In Memoriam
Mohamad Ali Chanafiah
Tiga tahun lalu, saya menemui mereka. Hari ini, saya sedih karena saya mendengar Pak Ali sudah meninggal.
Mantan Dubes tanpa Tanah Air
Terbuang akibat G-30-S (1)
MUHAMAD Ali Chanafiah kini berusia lebih dari 90 tahun. Dia tinggal di sebuah flat delapan lantai di Ragsved, 15 kilometer selatan Stockholm, Swedia.Di rumah yang asri itu Ali tinggal bersama anak laki-lakinya dan dua cucunya. Setiap pagi mantan duta besar Indonesia di Sri Lanka itu sendirian di rumah ditemani dua parkit kesayangannya, Tono dan Tina. Anak dan cucunya bekerja atau sekolah. Dua parkit itu menjerit-jerit dalam kandang yang mungil dan bersih jika ada tamu yang berkunjung.Meski sudah sepuh, Ali tetap bersemangat menceriterakan masa lalunya.
”Kesalahan kami karena tidak sejalan dengan politik Soeharto.”Tubuhnya masih sedikit tegap. Pikirannya masih jernih, cerdas, dan cantas. Selain karena udara Swedia yang bersih, jauh dari polusi, rajin jalan-jalan membuat Ali masih tampak gagah. Waktu luang digunakan untuk mengasah pikiran–menyusun sejarah Indonesia, khususnya tentang kronik pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di daerah Bengkulu.
Selain menulis sejarah, bapak lima anak ini masih rajin berkebun, mengunjungi sesama orang Indonesia di Swedia dan sekitarnya, serta main bridge.Wajahnya sumringah menyambut kedatangan kami. Apalagi, ketika Media memperkenalkan diri, pria yang banyak menghabiskan waktu bersama Bung Karno saat di Bengkulu itu tampak antusias.
”Dulu saya juga wartawan, seangkatan Adam Malik,” tuturnya.Ali Chanafiah memang bukan sembarang orang. Sebelum diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Sri Lanka oleh Presiden Soekarno, dia aktif di Dewan Perwakilan Sumatra Selatan, Dewan Perwakilan Keresidenan Bengkulu, Badan Pekerja Konstituante hingga MPRS dan DPRGR.
Yah. Bung Karno. Nama ini begitu kerap disebutnya. Ia begitu dekat dengan presiden pertama ini sejak masa pembuangan di Bengkulu tahun 1936. Kedekatan itu ia tuliskan dalam buku yang telah selesai digarapnya, namun belum dipublikasikan, Bung Karno, Dalam Pembuangan di Bengkulu. Karena kedekatan inilah Ali kemudian menuai akibat.Setelah terbit Supersemar dan menteri-menteri kabinet Bung Karno ditangkap, Ali Chanafiah merasa tidak nyaman lagi di KBRI Sri Lanka.
Ia kemudian menuju Moskow, tempat anaknya melanjutkan kuliah atas beasiswa pemerintah Indonesia. Di tempat ini, pria yang mahir berbahasa Inggris dan Rusia itu bekerja di sebuah penerbitan sebagai penerjemah buku-buku berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.Selama di Moskow, Ali melakukan lobi-lobi politik tingkat internasional untuk mengungkap peristiwa G30S/PKI.
Selama bertahun-tahun di negeri komunis itu, Ali tidak memiliki kewarganegaraan apa pun. Ia hanya mendapatkan kartu penduduk dari pemerintah Soviet untuk pengungsi. Setelah pensiun, pria kelahiran Bengkulu itu berusaha kembali ke Indonesia. Dia pun menuju Singapura.Namun aparat intelijen Orde Baru mencium kedatangannya. Imigrasi Singapura menolak meneruskan perjalanan Ali ke Jakarta.
Gagallah usahanya kembali ke Indonesia. Adam Malik, sahabatnya, yang juga Wakil Presiden saat itu, tidak bisa berbuat apa-apa. Atas rekomendasi sahabatnya itulah, Ali ‘terpaksa’ mengambil kewarganegaraan Swedia. Alasannya, dengan kewarganegaraan itu dia bisa berkunjung ke Indonesia, meskipun hanya sebagai turis. Di kemudian hari dia memang berkunjung ke Indonesia sebagai turis dengan waktu yang dibatasi hanya 60 hari.
Di Swedia, Ali mencurahkan energinya untuk menulis. Ia berkonsentrasi menulis buku sejarah. Dia menilai masih banyak hal yang harus ditulis mengenai sejarah Indonesia selain masih banyak pula masalah yang harus diluruskan dari buku sejarah Indonesia. Dia pun mengikuti secara detail perkembangan di Indonesia mulai dari kenaikan harga bahan bakar minyak, virus flu burung, hingga isu percaloan di DPR.
”Saya selalu mengamati Indonesia melalui televisi, internet, radio, dan diskusi dengan teman-teman,” tukas Ali yang menyebut diri keturunan orang buangan. Dia memang cucu Raden Mas Sumodilogo, pejuang dari Jawa yang dibuang Belanda ke Bengkulu hingga beranak pinak di sana.
Ali menikahi seorang gadis Tapanuli, Salmiah Pane, yang tidak lain adalah adik sastrawan Sanusi dan Armijn Pane. Mereka dikaruniai lima anak. Istrinya mengajar di Taman Siswa dan menjadi orang pertama yang menyalami Bung Karno ketika baru tiba di Bengkulu dari pembuangan di Ende, Flores.
Di usia senjanya, Ali berharap bisa pulang dan mendapatkan kembali haknya sebagai warga negara Indonesia. Revolusi memang telah membunuh anaknya sendiri. Di akhir wawancara, di tengah malam itu, Ali sempat menyanyikan lagu yang masih dikenangnya dengan baik;
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata
Dia pun menarik napas panjang. Matanya menerawang. ”Saya ingin mati di Indonesia, dikuburkan di sebelah makam istri saya.” Suaranya mendesis. (Rustika Nur Istiqomah) (X-6)
Media Indonesia, 29 September 2005
Prakata
HARI ini, 40 tahun lalu, meletus peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Gerakan 30 September. Sejumlah jenderal dibunuh. Sejarah menuturkan dalang aksi itu adalah Partai Komunis Indonesia.Ketika peristiwa itu meletus, sejumlah anak bangsa sedang berada di luar negeri.
Entah sebagai duta besar atau mahasiswa yang sedang mendapat beasiswa. Banyak di antara mereka dikaitkan dengan peristiwa kelam tersebut kemudian tidak kembali ke Tanah Air.Mereka berpindah dari negara yang satu ke negara lain. Ketika masa paspor mereka berakhir jadilah mereka tanpa kewarganegaraan (stateless). Kemudian mereka melamar menjadi warga negara asing, atau sekadar memegang kartu penduduk untuk pengungsi.
Pada 15 Oktober mendatang ‘orang-orang yang terhalang pulang’ itu bertemu di Belanda memperingati 40 tahun peristiwa G-30-S/PKI. Mereka datang dari Jerman, Prancis, Swedia, dan negara-negara lain di Eropa.Untuk mengetahui aktivitas ‘orang-orang yang terhalang pulang’ itu, wartawan Media Rustika Nur Istiqomah menemui sebagian di antara mereka di Swedia baru-baru ini.
* * *
Media Indonesia ,1 Oktober 2005
Terbuang akibat G-30-S (2- Habis)
Anak Pilihan Menuai Badai
MANTAN Duta Besar Muhamad Ali Chanafiah bukan satu-satunya yang terbuang akibat G-30-S/PKI. Ratusan anak pilihan yang punya intelektualitas tinggi, yang sedang belajar di luar negeri ketika peristiwa itu terjadi, juga mengalami nasib serupa.Yang paling merasakan adalah mahasiswa yang kala itu studi di negara-negara sosialis seperti China, Rusia, dan negara-negara Eropa Timur lainnya seperti Hongaria atau Cekoslovakia.
Mereka dikaitkan dengan peristiwa itu padahal mereka tidak tahu apa-apa karena mereka meninggalkan Indonesia jauh sebelum peristiwa itu meletus.Itu diakui Tom Iljas, lulusan Peking Institute of Agricultural Mechanization. ”Saya mendapat tugas belajar ke China awal 1960-an dan lulus 1965. Setelah Dubes Jawoto meninggalkan KBRI dan kedutaan diambil oper atase militer, tiba-tiba paspor saya ditahan pihak imigrasi. Saya tidak tahu alasannya. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia. Dan tiba-tiba, saya terlempar dari Indonesia. Stateless selama 18 tahun,” Tom menuturkan.
Bersama Tom masih banyak mahasiswa lain. Keinginan untuk pulang pupus sudah. Mahasiswa Indonesia yang dikirim belajar ke luar negeri umumnya mengambil bidang teknik dan kedokteran.”Kami orang-orang nasionalis yang mencintai tanah air kami,” tambah Warsito Darmosukarto, lulusan jurusan fisika Universitas Moskow, ketika ditemui di kediaman Tom Iljas di Sodertalje, Stockholm, Swedia.
Meski sudah 40 tahun berlalu, ‘orang-orang yang terhalang pulang’ itu masih menyimpan beragam kekhawatiran. Tidak mengherankan jika hanya empat di antara ratusan ‘orang-orang yang terbuang’ itu yang tersebar di seluruh Eropa mau bergabung dan berbagi cerita dengan Media.
Lainnya memilih diam. Mengubur masa lalu yang menyakitkan. Mengubur kerinduan akan Tanah Air. Mengubur sanak, sahabat, dan kenalan.Kekhawatiran itu beralasan. Sanak keluarga mereka di Tanah Air diasingkan hanya karena ada saudara mereka belajar di China, Rusia, Cekoslovakia, Hongaria, atau negara-negara Eropa Timur lainnya.Pencabutan paspor membuat kebanggaan sebagai penerima beasiswa untuk belajar di luar negeri sirna sudah.
Hal itu menjadi lengkap ketika suatu hari dipanggil ke KBRI. ”Di sana kami disuruh menandatangani surat untuk mengutuk Soekarno. Tapi saya menolak,” tukas Warsito. Akibatnya, paspornya ditarik KBRI tanpa melalui pengadilan.
Itu mungkin ‘lebih baik’ daripada apa yang dialami Sumarman. ”Saya tahu paspor saya ditarik justru lewat surat yang dikirim ke universitas,” papar pria asal Palembang itu.SEJAK saat itu perasaan menjadi tidak menentu. Hilang segala kontak dengan keluarga di Indonesia.
”Saya sempat kirim surat kepada orang tua saya. Isinya pendek, Saya tidak bisa pulang,” cerita pria yang kini berusia 63 tahun itu. ”Tahu nggak apa yang terjadi? Adik saya diminta lapor setiap hari selama bertahun-tahun, hanya gara-gara ia menerima surat dari Moskow,” sambungnya.Keluarga mereka berantakan. Dijauhi tetangga karena dianggap PKI yang membahayakan.
”Beberapa rekan kami bunuh diri karena tak tahan,” cerita Warsito, pria kelahiran Cilacap, Jateng, 67 tahun silam itu.”Ada juga yang jadi gila. Ada yang nekat pulang ke Indonesia, kemudian ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan,” tambah Adrian Jamal, lulusan jurusan elektro Universitas di Chekoslovakia ini.Paspor Adrian dicabut. Dia pun berpindah dari satu negara ke negara lain tanpa identitas.
Tentu bukan hal mudah memulai hidup baru di negara lain. Bermula sebagai pekerja kasar, meski berijazah insinyur.Seperti yang juga dialami Tom. ”Saya ke Swedia dan bekerja sebagai montir di Scania.” Meskipun ia lulusan jurusan Mekanisasi Pertanian dari RRC, bukan berarti lantas ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Kendala bahasa membuatnya harus memulai dari nol.
Namun karena tekun, atasannya memberi kesempatan, hingga ia dipercaya mengepalai sebuah departemen dengan 60 karyawan hingga pensiun tahun lalu.Meski secara ekonomi sudah mapan, mereka tetaplah pengungsi. Bertahun-tahun stateless. Yang dimiliki aliens passport yakni paspor yang dikeluarkan PBB untuk para pengungsi. Paspor itu berlaku ke seluruh dunia, kecuali ke negara asal. Menyedihkan!
Akhirnya mereka terpaksa memilih kewarganegaraan suatu negara agar bisa pulang ke Indonesia, meski hanya sebagai turis di negeri sendiri.Meski sudah memiliki paspor negara tertentu, tidak mudah bagi mereka untuk pulang ke Indonesia, apalagi ke kampung halaman.
Itu dialami Tom, misalnya. Pada pertengahan 80-an, dia balik ke Indonesia. Dia harus mengendap-endap pada pukul 02.00 WIB dini hari menemui ibunya di sebuah desa di Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Hanya dua jam Tom bertemu ibunya karena pada pukul 04.00 sudah harus kembali ke Padang.
Setelah reformasi baru agak nyaman, meski tetap waspada. Kini mereka bisa pulang ke kampung halaman sebagai turis dengan jatah 60 hari.Paspor PBB Banyak cara untuk mengekspresikan rasa cinta terhadap Tanah Air meski mereka sudah memegang paspor Swedia. Salah satunya adalah tidak menggunakan hak politik sebagai warga negara Swedia. ”Padahal peluang itu sangat besar. Banyak imigran seperti kami, kini duduk di parlemen, bahkan ada yang jadi menteri,” tambah Warsito.
Kini mereka sudah mulai bangkit lagi. Setidaknya ada setitik harapan ketika KBRI Stockholm mulai mengulurkan tangan. ”Sebelum ini kami dijauhi KBRI. Rasanya KBRI itu angker. Tapi, kini tali silaturahmi dengan KBRI memberikan sepercik kedamaian. KBRI adalah sarana untuk tetap memelihara identitas kami sebagai orang Indonesia. Bahkan kini kami diikutkan dalam acara 17-an,” tukas Tom yang diangkat sebagai Ketua Olahraga Bridge di KBRI Stockholm.
Soal ‘orang-orang yang terbuang’ itu muncul dan tenggelam. Di masa Presiden Gus Dur ada titik terang. Namun, kandas karena tekanan politik dalam negeri amat kuat, rehabilitasi pun sirna.Di era Megawati Soekarnoputri, waktu pun berlalu tanpa ada kejelasan soal rehabilitasi. Padahal usia tetap melaju tanpa bisa dibendung.
”Yang kami inginkan adalah pemerintah Indonesia merehabilitasi kami. Memulihkan hak kewarganegaraan kami yang telah dicabut secara semena-mena, hingga kami stateless selama puluhan tahun. Kini usia kami sudah lanjut, lebih dari 60 tahun. Ibarat tinggal menunggu dipanggil Tuhan. Tapi kami tetap berharap bisa kembali ke Indonesia sebagai warga negara Indonesia,” tambah Tom lagi.
Harapan mereka sama seperti keinginan Muhamad Ali Chanafiah yang disampaikan kepada Media malam itu. ”Saya ingin mati di Indonesia dan dikuburkan di sebelah makam istri saya,” kata mantan Dubes RI di Sri Lanka itu.Di usia yang lebih 90 tahun Chanafiah mencoba tegar. Dia melantunkan lagu yang masih dihafalnya dengan baik;Di sana tempat lahir beta Dibuai dibesarkan bundaTempat berlindung di hari tuaTempat akhir menutup mata Sahabat Bung Karno itu pun menarik napas panjang. Matanya menerawang. Jauh. (Rustika Nur Istiqomah/X-6)
Selamat jalan, Pak Ali…
excellent piece of work. it’s an original presentation. Congratulation and wish you all the best in your career.
Tanah air tetaplah tanah air
Ibu pertiwwi tetaplah Indonesia
Seandainya pun benar mereka dulu komunis
apakah itu bisa mengubah darah yang mengalir di relung jantungnya
yang bernafas ucapkan…
INDONESIA RAYA tanah air beta.
Pulanglah Kawan…
Kampung ini masih memiliki pohon-pohon kelapa yang nyiur melambai…
Bravo KBRI
Viva Mbak RUs
Thanks…
tp namamu kok mengingatkanku pada tokoh Voldelmort di Harry Potter..You Know Who… he he he
Dear mbak Rustika,
Saya Karmen cucu Pak Ali Chanafiah, terima kasih sudah menulis memoar ttg kakek saya. Akan saya print sebagai kenang2an.
Dear Mbak Karmenita Alwi,
kenangan dengan Pak Ali begitu membekas dalam pikiran saya. saya ingat, betapa airmata saya meleleh ketika mendengar Pak Ali menyanyikan Indonesia Tanah Air Beta di dini hari itu. Seandainya, rekaman itu masih ada, Anda bisa mendengarkannya. Banyak cerita yang disampaikan oleh beliau. Bila diperlukan, saya akan downloadkan foto-foto beliay di apartemennya. Saya punya banyak sekali….
iya kasihan mereka ( semisal, pak ali chanafiah) perjuangan masa lalu mereka yang tidak ternilai, kemudian terabaikan hanya karena perbedaan pendapat semacam itu.
negara harus merehabilitasi nama mereka, untuk kemudian memberikan penghargaan yang setinggi2nya atas jasa mereka thp negara. kalau itu tidak dilakukan, tidak usah terlalu berharap negara ini akan bisa bangkit sejajar dengan negara lain yang bisa menghargai perbedaan, demokrasi dan hak2 rakyatnya.
setuju banget!!
Dear Mbak Rustika
Saya anak Pak Ali yang ke4,tinggal di Syria.
Senang dan sedih membaca tulisan mbak ttg bapak.
Terima kasih banyak.
face book nya mbak lidia
Mbak Lidia,
Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi saya selalu menitikkan air mata ketika mengenang Pak Ali. Lagu Indonesia Tanah Air Beta itu begitu merasuk di dirinya di malam itu. Saya sering membayangkan (memanggil) ingatan itu kembali pada hari-hari yang lain, dan rasa sesak itu masih terasakan hingga kini. Andai waktu itu Anda ada di sana, dalam suasana malam yang mencekam, bersama teman-teman seperjuangan, Anda pasti tahu bagaimana perasaan saya. Bahkan hingga saat ini.
Hi mbak Rustika,
Tulisan yang sangat bagus & bermanfaat dlm menambah wawasan saya.
Saya sangat terharu membaca bagaimana pak Ali sangat merindukan bisa kembali ke Indo dan bisa dimakamkan di sisi istri beliau, dan menyanyikan lagu Indonesia Tanah Air Beta.
Menyadarkan kembali bagaimana selama ini saya sdh ‘take it for granted’ nikmatnya tinggal di tanah kelahiran, malah kadang lebih sering mengeluh drpd mensyukuri..
Semoga saya bisa mengambil hikmah dr cerita ini shg bisa menjadi motivasi utk berbuat kebaikan bagi negeri tercinta ini.
keep on the good work mbak! 🙂
Mba rustika, saya terharu membaca kisah nasib orang2 pintar dimasa lalu yang terbuang.
Mba mungkin tau pak Tom Iljas ini tinggal di pesisir selatan sebelah mana? di Painan kah atau salido? dan bagaimana nasib keluarganya yang ada di sana? karena kebetulan kampung kedua ortu saya juga di pesisir selatan, walaupun saya sendiri lahir di jakarta.
Terimakasih atas waktunya.
Salam,
wah, bener bener bagus, setelah membaca tulisan Mbak Tika saya merasa diajak melihat dari dimensi yang selama ini belum pernah terpikirkan
subhanallah, memang politik, uang & kekuasaan yg utama di negri ini…
4JJI mahabesar hai bapak2 saya yg di luar negri sana, 4JJI selalu melihat & melindungi kalian smua.. saya juga hannya bisa berdo’a disini buat kalian.
semoga cepat balik ke indonesia, amiiin2 yarabbal’alamin.!
4JJI huakbarrrrrr…
senang bisa membacanya, terima kasih !
saya tidak tahu sosok Bapak Ali Chanafiah,kehidupan,dan pemikirannya,apakah dia memang komunis yg bilang Tuhan itu tidak ada ataukah bukan? kenapa tidak disorot,apakh beliau ke masjid atau gereja?
memang selama kekuasaan pak harto yg rakyat tahu komunis itu kejam,dan tidak bertuhan,sehingga pemerintah pun melegitimasi atas eksil dan keluarganya juga kena getah
mm hanya bisa mencoba rasakan,saya tidak pulang kampung 3 tahun aja rasanya sedih banget,apalagi beliau yg seumur hidup di pengasingan,hukum manusia memang lebih kejam ya..kalo zaman nabi biar abu sofyan penentang quraissy palig keras,kalo sudah kalah ya dimaafkan,tidak diperangi lagi..
sy sendiri sekarang lg dibuang(dimutasi) krn satu hal,tanpa kepastian,sudah 3 tahun,ditaruh ditempat yg jauh, saya tak bisa menjangkau keluarga saya
Bapak Santoso yth.Saya mengikuti perjalanan hidup Bapak Ali Chanafiah.Beliau adalah orang sederhana yg tdk mau menonjolkan diri.Orang muslim yg baik dan berahlak.Tidak punya harta benda kecuali sosial yg tinggi.Asal Bapak tau,beliau dan istrinya meninggal dunia di Jakarta ditengah tengah keluarga besarnya dan dimakamkan di Tonjong parung yg sampai saat ini bisa dikunjungi.Wa assalam alekum wa rahmat Allah wa barakatu.
dear mbak rustika,
tolong bagi info seperti ini tentang orang – buangan indonesia yang laen di seluruh dunia….seperti di rusia, cina. dll apa meraka punya blog atau komunitas sendiri
Salut…tdk terpikirkan sebelumnya, karena saya lahir pada jaman setelah G 30 S PKI..yang saya tahu dari saya kecil kejadian atau gambaran tentang G30 S memang sangat mengerikan….tapi itulah politik yg saya tak mengerti…seandainya pemerintah mau untuk mempermudah orang Indonesia yg ingin pulang dan mengabdi untuk ibu pertiwi ….kenapa tidak…
secuil resensi otobiografi bapak M. Ali Chanafiah dan Ibu Salmiah
http://media.kompasiana.com/buku/2011/05/13/pasangan-pendidik/
kenapa sampai jaman reformasipun mereka pulang tp tetap waspada?
harusnya dibuat film tentag “ornag terhalang pulang” biar bisa mendidik generasi berikutnya
Saat ini sudah ada film tentang orang2 “terbuang” dari bagian masa lalu Republik Indonesia…sudah saatnya generasi baru era pasca reformasi bisa mengetahui hal itu secara jelas dan gamblang…kiranya pemerintahan Jokowi bisa mempertimbangkan lebih lanjut akan status putra putri Indonesia yang dulu diharapkan menjadi tiang pembangunan negeri setelah pulang belajar dari negara orang…tapi siapa nyana ceritanya menjadi berbeda…
wassalam
Dear mb Rustika,
Petkenalkan saya Nia S. Amira
Mohon maaf jika saya ingin berkomunikasi scr pribadi lwt email dgn mb Rustiks, jika berkenan tentunya.
Salam hangat
Sila ke rustikaherlambang@gmail.com mbak
Saya terenyuh bacanya, meskipun saya blm lahir waktu itu. Jadi pengen ketemu sama mereka semua, kaka beruntung banget bisa komunikasi langsung sama orang orang hebat itu.
[…] kemudian mengambil kewarganegaran Swedia agar bisa mengunjungi Indonesia sebagai turis In Memoriam Mohamad Ali Chanafiah– Rustika Herlambang Tertahan pulang karena G30S, Florensia jadi dokter di Perang Vietnam – bbc […]
[…] In Memoriam – Mohamad Ali Chanafiah – Rustika Herlambang […]
mau tanya ..adakah nama mahasiswa asal prabumulih sumsel….yg ga bisa pulang ..dan menetap di jerman hingga wafat…nama kampung nya “idin”..tks