Bernavigasi Antara Pilihan
Keseimbangan adalah mitos yang ingin dipatahkan Mari, baik pada saat menjalankan tugas kenegaraan maupun kehidupan rumah tangganya.
Di tengah kecamuk pergantian kabinet beberapa waktu lalu, Dewi menemui Mari Elka Pangestu. Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu ini terlihat begitu tenang, biasa, tak ada tanda-tanda merasa menang atas posisinya yang masih tetap dipertahankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Jabatan adalah sebuah amanah,” ungkapnya.
Mari merupakan sosok wanita yang cerdas, berwawasan luas dan penuh percaya diri. Meskipun demikian, putri ekonom senior Panglaykim (JE Pangestu) ini memiliki pribadi yang hangat, rendah hati, santun dan penuh perhatian dengan lawan bicaranya. Wajar saja, bila ia begitu mudah beradaptasi dan diterima berbagai kalangan. Setidaknya, dalam beberapa pigura, terlihat kedekatannya dengan beberapa sosok penting dunia, seperti Tony Blair. Di salah satu pigura, terlihat keakraban Presiden Amerika George Bush memegang erat pundak Mari, dengan ekspresi yang tak dibuat-buat.
Apakah keputusan Anda menjadi seorang ekonom karena ingin mengikuti jejak Ayahanda?
Tidak juga. Sejak kecil, saya tak pernah berfikir untuk menjadi ekonom. Baru setelah kuliah, saya tertarik mendalami ekonomi dan isyu-isyu di negara berkembang, seperti Indonesia, khususnya dalam bidang perdagangan. Saya juga bukan dari keluarga pedagang, meskipun ayah saya pernah masuk ke dunia perdagangan di pasar pagi. Tapi itu dulu, saat saya masih kecil, dan tidak berlanjut.
Lalu, mengapa dunia perdagangan yang menjadi fokus Anda?
Perdagangan adalah denyut nadi perekonomian. Perdagangan memegang peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu negara. Nah, pada saat memahami persoalan perdagangan, saya jadi bisa melihat peran Indonesia dalam konteks bilateral dan multilateral. Apalagi di masa globalisasi seperti sekarang, mau tidak mau, kita harus memahami peran Indonesia di dunia. Bagaimana kita bisa bersaing dalam pasar global, tapi dalam saat yang bersamaan kita juga tahu apa yang kita lindungi. Ini tugas yang harus kita pecahkan.
Bagaimana latar belakang penunjukan Anda sebagai Menteri?
Yang pasti, saya dipilih karena alasan profesional. Saya tidak berada di bawah bendera partai apapun. Mungkin selama ini saya dikenal sebagai seorang ekonom dengan spesialisasi bidang perdagangan, terutama perdagangan internasional. Saya melakukan riset dan pendalaman terhadap bidang perdagangan sejak 21 tahun lalu. Saya pikir karena alasan profesional dan pengetahuan saya di bidang perdagangan ini, saya dipilih untuk masuk dalam jajaran kabinet. Selain karena janji Presiden SBY yang ingin mengangkat 4 wanita di dalam kabinetnya, tentunya.
Setelah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di bidang International Trade, Finance and Monetary economics dari University of California, Davis, Mari sempat bergabung di Center for Strategic and International Studies (CSIS). Ia menjadi direktur eksekutif di lembaga think-tank itu, sebelum memutuskan pindah ke Houston, Texas, dan kemudian Shanghai, untuk mengikuti suaminya, Adi Harsono, profesional yang bergerak di bidang minyak dan komunikasi.
Sebelumnya, Anda dikenal sebagai seorang intelektual bebas. Lalu tiba-tiba masuk ke jaringan kekuasaan. Adakah masalah yang mengganggu karenanya?
Persoalan sih tak ada. Hanya soal penyesuaian diri. Bahwa saat ini, apa yang saya sampaikan adalah statement pemerintah, bukan saya pribadi. Saya harus lebih hati-hati dalam menyampaikan pendapat, karena itu adalah pendapat pemerintah. Memang pada akhirnya saya sudah tidak bisa bebas lagi sekarang, sebab saya harus menjaga amanat pemerintah. Apa yang akan saya sampaikan adalah gambaran dari kebijakan pemerintah. Di sisi lain, saya pun memiliki tugas sebagai wakil pemerintah untuk mengkomunikasikan masukan dan meminta pendapat masyarakat mengenai berbagai isu. Public education adalah bagian penting dari tanggung jawab saya.
Pernah nggak kebijakan Pemerintah itu tak sejalan dengan “kebijakan” Anda sebagai pribadi?
Ya…. Semacam itulah.. Tapi, saya ini kan berada dalam satu perusahaan, apalagi pemerintah. Artinya, kalau hal itu sudah menjadi keputusan pemerintah, ya saya harus ikuti, karena itu keputusan bersama. Saya harus menerima keputusan itu. Bila tidak begitu, semua orang menyampaikan pendapat sendiri, pemerintahan tidak bisa jalan. Ini bukan soal egois atau tidak egois, tetapi setiap langkah atau kebijakan yang kita ambil memiliki dampak yang berbeda pada tiap kelompok. Di tengah realita, kendala politik, ekonomi, kelembagaan dan praktek di lapangan, pada akhirnya saya berada pada posisi untuk mencoba mengimbangi semua kepentingan. Tapi saya tidak pernah berharap bahwa kebijakan itu paling baik untuk semua pihak.
Pernah didemo atau diteror akibat kebijakan Anda (pemerintah)?
Ya, beberapa kali di demo. Kadang-kadang mereka (pendemo) itu tidak paham terhadap satu persoalan. Karena itu, saya selalu terbuka, menjawab pertanyaan mereka. Bila ada demo, kita selalu mengajak mereka bicara. Siapa wakil dari mereka, lalu ada wakil dari kita. “Apa sih masalah Anda?”.
Kendala terberat sebagai menteri?
Susah dijawab itu. Mungkin, mengakomodasi semua kepentingan dengan berimbang…Ini tidak mudah
Rencana ke depan..
Belum terpikir. Yang jelas, saya akan terus menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara, meskipun sudah tidak lagi menjadi menteri. Pasti ada jalan. Saya juga bisa balik lagi menjadi peneliti, researcher.
Di tengah kesibukannya, Mari masih sempat melihat-lihat pameran lukisan di berbagai tempat. “Saya memang kolektor lukisan, terutama lukisan realis. Ada sih beberapa yang abstrak,” tukasnya seraya menyebut nama Bagong Kussudiardjo, Hendra dan Hanafi yang menjadi pelukis favoritnya. Ia juga memiliki beberapa lukisan dari Vietnam, Mianmar dan China. Selain itu, memasak adalah kegemaran lain dari ibu dari Raymond Bima Harsono (16) dan Arya Alexander Harsono (13). “Dulu saya suka masak makanan Italia. Seperti pasta, sup, lasagna. Tapi sekarang saya suka masak bareng anak saya yang nomor dua,” tukasnya sambil tersenyum. Wajahnya terlihat semringah.
Adakah pertentangan batin ketika memutuskan kembali ke Indonesia untuk menunaikan tugas Negara?
Mungkin bukan tekanan batin, melainkan untuk melakukan satu kompromi-kompromi tertentu dengan suami dan anak saya. Tapi pada intinya, ketika kita diminta untuk membantu negara, kita tidak memikirkan hal lain lagi. Ini sudah menjadi semacam amanat. Berat memang, karena kita harus menyesuaikan, suami menyesuaikan, anak menyesuaikan. Tanpa dukungan suami dan anak, sulit bagi saya untuk bekerja dengan baik. Saya sempat tinggal berpisah selama satu tahun dengan suami dan anak saya. Mereka tetap tinggal di Shanghai waktu itu.
Bagaimana Ibu membagi waktu untuk keluarga?
Kita berusaha untuk ketemu setiap Sabtu Minggu. Minimal kita bisa makan pagi bersama, karena belum tentu saya ketemu mereka malam atau sorenya untuk makan malam. Yang pasti, Sabtu Minggu adalah waktu untuk anak dan suami. Tentunya kita beruntung hidup dalam dunia super teknologi, ada sms, email, sehingga kita bisa bertanya dengan anak kita, “Sudah makan belum ,pe-ernya sudah digarap belum.”
Masih ngajarin anak peer?
Kalau ngajarin tidak pernah, karena waktunya tidak banyak. Tapi mereka cukup mandiri. Biasanya, ayahnya yang masih bisa bantuin. Kita juga manggil guru. Mereka adalah anak sekarang, jadi mereka bisa searching internet sendiri. Paling mereka akan bertanya yang global-global saja. Misalnya, baru-baru ini anak saya yang nomor dua bikin paper mengenai illegal drug trading. Dia sempat tanya, saya bilang saya tidak ada hubungannya dengan illegal drug trading, tapi saya bisa menjelaskan ke dia.
Perhatian kepada suami?
Ya.. waktunya terbatas, paling main golf. Kalau di rumah udah capai ya.. Makan di rumah saja. Kadang dia ikut acara saya. Planningnya, kita tidak dua-duanya pergi saat anak perlu kita ada di rumah.
Tidak pernah menggunakan suami, ada alasan?
Bukan alasan feminis, tapi alasan praktis saja. Waktu menikah, kami sudah sepakat soal ini. Karena kalau saya menyertakan nama suami, saya harus mengubah tanda tangan, mengubah KTP, mengubah bank account. Tidak ada urusan feminisme. Karena pada saat itu, saya sudah punya nama sebagai seorang ekonom. Kalau saya ganti nama, nanti publikasi sebelumnya nggak nyambung. Suami saya juga tak ada masalah.
Pandangan Anda tentang Ibu kontemporer?
Ibu dalam arti luas. Menurut saya, kita tak usah mengkotak-kotakkan wanita seperti harus ibu rumah tangga atau karir. Seorang wanita yang memiliki pendidikan dan pekerjaan yang baik memutuskan untuk tinggal di rumah saja, jangan dianggap negative. Itu pilihan. Wanita jangan takut mengambil suatu pilihan. Kalau memang memilih menjadi wanita karir harus dengan ada kesadaran bahwa ada konsekuensi-konsekuensinya. Itu yang harus kita jaga keseimbangannya. Tapi itu mitos.. Mitos, kalau kita bisa jaga keseimbangannya itu. Ha ha ha. Dalam realitanya itu tidak demikian. Tapi ada sacrifice, apakah itu kepada anak atau suami. Suami memang harus mendukung apa yang kita jalankan, sementara anak juga harus diberitahu dengan bahasa yang sederhana. Karena biasanya, anak manipulatif. Misalnya, kenapa kamu nggak kerjain pe-er? Habis mami nggak pernah di rumah. Katakan, itu tidak benar, karena ia bisa telepon, bisa sms. Mereka harus dibuat pengertian, tetapi kita harus peka terhadap perasaan mereka.
Sering merasa bersalah pada anak-anak?
Ha ha ha.. ini penyakit kita bersama, guilty feeling. Saya merasa anak terlantar, saya nggak di rumah karena nggak bisa bantuin dia bikin peer. Padahal sebetulnya yang penting kan quality time. I belief that. Kita kan punya perasaan. Kalau dia lagi nggak happy, kita harus tahu kenapa dia nggak happy. Saya punya jaringan, yakni ibu-ibu dari temennya dia, saya bisa intervieuw dia. Ini yang penting, kita harus selalu punya jaringan yang mendukung kita di luar lingkungan rumah juga.
Kalau kita wanita karir, kita harus CS (dekat) sama guru, supir, agar kita bisa memantau. Saya rajin email ke guru anak saya, dari semenjak mereka masih tinggal di Shanghai, hingga sekarang. Dan sekarang, meskipun anak saya sudah rada gede, saya masih rajin-rajin buka tasnya, untuk melihat apa yang dia kerjakan sekarang, apa yang dia pelajari, dsb. Saya juga bagi tugas ama suami, kalau saya mau ke luar negeri, sementara anak mau ujian. Biasanya suami tidak terlalu cerewet memperhatikan detil, karena itu saya selalu buatin note yang ditempel di almari es.
Seperti keluarga lainnya, mal adalah tempat berkumpul dan mengisi waktu liburnya. Katanya, “Ke mal itu adalah bagian saya untuk setengah menikmati acara bersama keluarga, dan juga setengah kerja. Ha ha ha.. Perdagangan retail kan dibawah saya. ” Selain makan bersama, melihat-lihat barang-barang yang indah, ia juga paling senang menonton bioskop. “Saya lagi pingin nonton Spiderman 3 dan Naga Bonar 2,’ tukasnya cepat. Loh, bukannya beberapa waktu lalu anggota kabinet diundang Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melihat pertunjukan Naga Bonar 2 di Bioskop Setiabudi? Dengan sedikit tersipu-sipu, dan nada merendah, Mari menjawab,” Saya kan nggak diajak…” Ia pun lalu mengajak para pejabat Departemen Perdagangan berjalan kaki menuju bioskop Kartika Chandra dari rumahnya di kompleks menteri yang dekat dari situ. Dengan semangat, ia berkata bahwa produk Indonesia, termasuk film, harus didukung. Dan secara harafiah, ia akan segera menjalankan pendiriannya itu.
(Rustika Herlambang)
Di tengah kesibukannya, Mari masih sempat melihat-lihat pameran lukisan di berbagai tempat. “Saya memang kolektor lukisan, terutama lukisan realis. Ada sih beberapa yang abstrak,” tukasnya. Kegemaran lain yang masih dilakukannya adalah merasakan masakan anak keduanya. “Dulu saya suka masak makanan Italia…yang mudah-mudah saja. Tapi sekarang sudah jarang. Justru anak kedua saya yang sekarang senang memasak,” ungkapnya dengan sorot muka gembira. Kini, ia sedang ingin nonton film “Naga Bonar 2”. Ia berencana mengajak para pejabat Departemen Perdagangan berjalan kaki menuju bioskop Kartika Chandra dari rumahnya di kompleks menteri yang dekat dari situ. Dengan semangat, ia berkata bahwa produk Indonesia, termasuk film, harus didukung. Dan secara harafiah, ia akan segera menjalankan pendiriannya itu. (Rustika Herlambang)
Stylist: Quartini Sari
Fotografer: Clara Romaedi
Lokasi: Kantor Menteri Perdagangan
Sharing…. Blog ini mungkin disukai para wanita, silahkan aja klik:
http://www.eskrimnikmat.blogspot.com
http://www.airbersihberenergi.blogspot.com
silakan teman-teman untuk membuka blog-blog tersebut..
Bu Mari..
selamat ulang tahun….
Mbak Rusti,
Boleh berbincang sebentar dengan Mbak Rusti mengenai artikel Mbak untuk Ibu Mari Pangestu….???
Terima Kasih banyak
silakan email saya langsung Mbak… rustika.herlambang@feminagroup.com
atau rustika_ni@yahoo.com
Dear,
Boleh ga yah saya minta email nya Ibu Marie Pangestu? Soalnya saya hendak menanyakan n mengadukan nasib saya tentang regulasi impor yg ada indikasi indikasi negatif di kalangan pejabat terkait.
Salam,
Adi
shippingadi@gmail.com
Dear,
Ini email saya, saputraadi@haritamineral.com. Terima Kasih atas perhatiannya.
Salam,
Adi
saya tak ada email Ibu Mari, Pak Adi. Anda mungkin bisa hubungi sekretaris beliau, Ibu Maria, di kantor deperdag.
atau, Anda siapkan email, nanti akan saya sampaikan?