Melintasi Matahari
“Aktivis” lingkungan inipun meninggalkan Matahari menuju Jantung Kota
“Formal is not very me,” Begitu Suzy Darmawan Hutomo bercerita tentang dirinya. Ketika itu, ia tampak senang dengan pilihan busana serupa kebaya tanpa lengan dengan bawahan batik. Ia terlihat segar dengan rambutnya yang pendek sedikit basah seolah habis keluar dari salon. Wajah dengan riasan tipis itu justru membuat ia kian memesona. Raut mukanya terlihat bahagia, lahir dan batin, tanpa terasa dibuat-buat. Sambutannya terasa tulus, kendati dia terpaksa menunggu kedatangan dewi yang terlambat karena kemacetan luar biasa menuju kediamannya: Bintaro sektor 9, Tangerang, Banten.
Di ruang keluarga tempat Suzy menerima dewi, suasana terasa cozy. Ruang lapang itu didekor minimalis. Disana dipajang puluhan lukisan dan patung-patung artistik yang menunjukkan cita rasa seni. Dari sofa empuk ini, kami bisa memandang hijaunya taman, kolam dengan ikan-ikan sebesar betis kaki dan kura-kura berlari-lari kegirangan, ayunan yang mengingatkan pada kesenangan masa kecil, serta mendengar suara air yang mengalir dari mulut patung-patung kodok. “Anak saya bilang, rumah ini adalah perpaduan antara museum dan kebun binatang,” ia tertawa sembari mempertunjukkan puluhan jenis patung binatang dari burung hantu hingga kuda sebesar anak keledai serta karya lukisan pelukis Bali. Lalu masih ada lukisan karya pelukis Sri Hadi dan Sri Hadhy yang disukainya. “Saya memang pecinta binatang dan juga lukisan yang bertema perempuan.”
Akhirnya menjadi mudah dipahami mengapa Suzy lebih menikmati kesibukannya sebagai CEO The Body Shop Indonesia (BS). Merek toko perlengkapan perawatan tubuh asal Inggris dan didirikan oleh Anita Roddick ini memang sangat konsen pada lingkungan dan juga perempuan. “Fashion tidak hanya sekadar statement, bukan sekadar konsumsi barang, tetapi juga komitmen terhadap lingkungan, HAM, dan juga perempuan. Ah, ini kan sangat menarik,” tukasnya. Hal ini jelas benar cocok pada pribadi Suzy yang pernah menjadi aktivis lingkungan saat masih di Singapura. “Sebetulnya, originally saya adalah orang yang cenderung aktivis. Namun saat saya pulang dari luar negeri, kondisinya tidak tepat menjadi aktivis. Apalagi keluarga saya juga menentang keinginan saya. Jadi, saya lari ke BS saja,”kenangnya.
Bersama Hutomo Santosa –yang tak lain adalah sang suami–Suzy membangun BS di Indonesia tahun 1992 di bawah naungan PT Monica Hijau Lestari. Pada awalnya, ia hanya bergerak sebagai Provider Manager. Karena prestasi kinerjanya, iapun diberi kepercayaan oleh Gordon Roddick untuk menset-up kantor The Body Shop Asia Pasific Regional. Posisinya saat itu sebagai Regional Marketing dan Values Director Asia Pasifik. Di sisi lain, Suzy juga memiliki kedekatan personal dengan Anita Roddick. “Bulan Mei lalu, saya ke rumah Anita. Disana kami membicarakan langkah ke depan untuk BS. Yah, kami ingin membuat tantangan baru yang unik dan interesting dengan sasaran anak-anak muda.”
Sebagai informasi, BS baru saja membuat Festival Film Dokumenter untuk anak muda dengan tema global warming, perempuan dan AIDS bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). BS juga masih peduli dengan perempuan melalui Pundi Perempuan. “Bersama Komnas Perempuan, kami juga dukung lewat Hotline.” Dengan cara ini barangkali ia menyalurkan kebahagiaannya selayaknya aktivis NGO yang sangat diidamkannya itu.
Selain The Body Shop Indonesia yang kini memiliki 52 gerai, Suzy mengembangkan merek fashion seperti Alma, M2000, PS, Color Box dan Cornwall Garden di bawah bendera PT Almanda Nuansa Cipta. “Saya memang senang fashion, meski saya bukan the most fashionable person,” ungkap lulusan Fashion Institute of Technology New York, ini yakin. Meski mengakui bahwa label PS bukanlah tipe busana yang sesuai dengan kepribadiannya yang cenderung etnik, namun naluri sebagai pengusaha melihat bahwa PS memiliki pasar yang baik sehingga ia mencari desainer yang cocok untuk mengembangkannya.”Saya percaya, wanita kita akan lebih bagus dengan menggunakan produk itu karena warna-warnanya yang look nice,” ia berpromosi. “Dari dulu saya suka batik karena ingin tampil unik. Makanya saya nanti kalau punya perusahaan fashion lagi, saya pinginnya seperti itu,”ia membuka rahasia.
Tapi ini bukan target jangka pendek, mengingat masih banyaknya kendala yang kelak dihadapi, katanya tiba-tiba. “Disini, fashion masih belum jadi industri. Persaingan akan sangat ketat. Di luar, mereka memiliki merchandiser yang sangat kritis. Bagaimana mereka bisa menjual dengan harga tepat. Di sini, pengertian merchandiser masih sangat kalem. Saya pun juga masih sulit. Kata Sebastian Gunawan, passion-nya harus gedhe,” Suzy mengambil pernyataan Sebastian Gunawan. Sebagai informasi, sepulang kuliah, Suzy pernah berprofesi sebagai desainer untuk label Nuvo yang diciptakan bersama teman-temannya sebelum bergabung dengan ayahnya di Matahari Departement Store sebagai GM Merchandiser.
Ayahnya, Hari Darmawan adalah pelopor ritel di Indonesia melalui jaringan Matahari Departement Store. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah majalah bisnis, Hari memuji anak perempuan sulungnya itu. Tukasnya,”Dia memang dilahirkan untuk menjadi pedagang besar.” Meski demikian, secara sadar Suzy mengakui bahwa ia ingin sekali berada di luar bayang-bayang ayahnya, seperti juga ia lebih suka “menanggalkan” nama Darmawan di belakangnya, dan menggantinya dengan nama suaminya .”Dari awal, saya tidak ikut bisnis ayah dari bawah. Dia go public, saya sudah tidak ikut. Basicly saya adalah orang independen. I am happy what i’m doing. Suami saya adalah orang yang sangat baik dan supported. Ini sudah cukup buat saya,”lagi-lagi ia menyebutkan suaminya.
Barangkali karena itu, ia memilih untuk membuat jaringan toko di bawah nama Centro (yang artinya:Jantung Kota) di bawah kendali PT Tozy Sentosa. “Meski 6 bulan pertama mengalami kesulitan yang luar biasa,” Suzy menjelaskan Centronya yang pertama di Plaza Semanggi. Kini ia memiliki Centro di Discovery Shopping Mall, Bali, Margo City, Depok, serta Plaza Ambarukmo, Yogyakarta. Suzy benar-benar telah meninggalkan Matahari milik ayahnya.
Meski demikian, peran ayahnya sangat besar bagi Suzy. “Dia mendidik saya dengan baik. Dia mengajar saya dari kecil agar berpikiran nobody owes u anything. Artinya, saya harus kerja keras untuk meraih yang saya inginkan. Ayahlah yang menyekolahkan saya dengan baik.” Meskipun saat ia muda, ayahnya berada di puncak kegelimangan harta, jangan harap ia mendapatkan semua itu dengan mudah. Dia harus bekerja sendiri. “Saya diberi mobil semacam truk yang akhirnya saya pakai untuk bekerja. Hampir selama 5 tahun saya kemana-mana dengan menggunakan truk itu,” kenangnya. Senyumnya kembali mengembang.
Perusahaan itu seperti sesuatu yang hidup (living thing). Ini membedakan dengan style ayahnya yang beranggapan bahwa perusahaan itu seperti anak. Karena itulah sejak awal, Suzy memilih meninggalkan bisnis ayahnya yang sudah besar. “Menurut saya, bisnis itu memiliki nyawa sendiri yang akan berjalan menurut nasibnya. Tugas kita adalah menjaga, membantu semua orang untuk terus tumbuh, tetapi harus profit juga, karena semakin banyak orang bergantung pada kita.” Ia menyadari, semakin besar perusahaannya, semakin besar pula tanggung jawabnya untuk seluruh karyawannya. “Karena itu kita harus selalu hati-hati dalam bertindak. Sebab setiap keputusan kita memiliki dampak yang sangat besar pada banyak orang. Kita tidak untuk membesarkan size, tapi quality. Bagaimana membuat orang semakin hari semakin berkembang. Buat saya, ini prinsip yang sangat serius.” Dan ini artinya ia berbeda pendapat dengan ayahnya yang lebih mementingkan size, dimata Suzy. “Ini hanya gap antar generasi saja.”
Tapi perbedaan pendapat bukanlah masalah besar buat Suzy yang memiliki kultur keluarga yang independen.“We love each other because we are family. Tapi tidak selalu what family to do is ok. Saya tidak selalu punya beban ini itu,” ia lantas mengidentikkan dirinya yang sbb:Saya naturally juga boleh dibilang bukan orang baik, bahkan cenderung agak bandel. Bapak saya tahu itu. Apa-apa, nggak setuju. Tapi sekarang, Suzy mengakui hubungan dengan ayahnya jauh lebih baik. “Ayah dan anak tidak bertarung lagi karena urusan nggak setuju sudah selesai. Yah, semoga dia melihat ini sebagai sesuatu yang menyenangkan,” kata Suzy bijak. Hingga kini, ayahnya masih memberikan nasehat untuknya, dan ini tetap merupakan sesuatu yang menyenangkan buatnya.
Tapi soal bekerja sama, Suzy lebih memilih Bob Sadino -yang tak lain adalah sahabat ayahnya–karena memiliki work chemistry yang sama melalui gerai Kemchick di Pasifik Place. “Awalnya saya memang mau bantu Kemchick karena dia kan legenda. Tapi Om Bob bilang mengapa kita nggak kerja sama saja. Kata Om Bob, I like your energy. Buat saya ini kesempatan untuk mengembangkan diri,” ia menjelaskan sejarah kerjasama itu. Sementara itu, hubungan pribadinya dengan keluarga Bob sudah berlangsung sejak Suzy masih kecil. Kata Suzy, ada dua hal penting saat berbisnis. Pertama, harus mengenal betul teman untuk berbisnis itu. “Soalnya, banyak yang bermulut manis awalnya, lalu ngilang dan meninggalkan ketika bisnis itu bermasalah,” sepertinya Suzy mengambil pengalaman pahit milik ayahnya. Kedua, mengukur kekuatan. “Jangan sampil kita pertaruhkan seluruh milik kita,”tukas Suzy yang anti mengerjakan sesuatu yang kelihatannya cepat, manis, banyak untung,”Itu berbahaya.” Lalu ia menyebutkan bisnis di bidang pertambangan dan sumber daya alam adalah hal yang dihilangkan jauh-jauh dari kamusnya.
Suzy sendiri kini merasa bahagia karena mendapatkan suami yang mendukung sepenuhnya atas langkah dia dan memiliki visi yang sama.”Saya beruntung mendapatkan pernikahan yang kuat. Kita bisa melalui banyak masalah. Apalagi saya ini cenderung petualang dibanding mengikuti selera orang lain,” ia sendiri memiliki rambut yang sangat pendek, jelas satu pilihan di luar mainstream keperempuanan yang dijargonkan dengan rambut panjang dan lurus, bukan?
“Saya pikir, kita harus mengeskplorasi diri kita.” Inilah rahasia yang membuat tampak enjoy dalam hidupnya, selain gaya hidup organik yang telah dianutnya sejak 15 tahun terakhir. “Banyak teman-teman saya bertanya, apa rahasianya. Tapi nanti kalau saya bilang ke mereka, bisa-bisa suaminya nggak suka sama saya,” katanya tertawa. Memang apa rahasianya? “Harus ajak orang lain berubah sesuai dengan perubahan Anda. Kalau kamu berubah, tapi kamu tidak ceritakan ke suami tentang harapanmu, kesenanganmu, rencanamu, ya percuma saja. Apalagi buat perempuan yang tidak bekerja. Akhirnya, spa menjadi pelariannya. Hidupnya dipenuhi dengan kekhawatiran.” Tapi memang Suzy mengakui, bahwa perempuan juga butuh keamanan. Dia khawatir perubahan itu akan merusak “kedamaian” yang selama ini ada. “Kalau kamu percaya and you make a change and you responsible with the change, change can happen. Dengerin orang bilang ya capek, terima saja. Ya sudah terima saja. Kamu harus berubah, harus berubah.”
Memang tidak mudah untuk melakukan dan menerima perubahan itu. Suzy mengakuinya. Perubahan terbesar dalam hidupnya adalah ketika menyadari bahwa setiap individu adalah berbeda, termasuk anaknya. “Saya mengerti mereka memiliki personality yang tidak cocok dengan saya yang konvensional soal sekolah. Dua anak saya memilih home school. Saat itu, terjadi perdebatan dalam diri saya. Tapi akhirnya saya sadar. Masak saya bisa respect dengan orang lain, tapi tidak dengan anak saya?,”tukas Ibu dari Luisa (14), Leonardo (12) dan Lyria (3). Selama setahun, ia dan suaminya berjuang untuk perubahan ini. “Bukan berarti dia tidak suka bersosialisasi. Tapi, dia memiliki personality yang kuat, seperti ayahnya.I respect my children, dan perubahan terbesar dalam hidup saya adalah ketika saya merespect anak saya,” lanjutnya.
Dia tidak ingin anak-anaknya melakukan sesuatu karena dia menginginkannya. Dia ingin semua mengerjakan segala sesuatunya karena memang mereka menginginkannya. Mereka kini jadi lebih kooperatif. Tapi justru keputusan besar ini memberikan manfaat untuknya. “Kini saya punya waktu yang lebih banyak untuk anak saya. Kami juga lebih banyak sharing,”ia mengaku pernah diprotes anaknya karena kesibukannya hingga muncul pemberontakan. Selain mendatangkan guru program home schooling dari Amerika, kini ia punya kesibukan baru sebagai guru pelajaran sejarah dan Bahasa Inggris untuk anak-anaknya.” Bagaimana soal sosialisasi? “Jangan lupa, dia sosialisasi denga orang tuanya, teman orang tuanya, jauh lebih banyak. Daripada anak pulang sekolah dan kita pulang malem ini jauh lebih capek.” Tentang tanggapan orang lain, Suzy menanggapi pendek, “I don’t care. I just care my kids. Saya menjelaskan pada mereka.”
Buat suzy, anak adalah prioritas. Sebagai ibu, ketenangan itu sangat diperlukan. Dengan berpikir tenang, semua persoalan bisa diselesaikan dengan baik. “Stres itu terjadi karena kita tidak mengetahui tentang banyak hal. Yang penting, kita harus bisa menerima siapa kita, apa yang akan kita ketahui dan apa yang seharusnya kita mengerti. Kunci untuk ini adalah membaca.” ia sendiri merilekskan dirinya dengan membaca buku fiksi seperti Harry Potter dan buku-buku pengembangan diri. Buat dia, hal terindah dalam sebuah kehidupan adalah suami yang baik, sekolah yang baik yang tidak menekan anak-anak kita, dan ada seseorang yang bisa masak di rumah. Apakah dia telah mendapatkannya? Dia hanya tersenyum. Tapi di binar matanya, ia mengangguk dengan yakinnya. (Rustika Herlambang)
Saya kenal Suzy kira-kira setahun yang lalu lewat tatap muka. Dia full opf energy dan apresiatif banget. Kepeduliannya terhadap penyelamatan bumi dan isu “go green” sangat mempesona. Tuhan telah memberikan segala-galanya pada Ibu Suzy.
Semoga kiprah ibu makin membawa banyak berkat untuk setiap orang yang ibu jumpai.
Hi Suzy!
How are you? Please send me a number where we could call and when.