Pembalap Jinak
Menjadi bintang reli perlu kesukaan terhadap bahaya dan kecepatan. Tapi di luar sirkuit, pembalap handal Rifat Sungkar memilih hidup jauh dari adrenalin.
Di tengah dunia balap otomotif Indonesia, yang relatif lesu prestasi, pasangan pereli Indonesia Rifat Sungkar dan M. Herkusuma secara mengejutkan membuat sejarah merah putih di seri balap dunia. Dalam reli Asia Pasifik Rally Championship (APRC) 2007 di Whangarei- Selandia Baru, keduanya berhasil naik ke podium ketiga. Salah seorang tim Subaru MotorImage -tempat Rifat dikontrak-, Glen Tan menyatakan kekagumannya pada Rifat. Bagaimana tidak? Rifat baru mengenal mobil hanya dua jam sebelum start.
Tampaknya ini bukan sebuah faktor keberuntungan. Buktinya, prestasi ini berlanjut dalam kejuaraan APRC di Australia awal Juni lalu. Ia menempati urutan keempat. Meski demikian, perolehan prestasi Rifat meningkat pesat. “Saat di Selandia Baru, gap saya dengan tim leader mencapai 3 detik/km. Sementara di Australia, bisa mencapai 1,8-2 detik/km,”tukas Rifat. Begitulah, mantan tim Pertamina XP ini harus berjuang demi waktu sepersekian detik untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Targetnya, akhir tahun ini ia bisa menambah angka kenaikan gap hingga 1 detik/km.
Prestasi ini seolah menyambung keberhasilan Rifat di tanah air. Sebelum bergabung dalam tim internasional, ia pernah meraih 6 kali kejuaraan reli nasional, serta dua kali menjuarai Rally of Malaysia. Apa yang diraih Rifat -terutama kemenangannya di negeri jiran- tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh seniornya seperti Tonny Hardianto, Chandra Ali, Hutomo Mandala Putra, Richardo Gelael, dsb.
Benar, ia dilahirkan dari sebuah dinasti balap otomotif di Indonesia. Tapi prestasi di tingkat internasional mencatatkan sejarah baru di keluarganya, sejak kakek neneknya Broen dan Atika Gondokusumo menjadi pemenang reli Indonesia di tahun 50-60-an. Keduanya menurunkan prestasi pada anak perempuannya, Ria Gondokusumo. Di lapangan balap pula, Ria bertemu Helmi sungkar, yang tak lain adalah ayah dan ibu Rifat. “Papa dan mama saya juara reli tahun 70-80an. Lalu disusul oom saya di tahun 80-90an. Saya adalah generasi berikutnya,” tukas lajang 29 tahun ini.
Sejak bayi, ia sudah biasa mendengarkan decitan suara ban mobil serta raungan mobil bertenaga tinggi. Aroma oli dan utak-atik mobil sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Nonton dan memberikan suporter pada keluarganya yang tengah bertanding menjadi santapannya hampir kali even digelar sejak dia berusia 3 tahun. Latar belakang keluarga ini jelas sangat menonjol dalam menyentuh sisi bakat terdalamnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa apa yang didapatnya kini -masuk dan dikontrak dalam satu tim bergengsi dunia- tak pernah disangkanya. “Cita-citaku dulu hanya jadi pereli saja,” ungkapnya malu-malu. Kini pria blasteran Arab, Belanda dan Indonesia ini perlu mematok target cita-cita yang lebih tinggi lagi: Masuk World Rally Championship (WRC) dan Paris Dakkar.
Memiliki nama besar keluarga pembalap, bukan lantas berarti jalan untuk meraih cita-citanya berjalan mulus. Olah raga beresiko ini memerlukan biaya yang sangat mahal. Karena itu, sponsor menjadi satu hal yang sangat mendasar. Tapi itu tak mudah. Bisa dibilang, lebih banyak unsur gaya dan glamornya dibanding dengan keuntungan yang diraih sponsornya itu yang membuat berat. “Sampai sekarang pun, aku masih ditolak-tolak sponsor.” Bukan Rifat namanya bila ia menyerah. Tak dapat sponsor lokal, ia mencari ke luar.
Soal reli, ia memang tidak main-main. Ia bekerja sangat serius dan perhitungan. Pertaruhannya tak hanya angka, waktu, tapi juga soal nyawa. Sudah tak berbilang berapa banyaknya kecelakaan yang dirasakannya, mulai dari ban pecah hingga mobil berguling-guling. Ia tidak pernah berpikir panjang soal rasa takut.
Rifat juga punya strategi yang nampak eksentrik. Ia bilang ia memahami apa yang ia sebut “psikologi mobil” . “Karena itu, perlakuan kita terhadap mobil pun harus menyesuaikan dengan karakter itu,” tukasnya.”Subaru, karakternya kalem, tapi pinter. Saya tahulah bagaimana menghadapi dia,” ungkapnya.
Tapi, sepintar itukah ia menghadapi wanita? Rifat tertawa. Tiba-tiba seolah terkaget-kaget sendiri. “Wah, jangan-jangan begitu ya? Dulu saya sebodo amat, kalau dia nggak setuju, terus marah-marah. Sekarang ini saya lebih pedulian, beda pendapat saya bisa sabar..,” ia mempertanyakan.
Tidak seperti apa yang kita bayangkan dengan gaya hidup para pembalap, orang-orang yang suka hidup cepat dan bising di dalam dan di luar sirkuit, Rifat adalah seorang homebody tulen. Ia betah di rumah, tidur setiap pukul 10 malam, tidak merokok dan tidak minum alkohol. Contoh wanita yang dikaguminya adalah sang ibu. Tambah lagi, ia senang – jangan kaget — memasak dan makan. Ia bahkan punya mimpi ingin berbisnis restoran hamburger. Tidak terlalu rock and roll memang.
Pria ini bahkan agak canggung dengan soal penampilannya. Ia mengaku agak frustasi soal ukuran perutnya, yang ia taksir terlalu besar. Padahal ia sudah sering jogging dan latihan di gym. “Pengennya sih berat saya bisa sampai 78kg. Wah, kalau ini sampai terjadi mah perfect banget, cewek-cewek bisa ngantri!,”ujarnya, mungkin sambil bercanda. Catatan: saat ini beratnya 85 kg.
Hobinya pun jinak. Rifat rajin berburu perlengkapan dapur mulai dari panci hingga sendok dari berbagai negara. “Untuk persiapan nikah nantinya,” katanya seraya tersenyum. Soal ini, ia memang belum memasang tanggal pastinya. “Istri saya kelak, harus seperti co driver saya. Dia harus bisa memberikan arah kepada saya, karena itu 70% keberhasilan sangat tergantung sama dia,” tukasnya. (Rustika Herlambang)
Busana: Postour & Co by Loui Saluadji.
Pengarah Gaya: Ai Syarif
Fotografer: Bobo
* Untuk foto ini, stylist oleh Dany David, sementara fotografer oleh Ai Hikmatullah
Leave a Reply