Bersembunyi di balik Nada
“Bacalah not-notku, dan kamu akan mengerti aku…”
Ananda Sukarlan sesungguhnya hanya memainkan sebuah lagu yang sederhana: Jali-jali. Namun entahlah mengapa permainan pianonya yang ditawarkan malam itu begitu menggelorakan. Di depan balok-balok hitam putih konstan, ia seolah menyalurkan sebagian jiwa kedalamnya sehingga denting yang disentuhnya begitu bernyawa. Lagu Jali-jali –yang sudah menjadi rutin– menjadi terasa begitu dinamis, bergerak, seolah menyatakan bahwa batas intepretasi dan ekplorasi itu tak pernah ada.
Encore! Encore! Penikmat musik yang jumlahnya terbatas itu tak berhenti memberikan tepukan. Inilah penggalan peristiwa pergelaran The Maestro @ 40, sebuah gala dinner dan Concert the Greatest of Ananda Sukarlan di ballroom Hotel Alila pertengahan Juli lalu. Acara yang digelar untuk merayakan ulang tahun Ananda ke-40 ini juga akan diselenggarakan di Santander (Spanyol), Madrid, dan Mexico City dalam acara International Festival of Contemporary Music.
Usia 40 rupanya punya arti besar buat Ananda. Bukan bermaksud mengikuti pepatah yang menyatakan life begins at forty, melainkan — seperti dikatakannya sendiri – dia benar-benar merasa berada di sebuah persimpangan jalan yang menentukan masa depannya. Sebegitu seriusnya persoalan yang dihadapi sehingga dia merasa perlu bersyukur ketika teman-teman musiknya memberikan kado dengan menggelarkan konser ulang tahunnya. Maklum saja, referensi musik dunia menyebut-nyebut dia sebagai pianis dunia terdepan saat ini. Namanya tercatat dalam The International Who’s who in Music Book dan 2000 Outstanding Musician on the 20th Century
“Saya rasa musik saya terus berkembang dari periode ke periode. Tapi kali ini, bukan lagi evolusi, melainkan revolusi. Dan tak tahu, apakah pikiran ini harus dilawan atau dirangkul…,”ia mendedahkan pikiran dan perasaannya. Nuansa melankolis terasa didalamnya. Karena itu, ia perlu merayakan dan merekam seluruh karya-karya, sebelum menghanguskannya: sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan setiap kali ia merasa musiknya tak lagi sesuai dengan keinginannya.
Bila selama ini musik-musik Ananda lebih bergelora sehingga banyak orang menyukainya (sic!), maka dalam periode ke depan ia akan membawa suasana intim dan kontemplatif. Konsekuensinya, seperti dikatakannya, mungkin penyuka musiknya semakin terbatas. Tapi dia sudah siap dengan risiko itu.”Memang pada akhirnya kita tak bisa terus menyenangkan banyak orang, dan saya menulis musik juga bukan lagi untuk menyenangkan semua orang. Sebagai sebuah ekspresi pribadi, orang juga harus bisa menerima saya apa adanya.”
Ananda berharap perubahan ini bisa membuatnya lebih mengenali diri. “Selama ini, saya selalu menghindar akan kenyataan pada diri saya sendiri. Dengan merekam semua karya, saya berharap bisa memahami diri dan keinginan diri saya sendiri,”katanya jujur. Lalu ia menceritakan beberapa pengalaman hidupnya berkenaan dengan posisinya sebagai seorang seniman – yang seharusnya bebas berkarya– namun kenyataannya justru sering terbelenggu pada “karakter musiknya” yang sudah terlanjur dikenal dan disukai oleh masyarakat. Walhasil, ia acapkali merasa tak bisa bebas bergerak, alias terperangkap, dalam sekat-sekat itu.
Padahal musik bagi Ananda bukan sekadar memperkaya materi, melainkan lebih pada kebutuhan jiwanya, seperti dikatakan oleh sastrawan Shakespeare yang disukainya. Ia pun mengenangkan sebuah kisah ketika ia merindukan kampung halamannya di wilayah Senen, Jakarta, yang kini sudah rata dengan tanah, dan digantikan suasana gedung-gedung megah yang dengan mudah mengubur seluruh kenangan masa kecilnya.
“Saya tertidur di pesawat dalam sebuah perjalanan menuju Eropa dari Jakarta. Tiba-tiba saja, saya dibangunkan oleh sebuah suara yang mengingatkan pada rutinitas kampung Senen setiap pukul empat sore: penjual es tong-tong lewat. Di saat bersamaan, muncullah puisi berjudul Sajak Untuk Bungbung, karya Goenawan Mohamad yang berbarengan dengan not-not yang berseliweran di kepala,” ia menceritakan bagaimana inspirasi itu datang menyergap tanpa basa basi. Maka jadilah salah satu karya yang kini menjadi salah satu karya yang paling disukainya di atas pesawat. Sebentuk kerinduan akan masa lalunya yang kini tak berjejak.
Akhirnya kita bagai dipahamkan oleh sebuah keadaan dimana Ananda menyembunyikan perasaan gelisah, cemas, dan terutama perasaan sakitnya (secret of sickness) di dalam motif-motif dan not-not yang dianggapnya memiliki pattern untuk dibaca orang lain seperti halnya sebuah biografi kehidupan. Seperti puzzle-puzzle yang berserakan siap untuk disandingkan. “Walau saya selalu berusaha untuk menghindarkan dari kenyataan atau menyembunyikan dari kenyataan sesungguhnya. Hanya seniman musik yang bisa membaca puzzle-puzzle itu..”
Mungkin karena terlalu banyak rahasia yang ingin disimpan itulah ia memilih sastra. Dengan sastra, ia bisa menumpahkan seluruh ekspresi eksistensinya, baik sebagai manusia maupun sebagai seorang musisi, tentu saja dengan medium musiknya. Selama ini, Ananda memang banyak menjadikan karyanya dari puisi-puisi romantik, seperti Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Ia juga penggemar berat sastrawan Walt Whitman serta Gabriel Garcia Marquest. “Sesungguhnya Ananda ingin sekali bisa menulis puisi (dengan kata-kata), tapi selalu gagal,” Chendra Pranatan, manager Ananda mengungkapkan.
Tapi apa kata Ananda soal sastra?
” Sepertinya aku lebih doyan sastra daripada musik deh…”
Kenapa?
“Saya selalu menekankan bahwa saya seorang seniman, bukan intelektual yang bisa menjelaskan mengapa saya menyukai puisi ini. Saya percaya intuisi. Seni itu hormonnya seperti jatuh cinta. Kita tak pernah tahu mengapa mencintai seseorang misalnya…”
“Kalau begitu, kamu bahagia terus doong….?”
“Aah.. siapa bilang jatuh cinta itu membahagiakan? Jatuh cinta itu tak membahagiakan. Keindahan itu buat saya ada di dalam kesedihan, melankolisme. Apalagi sekarang, saya lebih sulit mencari kebahagiaan dalam pesta-pesta atau hura-hura. Banyak karya lahir justru ketika saya lagi di kamar hotel sendirian, kesepian, dan mengingat satu kejadian yang menyakitkan. Buat saya, seni itu obat luka. “
Ia lalu menjelaskan panjang lebar filosofi seorang composer yang sangat melekat dalam pikirannya. Katanya, komposer berasal dari kata to compose, artinya menyusun sesuatu dari hal-hal yang retak, menyusun dari hal-hal yang tak tersusun. “Sebab itu, komposer biasanya datang dari broken home atau broken heart. Karena saya bukan broken home, maka you know…” katanya. Pria yang kini bermukim di Spanyol bersama sang istri, Raguel Gomez dan anak perempuannya, Alicia, itu terlihat mengangguk-angguk, seperti penuh kemenangan.
“Broken heart ?”
Dia lalu tersenyum. Menyisakan misteri. Hidup bagi Ananda adalah sebuah sebuah pertanyaan panjang yang saling menyalip sepanjang jalan. Dan tahu, seperti mengambil puisi Chairil Anwar, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah. (Rustika Herlambang)
Busana: Postour & Co, Luwi Saluadji. Stylist: Dhani David. Fotografer: Hermawan. Lokasi: Alila Hotel, Jakarta.
Leave a Reply