Susanna yang Tidak Biasa.
Meskipun butiknya bernama “Biasa”, Susana Perini adalah seorang pemikir dalam di bidang fashion dan seni. Ia sama sekali jauh dari konvensi
Bali dan Biasa. Dua kata ini seolah tak terpisahkan satu sama lain. Butik busana kontemporer ini memang selalu melekat erat ketika bicara ranah mode Bali di percaturan mode internasional. Biasa memiliki karakter busana yang boleh jadi berseberangan dengan apa yang disebut diktum mode. Gaya bajunya tak berstruktur, tak ada jaket, tak ada ukuran standar, tapi dengan formula yang selalu terasa elegan untuk busana tropis. Jelas ini bukan standar fashion biasa. Namun keberbedaan ini justru membuat Biasa tampil menonjol. Inilah hasil kerja keras dan semangat baja Susanna Perini, sang pemilik butik.
Dan memang itulah yang sesungguhnya terjadi. Wanita Itali yang telah memulai bisnis fashionnya di Indonesia sejak satu dekade lalu ini sangat serius dan fokus dalam menangani bisnisnya. Selain workaholik, dia cenderung perfeksionis, begitu anak buahnya memberikan komentar. Karena itu, apapun yang tengah dibuatnya, dia selalu ikut terjun langsung untuk memantau hal yang terjadi. Saat ditemui di Bali, Susanna tengah disibukkan dengan pembuatan katalog Biasa bersama model dari Australia, fotografer, make up aktris–semuanya wanita– dari Itali yang dilakukan di beberapa tempat di Bali. Di saat yang bersamaan, ia juga tengah menggelar pameran seni bertajuk Fetish di galeri seninya, Biasa Art Space.
Dia menamai butiknya: Biasa. Ini bukan sebuah kebetulan, katanya. Dalam kamus bahasa Indonesia kata ini berarti sesuatu yang lazim, sesuatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Biasa, berkebalikan dengan kata istimewa, sesuatu yang dipuja-puja orang ketika memilih busana. Begitu pula dengan busana yang dibuatnya, boleh jadi jauh dari kesukaan orang akan sesuatu yang bersifat glamour.
“Biasa justru menolak konsep bling-bling, struktur ketat, dan tren. Saya bicara tentang konsep busana kontemporer,” ungkapnya. Meskipun demikian, tidak lantas ia anti dengan tren. Beberapa kali trend show dia ikuti, sebagai bagian dari keterbukaan terhadap pandangan lain.
Berbeda dengan banyak label yang memilih jalur aman dengan mengikuti selera pasar, Susanna justru menciptakan pasarnya sendiri. Ia begitu percaya diri dengan konsep yang diusungnya. Meski meyakini fashion adalah jalur hidupnya, tidak lantas ia serta merta menghamba pada keinginan pasar. Ia punya konsep. “Fashion bukan sekadar busana yang bisa dipakai oleh segelintir orang, tapi semua orang. Fashion bukanlah sesuatu yang mengikat, melainkan sesuatu yang membebaskan,” inilah prinsip dasar Susanna dalam berkarya. Pikirannya dan ideologinya memang amat terasa. Bisa dipahami, dia adalah lulusan filsafat dan sastra dan mengambil ijazah MA-nya di University of Roma. Selalu ada pemikiran yang tajam dan tidak konvesionil – alias sama sekali tidak biasa.
Gaya “pemberontakan” terhadap sesuatu yang lazim ini memang sangat terasakan dalam diri Susanna. Dua puluh tahun lalu, ia memilih meninggalkan negara dan keluarga yang telah membesarkannya untuk hijrah ke Bali demi menuruti kata hati. “Saya mencintai Bali sejak pandangan pertama,” ia mengenang kedangannya. Saat itu, dia bertugas sebagai koordinator sebuah pemotretan fashion dari Alta Moda Itali. Dia terbang ke Bali dalam sebuah kunjungan singkat dan difasilitasi oleh penerbangan Garuda Indonesia.
Iapun memulai hidup baru di Bali. Awalnya, dia membuka sebuah industri garmen di Bali bersama suaminya kala itu. Susanna lalu mendirikan Biasa di tahun 1994. “I really love Bali. Bali is my home, bukan untuk sekadar meletakkan bisnis saya,” begitu ungkap single parent yang menganggap Bali adalah jiwanya kini. Di pulau inilah dia melahirkan dua putri cantiknya: Nova (17) dan Sayang (15). Karena berbagai hal inilah, ia bekerja keras untuk membesarkan perusahaannya sendirian.
Rasa percaya diri dan kecintaannya yang besar pada dunia fashion bukanlah tak beralasan. Wanita berbintang gemini ini dibesarkan dalam lingkungan yang glamour dan indah. Ia adalah putri Mariella Ami, salah satu desainer Itali yang memperkenalkan konsep ready to wear dalam kancah fashion dunia di tahun 50-an. Karena itu, keindahan rancangan, kelembutan bahan, detil sebuah kerja tangan, dan karya seni yang signifikan menjadi bagian tak terpisahkan selama hidupnya. Riuh rendah keriangan pusat-pusat mode: Milan dan Paris menjadi bagian hidupnya sehari-hari. Wajar bila ia telah dimatangkan oleh lingkungan yang mendidiknya.
Meskipun demikian jangan lantas dibayangkan bahwa cita-citanya masa kecil ingin menjadi desainer seperti ibunya. Dia justru ungkapkan hal yang lain. Katanya,” Waktu kecil, saya ingin menjadi seniman. Tapi Ibu saya menolak. Mau apa sekolah seni. Padahal saya sangat mencintai seni, lukisan, objek.” Matanya terasa berbinar-binar saat bicara seni. Wajar pula bila ia pada akhirnya membuka sebuah galeri seni, Biasa Art Space, yang terletak tak jauh dari butik bajunya di Seminyak, Bali. Lokasi ini memang sengaja diciptakan olehnya untuk mencairkan kesan eksklusif. “Saya ingin membuat galeri yang terbuka. Tak hanya kolektor seni, tapi juga masyarakat umum bisa menikmati seni, seperti halnya fashion,” ungkapnya optimis.
Bagi Susanna, seni, adalah penyeimbang hidupnya, pengisi kebutuhan jiwanya. “Saya tidak punya feeling mencari keuntungan di galeri ini. Ini feeling yang sangat berbeda. Saya juga tidak termotivasi untuk mencari keuntungan, karena itu nanti akan merusak nilai seni itu sendiri. Keuntungan memang bisa terjadi. Tapi bukan sebagai provit motivator.” ia menegaskan.
“Gairah dia (Susanna) terhadap seni kontemporer sangat besar. Bahkan mungkin hanya dia yang bisa memahami atau menerima ide-ide “ajaib” untuk dipamerkan di galerinya,” kurator seni Enin Supriyanto memberikan komentarnya.
“Sebenarnya, saya bukan tipe pemberontak. Tetapi saya ingin setiap orang bisa menerima hal itu dengan pikiran yang terbuka,” tukas pemilik tato bergambar bintang di pergelangan tangannya itu mantap. “Tapi tato ini adalah salah satu jenis pemberontakan nyata saya. Ha ha ha.” ia tertawa. Tato itu dibuatnya pada saat menginjakkan kaki pertama di Inggris di usia ke-16. “Ibu saya shock. Tapi buat saya, ini adalah momentum terbesar saya. Momentum kemandirian.” Arti tato bintang: meraih sebuah harapan.
Dia juga seorang yang konsisten untuk “membela” seni rupa kontemporer Indonesia. Buktinya, ketika seni China mengalir ke Indonesia dan juga dunia dengan sangat deras, Susanna memilih untuk tidak mengikuti jalur. Lalu ia menjelaskan dengan detil bagaimana perkembangan dunia seni di luar tidak lepas dari pengaruh pemerintahnya. “Indonesia perlu untuk meniru apa yang telah dilakukan mereka untuk mengembangkan seni.”
Di ruang kerja Susanna, nuansa seni kontemporer itu sangat terasakan. Pada dinding white board di belakang tempat duduknya, terletak lukisan bunga teratai hadiah dari Jumaldi Alfi. Ada pula lukisan gambar kepala panther karya pelukis Australia Davina Stepens, serta lukisan kuda yang dilukis dengan menggunakan lilin karya Filippo Amato Sciascia. Di dinding samping kirinya, –tepatnya ketika ia duduk di meja kerjanya–, dia akan melihat 2 lukisan besar bergambar (maaf!) pantat kuda putih perkasa karya Ugo Untoro, salah satu seniman favoritnya. “Saya memang suka kuda putih,”tukasnya sembari tersenyum.
Mungkin kesukaan itu berpengaruh pada kepribadiannya. Seperti dikemukakan oleh Harni, Manager Operational Biasa Art Space, “Dia adalah wanita yang unik, memiliki karakter yang teguh, dan tangguh.” Ia juga ulet dan fokus terhadap pekerjaaanya. Meski kadang terkesan moody, seperti diungkapkan beberapa anak-buahnya, tapi Susana sangat perhatian terhadap sahabat-sahabatnya dan setia kawan. “Saya orangnya setia,” tukas Susan sambil menyebutkan beberapa karyawannya yang telah bertahun-tahun bekerjasama dengannya.
Jumaldi Alfi, salah satu personel kelompok Jendela yang menjadi sahabat Susanna menambahkan. “Dia bahkan lebih Jawa dari orang Jawa. Tapi kadang-kadang dia tidak sabaran dan keras kepala. Ha ha ha.,” Alfi terbahak-bahak. Meski demikian, kata Alfi, kekeras kepalaan itu selalu ada hasilnya. “Inilah kelebihan Susanna. .” ungkap Alfi yang pernah memberikan Lukisan Teratai ketika Susanna tengah memelajari Budha. “Dia sangat religius, bahkan mendatangkan guru Budha di rumahnya,”tukas Alfi. Bahkan kedekatan mereka pun dipercaya Susanna bahwa mereka pernah bertemu entah di suatu masa. “Seperti reinkarnasi. Dia sangat percaya soal itu.”
Kepercayaan ini memang datang bersamaan dengan kehadirannya di Yogyakarta, kota yang damai, kota dimana dia bertemu dengan kelompok seni Jendela yang dikaguminya. “Saya menemukan dunia baru disana. Waktu seakan berhenti di Yogyakarta. Banyak ide-ide baru disana..,”ungkap Susanna yang secara aktif mendatangi para seniman di Yogya untuk mendapatkan kedekatan itu.”
Begitulah kehidupan Susanna. Banyak hal yang dikritisinya. Meskipun pekerjaan menumpuk, anak-anak adalah hal terpentingnya. Kedua anaknya sengaja dikirim ke India untuk melanjutkan pendidikan. Nova, anak tertuanya memberikan komentar tentang ibu yang sangat dikasihinya,” Meskipun Mami sangat sibuk, tapi dia selalu memberikan yang terbaik untuk kami. Dia selalu memberikan waktu untuk bersama seperti saat ini. Tapi apapun yang dia lakukan selalu membuat saya bahagia. Dia juga tipe wanita yang selalu berjuang keras untuk pekerjaan yang dibuatnya.” Ketulusan itu tampak terasakan dalam kata-kata Nova, yang dengan setia menunggui Ibunya pada saat pembuatan katalog iklannya.
Sehari-hari, ia memasang padma dan chanang di galeri dan butiknya. “Ini adalah bagian dari tradisi bermasyarakat. Agama adalah hal lain.” tukas Susanna. Dia juga sangat mencintai negara ini karena memiliki masyarakat yang rendah hati. Katanya, “Suatu hari nanti, saya ingin menjadi warga negara Indonesia. Ini menjadikan kehormatan bagi saya. Rasanya senang sekali. Saya mencintai Bali dengan sepenuh hati. Buat saya, saya memiliki peluang untuk sama sama mengembangkan Indonesia”. Matanya pun kembali bersinar, penuh harapan. Seperti bintang.
(Rustika Herlambang)
Fotografer: Irvan Arryawan
Ada tato bintang di tangan. Ini dibuat pada saat saya pertama kali menginjakkan kaki di Inggris. 16. Saat itu, saya ingin membuat sesuatu yang istimewa, dan saya membuat tato itu. Dan setiap orang tidak menyukai tato di masa itu, bahkan mungkin hingga sekarang juga. Ini membuat ibu saya mendapat serangan jantung. Soalnya saat itu orang yang bertato dianggap buruk. Nah ini adalah momentum independensi buat saya di masa itu.
Why star.. sebab bintang kadang ada kadang tidak. Kadang bersinar. Bintang juga berarti light (harapan?), terasa sangat puitis, seperti gairah seseorang meraih. Itu saat pertama kali, saya pergi ke london untuk belajar inggris. Saat itu anak muda bisa ikut ke sebuah keluarga di london untuk belajar bahasa inggris (homestay) dalam sebuah pertukaran pelajar.
Saya datang ke Bali tahun 1987. Saya benar-benar cinta pada pandangan pertama. Dia adalah cinta spesial saya. Bali seolah mewakili Asia dalam pandangan saya. “I met Asia in Bali, sesuatu yang sangat berbeda dengan kondisi di eropa maupun Amerika,” ungkap wanita yang pada akhirnya memutuskan untuk tinggal di Bali ini. Saat itu, dia ada di bali dalam sebuah liburan singkat, 45 hari, sekaligus menggarap dari sebagian pekerjaannya sebagai seorang koordinator fashion di Alta Moda Roma.
Kisah cinta 45 hari itu ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi Susana. Tahun 1989, dia mengajak keluarganya untuk berkunjung. Kali ini benar-benar untuk melepaskan kerinduannya pada Bali yang terus berganti. Meskipun berbeda karakter antara Itali yang telah membesarkannya dan Bali, ia mengakui dengan mudah ia beradaptasi…. ada sesuatu dengan kehangatan masyarakatnya, ada energi yang ada di dalamnya..
Spritualitas Bali seperti karma, spirit, dialog dengan alam, dapat saya terima. Ini bukan masalah agama. Agama adalah hal lain. Buat saya perhatian antara brain dan behavior adalah sebuah hal besar. Ini sangat menginspirasi saya sebagai orang Eropa.
Wanita-wanitanya saya suka, mereka sangat menghormati. Saya bekerjasama dengan mereka selama puluhan tahun, dan saya sangat menghormati mereka. Saya senang bekerja sama dengan mereka.
Biasa Artspace terletak di jalan raya seminyak, berderet dengan butik-butik seniman Bali yang menjadi kunjungan wajib kalangan kelas menengah atas, bukan untuk produk massal. Lokasi ini jelas memberikan kontribusi yang bagus bagi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia dimana para perupa itu berinteraksi langsung dengan pasar seni dunia.
Saya sangat respek terhadap bumi, masyarakat, keberbedaan, bagaimana mereka bisa terus bertahan. Apa yang saya lakukan untuk melakukan perubahan.
Seni di indonesia: menciptakan satu komunitas baru, saya melihat ada sesuatu yang spesial. Seniman diakui keberadaannya, dan adanya grup-grup omo samhat fenomenal. Dalam grup mereka belajar berdemokrasi, ini unik. Saya suka Ketut Moniarta, Kokok Sancoko, Angki, Eko Nugroho, Farhatm Aria Panjalu, Yuli Prayitno, mereka adalah anak-anak muda yang serius dan muda. Mereka tumbuh.
[…] Rustikaherlambang’s Weblog added an interesting post today on Susanna PeriniHere’s a small reading […]