Negeri Mimpi
Irwan Danny Mussry
Ketika berada di negeri mimpi-mimpi, dia selalu merindukan wanita dengan karakter kuat dan bersahaja agar mengingatkannya untuk selalu menginjak bumi
Kesegaran alam tampak terasakan begitu memasuki ruang kerja Irwan D. Mussry. Di ujung ruang, setangkai bunga Lili putih segar diletakkan. Deretan lukisan pemandangan alam pedesaan berjajar di dinding seolah membangunkan kerinduan akan suasana yang damai. “Kita mau bicara dimana..”,suara Irwan tiba-tiba memecah perhatian. Ia menawarkan tiga suasana yang berbeda di ruangan itu: di meja kerjanya yang formal dengan pemandangan lukisan abstrak merah menyala yang dikombinasi dengan lukisan gunung John van Der Sterren, ruang meeting yang hangat dengan pandangan luas, atau suasana intim di meja kecil tempat bunga Lili itu diletakkan.
Alunan musik jazz dengan pengaturan cahaya lembut di ruangan itu memang membuat nyaman siapapun yang datang. Suasana terasa hangat dan welcome. Penataan interior, warna ruangan dan pemilihan lukisan menunjukkan kelas dan kesukaan Irwan, President dan CEO PT Timerindo Perkasa International (Time International) yang menjadi agen-agen jam tangan mewah di Indonesia. Tak terlihat sesuatu yang “bling-bling” di sana, namun cita-rasa yang ditawarkannya dalam kesederhanaan membuat ruangan ini berkesan elegan, “mahal” dan berkelas.
Irwan tampak duduk rileks di kursinya. Memandang lukisan abstrak merah menyala yang ada di depannya. Lalu tersenyum. “Inilah yang saya sebut sebagai kemewahan,” katanya Gerakan tubuh dan tangannya seolah meyakinkan ucapannya. “Menurut saya, kemewahan bukanlah karena memiliki sesuatu yang “mewah”, berkilau, atau apapun. Kemewahan menjadi sebuah kemewahan apabila kita bisa menikmatinya,”ucap Irwan seraya menunjuk sebuah lukisan pemandangan pedesaan -satu hal yang berbeda dengan alur tren lukisan kontemporer-yang menghiasi ruangan kerjanya itu.
“Apa yang menurut saya bagus atau mewah adalah sesuatu yang membuat saya bahagia dan ada story di balik itu.” Ia lalu menerangkan bagaimana lukisan abstrak merah yang tergantung di belakang kursi kerjanya itu didapatkan dari seorang pelukis Armenia. “Saya mengenal adiknya, dia memiliki galeri yang menjual lukisan kakaknya. Hingga kini, saya masih keep in touch dengan mereka. Padahal saya membelinya sepuluh tahun lalu. Inilah yang saya sebut sebagai story.”
Dan memang itulah yang terjadi. Segala hal yang dimilikinya harus ada story. Ia menyukai lukisan abstrak yang selalu membuatnya berpikir bahwa ada meaning di balik itu. Atau juga kesukaan bawah sadarnya atas warna merah yang ternyata baru disadarinya saat wawancara ini terjadi. “Ini seperti mengingatkan saya bahwa ada alert. Bukan merah dalam arti kejahatan. Tapi merah sebagai sesuatu yang baru. Sesuatu yang selalu ada dalam hidup manusia,” kata Irwan yang dalam keseharian, sesuai dengan penampilannya yang kalem –selain flamboyant tentu saja-suka dengan warna-warna “aman” seperti biru, pastel, atau coklat. “Setiap kali memakai sesuatu yang ada sentuhan merah, itu seperti membawa nuansa kedinamisan dalam hidup saya. Inilah cara saya ketika saya melihat warna merah. Seperti cercah dalam warna-warna kehidupan.”
Kedinamisan ini juga yang membuat Irwan senang bekerja dengan tim yang terdiri atas anak-anak muda. “Bagaimana mereka bekerja dan berjuang selalu menginspirasi saya untuk melanjutkan apa yang saya lakukan,”ungkap Irwan yang sudah terjun di bisnis jam tangan sejak 30 tahun lalu. Kesuksesan yang diraih ini tak pula lepas dari kerja tim yang dibentuknya. Ini prinsipnya. “Tak ada orang yang bisa hidup di planet ini sendirian. Saya justru menikmati suasana di tengah keramaian orang banyak. Ini rasanya mengingatkan saya pada suasana rumah masa kecil saya,”ungkap pria kelahiran Surabaya 46 tahun lalu.
Irwan dibesarkan di Surabaya dalam suasana kehangatan keluarga multi ras. Ibunya, asli Solo, yang masih yang masih tetap dengan acara selamatan dan tumpengan. Sementara sang ayah — generasi Irak Arab Yahudi pertama di Indonesia– selain menjalankan tradisi budayanya, ia juga seorang konsultan untuk kedutaan Australia. Sejak kecil ia terbiasa dengan pesta anggur dan berbagai pesta dansa. Rumahnya selalu terbuka dan selalu terasa dinamis. Kondisi inilah yang mendewasakannya. “Saya bisa memahami perbedaan dalam tradisi, agama, kepercayaan, kebiasaan maupun pendapat sejak saya masih keci. Apalagi kakak saya sangat Jawa.”katanya. Kebiasaan berkumpul inilah yang menjadikan ia selalu rindu berada dalam sebuah keluarga besar.
Ayahnya meninggal ketika usianya baru menginjak usia 8 tahun. Meski demikian kenangan akan ayahnya masih begitu kuat. “Saya senang mendengarkan ayah bercerita tentang bisnisnya. Memang agak aneh, ya, di masa anak-anak masih asyik dengan mainan -bukan berarti tak suka mainan-tapi mendengarkan ayah dan mainan itu sama asyiknya. Saya memang senang mendengarkan cerita. Apapun ceritanya, termasuk bisnis, kalau memang bagus saya suka,”kata Irwan tentang ayahnya yang pebisnis otomotif yang lantas merambah ke dunia jam tangan -sesuatu yang kelak mengalir dalam dirinya.
“Berdagang adalah cita-cita saya sejak kecil,”ia membuka rahasia. “Saya tahu bahwa saya bukan orang akademis. Ketika masih sekolah, saya sudah merasakannya. Saat pelajaran berlangsung, yang ada di pikiran saya, habis ini nyari uang. I like to make money!,” kata Irwan yang mengaku sudah memiliki uang independen sejak usia 13 tahun dari berbagai pekerjaan yang sifatnya servis, seperti mengantar surat. “Bahkan kepindahan saya ke Amerika waktu lulus SMP bukan untuk sekolah, tapi memang untuk pindah saja,”Irwan memang memiliki banyak saudara dari ayahnya di sana. Ia tak pernah merasa gengsi untuk melakukan banyak hal. Ia pernah memulai menjadi pembersih jendela hingga diangkat menjadi manager di suatu perusahaan di Amerika.
Bila kini dia berbisnis di bidang jam tangan, bukan berarti dia mewarisi usaha orang tuanya. Dia memulainya dari nol, ketika ia kembali ke Indonesia tahun 1978. “Yang ada di kepala saya hanyalah bisnis apa yang bisa saya kembangkan saat itu. Jam tangan adalah peluang yang paling besar. Apalagi saat itu, saya punya jaringan yang baik dengan teman-teman orang tua saya, dan kebetulan saya punya partner untuk bekerjasama di bisnis ini,”kata Irwan. Jelas bukan cerita romantis yang dia dapat ketika memulai usahanya dengan door to door. “Saya tak ingat apakah separah itu. Tapi, saya selalu merasa harus take it easy. Seperti sekarang, bila jalanan macet, saya lebih suka menggunakan busway. Ini adalah bagian dari bagaimana merasakan hidup.”
Patner adalah hal terpenting bagi Irwan saat memutuskan sebuah bisnis. Baginya, bisnis adalah sebuah integritas. “Saya selalu melihat orang-orang yang ada di belakangnya dulu sebelum melakukan bisnis. Artinya bagaimana hubungan antar manusia di dalamnya. Bila saya tak cocok dengan mereka, ini hanya akan membuat brand kita terluka,” katanya yakin. Ini berarti meskipun sebagus apapun produknya, bila dia tak cocok dengan orang-orangnya, maka dia tak akan pernah mengambilnya.”Bisnis itu seperti sebuah pernikahan. Dia memerlukan patner yang baik dalam segala hal.”
Dalam perbincangan terasa sekali bagaimana Irwan menempatkan dirinya sebagai kawan yang menarik. Berbagai hal yang disampaikannya, atau pandangan-pandangannya sangat dalam, dan dalam beberapa sisi tampak filosofis. Katanya, seluruh pandangannya didapatkan dari pengalaman pribadinya yang selalu memandang dalam atas segala hal. “Kekurangan saya adalah saya tak baca, apakah buku pengetahuan atau novel. Saya lebih suka mendengarkan orang yang membaca dan menceritakannya kepada saya daripada harus baca. Action menurut saya jauh lebih imajinatif daripada baca buku yang justru mematahkan imajinasi saya.”
Mungkin karena itu ia sangat mencintai musik. “Bahkan sejak saya dilahirkan, musik sudah menjadi bagian hidup saya,” ungkap Irwan yang tampaknya mewarisi kegemaran ini dari ayahnya. Ia juga tak pilih kasih. Segala jenis aliran musik disukainya, khususnya berupa big band seperti Frank Sinatra atau Michael Buble di masa kini. Lalu dia tertawa. “Saya malah pernah punya cita-cita menjadi pemusik di big band…Seandainya saat itu, saya diberi kesempatan, ya saya akan maksimalkan. Tapi memang sudah takdir harus begini. Soal ini, saya pernah punya cerita mendalam soal ini,”tukas Irwan yang sempat menjadi promotor handal di dekade 80-an.
“Nanti kalau sudah pensiun, saya akan bergabung dengan sebuah big band, memainkan satu alat musik kecil dan mendengarkan konduktor,”ia kembali melanjutkan impiannya. Dia tampak begitu melarut saat bicara musik. Terlihat benar ia mengusai musik, seperti ketika ia bicara tentang lagu-lagu Elvis Presley semasa tahun 50-an yang masih sangat kuat dengan soulnya, the Doors dengan segala karakternya, dan bahkan siap untuk menyanyikan lagu dari sebuah soundtrack film terkenal: In The Mood for Love. Situasi ini membuat Irwan terasa sangat menyenangkan, dan barangkali terasa sangat romantis. “Not-not kecil yang lantas hidup menjadi sebuah lagu itu sangat menarik sekali. Saya senang mendengarkan musik setelah musik.”
Dia menikmati setiap momen yang terjadi dalam hidupnya. “Waktu sungguh berharga, saya harus menikmatinya, dan harus bisa memaksimalkan diri untuk menikmati kehidupan,” ia lantas menggambarkan dirinya yang lebih menyukai gunung daripada laut. Yang dirindukannya adalah sebuah pegunungan di Swiss yang berpenduduk sedikit. “Bayangkan saja, saya bisa dimasakkan penduduk setempat. Menikmati orisinalitas. Sepi di sini bukan berarti sepi dari keramaian, tapi sesuatu yang kita bisa menikmati waktu, menikmati waktu berhenti dan kita bisa melihat taman, bunga-bunga dan sebagainya.”
Meski demikian, Irwan yang pernah menjadi pembalap World Champion Race (WRC) di tahun 80-an ini juga terobsesi pada kecepatan. :Ketika berhubungan dengan kecepatan, itu artinya bagaimana kita bisa mengontrolnya. Ini adalah tantangan. Bagaimana kita meminimalkan resiko. Tak bisa ngebut-ngebut saja. Semakin ngebut harus semakin kuat kontrol dirinya,” kata Irwan yang hingga kini masih bergulat dengan kesenangannya itu, walau filosofinya sudah berubah. “Kini target saya bukan lagi untuk mencapai garis dengan cepat, tapi bagaimana menikmati pekerjaan ini lebih sebagai pleasure daripada tantangan.” Dengan posisinya saat ini, dia kian punya banyak kesempatan untuk terus berada di lingkar balap. “Termasuk bertemu dengan pahlawan-pahlawan Formula 1 yang saya kagumi. Bisa punya kesempatan mencoba F1. Inilah hidup yang saya nikmati.”
Tampaknya kontradiksi. Tapi Irwan tak menganggapnya demikian. Justru inilah yang dianggap sebagai sebuah harmoni kehidupan. Seperti halnya ketika ia bicara tentang cinta dan wanita. “Ketika hidup di dunia mimpi, saya membutuhkan seorang wanita yang kuat dan bersahaja untuk mengingatkan saya agar terus turun ke bumi,”katanya. Bila ia begitu meggebu-gebu dalam bekerja, ia menjawab rendah saat ditanya tentang kesendiriannya kini. “Sayangnya saya seorang slow worker dalam hal ini. Walaupun sudah ada, saya belum memutuskan…”
Mungkin, masalahnya hanya soal waktu. Mungkin….
(Rustika Herlambang)
Stylist: Karin Wijaya
Fotografer: Honda Tranggono
Lokasi: PT Timerindo Perkasa International, Menara Sudirman, Jakarta
Potongan Kisah:
* Menurut Irwan, kebahagiaan bukanlah berasal dari jumlah produk yang berhasil dijual. Melainkan kegembiraan orang-orang dengan jam itu dan mereka melakukan sesuatu dengan senang. “Suatu saat mereka mengingat kita dengan senyuman. Inilah yang saya sebut sebagai kesuksesan. Jualan mah gampang, orang bisa datang dan pergi, tapi kepuasanlah yang paling penting. Ini yang kita dapatkan di kantor. Tantangan besar tapi kalau dilakukan secara bersama keberhasilan kita dapatkan bersama. Kalau gagal? Yah, kita perbaiki bersama.”lanjutnya.
* Hubungan adalah terletak pada integritasnya sebuah hubungan dimana terdapat kepercayaan di dalamnya. Menikmati hubungan, itu seperti halnya mendengarkan radio di masa lalu.. kadang terdengar suara kresek-kresek, tidak mudah, tapi harmoninya ada. Kelanggengan sebuah hubungan bukan karena kesamaan, tapi justru pada harmoni. “Aku ingin berbagi dengan wanita yang kuat dan dia harus mendukung saya juga.” Irwan melihat seorang wanita bukan berdasarkan pada penampilan fisik, namun seberapa dalam ia berbicara. “Tapi kalau bisa berambut panjang… Sepertinya rambut panjang memberikan sisi kewanitaan pada wanita.” Sayangnya, seperti dikatakannya sendiri, untuk urusan cinta, dia terbilang slow worker.
*Meskipun ia terlihat pandai dalam berbicara, dan juga bijak, hal ini lebih dikarenakan pengalaman dan bagaimana ia memaknai pengalaman itu. “Sebenarnya saya tak lulus kuliah,” kata Irwan, yang pernah duduk di sebuah college di Amerika -dia merahasiakannya. Yang ditegaskannya, adalah ketika dia memutuskan untuk menuju Amerika seusai lulus SMP adalah untuk pindah, bukan untuk sekolah.
* Lalu kenapa memilih hidup sendirian sekarang? Dengan senyumnya yang misterius itu, dia menjawab pelan. “Belum….., walaupun sudah ada. Saya belum memutuskan.”
*Craftmanship adalah bagian yang paling menarik dari sebuah jam yang membuatnya sangat tertarik. Meskipun jam tangan memiliki diameter besar sekalipun, tetapi bentuknya relatif masih tak beranjak jauh dari yang ada selama ini. Di dalamnya, terdapat 800-900 pernik-pernik kecil yang disambung-sambung dan memberikan waktu secara mekanis sampai 500 tahun kemudian, padahal kenopnya hanya satu. Meski kompleks, tapi jam selalu terlihat cantik, dengan karakter yang bagus, selalu diingat..
*Bagi pria, jam tangan itu hal yang mungkin dianggap tak penting. “Tapi coba bila Anda lupa tak membawa jam tangan. Sebenarnya bisa saja kita bertanya atau melihat ke jam di mana-mana. Tapi ada satu rasa personal yang tak nikmat bila tak melihat di pergelangan sendiri, bukan?” Meski memiliki lumayan banyak jam tangan, ia menolak untuk disebut sebagai kolektor. “Semua yang saya miliki pasti ada sejarahnya. Sebab saya menikmati sejarah itu,”kata Erwin. Ia mengingat jam tangan Casio yang dibelinya seharga Rp.100 ribu di Gajah Mada Plaza 25 tahun lalu. “Saya membelinya karena saya butuh untuk rally harus digital kan?” Tapi yang paling berkesan buatnya adalah produk Tag Heuer yang dibuat bekerjasama dengan Arton Sena -pembalap kesayangannya–yang hampir gagal dipasarkan karena Sena meninggal di lapangan. “Saya anggap itu jam yang sangat berharga. Seperti juga hidup saya. Segala sesuatunya punya cerita.”
*Ia menyukai jam tangan yang modelnya lebih maskulin, tapi yang penting adalah movement: harus mekanikal dan memiliki perpetual calendar. Jam Buccheron yang dimilikinya lantas dilepas, lalu diperlihatkanlah sisi mekanis yang terlihat dari lapisan transparan di dalamnya. “Betapa ini indah, baik dari sisi dalam, maupun luar.”
*Waktu adalah suatu gerakan yang terus berjalan. Waktu tak pernah menunggu. Yang kita lakukan adalah mengalir bersama waktu dan kita maksimalkan segala hal yang bisa kita lakukan. Saya harus memaksimalkan yang ada sebab waktu tak akan pernah balik ke belakang atau menanti kita.
*Dalam bisnis, yang terpenting adalah managemen waktu. Saya memikirkan waktu seperti saya memikirkan manusia. Dan saya berusaha mengkombinasikan keduanya sebagai sebuah tim yang tak terpisahkan. Kebahagiaan baginmya adalah bagaimana mearih keuntungan sambil memberikan kontribusi bagi manusia di sekelilingnya.
*Segala sesuatu selalu dipandang Irwan sebagai sebuah hal yang sangat berharga untuk dilewatkan. “Buat saya, waktu itu sangat pendek, dan kita harus benar-benar menikmati setiap momen yang ada.”Irwan sepertinya belajar banyak hal dari kematian sahabat dekatnya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah.
*Bila sekarang usahanya berhasil, ini bukan berarti sebagai usaha keberhasilan Irwan menaklukkan segala tantangan. Bukan. Ini bukan soal kalah dan menang, prinsip Irwan.”Saya berusaha untuk meraih yang terbaik. Ibarat ikut ujian, saya akan belajar. Kalaupun gagal, tapi saya sudah belajar penuh, ya saya akan mencoba lagi. Saya tak ingin menyesal dengan apa yang telah saya lakukan.” Tapi, kata Irwan, ia selalu berusaha untuk bekerja keras,dan menerima apapun hasil dari perjuangan terbaiknya. “ini bukan tentang peringkat, tapi bagaimana kita menjalaninya.”
*Keberuntungan adalah bagian dari hidup. Jika kamu salah memainkannya, maka keberuntungan itu akan berakhir. Seperti main dadu. Buat apa dapat angka bagus bila kita melakukan perjalananan yang salah? “Jelas keberuntungan itu sangat penting, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana kamu menyikapinya”
*Bisnis di bidang kemewahan tentu menawarkan kemewahan. Saya pikir bisnis kemewahan disini seperti mimpi karena kita selalu punya ekspektasi. Tapi mimpi masa depannya justru sangat sederhana. Ingin memberi kenyamanan bagi orang sekelilingnya. “Saya sangat berharap bisa jadi guru. Tapi bukan guru dalam arti yang sesungguhnya. Pasti akan sangat menyenangkan bila ada kesempatan untuk memperbaiki perusahaan yang bangkrut dan kita mencoba menyelesaikan persoalannya. Ini mimpi saya,”ucap Irwan. Mengingatkan pada tokoh yang diperankan oleh Richard Gere dalam film Pretty Woman. “Tapi bukan untuk dijual di saham. Hanya untuk menyelesaikan persoalan saja.. Tentu untuk persoalan yang tidak dijawab secara akademis, melainkan lebih pada pengalaman.” Bukan untuk menjadi pahlawan. Dia hanya ingin bisa memberikan jalan keluar. “saya senang kalau diberi kesempatan itu..”
* Ia juga masih menyimpan obsesi untuk menciptakan enterpreneur di sekelilingnya. (RH)
Irwan… kamukah pacar Dessy Ratnasari? Jangan lama-lama Dessy digantung dong…. kasihan. kami kan juga butuh pengakuan. Resmi.
Setuju Mas Irwan…
Jangan biarkan Mbak Desy Ratnasari menunggu lama lagi. Jangan biarkan dia merana. Bila selama ini slow worker, gimana kalau urusan cinta dijadikan fast worker saja….
🙂
nice artikel….
thanks ya infonya…
sangat bermanfaat
sama-sama..
semoga bisa memberikan inspirasi buat semua teman-teman. banyak hal yang bisa kita petik dari pengalaman Pak Irwan…
tentang desy.. biarkan Pak Irwan yang memutuskan.. betul kan, Pak?
life is choice……. biar dia memilih yg terbaik bagi hidup dia…… apapun keputusannya kita akan terima dengan senyuman kebahagiaan
wah pengusaha brilian dan keren abis, salut utk usaha jam tangan nya yg telah sukses berat. pak irwan juga salah satu donatur utk museum marketing 3.0 di ubud bali ya,,….
Seriously .. Bapak irwan memang bnr2 seseorang yg sangat baik hati, sejak mengenal beliau di tahun 2003 hingga skrg 2012, tak terhitung bny nya bantuan dan kesempatan2 yg telah beliau berikan. Bagi kami sekeluarga, beliau adalah guardian angel. Humble, wise, and nicely person
akhirnya putus juga sm desi… public media ga pernah tau irwan kan udah pacaran sama artis film pendatang baru Cinta Ratu Nansya selama 4tahun kebelakang cuma ditutup2i,saya pernah beberapa kali mergokin jalan di plaza indonesia…dan sekali dibali hotel sentosa ,raut wajahnya hampir mirip desi hanya versi muda… iihihihihi tipe pak irwan sundanesse kali yaaaaaa
Maia cocok untukmu mas Irwan…pribadi yg cerdas dan tangguh
maia sosok yg cocok untukmu…pribadi yang cerdas dan tangguh….
Klo benar menjadi guru enterpreneur ingin sekali ikut kelas nya , ilmu dan pengalaman nya sangat berharga untuk memotivasi anak2 muda agar lebih banyak menciptakan peluang bisnis dan enterpreneur muda……semoga cak iwan mewujudkannya ato istilahnya turun ke bumi/down to earth dg berbagi ilmu dan pengalaman yg dimiliki ke anak muda secara free/ social responbility agar anak2 muda yg dr kecil hidup sederhana/ miskin bisa termotivasi dan bersemangat untuk berusaha….i hope so…tks