Merajut Sejarah
Di sepanjang kehidupannya, dia selalu bergulat dan mencoba melepaskan diri dengan nama besar ayahnya. Namun pada akhirnya ia justru menemukan “ayahnya” dalam dirinya.
Nama Lukman Sardi kembali terangkat ketika film Indonesia bangkit dari mati suri. Pria yang pernah mendapat penghargaan sebagai artis cilik terbaik dalam Festival Film Indonesia awal 80-an ini memang tergolong produktif dalam berkarya. Bisa dibilang, setiap tiga bulan sekali, ia menyelesaikan satu film. Putra musisi Idris Sadri ini kini adalah salah satu sosok cemerlang dalam dunia perfilman Indonesia – dan memang, ada banyak kisah mengenai sang aktor dan ayahnya.
Di kalangan kritikus film, Lukman dinilai sebagai seorang aktor karakter yang handal. Bagaikan bunglon, ia berubah pada setiap perannya. Kadang terlihat keras dalam film “Mengejar Matahari” dan “Sembilan Naga”, atau lucu dan setengah menyebalkan sebagai seorang sopir poligamis dalam “Berbagi Suami”. Ia juga dapat menyentuh hati dengan memerankan seorang sahabat setia, seperti ketika ia bermain sebagai mantan aktivis Herman Lantan, sahabat dari tokoh legendaris Soe Hok Gie dalam film “Gie”. Lukman adalah aktor yang layak menjadi bintang karena bakat dan kehandalannya berakting dan bukan karena bermodal wajah tampan atau paling tidak berkulit putih karena kebetulan genetika. Lukman berhasil meraih penghargaan The Best Actor (Bali International Film Festival 2006). Selain itu, ia juga sempat dinominasikan sebagai Peran Pendukung Pria Terbaik di Festival Film Jakarta 2006 yang bermasalah itu, serta Most Favorite Actor dari MTV Indonesia Movie Award.
Lukman memang berprinsip untuk memilih proyek dengan kriteria yang ketat. Prinsipnya, film yang dibawakannya harus berkualitas dan memiliki misi jelas untuk memajukan masyarakat Indonesia. “Film adalah media komunikasi untuk membangun mental sebuah bangsa. Pahit pun boleh dirasakan bila itu memang obat”, tukasnya seraya menyindir tentang banyaknya film horor yang menurutnya sangat tidak mendidik. “Ibarat permen, rasanya manis, tapi kalau diberikan terus menerus akan membuat gigi sakit. Ini yang sering tidak disadari.”
Meski bintangnya sedang terang, tak ada perubahan dari diri Lukman. Dalam keseharian, ia tampak seperti pria kebanyakan. Perawakannya kecil, tubuhnya kurus, dengan perut tipis yang ditutup dengan kaus oblong putih dan celana jeans gombrong. Gelang kulit pemberian sahabat wanitanya di Australia dikenakan di tangan kanannya. Sementara itu, kalung anti aids dililitkan di pergelangan tangan kirinya. Tato ombak di lengan kirinya terlihat mengintip dari balik kaus putih yang telah memudar warnanya. Inilah gaya keseharian Lukman. Kasual dan cenderung cuek.
Seperti pula kehangatan yang dipancarkan dari tawa yang selalu menghiasi wajahnya. Ia adalah pria penghibur dengan cerita dan canda yang seolah tak ada habisnya. Wawasan film dan musiknya begitu kuat. Iapun pandai menyihir imajinasi saat bercerita. Baik tentang film-filmnya, ambisinya, maupun cerita tentang kehidupan pribadinya. Ia terkesan rendah hati dan tidak sombong.
“Aku hanyalah orang yang beruntung, ditangani sutradara besar” tukasnya merendah. Sejak awal karirnya di dunia film, ia ditangani oleh sutradara besar seperti Mira Lesmana, Riri Reza, Rudi Soedjarwo, Sekar Ayu Asmara, Deddy Mizwar serta Nan T. Achnas. Dia juga tidak terjebak dalam satu karakter yang sama. “Nggak kayak film-filmku dulu, isinya nangis melulu,” tukasnya seraya tersenyum.
Sepanjang percakapan dengan Lukman, sungguh terasa darah mengalir dari Idris Sardi: ayah yang “dibencinya”, seperti yang ia katakan sendiri, tapi sekaligus sangat dicintainya. Ia “membenci” kehidupan yang memberikan beban sangat besar pada dirinya atas nama besar ayahnya. Apa yang dilakukan selalu dibanding-bandingkan. “Anak pendeta, belum tentu jadi pendeta. Anak pemusik, belum tentu jadi pemusik. Anak memiliki dunianya sendiri,” ungkapnya.
Ayahnya mendidik secara keras terhadap Lukman, agar ia menjadi pribadi yang kuat, disiplin, memegang prinsip, tangguh, mandiri serta bersikap profesional dalam bekerja. . Meski sejak kecil ia telah menjadi bintang dan memiliki uang, ia tetaplah anak kecil yang harus belajar, bekerja keras, berlatih musik, dan tetap naik bis kota bila tak ada mobil.
Tapi jangan lantas dibayangkan bahwa ia bakal tumbuh menjadi anak penurut. Ia suka menghilang ketika diajak ke pasar. “Padahal aku cuma jalan-jalan mencari udara segar saja,” Lukman membela diri, ia ditemukan tengah berjoged dengan pedagang pasar atau bahkan di panti asuhan. Waktu sekolah, ia juga gemar berantem, membolos, dan bahkan pernah juga berurusan dengan kepolisian karena menabrak seorang wanita. Jangan ditanya, ayahnya memang sangat murka kepadanya.
Tapi apa kata Lukman kini tentang ayahnya?”Aku kini lebih dewasa dan mandiri,”tukas anak lelaki satu-satunya Idris Sardi ini meyakini. Karena itu, ia tak merasa gengsi bekerja sebagai penjual polis asuransi selulus dari Fakultas Hukum Trisakti. Katanya, demi menjaga eksistensi diri. “Daripada aku mati karena tak berbuat apa-apa, lebih baik aku bekerja. Halal.” katanya tegas. Ia juga sempat bekerja sebagai manager sebuah play group milik temannya. “Aku memang pecinta anak-anak,”kata lajang 35 tahun ini seraya tersenyum.
Meski memiliki nama besar ayahnya, pekerjaan yang mapan, namun toh pria yang hobi berburu, surfing, memasak, menulis puisi ini tetap saja takut pada mengutarakan perasaannya pada wanita. “Mungkin lebih hati-hati saja,” ungkap Lukman yang memiliki 3 Ibu dan 2 Bapak ini, sesuatu yang berujung karena baik ayah dan ibunya beberapa kali menikah.
Bila cinta itu datang, Lukman hanya berusaha untuk melibatkan wanita itu di dalam kehidupan sehari-harinya. Tanpa komitmen. “Main, makan, jalan, ngumpul temen-temen, yah kadang sambil sedikit mabuk,” tukasnya tergelak. Alasannya, agar wanita tersebut memahami dirinya secara seutuhnya. Bila sudah berlangsung lama dan ia yakin bahwa cintanya berbalas, barulah ia berkata,” Eh, kalau kita jadian seru kali ya….” Lukman bercerita sambil tertawa. Mentertawakan dirinya sendiri yang tidak “straight to the point”.
Tipe wanita yang disukainya: berkulit putih, bertubuh proposional, bergaya kasual, smart, sederhana dan tidak dandan berlebihan. “Seperti Charlize Teron, Winona Ryder, Ashley Judd dan Jodie Foster. Mereka memiliki inner beauty yang tak bisa terkatakan dengan kata-kata,” Lukman menyebutkan tipe wanita idamannya. Saat ini, ia tengah pacaran dengan wanita yang usianya 13 tahun lebih muda. “Mungkin aku mewarisi ayahku yang menyukai darah muda,” ia menyebut ayahnya.
Jelas, Lukman memang terbebani nama besar ayahnya. Tapi di sisi lain, ia merasa mewarisi sifat-sifat ayahnya yang sangat sensitif itu. Ia bercerita bagaimana dalam dan sensitifnya perasaan ayahnya ketika ia sakit. “Ia memelukku, dengan satu perasaan yang nggak bisa kukatakan.. dan panasku langsung sembuh,” ungkapnya.
Perasaannya yang halus ini membuat Lukman sangat mudah beradaptasi dengan karakter peran yang dibawakannya. “Aku selalu berada dalam masa transisi bila sedang memerankan tokoh tertentu, seperti kesurupan “ruh” karakter yang kumainkan,” kata Lukman
Ini ternyata bukan persoalan yang mudah buat Lukman. Ia sering merasa terasing dengan dirinya sendiri. “Karena itu, aku butuh waktu hingga 2 minggu untuk menghancurkan karakter peranku,” ungkapnya. Raut mukanya tampak berubah. “Persoalan inilah yang mengganggu hubungan dengan pacar-pacarku. Mereka nggak tahan sama aku,” dukanya.
Padahal, seperti katanya sendiri lagi, ia juga tipe pria yang romantis seperti ayahnya. Masih terkenang di ingatannya bagaimana ayahnya memperlakukan ibunya dengan sangat indah. “Saat mama tidur, Papa sering menuliskan puisi di atas kertas dan setangkai mawar yang digeletakkan di atas meja dekat tempat tidur. Ketika Mama bangun dan membaca, raut kebahagiaan itu sangat terasa,” kenangnya.
Iapun mengikuti gaya ayahnya. Ia menuangkan seluruh perasaannya dengan puisi indah, untuk kekasihnya. Tidak hanya itu. Lukman pun masih menyimpan impian untuk suatu hari tampil sebagai musisi biola, seperti figur sang ayah. Sang aktor memang pernah, ketika masih belia, belajar memainkan instrumen musik itu, “murni dari keinginan pribadi,” ungkapnya. Karena itu, ia mengambil pendidikan biola dari level elementer hingga lulus di Yamaha Musik Indonesia. “Papa hanya mengawasi,” tukas Lukman yang setiap pukul 5 pagi dan 4 sore hari harus latihan biola di depan ayahnya semasa sekolah musik. Mudah ditebak, orang-orang pun kerap membandingkan dirinya dengan figur besar Idris Sardi.
Karena beban itu pulalah Lukman berusaha merajut sejarahnya sendiri. “Nama Papa adalah satu hal yang bakal kubawa sampai mati. Karena itulah aku mencoba mencari sesuatu yang berbeda,” tekadnya. Iapun berusaha mewujudkannya dengan kerja kerasnya di bidang akting. Ke depan, ia sudah menyiapkan dirinya untuk menjadi sutradara film-film berkualitas. Dan ia terus menanamkan bara di dalam dirinya. Tukasnya. “Aku nggak mau jadi duplikat Papa. Aku juga tak mau jadi Sean Penn meskipun aku sangat mengidolakan dia. Buat aku, aku harus jadi diriku sendiri. Aku.. Lukman Sardi”. (Rustika Herlambang)
Stylist: Amanda Prihutomo
Fotografer: Suryo Tanggono
Lokasi: Studio Femina
* Untuk foto ini, kupasang foto dari hubungan ayah-anak dengan stylist Elvara Jandini
Lukman,
selamat ya atas pernikahanmu. semoga bahagia selamanya.
amiin
Salam kenal gan, jangan lupa visit balik ya 🙂