok Baba sebagai salah satu mantan “muridnya”. Ia mengaku sangat senang dengan apa yang telah dilakukan oleh para murid-muriiidnya itu. “Tapi saya nggak tahu, apakah ia masih mengingat saya saat ini,” Maria pesimis. “Ia memanggil saya Ibu Erry.”
Religius
Saya berubah menjadi religius ketika saya berhasil keluar dari penyakit leukemia yang pernah dideritanya. Saya memberontak saat saya mendapatkan berita bahwa saya divonis memiliki kesempatan hidup yang pendek. Saya sangat marah kepada Tuhan, kenapa Dia memberikan cobaan ini kepada saya. Saya diberi tahu bahwa kehidupan saya hanyalah tinggal meniti hari. Saya divonis tidak bisa memiliki anak. Saya shock sekali. Saya bebaskan pikiran saya, saya tantang takdir saya. Kalau memang Kamu menghendaki demikian, jadilah. Saya akan mati, teriak saya pada Tuhan. Saya sangat marah saat itu.
Namun apa yang terjadi ? Saya bisa bebas dari penyakit itu, dan saya bisa punya anak. Ia menangis. Berkali-kali mengusap air matanya yang jatuh bergulir. Puji Tuhan. Tuhan memang maha besar> Apa yang dia kehendaki pasti terjadi. Saya bisa sembuh dari penyakit mematikan itu. Saya merasa Tuhan memberikan kesempatan kepada saya. Saya sangat mensyukuri nikmat itu. Saya pergi ke Israel, sebagai sebagai rasa ketundukan saya kepada Tuhan. Seperti halnya orang Islam yang pergi ke Mekah.
Israel adalah salah satu kota yang berkesan buat saya. Di sana ada Masjid Al Aqso, di sebelahnya ada kubah. Ini adalah symbol kebersamaan, kedamaian di antara sesamanya.
“Saya cukup lama tinggal di Israel. Buat saya, inilah kota dimana saya bisa sangat dekat dengan Tuhan,” tutur wanita pengusaha yang kini tengah menuliskan kisah hidupnya sendiri dalam kesendiriannya ini.”Saya menyukai kedamaian, ketenangan seperti suasana saat ini,” komentarnya soal tempat pertemuan kami, sesaat sebelum ia mengajak mencari makan malam.
Kami berjalan menyusuri lobi hotel Ascott yang penuh dengan hiasan natal yang menyejukkan. Kerlap-kerlip lampu natal tampak menyala menyala di sana sini. Ia tampak menikmati suasana itu. Setelah melewati sebuah pusat perbelanjaan, kami menuju ke footcourt yang malam itu sangat ramai. “Wah kita bisa nggak dapat kursi nih,” teriaknya.
Ia memilih konter rumah makan padang yang ada di sisi samping escalator turun. “Kamu mau makan apa ?,” ia mempersilakan. “saya suka sesuatu yang pedes-pedes. Kalau ada rumah makan Manado, pasti saya sudah memilihnya. Tapi Padang okelah. Yang penting ada sambalnya,” bahasanya mulai mengalir dengan lancar dan sangat bersahabat.
Ia memesan semangkuk soto Padang dengan lontong dan segelas es the. Seperti biasa, ia selalu meminta tambahan batu es di dalam minumannya. Lantas menambahkan 2 sendok sambal di atas sotonya.
Suasana foot court malam itu terasa ramai. Mungkin karena jam makan kami berbarengan dengan jam makan malam warga Singapura. Sehingga beberapa kali kami ditolak duduk karena kursi telah terisi. Dengan membawa baki makanannya, Maria berkeliling sambil meminta izin duduk. Hingga akhirnya kami duduk berdempetan dengan 2 sahabat yang sedang curhat soal kantornya dengan bahasa Inggris yang dilafalkannya dengan cukup keras. Sementara di samping kirinya seorang wanita muda dengan tangan yang dibebat. Beberapa kali, ia mencuri pandang ke arah wanita itu.
“Sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia,” tanyanya kepada Media. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Tampaknya semuanya berjalan dengan begitu cepat, sampai saya mendapatkan diri saya kini, sebagai manusia tanpa identitas. Saat saya mendapat kabar dari Indonesia soal kasus BNI, suatu sore saya iseng membuka internet di sebuah publik area di Singapura. Saya tuliskan nama saya di yahoo search, tanpa praduga. Dan betapa kagetnya saya ketika mendapatkan nama saya sudah begitu banyaknya ditulis di semua media. Tak hanya di Indonesia, namun juga media-media di luar negeri. Saya begitu shock. I didn’t do anything, lagi-lagi ia mengatakan kalimat-kalimat itu.
Semenjak saat itu, saya senantiasa membuka internet setiap seminggu sekali. “Aduh, biaya internet kan mahal sekali,” gundahnya. Saya nggak bisa mendapatkan informasi apa-apa dari Jakarta. Sementara teman-teman yang selama ini dekat dengannya telah meninggalkannya, tanpa sempat ia memberikan penjelasan. “Setiap kali saya menghubungi mereka, mereka langsung menutup telponnya,” raut wajahnya terlihat sedih. Meskipun demikian, tak ada tanda-tanda depresi berkelanjutan yang ada di wajahnya yang terawat bersih dan senantiasa segar. Berat badan saya naik, itu tanda saya sedang stress berat, akunya jujur.
SMS masuk ke hp Media, Metro tayangkan wwcr dengan Pauline. Media memberikan informasi itu. Ia tampak tersenyum. Beberapa detik kemudian, sms bertubi-tubi masuk ke hp-nya. “Metro sedang menayangkan polling soal saya,” tuturnya. Raut mukanya sedikit mulai berubah. Semua orang bilang, stop bicara maria. Jangan bilang apa-apa ? Saya tidak bilang apa-apa. Wajahnya mulai menampakkan kepanikan. Itu wawancara beberapa waktu yang lalu, sanggahnya. Ia tampak semakin gelisah dan melihat-lihat jam yang mulai menunjukkan pukul 9 waktu singapura. Tak terasa pertemuan kami telah berlangsung berjam-jam tanpa kami sadari.
Ia mengajak menaiki escalator dan menuju Ascott road. Setelah keluar dari rest room yang terletak di apartemen Ascott, dia langsung mengajak keluar menuju lobi Ascott sambil menerima telepon. Wajahnya sangat berubah. Ia melambaikan tangan, sudah ya sampai di sini dulu. Katanya dan meninggalkan Media.
Saat Media memberikan isyarat untuk meminta no HP-nya, ia berkata “Biarkan saya yang akan menghubungi kamu,” katanya sambil sedikit terburu-buru meninggalkan pusat perbelanjaan Scott menuju arah Marriot Hotel. “Saya sibuk dan ada janji dengan rekan malam ini,” perkataannya saat pertama kali bertemu di lounge hotel Hyatt singapura kembali terngiang. Semoga saja betul apa yang dikatakannya, dan bukan karena kepanikan karena sms yang datang berurutan.
Kamis, 18 Desember 2003
Malam setelah kejadian tersebut, Media tidak bisa menghubungi beberapa rekan. Akhirnya Media melakukan “penyisiran” di beberapa hotel yang terletak di sekitar scott dan orchard, berharap menemukan Maria sedang menantikan sarapan paginya. Tapi gagal. Akhirnya, Media menyusuri sepanjang orchard dan menuju pada food court di sekitar Orchard, dan mencari konter nasi Padang. Tetapi hasilnya nihil.
Pihak ketiga juga gagal dihubungi Media. Entah kenapa.
Pukul 13.20 waktu singapura, Sms kembali masuk. “Apa Maria sudah menghubungimu ? Kayaknya ia akan menelpon kamu. Tunggu saja, demikian bunyi sms yang diterima. Tapi hingga sore hari, Maria juga tak kunjung ditemui. (Rustika Nur Istiqomah)
(bersambung)
Liputan langsung dari Singapura
Maria, Jeffrey Baso dan Perkawinan
Kamis, 18 Desember 2003
Matahari mulai beranjak. Hari telah menjelang sore. Tak ada kabar sedikitpun, hingga sebuah panggilan tanpa nomor masuk ke HP pada saat waktu Singapura menunjukkan angka 16:57:10. Ternyata telepon dari Maria, suaranya yang serak-serak.
“Saya minta maaf tidak bisa melanjutkan wawancara dengan kamu, ia memulai pembicaraan melalui telepon selularnya. Saya sudah tidak boleh lagi bertemu dengan wartawan. Saya dihubungi beberapa orang dan menanyakan mengapa saya mau bertemu dengan kamu, wawancara lagi dengan wartawan,”katanya. Saat itu, si penelpon bahkan mengetahui dengan baik identitas Media, lantas ia pun menolak untuk bertemu dengan Media.
Setelah Media mencoba mengadakan pendekatan dari hati ke hati, akhirnya ia mau bertemu.
Kami bertemu di Cosi Café/bar, Scotts road 5 menit setelah ia menghubungi lewat telepon. Ia memesan ice cappuccino, lantas kembali menyalakan rokok London Mint-nya. “Sebenarnya saya lebih suka Dunhill hijau, tapi disini susah dicari. Akhirnya saya dapat rokok ini, rasanya hampir sama meski harganya mahal,” komentarnya. Saat-saat stress ia bisa menghabiskan sebungkus sehari.Biasanya sebungkus bisa 2 hari. Tapi sekarang rasanya pengen ngrokok terus.
Setelah saya pikir-pikir, ternyata muara dari kasus saya ini adalah karena perkawinan. Saya telah dua kali gagal dalam perkawinan. Semalam saya membaca buku purposes of life. Di sana dikatakan bahwa kodrat wanita adalah mengatur rumah tangga. Tapi apakah saya telah mengatur rumah tangga dengan benar ? saya bahkan jarang ada di rumah. Saya merasa saya harus kembali ke rumah. Tapi kalau saya kembali ke rumah, siapa yang membiayai sekolah anak saya ? Saya hidup sendiri sudah sangat lama, sejak tahun 1991. “Anak saya masih butuh biaya banyak,” tandasnya.
Kehidupan perkawinan saya bisa dibilang sangat menyedihkan. Setelah saya menikah dengan Jeffry Baso, saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saya merasa menjadi orang yang sangat bahagia dalam kehidupan saya. Saya memiliki suami yang baik dan baru saja melahirkan anak perempuan yang sangat cantik. Ia memanggilnya Poppy. Dia adalah ibu rumah tangga yang baik, hidupnya di rumah sambil mengurus anak sambil menantikan suaminya pulang dari bekerja. Saat itu, Jeffri memang sering ke Rusia untuk pekerjaannya. Maria dengan setia menunggu kedatangan suaminya tercinta.
Maria baru pulang ke Indonesia. Ia tidak memiliki teman sama sekali. Hidupnya hanyalah rumah, toko buku gramedia dan hoka-hoka bento. “saya tidak suka shopping,” ungkapnya sambil tersenyum. Satu-satunya mal yang didatanginya hanyalah Pondok Indah Mall. Selain itu tidak ada lagi. “saya nggak punya teman sama sekali,” katanya.
Makanya saat ia mendapatkan berita dari keluarganya bahwa Jeffry menikah lagi dengan seseorang yang juga dikenalnya, ia amat shock. Namun ia berusaha untuk tidak mempercayai berita itu. Namun saat salah seorang saudara memperlihatkan undangan pesta perkawinan yang dilaksanakan secara besar-besaran di hotel sahid Jakarta, barulah hatinya mulai terusik. Pada saat yang bersamaan ia membaca sebuah potongan berita di Koran, Jeffry Basso ditembak oleh seseorang saat ia sedang bersama istrinya. “Saat itu saya ingin berontak, hei, I’am his wife. He is christian, he can’t do that,” hatinya memberontak. Sakit sekali. Sementara Jeffry yang masih tetap menjadi ayah dan suami yang baik tampak tenaang, seakan tak terjadi masalah apapun. Ia pun mendesak suaminya, dan suaminya mengakui.
Dunia seakan runtuh mendengar pernyataan itu. Bagaimana mungkin, saya telah melakukan semua kewajiban saya sebagai seornag istri yang baik, namun mengapa ia tega melakkannya. Namun hingga kini, Jeffry tak juga mau mengaku mengapa ia melakukan itu padanya. “Saat itu I loose for 3 years,” katanya. Ia mengatakan benar-benar kehilangan kesadaran selama 3 tahun. Saya duduk di suatu tempat dan bengong berjam-jam, bahkan berhari-hari, tanpa saya tahu apa yang pernah saya lakukan selama 3 tahun itu. Rumah begitu sunyi. Acara natal atau hari ulang tahun anak saya terlewat begitu saja. “Bahkan hingga sekarang aku tidak tahu, apa yang aku lakukan selama 3 tahun itu. Aku benar-benar kehilangan kesadaran,” ia menghembuskan nafasnya keras-keras. Seakan menahan beban yang sangat berat di dadanya.
Saya tersadar ketika anak sulung saya sakit keras. Saya membawa dia ke rumah sakit dan memohon maaf atas kelalaian saya sebagi ibunya. Dia telah menyadarkan saya untuk bangkit dari keterpurukan ini.
Anak adalah satu-satunya harapan dan sandarn hidup saya. Saya melakukan semuanya demi anak. Saat saya menghubungi anak saya, dan bercerita soal kodrat. Dia menolak, mama nggak boleh begitu. Kalau mama berhenti kerja siapa yang akan membiayai kami ?.
Saat yang paling menyesakkan Maria adalah saat anak-anaknya tidak mau menerima telepon darinya. Rasanya hidup saya sudah tak karu-karuan, panik berat, tuturnya. Akhirnya saya buka suara di televisi, saat itulah anaknya mau menerima telepon darinya. “Mama mengapa foto Mama jelek sekali di televisi ?,” ia menceritakan sambil tersenyum. Lantas anaknya mulai mengkritisi keterlibatan dia di dalam skandal ini. “Ma, ini semua karena papa ya, Ma,” adalah kalimat berikut yang keluar. Apa yang ada di benak anak perempuan satu-satunya ini tentang kondisi Bapaknya yang sudah berada di penjara, sementara ibunya salah seorang pembobol bank.
Oh, My God, pembobol bank. Kadang saya bingung hidup kok kadi begini. Apa yang tengah direncanakan Tuhan kita tidak pernah tahu. Anda bisa bayangkan, anak saya sedang mekar-mekarnya, lagi punya teman dekat yang menanyakan kondisi ibunya terus menerus. Untung dia sangat tegar. Maka saat saya menghubungi dia, dia senantiasa mendesak saya untuk menceritakan apa yang terjadi.
Apa aliran dana itu ? Mengalir kemana ? Kenapa tidak dibalikin saja ? Persoalan kan beres. Anaknya senantiasa mengkritisi setiap pernyataan yang dibuatnya. Ini karena om aping ya, Ma? (Aprilla). Jadi sebenarnya Mama itu pembobol bank atau bukan ? Persoalan terakhir itulah yang saya perjuangkan. Saya berjanji pada anak saya untuk membuktikan kebenaran.
Kadang susah menceritakan persoalan ini kepadanya. saya harus membahasakan dengan sangat sederhana. Dia bisa memberikan alternatif, apa yang harus saya kerjakan dalam sudut pandang dia. Saya tahu, tetapi persoalan tidak semudah itu.
Kesalahan saya adalah memberikan personal guarantee. Tanpa saya memiliki kecurigaan terhadap (oknum) BNI> bagaimana mungkin akta no.7 dan 8 bisa hilang ? saya mencoba mencari kopi itu ke notaries, yang bernama ahmad rida, beralamat di slipi. Namun saat saya mencari kopinya, kantor notaries itu sudah pindah tanpa memberikan alamat baru. Saat saya minta kopi akta ke BNI, mereka bilang akta itu hilang. Bagaimana mungkin ? dalam hal ini BNI sangat tidak fair. Tapi kenapa aku yang dijadikan kambing hitam ?
Uang itu memang dikucurkan sebanyak 5 juta. 4 untuk saya. 1 juta untuk mereka. Saya sebagai personal guarantee.
Harapan saya tinggal satu-satunya. Bagaimana meyakinkan anak saya bahwa saya tidak bersalah. Dan saya akan lakukan ini.
Jam 8 waktu singapura, ia meminta ijin untuk pergi. Ia ada janji dengan pengacaranya. Saya diminta untuk diam pada wartawan. Tapi saya bilang ke mereka, bahwa saya mau wawancara sama dia karena dia perempuan, dan saya sudah berjanji padanya.
“Emosi saya memang sedang tidak stabil. Stress, jadi kerasa gatal-gatal di muka dan ngemil. ”
Suasana gemimis saat kami memasuki kedai kopi yang terletak di pinggir jalan. Ia bercerita, sambil menerawang. Iringan musik yang keras dan keramaian orang pulang kerja sangat membuatnya tak nyaman. “Saya tak suka pada keramaian,” komentarnya. Hidup saya selama di sini sangat rutin. Saya tiba-tiba menjadi sendiri. Saya suka menghabiskan waktu saya di dalam kamar hotel yang sudah pasti berpindah-pindah. Itu tak masalah saya hanya membawa satu koper kecil. Merokok di dalam kamar hingga kamar terasa pengap. Lantas jalan-jalan keluar menghirup udara segar. “Saya paling minum kopi di sini, atau di sana. Selain itu, saya kembali lagi ke kamar.”
“Saat saya sendiri minum kopi, saya pernah ditegur oleh seorang pria. Ia menyebut nama panggilan saya, “Erry”. Saya menoleh padanya. Saya merasa tidak mengenalnya. Untung dia lantas mengatakan sesuatu, “saya tahu kasusmu, dan saya simpatik padamu.” Wah ternyata saya menjadi orang yang sangat terkenal. Meski bukan oleh perbuatan yang tidak saya lakukan. Dan saya akan buktikan semua itu.”
Es cappuccino dan satu gelas batu es yang digigitnya telah habis. Ia kembali memesan es lemon tea.
“Saya ini orangnya begini-begini aja. Kalau dandan kelihatan seperti orang Manado yang agak tebal dandannya. Busana pun biasa, modelnya selalu begini, dijahitin di penjahit langganan saya. Saya memiliki 1 tas besar yang sudah 15 tahun saya pakai. Orang-orang menyebutnya tas dokter. ”
Saat ditemui, ia selalu berdandan polos. Tanpa ada riasan sedikitpun kecuali tato alis. Tanpa dompet. Tangannya melenggang. Di saku celana panjangnya ia meletakkan uang Singapore dollarnya.
Ia adalah orang rumahan. Lebih suka mengatur keluarga. Tinggal di wilayah Jakarta Selatan, bukan di kompleks elite Pondok Indah. Tapi di sebuah tempat yang masih sejuk, yang memiliki halaman yang luas untuk memelihara burung-burung, sebagai sebuah symbol kecintaannya pada alam. Suaranya yang merdu di setiap hari memberi kesejukan di hati, sementara warna-warni bulunya memberikan kesejukan matanya yang sering memandangnya dari kejauhan, karena dia alergi bulu burung. Pipit, nuri, adalah beberapa nama burung yang dimilikinya. “Pokoknya burung yang berwarna deh,” katanya.
Advonturir
“I do everythink that I believe, I do the best,” Maria memulai kesediaannya diwawancara dengan alat perekam mini yang diselipkan di dalam kerah kaosnya. Ia pun berkenan berbicara tentang dirinya sendiri. Ia mengaku bahwa sebenarnya ia adalah orang yang patuh, meski memiliki sifat yang keras. Hal ini disebabkan karena ia telah terbiasa menjalani hidup yang keras dan mandiri (independent).
“Saya adalah seorang advonturir,” tuturnya. Ia mengaku sangat menikmati masa mudanya. Dalam usia 14 tahun saja, ia telah berani mengambil keputusan untuk tinggal di Belanda sendirian. Saat-saat senggang sekolahnya, ia manfaatkan untuk mengambil kursus sebagai penyelam laser dalam laut. Ia bahkan pernah mendapatkan sertifikat untuk kedalaman laut paling tinggi sehingga ia sering dikirim ke berbagai negara. Saat itu, ia telah mengantongi penghasilan tertinggi sebagai penyelam laser, yakni 1000 gulden perjam. Sementara ia biasa menyelam 2 kali, selama 2 jam. “Saat inilah, saya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya,” ia mengisahkan pekerjaan pertamanya.
Namun ia mengaku, saat ini ia merasa trauma menyelam. “Soalnya saya pernah hampir mati,” Maria mengisahkan. Ia tengah menyelam di kedalaman saat gempa bumi terjadi, ia tersangkut di salah satu pipa-pipa yang ada di laut. Nyawanya hampir terengut saat itu. “akhirnya saya kapok.”
Setelah itu, ia memutuskan bekerja sebagai volunteer di sebuah tempat perkumpulan anak-anak internasional, (Quay boat, Key Boat ?, kurang jelas). Ia memilih ditempatkan di Israel. Dan mulailah petualangannya bekerja dari satu negara ke negara yang lain, sepanjang ia bisa menguasai salah satu bisnis di sana. Bekerja terus-terusan hingga mampu mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk mewujudkan obsesinya berkeliling dunia. Saat ini, tidak ada satu negarapun yang belum pernah dikunjunginya.
Bila ia telah menginginkan pergi ke suatu negara, biasanya ia akan mengontak salah satu rekan yang telah dikenalnya. Dijajakinya berbagai peluang bisnis yang mungkin dilakukannya semasa iaa berada di sana. Misalnya saat ia ingin tinggal di Athena (negara yang sangat diimpikannya saat itu, hingga sekarang), ia memilih berbisnis mebel. Sebagai salah satu penyalurannya pada hobi seninya. Kini, ia pun memiliki sekolah fesyen, yang sayangnya ia tidak menyebutkan dimana sekolah itu.
Tapi saya punya batas waktu, tuturnya. Ia memilih usia 25 tahun untuk memulai kehidupan perkawinannya. Ia menikah dengan orang Indonesia, warga negara Belanda. Hal inilah yang membuatnya berubah kewarganegaraan. Sayangnya perkawinan dengan mantan suami yang dikatakannya sangat sempurna dan baik itu tidak bertahan lama. Ia memiliki seorang anak laki-laki yang kini berumur 20 tahun, sebagai hasil buah cinta mereka. Meskipun mereka bercerai, hubungan mantan pasangan itu masih tetap harmonis. “Bahkan ibu mertua saya sakit-sakitan karena tua, ia memilih tinggal bersama saya dan menghabiskan hari-hari terakhirnya,” ia menunjukkan bukti keharmonisan hubungan paska perkawinan.
Ia menikah untuk kedua kalinya dengan seorang pengusaha, Jeffri Baso. “Jadi kami memiliki jiwa yang sama,” katanya sambil tersenyum. Saat itulah, ia memutuskan untuk tinggal di Indonesia pada tahun 1990, sesaat setelah menikah. “Sayangnya, pada tahun 1991, ia telah menikah lagi dengan orang lain,” tuturnya sedih. (cerita lanjutannya ada di wawancara keesokan harinya).
Setelah ia merasa telah memiliki segalanya, mulailah ia mewujudkan impian masa kecilnya untuk membahagiakan orang tuanya. “Sayang, ayah telah meninggal duluan,” katanya. Lantas ia pun mengajak ibunya pergi berkeliling dunia. “Money is not a point,” tandasnya. Ia melakukannya hingga ibunya menghadap yang Kuasa. Namun ia mengaku puas telah membahagiakan orang tuanya pada hari-hari tuanya, sebagai wujud rasa bersalahnya saat meninggalkan keluarganya.
Maria adallah sulung dari 4 bersaudara dari keluarga pegawai negeri. Ayahnya berbisnis setelah pensiun. Ia adalah tipe orang yang ingin tahu segalanya dan tidak memiliki rasa takut. “What I do is what I like to do,” katanya meyakini. “jadi, saya tidak pernah takut,” ungkapnya sambil membayar ice cappucinonya, sebelum beranjak. (Rustika Nur Istiqomah)
Pertemuan Terakhir?
“Hidup itu selalu mengalir,” tutur Maria. Dalam setiap fase kehidupan yang dilalauinya selama ini, banyak hal yang membuat Maria terkaget-kaget. Semua peristiwa besar itu senantiasa mengubah jalur hidup selanjutnya. “saya percaya Tuhan selalu menolong saya,” ungkapnya. Seperti yang disampaikan oleh Maria pada masa “penantiannya” di singapura beberapa bulan terakhir ini.
“Kamu bisa bayangkan, bagaimana saya harus menginap dari satu hotel ke hotel yang lain di Singapura tanpa memiliki kredit card, maupun rekening di bank,” ceritanya. Entah mengapa, beberapa rekannya dari luar negeri berusaha membantu kehidupannya selama ini. “Saya pernah terkaget-kaget, ketika saya baru pulang dari jalan-jalan keluar untuk merokok, tiba-tiba saja salah satu staff hotel Marriot memberikan saya bingkisan kecil berupa satu pak rokok kesukaan saya,” senyumnya mengembang di bibirnya. “Tahu nggak di dalamnya ada setumpuk uang dolar dan secarik tulisan yang mengatakan bahwa uang ini untuk menyokong kehidupan saya selama di sini,” lanjutnya.
Sejak itulah ia bisa hidup dan berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya, dengan menggunakan deposit berupa uang cash. “Itulah hidup saya, kadang Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik buat saya,” ia menghembuskan asap rokoknya.
Saat ini yang dipikirkannya hanyalah bagaimana meyakinkan kebenaran kepada anak yang dikasihinya. Untuk itulah, wanita yang lebih suka mengurung diri di dalam kamar hotel ini melakukan apa saja untuk menenangkan hati anak-anaknya. Anak lelakinya yang kini tinggal di Belanda untuk sekolah, sering diceritakannya sebagai anak yang senantiasa kritis dan memberikan berbagai masukan kepada dirinya.
Sementara anak perempuannya yang kini tinggal di Jakarta dikatakannya sebagai anak yang kuat dan tegar dalam menghadapi kenyataan yang menimpanya. “Saat ini ia tinggal bersama orang-orang tua saya dan para pembantu setia saya,” sahut Maria. Sedihnya, tutur Maria, salah satu pembantu setia yang telah ikut semenjak ia hidup di Jakarta (14 tahun lalu), masuk rumah sakit karena memikirkannya. “Saya sering menelpon dan menanyakan keadaannya, katanya ia sangat mengkhawatirkan saya,” katanya sambil tersenyum. Namun, dengan keteguhan dan ketegaran hatinya, ia tampak memberikan semangat kepada orang-orang yang mencintainya itu.
Maria pun juga merasa aman meninggalkan anak perempuan satu-satunya di rumah bersama orang-orang tua yang dirawatnya. Ia mengatakan bahwa salah satu kegemarannya adalah menerima “curhat” dari berbagai orang tua yang dirawatnya. Kegemaran ini dipupuknya setelah ibunya meninggal dunia, sejak itu ia merawat beberapa orang tua hingga akhir hayat mereka. Salah satu yang sering diceritakannya adalah seorang wanita tua yang hingga akhir hidupnya melajang. “kamu bisa membayangkan kan seperti apa sifat-sifat orang tua seperti itu ?,” ia lagi-lagi tersenyum.
Maria adalah seorang wanita yang rendah hati, tidak sombong, memiliki kasih sesama. Ia selalu meyakini apa yang dilakukannya, dan senantiasa bekerja keras untuk meraih yang terbaik untuk diri dan anak-anaknya.
Setiap siang, Media senantiasa melakukan “penyisiran” di wilayah-wilayah faforit Maria,- setidaknya yang disampaikan dalam wawancara-wawancara lalu, seperti Food court Picnic yang terletak di pertokoan scotts, kolam renang Marriot atau apartemen Scotts tempatnya “menyepi”, Scotts Lounge hotel Hyatt, Lounge hotel Marriot, Cofi, dan beberapa tempat makan “biasa” di sekitar scotts dan Orchard. Tetapi nihil. Ia tak berada di tempat-tempat itu.
Perjuangan menemukan Maria bukanlah hal yang mudah. Meskipun tempat menginap dan tempat nongkrongnya diketahui, namun ternyata Media tidak menemukannya keluar dari pintu apartemen Scotts, dimana Media selalu berpapasan dengan Maria. Seperti yang terjadi Jum’at hingga Minggu lalu, dari siang hingga saat pertokoan tutup, meski Media sudah duduk berjam-jam sambil menghabiskan beberapa gelas kopi di kedai kopi Coffee Bean and The Tea Leaf, pertokoan Scotts, Maria tak juga kunjung keluar dari pintu itu. Entahlah, mungkin ia telah kembali ke Belanda seperti yang dikatakannya saat kami bertemu. Mungkin juga ia telah berpindah hotel atau apartemen begitu jejaknya diketahui. Entah, entah, hanya Tuhan dan Maria yang tahu jawabannya. (Rustika Nur Istiqomah)
Hello,
I stumbled on your interesting write up when surfing the net trying to find out whether what I heard yesterday, i.e., Jeffry Baso has passed away, is correct. What you say about Erry is right, but only from the eyes of somebody who meets her for only a couple of times in the span of time of only a few hours. And it’s more so since you met her in her down time, so to speak.
What you saw was NOT you got. Having said that, I’m not saying all is wrong. I’ve know her for over thirty years to this date. True, she is a fighter, works hard, friendly, even charming, easy going and so on and so forth. She also cares, but only to some extent, mostly only on the surface (as opposed to sincerely cares). Yes she did that “education” stuffs for the midgets but there was a commercial objectives in it. I believe that’s why she made a comment wondering whether or not they still remebered her.
For all the social works she did she had a very calculative strategy as what she’d have in it. I am not saying this is wrong but portraying her like a mother Teresa is not very fitting either.
And about children, what I can say is i feel sorry for the kids. I expressed to her many times my concern about how little attention she gave to the children. Yep, this was mostly she was too tied up with whatever biznis she was doing.
I know most of the story of the BNI stuffs. To say that she doesn’t or didn’t know what happened is an insult to one’s intelligent. Erry was the one motored the marble biznis after taking advantage over a friend who started it but couldn’t get it going. she also recruited every crew in the team. The whole thing started way back in 1998. Much later she invited her former husband and AW to join up, gainst the wish of the rest of team memers, and this was when the fiasco commenced. Sure, this is only a very brief version of an immensely complex case…..you could write a book out of it and probably make a movie too.
I still regard Erry a close friend despite of what happened. I haven’t met her for years and long to meet her and talk to her heart to heart as to what really happened to towards the end of the “adventure”. And I believe she owes me an explanation (and she knows why). I also feel sorry for those whom I personnally know and involved in the case and now have to spend a long time behind bars. Her brohter and sister, for instance, are truly only collateral damages here. True, in the eye of the law they are wrong, the signed papers, the attended meetings etc. But in reality they didn’t know what it was. Erry didn’t inform them what were done.
BU Erry…….
p/s: MPL (erry) was married not just twice. Her third (former) husband was an American. The marriage, though, was short lived. Erry is not a typical housewife typed woman. She is destined to be the head of the family, and this might contribute to her marital failures.
Dear PG,
terima kasih banyak sudah memberikan “ruh” di dalam artikel ini. Saya percaya, bahwa artikel ini barangkali tidak bisa memotret keseluruhan cerita tentang Erry. Kami hanya bertemu sesaat, dan saya melaporkan pandangan mata dan hasil wawancara selama itu.
Ketika artikel ini diturunkan bertahun-tahun lalu, semua media membicarakan Erry dan segala kesalahan yang ditimpakan padanya. Saya hanya mencoba menuliskan dia dari sudut pandang Erry, sesuai yang saya dapatkan masa itu- karena sudut pandang dari pihak lain sudah dituliskan di koran-koran masa itu.
sekali lagi, saya senang sekali bisa mendapatkan masukan informasi yang memperkaya.
salam,
tika
Hello,
Kisahmu sangat berkesan..
bagiku…
Terimakasih karena mengingatkan
sepotong kenangan hidupku
pada sebuah perjumpaan
bersama Ibu Erry Lumowa, di sebuah sudut netherlands
tahun 2005…
“ini sambal jawa, wibhy…” kata dia di dapurnya yg mungil, saat menyodorkan sambal buatannya di sebuah cobek batu padaku..
“Trimakasih Ibu Erry, sambalnya enak…”
warm regards
wibhy
i have been a volunteer for 2 years on social works and this is a very exciting job for me -;.
Hari ini,9 Juli 2020,setelah 11 tahun,ada lagi berita tentang Maria Pauline Lumowa ini. Ia diekstradisi dari Serbia ke Indonesia. Menkumham RI Yasonna Laoly yang langsung mengurus prosesnya.