Manusia Renaisans
Selalu ada optimisme yang timbul dari diri Enin Supriyanto, bahwa hidup itu bisa dinikmati dengan berbagai cara.
Enin Supriyanto memang terbilang istimewa di jagad seni rupa Indonesia. Ia adalah lelaki penggelisah asal Lombok yang mengadukan nasibnya kini pada dunia seni rupa kontemporer. Boleh dibilang ia adalah kurator yang bisa merepresentasikan seni rupa kontemporer Indonesia di dunia internasional, begitu Direktur Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Farah Wardhani memberikan komentarnya.
Pendapat ini tampaknya tak berlebihan. Dalam dunia seni rupa Indonesia, mantan mahasiswa jurusan desain interior, fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, ini telah meluncurkan beberapa buku seni rupa yang signifikan. Diantaranya: Perjalanan Seni Lukis Indonesia dalam koleksi Bentara Budaya, Indonesian Contemporery Art Noe (1996-2006), Seni Rupa Modern Indonesia, Esai-esai pilihan. Ke depan dia tengah memersiapkan On Death, the Self and Trauma (From Self potrait to social Portrait), sebuah riset tentang seni rupa Indonesia berhadapan dengan pengalaman trauma social politik.
Tak hanya itu. “Salah satu kekuatan Enin adalah mampu mengkomunikasikan karya seniman ke penikmatnya dengan baik,” pengelola Nadi Gallery, Biantoro Pribadi, memberikan komentar. Boleh jadi karena kepiawaian ini, ia menjadi laris manis mengkurasi belakangan ini. Saat wawancara ini berlangsung, Enin tengah mengkurasi pameran seni rupa bertema “Fetish” di Biasa Artspace, Bali dan pameran tunggal Handiwirman Saputra-menampilkan karya Handiwirman untuk memenuhi commission project dari Hotel Novotel, Bandung berupa karya objek-instalasi. “Saya senang bekerjasama dan menampilkan seniman muda dengan karya-karya hebat,” tukasnya.
Keberhasilan mengkurasi memang tidak datang sendiri. Biantoro yang telah beberapa kali bekerjasama dengan Enin menyatakan kekagumannya, “Dia memiliki pengetahuan yang sangat luas. Saat mengkurasi, dia tidak hanya mengandalkan teori-teori dalam seni rupa saja, tapi dia bisa mengkombinasikannya dengan berbagai ilmu lainnya.” Ia memberikan contoh bagaimana Enin menggali dari sisi musik saat mengkurasi Agus Suwage beberapa waktu lalu. Bukan kebetulan. Selain karena Enin sangat mencintai berbagai ilmu sosial, politik, budaya hingga filsafat, dia juga terobsesi dengan musik. Waktu-waktunya selalu dipenuhi dengan buku-buku terbaru. “Keinginan dia untuk maju sangat besar sekali,” Jumhur Hidayat, mantan sahabatnya saat di Bandung mengomentari.
Selain pengalaman dari buku-buku teori, Enin juga gemar bertualang ke berbagai festival seni di berbagai dunia, seperti Art Bassel. Saat wawancara ini terjadi, dia tengah mempersiapkan keberangkatan menuju international art fair, shContemporary 2007, di Shanghai. Tujuannya pasti, menengok kemungkinan adanya peluang strategis untuk memperkenalkan seniman dan seni rupa Indonesia melalui acara bertaraf internasional semacam ini. “Kita tahulah bahwa China sekarang jadi magnet yang menarik segala macam kepentingan internasional-termasuk soal seni. Nah, jadi penting juga menjadikan China sebagai jendela untuk menampilkan Indonesia.,”ungkapnya tanpa beban. Jelas ini merupakan satu etos kesetiaan terhadap profesinya.
Ia juga terlihat menikmati pekerjaannya sebagai kurator independen. Katanya, ada kesenangan yang didapatnya secara personal: ketemu banyak orang ajaib, seniman yang kreatif, “gila”, serta selalu melihat karya baru dan menantang. “Kalau mau omong gedhe, kepuasannya semacam optimisme bahwa hidup itu dinikmati dengan berbagai cara. Kedua, apa yang selama ini kita anggap limit, batas, ternyata setiap hari bisa didorong lebih jauh,” pria kelahiran 1 September 1962 ini tersenyum. Terlihat sangat bergairah.
“Buat saya, karya seni yang baik selalu memberi kesempatan kepada kita untuk melihat kehidupan dengan cara yang baru, dengan cara yang lain. Tidak cuma terpaku pada satu sisi,” wakil pemimpin redaksi majalah Visual Art ini menerangkan. “Bila saya bertemu dengan karya seniman yang masih kuat energi kreatifnya dan menghasilkan karya-karya kuat secara konseptual, secara bentuk karya kuat, maka itu sangat menerangkan. Seperti saya membaca laporan science,” penulis kritik seni yang pernah berbicara di beberapa forum seni internasional ini bertukas.
Meskipun bergerak di bidang seni, dia juga sangat senang dengan dunia sains yang dianggapnya mampu membuka pemahaman tentang hebatnya akal budi manusia. “Kata Albert Einstein, kalo gak salah: “Logic will get you from A to B. Imagination will take you everywhere.” Mana yang lebih penting? Dua-duanya penting. Ada banyak hal yang bisa diberesin dengan logika A ke B, ada banyak lagi yang mengajak kita keliling kemana-mana, bermodal imajinasi. Seni yang hebat, ilmu yang hebat, punya kedua unsur itu, sama-sama soal kemampuan abstraksi yang dahsyat. Sama asyiknya, sama pentingnya menikmati dan memahami kesenian dan menambah wawasan dari dunia sains.” Kini, ia tengah menikmati buku Einstein, His Life and Universe.
Seni yang sangat disukainya: seni yang paling tidak ia pahami. “Sepertinya tak habis-habis. Banyak hal yang bisa digali dari situ,” ia mengambil ungkapan seniman Amerika Pae White. Karena itu wajar saja ketika binar bahagia itu tertunjuk pada seniman-seniman yang mau bereskperimen. “Ini menunjukkan bahwa dia masih punya energi kreatif yang besar.” Begitulah Enin, dia seolah mendapatkan dunia seni sebagai dunia baru yang mencerahkan kehidupannya kini, seperti sebuah kehidupan kedua. Dengan begitu, dia bisa membebaskan diri dari dendam politik masa lalunya.
Tak terbantahkan. Mantan aktivis mahasiswa ITB ini memang memiliki trauma politik di masa pemerintahan Soeharto. Saat itu, ia menjadi koordinator sebuah aksi menolak kehadiran Menteri Dalam Negeri, Rudini, di tahun 1989. Akibatnya, dia dikirim paksa masuk penjara selama 3 tahun. Peristiwa ini ternyata sangat memengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Saat dipenjara, dia begitu merasakan sangat terpukul, putus asa, ketakutan, serta bingung. “Tidak cuma dipenjara. ITB ikut-ikutan menggencet. Saya dikeluarkan, di-DO. Padahal nilai-nilai saya selalu baik-mungkin yang terbaik di angkatan saya. Cita-cita saya untuk bergelut di dunia akademis jadi batal semua,” ia mengenangkan peristiwa pahit saat berada di penjara Kebon Waru, Bandung, dan LP Bandung. Ia sempat mengalami di-Nusakambangkan.
Saat dipenjara, dia seperti seorang sufi yang terus berdialog dengan dirinya sendiri. Hidupnya dipenuhi dengan membaca buku-buku terbaru baik soal filsafat, seni rupa, kesenian, film, dan fotografi. Masa senggangnya diisi dengan bermain gitar dan bernyanyi. Lagu favoritnya, Moon Over Bourbon Street milik Sting. Jumhur Hidayat, politisi yang kini duduk sebagai kepala Badan Pengurusan TKI mengatakan dengan jelas,” Sebelum para budayawan Indonesia meneriakkan tentang postmodernisme, Enin sudah mengetahuinya lebih dulu. Dia sangat intens memelajari segala hal.” Jumhur sempat bersama-sama di penjara, dalam aksi yang sama.
Bila pada akhirnya banyak teman-temannya terjun menjadi politikus, tidak demikian halnya dengan Enin. Inisiator LSM anti diskriminasi etnis dan ras, Solidaritas Nusa Bangsa ini memutuskan untuk berhenti dari segala aktivitas politik. Katanya, “Saya tak mau dan tak cocok dengan organisasi politik, jadi politisi. Entah kalau nanti ada angkatan saya yang jadi Presiden dengan integritas dan leadership hebat, visi hebat…mungkin kalo diajak jadi menteri, aku mau,” ia tertawa. Lalu melanjutkan,”Tapi, kayaknya gak mungkin, kejauhan. Saya suka dengan dunia dan kehidupan independen seperti sekarang ini.”
Kini, dia memutuskan untuk kembali meraih cita-cita masa kecilnya yang tertunda: menjadi seniman dan penulis.
Enin lahir dan dibesarkan di perkampungan muslim di dekat kota Mataram, Lombok Barat. “Saya beruntung tumbuh di lingkungan yang bisa menerima saya apa adanya. Sebagai keturunan China, saya diterima dan akrab sekali dengan teman-teman di sana. Kalau bulan Ramadhan, aktivitas masjid makin ramai, saya ikut main di sana,” tambahnya. Disini, tidak mengenal diskriminasi etnis. (Justru setelah ke kota besar di Jawa, dia baru mulai faham ada kondisi diskriminatif. Belakangan, makin mengerti bahwa diskriminasi ini juga banyak karena negara dan segala aturan hukumnya yang diskriminatif.)
Kesukaannya pada seni boleh jadi berawal dari masa kecilnya bersama ayahnya, seorang pecinta dunia fotografi dan pernah membantu penerbitan pers di Lombok sebagai fotografer. “Kegiatan menggambar, melukis, main musik, sama sekali tidak dilarang di rumah, bahkan didukung, Dia pendiam dan agak “misterius”.Terus terang, saya tidak kenal banyak masa lalu Papa saya. Tapi, minat dia pada seni, film, ilmu, teknologi, saya kira punya banyak pengaruh pada saya .”
Sementara, ibunya digambarkan Enin sebagai orang yang sangat sederhana, berpikiran sederhana dan hidup sederhana. “Kami bukan keluarga China yang berada. Papa saya meninggal saat saya saya baru kelas 1 SMA. Jadi, ibu saya yang hanya berpendidikan sekolah dasar itu bekerja demikian keras untuk mengurus rumah tangga dengan 3 anak remaja dan satu masih kanak-kanak. Bagaimana dia melakukannya, saya tidak tahu,” kenangnya. “Sekarang saya menyadari semua itu. Mama saya sungguh-sungguh luar biasa buat saya. Kalau mengalami saat sulit, dia jadi inspirasi saya untuk tidak jadi berkeluh-kesah atau menyerah.”
Karena itulah, anak ketiga dari empat bersaudara ini memutuskan untuk menggelandang ke Bandung seusai SMA. Sebelum kuliah di ITB, dia sempat terlibat di studio Rangga Gempol asuhan Barli Sasmitawinata karena ajakan teman. Barli pulalah yang mendorong dia untuk sekolah di seni rupa ITB. Katanya, seperti ditirukan Enin,” Kamu cukup cerdas, jangan habiskan waktu hanya di sanggar.” Padahal saat itu, tak pernah terpikirkan oleh pemilik nama asli Thio Cia Ning ini untuk kuliah.”Saya masih agak liar saat itu,” ia memang dibebani dengan sulitnya keturunan China seperti dia masuk ke PTN, “harus memiliki surat kewarganegaraan yang mengurusnya susah setengah mati dan harus mengganti menjadi nama Indonesia.”
Atmosfer ITB yang egaliter memberikan pengalaman baru untuknya. Disana dia belajar untuk bersikap kritis terhadap segala tindakan yang serba diskriminatif dan penuh kekerasan. Didukung oleh teman-teman aktivis ITB yang juga perantau sepertinya menempanya menjadi pribadi yang mandiri, terbuka, inkluisif dan juga kritis. Dari sanalah minat dan pengetahuan soal segala macam di luar seni rupa–ekonomi, politik dan lain-lain-jadi tumbuh. Kesadaran kritis soal bobroknya pemerintah Orde Baru jadi makin kuat. “Jadi, terlibat dalam aktivisme mahasiswa itu seperti konsekuensi logis saja: ikut aktif berusaha mengubah keadaan,” ia menjelaskan keterlibatannya.
Saat ini, yang ingin dikejar adalah keinginan untuk membahagiakan keluarga dan anak-anaknya. “Gimana mereka bisa menikmati masa pertumbuhan yang enak, nyaman, terbuka, belajar memenuhi keinginan dan minat mereka, mengembangkan segala kemampuan yang mereka punya,” ayah dari Langit Saga Wani dan Wangi Padma Rani ini berharap. Waktu senggangnya dimanfaatkan untuk bermain gitar di rumah atau dinner di tempat yang lebih privat. Keluarganya adalah prioritas utamanya kini. Seperti diungkapkan oleh Meiyani –mantan pacar sejak duduk di bangku kuliah yang kini menjadi istrinya– Enin adalah tipikal pria yang sangat setia dan bertanggung jawab, tentu saja selain selain idealis dan berpendirian kuat. “Inilah pesona Enin di mata sang istri.
Nah, apakah kecintaan terhadap seni jelas memengaruhi selera terhadap wanita. Meskipun masih samar ragu, tapi dia langsung menjawab cepat.” Saya suka wanita yang cerdas, kreatif, citarasa artistiknya tampil kuat, ada keliaran, ada misterinya juga. Ya itu, sama dengan karya seni ya… Begitu baru menarik, menantang, sexy…Hehehe!.” Meskipun jiwa petualang dalam karya seni kontemporer tidak diragukan, tetapi tidak dalam petualangan bercintanya. “Karena selalu butuh waktu dan perkenalan yang cukup intens dan terbuka buat aku jadi bener-bener dekat dengan sesorang. Kayaknya ini berlaku untuk cowok dan cewek. Jadi, kayaknyak gak cocok untuk attitude petualang urusan “percintaan”. Penyuka puisi yang mengaku tak romantis ini lantas tertawa terbahak-bahak.
Obsesi yang masih menggantung adalah bisa terlibat mengantar seniman muda sampai bisa muncul di event internasional dan karyanya dilirik oleh museum ternama, seperti Gaugenheim. Untuk mewujudkan, ia ingin memanfaatkan network, baik pertemanan dan network dengan event lembaga yang berperan di tingkat regional.
Bila semua ini sudah berhasil, maka jelas, seperti diungkapkan Enin. Dia akan kembali menekuni kesukaannya yang lain: pengen ngeband keren, belajar gitar, piano, pengen nulis juga. “Kalau bisa 5 tahun tercapai jadi berhasil terlibat di event internasional yang penting dan membawa seniman Indonesia kontemporer masuk ke level itu, mungkin saya akan ganti profesi. Apa jadi pelaut, biar bisa keliling dunia nyangkut sana sini. Atau jadi scientist amatir. Bisa membeli teleskop, apa trus menemukan planet baru.” Dia memang membutuhkan sesuatu yang selalu bisa menantang adrenalin di dalam kehidupannya. (Rustika Herlambang)
Moon Over Bourbon Street !
Menyenangkan dan menginspirasi mengenangkan Enin menyanyikan lagu ini diiringi dentingan gitarnya, di subuh di Cisitu, kos-kosan bersama, isi 10 oarang.
Paling pagi bangun, nyalakan kompor minyak, jerang air untuk bikin kopi.. dan sambil menunggu air mendidih Enin melatih jemarinya dengan menyimak kaset the Police di minicompo belian mama.
Tak kulupa juga gurauan seriusnya setiap ketemu masalah:
kita musti mapan dalam perubahan.
Dicari mas Rudi, beliau di Malang, masih kurus kriting
hehe…
Salam tuk Mei, Langit dan Wangi tersayang
Jawaban Enin:
Wah, makasih banget!
Mbak Retno ini seperti kakakku sendiri. Dia sudah duluan di Bandung, kuliah di SR-ITB (kalo gak salah angkatan 79 atau 80, ya?).
Ini orang penting juga dalam hidupku, ngajakin aku berkesenian, kenal ama senior-senior itb yang sudah aktivis kelas berat, buku-buku, dan lain-lain.
Kadang-kadang masih kontak dan teleponan.
Thanks, ya!
Salam,
Enin
Rustika yang bijak, puinter lagi cantik,
Kayaknya harus ditambahkan satu lagi deh yang saya ga pernah lupa:
Waktu itu bulan muda.
Enin berseri-seri menerima paket mama dari Lombok.
Siul siul dia bergegas dengan langkah panjang-panjang nan anggun menerobos lorong diantara kamar-kamar kosan.
Ramailah kamar paling belakang uk 3×4 m2 yang dihuni 4 orang; bahkan lebih kalau ada temen/sodara dari Lombok yang menginap;
Setelah itu baru Enin; yang sering cerita keuletan Harry (kakaknya) dan mama menghidupi ke 4 buah hatinya; bilang: sudah 3 hari ga pegang uang.
Astagfirullah, alangkah buruk saya jadi sesama kosan.
Barulah saya mengerti, itu sebabnya beberapa hari kuperhatikan Enin sering nangkring di pohon jambu air merah
halaman rumah kos
yang lebat berbuah.
Baiklah, sampai di sini mbak Rustika.
Mudah-mudahan melengkapi catatan weblog ini.
Terimakasih berat,sudah anda sampaikan pesan saya ke Enin ya.
Selamat bekerja, dan enjoy selalu.
salam dan hormat saya
retno
duuuuh,,, mengesankan sekali… terima kasih, Mbak retno.. semoga kita jadi bisa belajar banyak dari Mas Enin…
Anda juga mengesankan, Rustika
Saya ingin belajar banyak dari Enin, tapi ternyata telah hanya menonton saja.
Yaah, ikut bersyukur saja lah..
Mudah2an slalu dalam lindunganNYA.
Amin.
Hayuuk Rustika, punten ya.
retno
Nice talk, from two nice women…. I love it
halo bro!surprise dengan kisah anda.kapan-kapan kita KONTAK ya?(aku SR’79(yang menghilang).
salam buat… mas Enin…. mbak
Kita pernah ngobrol di Malang dirumah pelukis Dadang Rukmana….
tentang hubunganya dengan Dadang saat gelandang di Bandung….
magang bersama di studio Rangga Gempol asuhan Barli Sasmitawinata …
dan di kunjungi Dadang di LP di Bandung
kemudian sore hari pembicaraan berlanjut dirumah Bpk. Adi (kolektor)…sampai pagi…mengesankan…
salam buat Rustika Herlambang…maaf bila perkenalannya seperti ini
salam….
Pak Enin bisa minta emailnya.. saya adi keyboardisnya Reza And The Jazz Line. semoga bisa banyak ngobrol soalny referensi musik. salam