Melepas Bayang-Bayang
Pengalaman dalam sebuah keluarga yang sangat berorientasi bisnis membuat dia yakin bahwa bisnis adalah sebagai bagian dari hidup. Bukan hidup untuk bisnis itu sendiri.
Hari itu, Metta Murdaya tiba di Indonesia. Kedatangannya kali ini tak lain dari merayakan pernikahan adik lelakinya dengan putri seorang taipan kaya Indonesia. Di pesta super mewah yang menghadirkan tetamu penting seperti presiden, para menteri dan orang-orang terhormat itu, ia terlihat segar dan sederhana. Bergaun terusan panjang sewarna adik perempuannya, Upekha, serta perhiasan kecil pinjaman dari ibunya: Hartati Murdaya.
Ia tampak menikmati dan banyak melempar senyum di pesta itu. Tak terlihat bosan, kendati harus menjawab beragam pernyataan banyak orang agar segera mengikuti jejak adiknya. “Mungkin banyak orang simpati padaku ya.. Padahal aku senang-senang saja. Bahkan aku dapat banyak emas-emasan waktu upacara langkahan beberapa bulan lalu,” kata lajang 34 tahun yang kini bermukim di New York dan mengembangkan bisnisnya sendiri, di luar bayang-bayang nama besar ibunya. “Mungkin aku lebih Amerika ya…?,”katanya.
Pernyataan ini bagai membuka cakrawala kesejarahan hidupnya. Metta, lahir di Indonesia, tapi besar dan dewasa Amerika, terpisah dari kedua orang tuanya. Ia menuju San Fransisco ketika usianya menginjak angka tujuh. Ketika itu, sang bunda menitipkannya pada seorang tante, yakni kakak tiri ibunya, yang kelak menjadi ibu asuh untuk dirinya dan ketiga adiknya yang datang belakangan. Tujuan ibunya jelas: untuk mendapatkan pendidikan terbaik. “Di sini ganti menteri, ganti kurikulum. Kasihan anaknya,” kata Hartati kala itu.
Soal bagaimana perasaan Metta saat itu — karena belum begitu mengenal ibu asuhnya– ia sudah tak ingat. “Kata mama, sejak kecil aku memang sangat mandiri. Shio macan kali, tak punya rasa takut,”katanya sembari mengutip ramalan yang menyatakan bahwa shionya itu banyak melahirkan sosok pemimpin yang berani. Tapi memang, dia juga dididik oleh ibunya untuk tidak memiliki rasa takut terhadap siapapun, kecuali pada orang tuanya. Barangkali atas pertimbangan ini, ia diharuskan untuk mengikuti berbagai olah raga bela diri seperti taekwondo, kungfu dan salah satu olah raga pedang asal Philipina, selain les piano. “Mamaku kan jago kungfu dan suka musik…”
Mama adalah satu kata yang terus terucap di bibir Metta. Meski jarak memisahkan, ibunya terus memantau perkembangan dia dari hari ke hari. “Mamaku sangat keras. Dia memberikan komando dan tante mengarahkan dengan sangat ketat. Aku dididik dalam suasana yang sangat disiplin dan terencana dalam segala sesuatunya,”katanya sembari menyebutkan gaya kepemimpinan ibunya yang pada waktu itu memiliki jadwal yang harus dilakukan oleh anaknya dari jam ke jam.
Metta dimasukkan dalam sebuah sekolah privat termahal di San Fransisco -dimana dalam satu kelas hanya terdiri atas 10 murid, biasanya dari keluarga kaya Amerika-hingga lulus SMA. Bila ada masalah, ibunya tak segan-segan datang ke sekolah dan mempertanyakan. Inilah alasan mengapa ia harus meraih nilai terbaik, seperti keinginan ibunya. Walau dalam hati kecilnya mengakui bahwa sekolahnya yang eksklusif ini membuat dia merasa terkurung dalam sebuah lingkungan kecil. “Kita kan juga butuh pergaulan..”
Sebab itu, ia merasa senang ketika dia diterima di Cognitive Science, UC Berkeley, Amerika Serikat. Di sana dia bisa bergaul seluas-luasnya. Satu kelasnya kini berisi 60 mahasiswa. Tahun pertama, dia sempat mengalami kesulitan adaptasi, sehingga kadang-kadang dia terlambat datang. Nilai matematikanya D+. Ibunya sangat shock. “Dia sih diam saja. Tapi aku tahu dia sangat marah. Aku pun nggak berani meminta uang. Ya udah, akhirnya selama semester depan aku nggak pernah jajan. Makan di rumah. Enak juga kok,”katanya santai.
Bila ia memilih jurusan arsitektur, itu juga atas saran ayahnya. “Mungkin papa sudah putus asa. Apa itu cognitive science. Daripada masuk ke ilmu yang tak jelas, mending masuk arsitek saja. Yang penting jadi insinyur,”cerita Metta. Ia sendiri tampaknya sangat menikmati pilihan itu. Buktinya ia justru meraih nilai sempurna. “Sepertinya aku memang lebih berdarah seniman daripada pebisnis. Soal ini memang menurun dari papa dan opaku. Mereka semua suka seni,”ungkap Metta yang pernah bekerja di sebuah firma arsitek besar di Amerika sebelum kembali dan bergabung dengan perusahaan orang tuanya di Indonesia, dan kemudian Singapura.
Beberapa tahun kemudian ia melanjutkan pendidikan MBA-nya di New York University. “Sebagai generasi kedua, aku harus punya kepandaian yang lebih,”alasannya waktu itu. Tapi, usai kuliah dia justru kembali tertantang untuk mencoba bekerja di Amerika. Dengan nilai di atas rata-rata, ia berhasil masuk ke perusahaan Home Depot, sebelum akhirnya ia meluncurkan bisnis produk perawatan kulit, Juara Skin Care di tahun 2004, bersama ketiga sahabat karibnya. Bisnis coba-coba ini ternyata berhasil diterima di pasar Amerika-yang menjadi fokus bisnisnya– dan kini telah memasuki pasar Kanada dan Jepang. Dia juga sudah mulai mempersiapkan produknya masuk ke Indonesia.
“Setelah inspirasi perawatan kulit dari Jepang, China, kini adalah saatnya Indonesia,”tukas Metta yang ingin menjadi suara Indonesia di Amerika dengan produk gaya hidup yang dibuatnya. “Targetku adalah membuat brand ini dikenal. Fokus masih di Amerika, karena ini memang produk Amerika inspirasi Indonesia,”tukas Metta yang duduk sebagai President Director di perusahaan itu.
“Aku ingin selalu mengembangkan etika bisnis yang bersih. Selalu fokus pada kualitas produk, Dan aku tak mau membuat musuh,”ia membuka rahasia kesuksesan perusahaan yang modalnya didapat dari pinjaman bank ini. “Ada juga bantuan dari mama. Tapi sedikit.” Catatan prestasi yang baik dari satu timnya menjadi jaminan saat ia mendapatkan modal itu. “Aku nggak mau main kotor. Ini bukan soal karma, tapi untuk apa membuang energi yang tak berguna,”kata Metta, yang juga putri dari Ketua Walubi (Persatuan Umat Budha Indonesia). “Aku bukan model penganut Budha yang rajin ke kuil. Tapi memang sudah menjadikan ajaran Budha itu melekat dalam keseharianku.”
“Aku bekerja sangat keras dan smart. Tapi bukan tipe workaholik seperti mama. Aku bekerja karena senang dan menikmati. Karena hobiku banyak, aku nggak mau kehilangan waktu bersenang-senang,”ucapnya sambil menyebut liburan, fotografi, musik, menyanyi dan berkumpul dengan teman-teman sebagai bagian dari kesukaannya. Mungkin karena itu, ia terkesan kurang peduli ketika adik lelakinya, Pradjna, mendapatkan kepercayaan untuk mengembangkan salah satu perusahaan milik keluarganya-padahal keluarganya tergolong demokrat, bahkan ibunya jauh lebih menonjol. “Tak ada masalah. Toh memang dia nilai-nilainya jauh lebih baik dari aku,”katanya santai.
Tapi sesungguhnya alasan resmi yang dikatakan Metta adalah adanya perbedaan gaya kepemimpinan yang dianutnya dengan orang tuanya sehingga ia seolah enggan bergabung dengan perusahaan keluarganya itu. “Aku lebih suka bisnis sebagai bagian dari pekerjaan professional. Setiap orang punya tanggung jawab. Orang tuaku sangat kontrol. Mamaku sangat detail, semua dikerjakan sendiri. Okelah, kalau kita bekerja bareng bapak, ibu, adik, kepercayaan ada. Namun barangkali keahliannya kurang.” tukasnya menganalisis. Tentu tidak mudah bagi dia untuk memasuki perusahaan yang sudah mapan dengan gaya kepemimpinan selama ini ada dan berjalan baik. “Resikonya terlalu besar.”
“Kupikir Amerika adalah ladang yang tepat untuk memulai eksperimen bisnisku,”kata Metta yang banyak belajar mencari peluang pasar dari gaya ayahnya–meski kini juga sudah berbeda pemikiran. “Kalau aku bertanya bukan bisnis apa ya? Tapi, gaya hidup apa yang tengah berkembang? Dan aku mengembangkan bisnis dari pemikiran.” Dari ibu, dia terinspirasi atas kerja kerasnya untuk meraih hal yang diinginkan. Meski yang berkesan buat Metta justru sifat filantropinya.
Apapun yang telah dilakukan kedua orang tuanya, kini Metta merasa selalu bangga. Meskipun dia anak konglomerat, ia masih selalu bersikap rendah hati. “Pesan dari bapakku. Uang harus irit, rendah hati dan tak boleh high profile,”ucap Metta yang selalu tampil sederhana. Dalam beberapa kali pertemuan, ia tak tampak seperti wanita kaya kosmopolitan Jakarta yang selalu tampil istimewa dalam balutan busana bermerek dan rambut keluaran salon. Di sebuah kafe di Plaza Indonesia waktu itu, ia mengenakan blus warna hitam -warna kesukaan untuk memberi kesan kurus, katanya– dipadu dengan celana jeans panjang dan sandal jepit merek Elle. Rambutnya dijepit acak. Di punggungnya tergantung tas ransel, yang berisi dua laptop untuk bekerja dan satu tas cangklong warna hitam, berisi dompet dan blackberry. Dua meter darinya, seorang ajudan berpakaian seragam hitam menunggu. (Soal terakhir, ia berkata,” Sebenarnya normal nggak sih di Indonesia bawa ajudan? Itu mama yang minta…”)
Ia memang tak pernah (berani) membantah orang tuanya. Katanya, dalam keadaan apapun, ia lebih suka diam. Kecuali dalam hal lingkungan hidup, ia mengaku sangat bersikap tegas dan berbalik mengontrol orang tuanya. Khususnya ketika orang tuanya memutuskan untuk berbisnis di kehutanan. “Daripada hutan dibabat oleh orang tak bertanggung jawab, mending orang tuaku saja yang melakukan. Bila dia sampai tidak bertanggung jawab, maka kami, anak-anaknya, yang akan memarahinya.” Metta sendiri aktif di gerakan pecinta lingkungan dan telah melakukan gerakan hijau, recycle, dan menggunakan bahan organik untuk produknya. Selain pula mengembangkan gaya hidup hijau di lingkungan kantornya.
Begitulah Metta. Kedewasaan dan kematangan yang diperoleh dari berbagai eksperimen itu telah memantapkan kakinya untuk tetap berbisnis di Amerika, negara dimana Metta dibesarkan selama ini. “Kupikir, sudah saatnya aku membangun bisnisku sendiri. Sudah saatnya aku tak dikekepin (didekap) lagi. Sudah saatnya aku mandiri dan berdikari,”ucapnya tegas. (Rustika Herlambang)
Busana: Koleksi Pribadi. Make Up Artist: Velda Agustino. Stylist: Elvara Jandini. Fotografer: Adi Wahono.
Bila diperlukan:
Yang diharapkannya, ia akan memiliki suami yang berpandangan internasional, pintar dan independen. “Aku ingin laki yang kuat,”katanya. Pengalamannya sebagai keluarga yang sangat berorientasi bisnis membuat dia yakin bahwa bisnis adalah sebagai bagian dari hidup. Bukan hidup untuk bisnis itu sendiri. Hidup ini indah, sungguh sayang bila dilewatkan begitu saja.
Ambisius? “Aku berharap demikian. Tapi ternyata aku tidak.”
Budhe… tulisan2mu selalu menyenangkan dibaca, mantep… pinter tenan Budhe ini… wis jaaaaan…. I love you!
aduuuh Budhe… terima kasih sudah memberi harapan manis di jumat petang…. salam buat anak lanang..!
Hidup mandiri itu baik tapi lebih baik lagi hidup untuk orang lain agar dunia yang lebih cerah karena semakin hari dunia akan semakin individu,,,,,, cia you
wah.. boleh kalo ikut sharing…
Bisakah saya dapat email Metta Murdaya, saya mau sampaikan informasi berkaitan dengan Berca. Email saya:oneheart193@yahoo.com
[…] Sumber: https://rustikaherlambang.wordpress.com/2008/10/23/metta-murdaya/ […]