Surat Pembaca
(surat yang akhirnya tak pernah terpublikasi di Media Indonesia. entah kenapa…..)
Saya seorang Warganegara Indonesia yang sejak tahun 1974 telah bermukim di Stockholm, Swedia dan sekarang bekerja pada jenjang manajer di salah satu perusahaan teknologi informasi Swedia.
Saya memperhatikan dan membaca dengan seksama melalui Media Indonesia On-Line (via Internet) pada edisi 30 September, 1 Oktober dan 9 Oktober yang lalu mengenai reportase tentang orang-orang (asal) Indonesia yang terhalang pulang karena masalah perbedaan pandang politik di zaman Orde Baru dahulu .
Saya sangat menghargai upaya Media Indonesia mengangkat masalah ini. Perjalanan hidup saudara-saudara kita asal indonesia yang bermukim dan telah berwarganegara Swedia tersebut memang sangat mengharukan.
Sebelum reportase “masyarakat terhalang pulang” dimuat pun, sesungguhnya sejak setahun belakangan ini saya juga sudah menjalin kontak dengan mereka. Ini terjadi setelah KBRI Stockholm terutama dengan inisiatif Kepala Bidang Politik yang pada awal 2004 baru datang mengambil inisiatif untuk merangkul mereka dalam kumpulan masyarakat Indonesia yang diayomi KBRI.
Sebuah ironi bahwa sebelumnya, selama puluhan tahun, kami orang-orang asal Indonesia tinggal di kota kecil yang sama (Stockholm berpenduduk 1 juta jiwa) berbangsa sama, bertanah air sama, berbudaya yang sama, berbahasa yang sama, namun tidak saling mengenal dan tidak saling menyapa. Saya sangat menghargai pihak KBRI yang akhirnya memutuskan untuk mengundang masyarakat “terhalang pulang” ini dalam komunitas Indonesia termasuk dengan saya.
Ternyata setelah saya selama 1 tahun belakangan ini bergaul dengan kelompok “terhalang pulang” ini ternyata menurut pandangan saya, mereka –sebagaimana orang Indonesia pada umumnya– adalah orang yang berkepribadian baik, ramah yang mudah bergaul, serta serius dalam belajar dan bekerja. Satu hal yang sempat saya kagumi ialah komitmen mereka selalu memelihara identitas mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Di samping itu, sebagai manusia yang telah puluhan tahun tinggal di luar negeri, saya melihat dan merasakan, bahwa kehilangan kewarganegaraan Indonesia adalah satu trauma yang dahsyat, yang selalu mengikuti sebagai
bayang-bayang traumatik.
Atas alasan itulah, meski telah bermukim puluhan tahun di Swedia ini, saya tetap mempertahankan kewarganegaraan dan paspor Indonesia saya. Betapa kecewanya saya jika saya harus kehilangan warganegara dan paspor saya
tanpa alasan, seperti yang dialami mereka yang “terhalang pulang” ini.
Atas dasar inilah, saya ingin menghimbau kepada Pemerintah Indonesia termasuk Bapak Presiden S.B. Yudhoyono, agar kewarganegaraan mereka dapat
dipulihkan. Hal ini terutama mengingat bahwa mereka kehilangan kewarganegaraan mereka samasekali bukan karena pilihan mereka dan dipaksa oleh kekuatan sebuah rezim yang otoriterian.
Sudah cukup mereka menderita selama 40 tahun. Demi rasa keadilan,demokrasi dan HAM yang saat ini dijunjung tinggi di Indonesia, saya kira sudah waktunya Pemerintah RI era reformasi dan demokrasi ini melakukan
terobosan untuk memulihkan kewarganegaraan mereka.
Sekali lagi saya ucapkan penghargaan dan terima kasih bagi Media Indonesia untuk pemuatan ekspose sebuah masalah kemanusiaan hakiki dari anak-anak
bangsa Indonesia yang terbuang hanya karena perbedaan aliran politik, karena pada akhirnya kita semua manusia adalah sama.
Wassalam,
Peter Sengkey
Stockholm, Sweden
Surat ini akhirnya tak pernah dimuat……
Stockholm, 17 Oktober 2005
Kepada Yth.
Redaksi Harian Media Indonesia
Di
Jakarta.
Dengan hormat,
Bersama ini saya lampirkan, konsep surat pembaca untuk dapat dimuat di harian Media Indonesia berkaitan dengan dukungan atas reportase wartawati Media, Sdri. Rustika Nur Istiqomah yang sangat bagus mengenai masyarakat Indonesia yang terhalang pulang.
Atas nama masyarakat Indonesia di Swedia saya berterimakasi atas tulisan-tulisan mengeai Swedia ini oleh wartawati Media dan semoga di masa yang akan datang dapat terus mengirimkan wartawannya ke Swedia meliput perkembangan masyarakat Indonesia di Swedia.
Hormat saya,
ttd
Peter Sengkey.
N.B: Fotocopi paspor sebagai formalitas akan saya susulkan. Namun telah ada jaminan dari KBRI d.h.i. Kepala Bidang Politik, Dr. Ben Perkasa Drajat bahwa konsep surat pembaca ini autentik dan dapat dipertanggungjawabkan.
PANITIA PERINGATAN 40 TAHUN TRAGEDI NASIONAL PERISTIWA 1965
SEKRETARIAT: Telepon – 070 -3860851, E-mail – mdkartaprawira@gmail.com
——————————————-
Siaran Pers
TRAGEDI NASIONAL 1965 merupakan epilog peristiwa apa yang disebut “Gerakan 30 September 1965” dan proses penggulingan pemerintah Presiden Sukarno, serta berdirinya rezim otoriter Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang anti rakyat.
Di bawah kekuasaan rezim otoriter Jenderal Soeharto tersebut, ratusan ribu dan bahkan jutaan orang yang tak bersalah, yang samasekali tidak mengetahui dan tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang disebut “Gerakan 30 September 1965” itu dibantai secara kejam, diasingkan ke pulau Buru dan Nusakambangan, dijebloskan ke penjara-penjara yang semuanya tanpa proses hukum, dirampas hak miliknya dan banyak di antara mereka yang disiksa secara fisik dan moril, — semua ini adalah merupakan pelanggaran HAM berat.
Lebih dari itu dengan melakukan litsus “bersih lingkungan” rejim Soeharto melanjutkan kekejamannya lagi terhadap anak-cucu para korban dan mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan mereka, yaitu pendiskriminasian atas hak-hak sipil dan politiknya. Akibatnya jutaan orang yang dianggap tidak bersih lingkungan tersebut mengalami penderitaan berat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga mereka ini juga merupakan korban baru pelanggaran HAM.
Terhadap mereka yang waktu kejadian bulan September 1965 itu kebetulan bertugas atau berada di luar negeri (termasuk mahasiswa-mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah Bung Karno), yang menyatakan kesetiaannya kepada pemerintah Presiden Sukarno, rezim Orba dengan semena-mena telah melakukan pencabutan paspor, dan dengan demikian berakibat kehilangan kewarganegaraannya. Mereka ini sebagai bagian korban pelanggaran HAM telah mengalami banyak kesulitan hidup di rantau, terpisah dengan orang tua dan sanak saudaranya selama puluhan tahun, kehilangan kesempatan untuk ikut membangun dan membaktikan diri kepada negara dan bangsa sesuai keahlian dan pengalaman yang diperoleh selaku mahasiswa dan pengemban tugas di luar negeri lainnya.
Menteri Yusril Ihza Mahendra dalam Pertemuan di Den Haag tahun 2000 — berdasarkan Keputusan Presiden RI No.1 Tahun 2000 — dengan mereka yang dicabut parpornya (mereka yang terhalang pulang), telah berjanji akan mengembalikan hak-hak sipil dan politik mereka (a.l. hak kewarganegaraan) dengan prosedur yang khusus dan mudah serta dalam waktu 3 bulan . Sangat disesalkan bahwa janji tersebut sampai sekarang tidak pernah dipenuhi.
Telah 40 tahun berlalu terjadinya pelanggaran HAM berat — tragedi kemanusiaan 1965 — tersebut di atas, sampai saat ini dampaknya masih terus dirasakan oleh tidak kurang dari 20 juta warga negara Indonesia. Walaupun Jenderal Soeharto sudah dicampakkan dari singgasana kepresidenan oleh gerakan reformasi, tetapi para korban – baik yang langsung maupun tidak langsung – belum mendapat keadilan sebagaimana layaknya warga negara dari suatu negara hukum sesuai UUD 1945 dan Pancasila.
Masyarakat Indonesia di Negeri Belanda, baik yang merupakan korban maupun bukan korban peristiwa 1965 tidak bisa melupakan masa lampau yang penuh kekerasan dan tidak bisa membiarkan sejarah Indonesia dipulas dengan kebohongan dan rekayasa Jenderal Soeharto dan konco-konconya. Kebenaran dan keadilan harus diungkapkan dan ditegakkan demi masa depan Indonesia yang demokratis, menjunjung HAM dan keadilan sosial. Inilah maksud dan tujuan diselenggarakannya peringatan 40 tahun tragedi nasional peristiwa 1965 tersebut, yang pada tanggal 15 Oktober 2005 diadakan di Diemen-Amsterdam(Negeri Belanda) di mana dihadiri oleh para peserta, yang datang selain dari Belanda, juga dari Swedia, Jerman, Perancis.
Maka dari itu, demi tegaknya hukum dan HAM, serta keadilan, Panitia Peringatan Tragedi Nasional 1965 menuntut kepada Negara (Pemerintah, DPR/MPR) untuk:
1. Segera melaksanakan pemulihan hak-hak sipil dan politik serta memberi kompensasi kepada para korban, tidak tergantung ada dan tidak-adanya pengakuan kesalahan pelaku dan pemberian amnesti kepada pelaku.
2. Memulihkan kembali kewarganegaraan beserta hak-hak terkaitnya kepada para korban pelanggaran HAM di luar negeri (mahasiswa, pejabat, dll), karena dicabut paspornya yang berakibat kehilangan kewarganegaraannya.
3. Menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap para korban peristiwa 1965 beserta sanak-keluarganya.
*****
Kepada:
Yth. Presiden Republik Indonesia
Yth. Para anggota DPR/MPR RI
Yth. Para anggota Mahkamah Agung RI,
dan Mahkamah Konstitusi RI
R E S O L U S I
TRAGEDI NASIONAL 1965 telah tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat , di mana jutaan orang tanpa proses hukum telah dibantai, dimasukkan ke dalam penjara, diasingkan ke pulau-pulau pembuangan (Buru, Nusakambangan), dirampas hak miliknya, dicabut/dianulir pasportnya (mereka yang sedang bertugas di luar negeri) dan lain-lainnya.
Di samping itu jutaan orang yang dinyatakan atau dianggap tidak bersih lingkungan, karena mempunyai hubungan famili dengan para korban tersebut telah didiskriminasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga mereka ini juga merupakan korban baru pelanggaran HAM.
Tidak pandang agamanya, ideologinya, partainya, sukunya, etnisnya para korban tersebut harus mendapatkan perlakuan hukum dan keadilan yang sama.
Telah 40 tahun berlalu terjadinya pelanggran HAM berat tersebut, tetapi sampai dewasa ini keadilan bagi para korban belum ditegakkan, meskipun negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah negara hukum.
Berhubung dengan itu, demi tegaknya hukum dan keadilan Panitia Peringatan Tragedi Nasional 1965 menuntut kepada Negara (Pemerintah, DPR/MPR) untuk:
1. Segera melaksanakan pemulihan hak-hak sipil dan politik kepada para korban, tidak pandang ada dan tidak-adanya pengakuan kesalahan pelaku dan pemberian amnesti kepada pelaku.
2. Memulihkan kembali kewarganegaraan beserta hak-hak terkaitnya kepada para korban pelanggaran HAM di luar negeri (mahasiswa, pejabat, dan lain-lainnya), karena dicabut paspornya yang berakibat kehilangan kewarganegaraannya.
3. Menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap para korban peristiwa 1965 beserta sanak-keluarganya.
Nederland (Diemen-Amsterdam), 15 Oktober 2005
iya kasihan mereka. (saya ga tahu persis gimana kelanjutan surat pembaca tsb, karena ditulis ditahun 2005), tapi terlepas dari itu keberadaan mereka harus ditinjau lagi. bahkan kalau perlu negara harus meminta maaf kepada mereka atas nama instansi tertentu. karena mayoritas dari mereka yang terkena dampak adalah orang yang tidak mengetahui apa2, dengan kata lain mereka yang tidak pernah berbuat, tdk pernah diadili dan langsung divonis.
pun, kepada mereka yang diluar kategori tadi (artinya yang sadar secara idiologis), bukankah demokrasi itu menjamin kebebasan berpolitik dan berpendapat? dan hanya karena mereka berbeda, lalu kemudian mereka mendapat vonis yg sangat tidak adil. sekali lagi atas nama demokrasi dan ham yang sedang dikumandangkan dengan senyaring2nya, negara harus mengembalikan nama baik dan juga meminta maaf kepada mereka !