Dunia dalam Genggaman
Bakhtiar Abdullah
Pengantar:
Tiga tahun lalu saya pernah menjumpai para petinggi GAM Swedia di Swedia. Pertemuan ini terjadi beberapa hari setelah perundingan Helzinky. Artikel ini saya munculkan kembali, setelah banyak teman yang menanyakan soal pertemuan saya dengan para petinggi GAM usai mereka membaca artikel mengenai Danau Laut Tawar yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma di majalah Intisari. Mungkin mereka merasa aneh, bagaimana saya yang kini bekerja di dewi, majalah life style, berurusan dengan GAM 🙂
Stockholm, 18 September 2005
Stockholm begitu cantik di pagi itu. Langit membiru seutuhnya. Beberapa gumpalan awan kecil terlihat menggerombol di satu sisi. Lainnya begitu bening, begitu bersih. Matahari menampakkan sinarnya dengan bahagia. Suasana terasa hangat, meski suhu sudah mulai menurun hingga 12 derajat celcius.
Kami berjanji bertemu di lobi hotel Sheraton Stockholm pukul 2 siang. Sebelum waktu menjelang, Bakhtiar Abdullah, juru bicara GAM sudah menampakkan tubuhnya di balik pintu putar Hotel Sheraton. Ia tersenyum dari kejauhan, memberikan kesan persahabatan. Seorang kameramen dari sebuah televise Swedia mengabadikan pertemuan kami. Ia mengulurkan tangannya dengan hangat, mengajak saya untuk menuju mobil Toyota yang diparkir tepat di depan hotel.
Ini merupakan pertemuan kedua kali dengan Media selama di Stockholm. Sebelumnya, kami pernah jumpa di sebuah tempat minum kopi yang terletak di depan Viking Line, Gedung World Trade Center, dua hari lalu. Kami berbincang-bincang sambil minum kopi dan makan kue kanelbulle. Bahkan di saat itu, ia juga menyempatkan waktu yang sedikit untuk Media menyusur kota tua dan menghabiskan senja di depan danau Mellarena yang terletak di depan National Museum dan The Grand Hotel.
Siang itu, Bakhhtiar terlihat santai. Ia mengenakan jaket coklat muda dengan aksen corduroy coklat gelap pada kerah lehernya. Di dalamnya, kaus warna abu dan celana jeans biru
Berdua kami menapaki jalan Forvaltning menuju mobil yang diparkir tak jauh dari Hotel Sheraton yang terletak di jantung kota Stockholm. Kameramen itu masih mengambil gambar kami. Kami terlibat satu percakapan pendek. Di mobil, Munawar Liza dan Teuku Hadi sudah menunggu. Kami melenggang menyusuri kota Stockholm menuju Albi, tempat pertemuan dan wilayah hunian para pemimpin GAM Swedia.
Sepanjang jalan, Bakhtiar dengan sabar dan telaten menjelaskan kota Stockholm yang indah.”Seharusnya, pada akhir musim panas, selalu ada festival air di Stockholm. Indah sekali. Tapi kini sudah tak dilaksanakan lagi, karena terlalu banyak copet dalam acara itu,” ceritanya mengalir ketika kami melewati satu danau. “Stockholm adalah kota air. Wilayahnya terdiri atas pulau-pulau kecil,”pria yang namanya popular belakangan ini menjelaskan kepada media.
Sepanjang jalan, Bakhtiar banyak bercerita tentang Aceh dan Indonesia. Meskipun sudah lebih dari 20 tahun tak menginjakkan kakinya ke Indonesia, tapi pengetahuan tentang perkembangan politik, ekonomi, hingga joke-joke ala Indonesia sangat dikuasainya dengan baik. Apalagi tentang perkembangan Aceh terkini, ia terlihat sangat mengerti dan memahami. Jarak tak harus menjadi halangan. Apalagi kini perkembangan teknologi telah memungkinkan semuanya.
Jadi ketika media mengajak diantar ke markas alias representative office GAM Sweden, Bakhtiar tertawa. “Kami ini kantornya ada di dalam genggaman. Masing-masing petinggi dan aktivis GAM memiliki laptop. Bisa bekerja dari manapun juga. Demikian juga soal koordinasi,” tukasnya memberikan komentar soal koordinasi antara pemimpin GAM di Swedia, dengan aktivis Munawar Liza di Amerika, Teuku Hadi di German serta koordinasi lapangan di Aceh.
Mengenai peralatan komunikasi,Bakhtiar mengakui bahwa peralatan teknologi yang digunakan sudah sangat maju. Sehingga jarak, waktu, dan tempat bukan menjadi persoalan untuk melakukan koordinasi. Soal ini, Bakhtiar punya cerita. Saat rehat di perundingan Helzinky dulu, menkominfo Sofyan Djalil sempat bertanya padanya,” Kalau kalian tinggal berjauhan satu sama lain, bagaimana kalian melakukan koordinasi?,” pria yang fasih berbahasa Swedia ini menirukan..
“Nah, ini tempat kerja saya,” tukasnya tiba-tiba sambil menunjuk pada satu bangunan yang bertuliskan Posten Segeltorp Terminalen. “Saya setiap hari kerja disini, selain mengurus GAM Swedia,” tukas pemilik rambut berombak ini. “Disini setiap orang harus bekerja. Jadi kerja saya variasi (dobel), sebagai pegawai di sebuah perusahaan, tapi juga sebagai juru bicara GAM Swedia.” Pekerjaan ini tidak mudah, tutur Bakhtiar. Ia harus benar-benar berkonsentrasi dalam memberikan statement kepada media di seluruh dunia. “Setiap pernyataan yang dikeluarkan kami, memiliki dampak yang luar biasa. Tak hanya untuk kami, tapi untuk masyarakat Aceh, masyarakat Indonesia hingga masyarakat dunia.”
“Kami tengah membangun sebuah sejarah.”
Menuju Markas GAM?
Kota Albi, tak jauh dari Stockholm. Perjalanan hanya menempuh setengah jam dengan menggunakan mobil. Dari kejauhan terlihat deretan flat/perumahan dengan warna kuning khas Swedia yang banyak dihuni oleh kaum imigran. Disinilah kami diterima para pemimpin GAM Swedia. Tepatnya di rumah milik Syarif Usman, salah satu staff pimpinan GAM Swedia. Dari kejauhan, Syarif dan keluarganya, menyambut kedatangan kami dengan hangat. Kami diperkenalkan secara resmi oleh Bakhtiar dengan para pemimpin GAM Swedia, Teungku Malik Mahmud, Perdana Menteri, Dr Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri. Mereka mengulurkan tangan, menjabat erat tangan kami. Tulus.
Kesan pertama saat bertemu Malik, ia adalah orang yang tegas, dan penuh pertimbangan. Setiap kata-kata yang akan diluncurkan dipikirkan dengan dalam. Beberapa hal yang sangat sensitive, seperti soal Aceh, ia terlihat sangat hati-hati dalam memberikan statement. Beberapa kali dalam wawancara awal dengan Media, ia tampak sedikit tegang.
“Saya harus berhati-hati, karena masalah Aceh masih sangat sensitive. Sedikit perbedaan persepsi, akan menimbulkan dampak yang sangat besar,” jelasnya. Tangan kirinya berkali-kali mengusap-usap dahinya yang sudah mulai mengerut , sementara tangan kanannya memain-mainkan, membaik-balik dan memutar digital recorder milik Media yang terletak di dekat tangannya.
Tapi ketegangan ini pelan-pelan meluruh. Setelah terlibat banyak percakapan, Teungku Malik merupakan sosok yang hangat dan perhatian. Bahkan ketika mengantar Media kembali ke hotel, pria berambut tipis dan sedikit ikal ini terus bercerita tentang apa saja. Tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang Hasan Tiro, tentang budaya Aceh yang kaya raya, tentang makanan, tentang apa saja, dengan santai, ringan, dan menarik.
Kesan ini berbeda dengan Zaini yang terasa lebih kebapakan saat pertama berjumpa. Ia tampak tenang dan matang. Pernyataannya mengalir. Wajahnya sumringah ketika bercerita tentang masa lalunya di Aceh saat naik bus menuju medan. “Jalanan sangat parah waktu itu. Untuk menuju Medan, kami memerlukan waktu 1 minggu, itupun harus melewati banyak kubangan yang berlumpur. Kalau melewati itu, bus yang kami tumpangi harus berenang dulu!,”ia tergelak mengingat beragam kisah yang dilaluinya dimasa kecilnya. Matanya yang sipit kian menyipit. Kacamatanya ikut terangguk-angguk. Zaini terlihat begitu menikmati suasana di sore itu. Ketegangan awal mulai meluntur perlahan. Sementara itu Teuku Hadi (juru runding Helzinky yang kini menetap di Jerman), Syarif Usman dan Munawar Liza yang “menjaga” selama wawancara ikut terhanyut dalam kisah-kisah manis di masa lalu.
Aceh, begitu indah di mata mereka..
Meja makan yang terletak di ruang keluarga itu ditata dengan rapi. Di atasnya diletakkan lampu gantung kristal yang sengaja dinyalakan, meskipun di luar masih sangat terik. Di meja makan, sudah disediakan hidangan khas Aceh, yang mengingatkan pada masakan rumahan. Ada kari kambing, pecel, udang kecap, rendang daging, mie aceh serta potongan timun segar. Semuanya mengundang selera. Segelas air putih disediakan, juga nasi putih dalam porsi yang cukup besar di masing-masing piring yang disediakan di atas meja.
Malik duduk di ujung meja ellips. Zaini, Liza berada pada sisi kanan. Sementara kami, dan kru televise Swedia duduk di sebelah kiri. Malik menjadi tuan rumah yang baik. Ia mempersilakan para tamunya mengambil makanan yang disediakan sambil menceritakan secara detil aneka makanan khas Aceh yang terdiri atas “101 bumbu dan sayuran”. “Ini merupakan salah satu indikasi tingginya budaya Aceh dalam soal makanan,” ia menjelaskan pada wartawan televise Swedia yang agak terkaku-kaku mendapati masakan yang penuh dengan “coconut oil”.
Tak hanya soal makanan, Malik juga banyak bercerita tentang budaya Aceh yang kaya. Termasuk manusianya. “Masyarakat Aceh itu sangat unik. Dari sebuah keluarga, hasilnya bisa beda-beda. Ada yang wajahnya seperti Arab, ada yang wajahnya terasa seperti China, uniklah..” katanya berpromosi tentang istilah Aceh sebagai akronim dari Arab, China, Eropa dan Hindi.
Pembicaraan begitu mengalir hangat di meja makan. Suasana begitu kekeluargaan. Mereka orang-orang yang ramah dan menyenangkan. Suasana di kalangan para pemimpin GAM Swedia dijaga agar senantiasa tenang, tak terlihat gurat stress atau under pressure menghadapi beragam tekanan yang ditujukan padanya. Untuk menjaga stabilitas ini, managemen waktu sangat ditepati.
Seperti ketika waktu telah melebihi yang dijanjikan, Munawar Liza kembali mengingatkan Media. “Waktunya sudah habis. Teungku harus istirahat. Beliau harus menjaga kondisi badan.” Liza menegaskan. Setelah itu, tak ada tawar menawar. Liza segera menggiring Media menuju pintu. Bakhtiar sudah menyiapkan mobilnya untuk mengantar Media kembali menuju hotel. (Rustika Nur Istiqomah)
tapi…..
sebagian dari mereka,
sekarang
sudah menjadi raja-raja kecil
yang baru …….
di tanah kelahirannya…..
sangat bagus cara bertuturnya… mengingatkan sy pada sutan takdir alisyahbana………
ya 4JJI kapan saya bisa berbicara langsung sama petinggi2 tanah rencong…
lon rindu ngon droneuh banbandum hai pemimpin lon yang gleh2 hate bak neupeujuang aceh selama lon teupu…
neu peutron ileume droneuh bacut keu lonnyo mungken generasi droneuh keu masa ukeu.. amiiin2
Ass teuengku meutuah peu haba sehat teungku.