Lompatan Masa Depan
Bisnis memenatkan kepalanya, tapi seni membebaskannya. Inilah yang membuat dia kian jatuh cinta.
Di tengah tumbuh suburnya galeri seni di Indonesia, Martha Gunawan adalah sebuah nama yang tak bisa dilepaskan. Ia adalah pemilik galeri Mon Décor, pelopor galeri seni representatif di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa pertumbuhan seni dan seniman muda Indonesia tak lepas dari tangan dinginnya, meski sejarah tak mencatatnya secara tertulis. Sejak seni belum menjadi gaya hidup seperti sekarang, Martha sudah kerja habis-habisan, mencari bibit-bibit unggul seni Indonesia: satu hal yang kini jamak dilakukan oleh para pemilik galeri.
Martha adalah seorang arsitek lulusan universitas Tarumanegara, Jakarta, yang kebetulan sedang mengerjakan interior apartemennya sendiri di Singapura. Ketika itu, oleh desainer interiornya dia diminta untuk memberikan sebuah sentuhan seni dalam ruangannya. Jelas bukan perkara gampang, apalagi mode tahun 80-an memang kurang menyentuh seni yang serius. Tapi ia mencoba, dan sungguh takjub saat mengetahui betapa karya seni di dalam sebuah dekorasi memiliki nilai lebih. “Lalu saya pikir, mengapa saya tidak memopulerkannya di Jakarta?,” ia mengenang masa perkenalannya dengan dunia seni yang akhirnya mengubah arah masa depannya kelak.
Ia membuka galeri pertamanya di Gajah Mada Plaza di tahun 1983: suatu hal yang sesungguhnya tak terpikir olehnya menjadi seorang bisnisman. Kado toko dari suaminya yang sudah bertahun-tahun dibiarkan kosong, dia garap menjadi toko yang melayani desain interior yang terkonsep dari sentuhan seni. “Tapi memang seni bukanlah hal yang dengan mudah dipahami,” tukas Martha yang saat itu menuju Amerika untuk berbelanja. Kedatangannya berbarengan dengan Art Fair yang sedang membawa wabah poster-poster seni (artwork repro). “Maka untuk pertama kalinya, saya menjual poster-poster seni karya Van Gogh, Salvador Dali, Rembrant dan Renoir,”katanya bangga.
Usahanya tak sia-sia. Galerinya adalah galeri pertama di Indonesia yang memerkenalkan poster seni ke khalayak ramai. Martha menceritakan bagaimana usahanya ini begitu laris manis. Waktu itu seni masih menjadi barang mewah dam eksklusif, sementara orang-orang mulai membutuhkan sentuhan seni yang terjangkau, mana bisa diganti-ganti pula. Poster artwork yang repro menjadi sebuah kebutuhan, selain tentu saja menambah nilai dari dekorasi interior itu sendiri. Ini yang lantas disadarinya kemudian. Latar belakang pendidikan dan pengalaman, serta insting bisnisnya di bidang interior rupanya tak pernah hilang benar dalam dirinya. Bahkan sebaliknya.
Ia mengambil kursus frame di New York untuk mengembangkan kemampuan bisnisnya. “Untuk frame, boleh dibilang saya adalah orang yang pertama kali mencetuskan frame memberi nilai kepada karya seni. Dulu orang tak pernah terpikir sama sekali. Kenapa usaha saya laku, itu karena semua poster saya frame-kan sehingga terlihat seperti sebuah barang mewah,” katanya seraya menegaskan bahwa membingkai karya itu ada ilmu khusus yang harus dipelajari.
Ketika tak lagi cukup menampung karya-karya yang terus mengalir, ia memindahkan galerinya menuju sebuah tempat yang lebih representatif di Jl. Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1987. Sesuai dengan keahliannya, ia merancang galeri itu secara detil sehingga -lagi-lagi- dianggap sebagai galeri pertama di Indonesia yang memadai untuk sebuah pameran lukisan. Langkahnya tepat. Para kolektor seni, yang sebelumnya sangat tertutup, mendatanginya. “Mereka meminjamkan karya-karyanya untuk dipamerkan di galeri saya,” ucap Martha sambil mengingat bagaimana perasaannya yang tak terkira ketika karya nama-nama besar seperti Affandi, Basuki Abdullah serta Hendra Gunawan tiba-tiba saja berada di sekelilingnya. Inilah awal ia terjun menuju galeri seni serius hingga kini.
Ditemui di galerinya akhir Agustus lalu, wanita asal Pulau Bilitong yang kini sudah menginjak usia 56 tahun, tampak masih agresif. Badannya segar, ingatannya cantas. Berbincang dengannya seolah membuka catatan sejarah tentang perkembangan seni di Indonesia. Ia bisa bercerita bagaimana warna lukisan Hendra yang cenderung pastel di tahun 60-an, sebelum berkilau seperti sekarang ini. Atau juga mengapa warna-warna Soedjojono begitu suram, sebagai reaksi atas lukisan Basuki Abdullah yang begitu flamboyan. Apalagi bila berbicara tentang pelukis Indo Euro, ia bak buku yang sudah terbuka. “Saya menyukai karya-karya mereka. Mungkin pada saat saya masuk ke bisnis ini, mereka adalah orang-orang yang pertama kali masuk dalam pikiran saya,”tukas Martha.
Itu mungkin sebab mengapa di dinding meja kerjanya tergantung lukisan Renato Christiano dan Lee Man Fong. “Keduanya adalah penasehat Bung Karno yang menyeleksi mana saja lukisan yang bisa dijadikan koleksi negara. Man Fong tinggal di Jakarta, sementara Renato adalah seniman Itali yang pernah tinggal di bali dan menikah dengan wanita Bali. Ialah yang pertama kali mengenalkan seni tiga dimensi di masyarakat Bali. Mereka dipilih BK karena memiliki insting, taste dan pengetahuan luar biasa terhadap seni,” katanya. “Sebelum orang-orang bicara kontemporer, Renato sudah melakukannya. Bahkan karyanya disimpan di Moma Museum.” Dua karya inilah yang tampaknya menjadi inspirasi bisnisnya. Dia rupanya tipe pengusaha yang menyukai proses, bukan instan. “Pengalaman telah mengasah insting bisnis saya.”
Karena prinsip ini, ia tak pernah merasa gundah kendati galeri-galeri seni bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Ia justru merasa bersyukur karena dunia seni menjadi kian menggeliat. “Saya tak pernah merasa takut kehilangan pelanggan,”katanya optimis. Alasannya: dia selalu memiliki rencana jangka panjang dalam dunia seni. Salah satunya adalah mencari bakat-bakat baru. “Saya pikir, mengoleksi karya mereka dan melihat harga seniman yang pernah kita angkat sudah menjadi kebahagiaan luar biasa buat saya.”
Hingga kini -artinya sudah sekitar 25 tahun-ia lah yang memilih seluruh karya yang akan dipamerkan di galerinya. Jam terbang tinggi ini sangat dibutuhkan oleh seorang pengusaha seni seperti dia. Seperti dituturkannya, keberhasilan bisnis ini sangat ditentukan oleh sejauhmana ia bisa mengenali seniman-seniman yang akan diorbitkan. Ini berarti bahwa ia harus menggali seniman secara persoanal. Tentang ini dia berkata,”Mengenal persona masing-masing seniman, seperti sebuah perjalanan. Dan ini sangat menyenangkan. Mungkin juga ini yang membuat saya awet muda ya…?” Ia lalu tertawa. Renyah.
Tugasnya selama ini adalah berburu dan memamerkan karya-karya yang dianggap baik. Menurut Martha, karya yang masuk dalam kategori baik adalah karya yang punya wacana, konsep dan konteks. “Namun yang terpenting buat saya, seniman itu harus memiliki attitute yang baik. Betapapun bagusnya karya seniman itu, bila attitudenya jelek, tidak akan saya pamerkan,”nadanya menegas, seolah ada pengalaman pahit yang pernah menghinggapinya. “Kalaupun pernah mengoleksi, akan saya buang. Atau saja jual ke balai lelang dengan harga murah. Agak emosional memang, Tapi saya pikir banyak kolektor atau pemilik galeri yang melakukan hal yang sama.”
Meskipun demikian dekat ia bergaul dengan dunia seni, Martha mengaku bisa menjaga jarak antara dirinya dengan seni. “Saya tidak emosional dengan salah satu seniman tertentu saat berbisnis,”katanya. Ini merupakan salah satu resep keberhasilannya. Soal selera pribadi, ia bisa tegas memisahkannya. “Pada dasarnya saya adalah orang yang modern semi klasik. Karena itu semua dekorasi rumah saya seperti itu,”tukas ibu tiga anak ini. Bukan apa-apa, menurut dia, karya seni lama lebih banyak menyimpan cerita.
Hidup dikelilingi karya seni memang sungguh menyenangkan. Di rumahnya, ia juga mendekorasi seluruh ruang dengan lukisan. Bisa dibilang sudah tak ada tempat lagi untuk meletakkan lukisan yang baru. Padahal ia dibilang sangat selektif soal koleksi lukisannya. Hanya lukisan masterpiece yang bisa mewarnai ruang rumahnya. “Saya percaya, setiap karya lahir pasti ada cerita,”lanjutnya Martha yang berhasil mengorek cerita dari para seniman untuk mencari manakah karya masterpiece di antara banyak karya tersebut. Ia benar-benar bersikeras untuk mendapatkan karya itu. Jangan ditanya lagi apa perasaannya saat berhasil mendapatkannya.
Selain bisnis di galeri, Martha tak lagi tertarik untuk mengembangkan bisnis di bidang lain. “Bisnis seni satu saja sudah memusingkan kepala. Apalagi berkaitan dengan angka-angka. Tapi lucunya ya.. ketika saya kembali melihat sebuah karya seni, eh tiba-tiba saja saya jadi berdialog panjang, dan hilang sudah kepenatan kerja itu.” Hubungan resiprokal inilah yang pada akhirnya membawanya pada kesuksesan bisnis di bidang seni hingga kini. Sebentar lagi, dia juga akan membuat galeri 4 lantai dimana ada beberapa lantai khusus untuk koleksi seni pribadi yang jumlah totalnya dirahasiakan. Katanya,”Nanti kalau aku bilang berapa jumlahnya aku jadi orang terkaya.. aku tak mau…”
Lalu tiba-tiba ia membalikkan cerita, “Sepertinya seni kontemporer sudah mulai jenuh. Indo Euro akan naik lagi…..” Nah, insting bisnisnya kembali bicara dan saatnya dia mulai berbenah diri untuk menuju lompatan baru lagi. (Rustika Herlambang)
Stylist: Karin Wijaya. Lokasi: Mon Decor Gallery. Make up: Aries. Fotografer: Arino Putra Mangan
Tentang insting bisnisnya:
Keberhasilan Martha ternyata tak bisa dilepaskan dari sejarah keluarganya. Insting bisnisnya, sebagai contoh, adalah turunan dari ayahnya, Mohtar Tabah, seorang pedagang kelontong di daerah Belitung. Martha yang sejak kecil selalu membantu ayahnya duduk sebagai kasir di toko kelontong itu tampaknya diam-diam terasah insting bisnisnya. Ini yang membuat dia begitu sensitive terhadap hal-hal yang sekiranya bisa menambah keuntungan.
Sementara itu, ibunya yang bekerja sebagai bidan di kamar operasi-bayangkan saja bagaimana kondisi bidan di masa lalu yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan masyarakat-banayk menyentuh sisi emosionalnya. “Dia orang yang sangat kuat, melayni masyarakat dengan hati, dan tampaknya saya terpengaruh dari beliau dari soal ketangguhan,”kata Martha sembari menceritakan sebuah kisah pedih dari keluarganya. “Saat itu, kami kehilangan segala-galanya, saat kapal yang berisi dagangan ayah karam. Dan tiba-tiba kami menjadi miskin. Tapi ibu saya selalu memompa semangat kami.” Ibunyalah yang mengusulkan ayahnya untuk mengganti nama menjadi Mohtar Tabah, supaya dia tetap tabah sepanjang hayat. Peristiwa ini tampaknya begitu terekam kuat dalam diri Martha, bahkan hingga sekarang.
Karena itu bisa dipahami, bagaimana Martha terus berjuang selama 25 tahun terakhir untuk menggerakkan terus mengibarkan bendera bisnisnya. Ia masih teringat bagaimana peristiwa kerusuhan Mei membelit usahanya dengan sedemikian keras. “Saya tutup semua toko saya dengan menggunakan kertas putih. Dan saya harus memulai semuanya dari awal. Untunglah suami saya sangat mendukung apapun usaha saya untuk memulihkan kondisi,”kata Martha. Ia sungguh beruntung memiiliki suami yang berbeda bisnis dengannya. “Naik turun dalam bisnis itu biasa. Ini menjadi tantangan saya agar selalu eksis, apapun caranya.” Bisnis seni pada akhirnya adalah perpaduan antara insting bisnis dan pelayanan terhadap masyarakat, yakni mengedukasi masyarakat.
To Martha Gunawan—
I have Lee Man Fong painting for sale. if interested–please send me an email address for more details.
Best regards,
Will