Pria Postmodern
Penampilan boleh urban, gaya hidup tetap “tradisional”
Gerhana bulan di malam itu seolah menjadi saksi pertemuan dewi dengan Dimas Djayadiningrat, sang sutradara film komedi satir Quickie Express. Beratap langit, di sela-sela pepohonan, hijau rerumputan, tepi kolam renang berair jernih, kami berbincang. Jenggot panjangnya tampak tak terurus. Ia terlihat sedikit pucat. Obat sakit kepala –yang tak pernah lepas dari tangannya-baru saja ditenggak. “Saya lagi sibuk banget ngurusin film baru,” Ia memulai pembicaraan. Saat itu, ia tengah melakukan editing film Quickie Express yang kini tengah beredar di bioskop-bioskop Jakarta.
Dunia perfilman sesungguhnya bukanlah hal baru buat Jay, nama sapaannya. Ia pernah menyutradarai Tusuk Jelangkung dan memproduseri film 30 Hari Mencari Cinta, Bangsal 13, serta Alexandria. Aktivitas utamanya selama ini adalah membuat iklan. Sebelumnya, ia memang dikenal sebagai klipper bertangan dingin. Sudah ratusan karya apik dihasilkannya, Sekitar 15% diantaranya mendapatkan penghargaan musik tingkat nasional. Tapi kini –di tengah suburnya industri musik-ia memilih istirahat.”Tak ada lagu yang membuat trigger. Hampir semua lagu yang ada hampir sama, tidak ada variasi. Ini bikin aku malas,” ia mengungkapkan alasan, spontan, khas seorang seniman.
Mood memang sangat memengaruhi Jay. “Aku menerima suatu pekerjaan karena aku mau. Bukan paksaan, apalagi karena uang,” pria kelahiran 24 Agustus 1973 ini menegaskan. Komitmen itu tumbuh seiring dengan perasaan hatinya. “Otakku bekerja kalau hatiku senang. Tanpa itu hasilnya akan datar, tak ada soulnya,” prinsipnya. Sebagai informasi, Jay adalah tenaga eksklusif di PH Apple Box dan Velocity. Karena posisinya, dia berhak untuk memilih iklan dan boardnya sendiri. “Kalau sekarang, aku nggak mau boardnya, ya aku nggak mau. Ini memang gaya aku dari dulu. Aku nggak mau kalau kerjanya tidak maksimal,” ungkapnya.
Terkesan perfeksionis memang. Lukman Sardi, salah satu aktor yang bermain di Quickie Express, mengakui. “Terutama menyangkut pekerjaannya, dia sangat perfeksionis. Tapi bagusnya, dia bisa menyampaikannya secara santai.” Barangkali karena kelebihan ini Nia Dinata mau mengajaknya bekerjasama. “Secara professional, Jay adalah teman yang enak untuk diajak kerjasama. Dia menguasai teknik diimbangi pengetahuan artistic yang tinggi. Memang dia tidak bisa menulis atau melukiskan ekspresinya ke dalam skrip, tapi saya biasa yang melakukannya, dan semuanya bisa berjalan baik,”ungkap Nia yang menjadi produser untuk film teranyar Jay itu.
Dalam menangani pekerjaan, Jay dikenal sangat hands on. Sulit baginya untuk memberikan kepercayaan pada orang lain. “Kecuali dia adalah orang yang best of the best, Ini penting, karena saya perlu masukan,”tandasnya. Ia memang enggan memberikan kepercayaan kepada orang kelas dua atau tiga saat bekerja. Alasannya, mereka dianggap terlalu takut untuk memberi masukan. “Aku tahu pikiran mereka. Karena itu aku perlu orang yang egonya tinggi.”
Jangan-jangan kamu belum pernah jadi orang kedua atau ketiga? Jay tergelak. “Pernah sih, tapi memang saat itu aku juga terlalu mendominasi. Aku bilang ke director-nya. Kamu salah, yang bener gini. Ha ha ha.. tapi aku memang bener kok,” ia tertawa mengingatnya. Rasa percaya diri itu sangat terasakan. “Tapi mungkin ini memang sifatku. Dari kecil, aku maunya menang sendiri. Waktu kuliah juga begitu.”Aku susah kalo disuruh-suruh orang. Aku mau disuruh kalau tahu sebabnya kenapa. Aku nggak mau disuruh kalau nggak ada sebabnya.”
Uniknya, ia terbuka terhadap kritik. Ia malah mengharapkan ada pandangan subyektif dari frame yang lain, bahkan dari pandangan paling naif sekalipun. “Semua pandangan ada benarnya. Karena aku tidak bergerak pada seni murni, melainkan komunikasi, ada apresiasi penonton disana.” Ia menikmati kesukaannya.
Begitulah. Komunikasi adalah salah satu jalur penyambung yang tak terpisahkan dari keluarga Jay. Kakek dari pihak bapaknya, Prof. Husein Djajadiningrat adalah ahli bahasa Aceh, sementara istrinya, Partini Djajadiningrat, adalah seorang pengarang sastra yang sangat dikenal karena karyanya, Ande- Ande Lumut. Dia juga cucu salah satu raja di Keraton Surakarta: Mangkunegoro VII yang ahli membuat tari-tarian klasik. “Kakekku sering mengajakku nonton dan menceritakan wayang,” ia mengenang ayah dari ibunya. “Wayang itu kan seperti video klip atau film di masa lalu, disana ada lighting, sutradara, tokoh..,”tukasnya.”Jadi aku memang diwariskan bakat leluhurku.” Pesannya: mereka selalu menggunakan medium komunikasi terdepan pada masanya.
Di rumah, putra bungsu Kol. Husein Hidayat Djayaningrat –anggota kopassus yang pernah menjadi atase militer di Kuala Lumpur– dan Damayanti Singgih, seorang pengacara, juga dibiasakan untuk mengerti silsilah keluarganya. “Papa tuh suka ngasih tahu dan mengingatkan aku soal silsilah. Suruh ngapal-ngapalin, he hehe, tapi tetap saja tak hapal.” Makna silsilah ini sendiri-seperti dituturkan Jay-agar dia memahami jati dirinya. “Supaya kita tahu siapa, dan darimana datangnya, dan aku harus menghormatinya. Kasarnya, jangan sampai aku membuat malu keluargaku,”
Demi silsilah itu, tak jarang Jay berkunjung ke Banten, asal dari salah satu eyang dari pihak ayahnya. Ia juga “nyekar” ke makam Mangkunegoro di Solo, keluarga dari ibunya. “Saat itu, aku sampai mimpi-mimpi pengen banget ke Nengadeg (makam keluarga Mangkunegoro). Haha ha mungkin banyak orang yang nggak nyangka aku begitu ya,” tukasnya tertawa. Sebagai catatan, ia adalah pemilik nama asli Raden Mas Asnain Partono Purboyo Djajadiningrat. Artinya anak kedua lelaki yang diharapkan bisa seperti Arjuna dan Gatotkaca. “Karena aku anak terkecil dari seluruh keluarga besar bokap maupun nyokap, mereka memanggilku Dimas,” ungkap pemilik nama KTP RM. APP Djayadiningrat.
Meskipun dia menyandang garis keturunan ningrat, tetapi penampilan boleh dibilang sangat nge-rock. Kaus hitam, jeans hitam dan berambut panjang. Kesannya sangar. “Padahal nggak ada satupun keluargaku yang ngawur kayak aku ini. Udah gitu aku nggak lulus kuliah pula. Nggak ada sejarahnya di keluargaku. Ini prahara,” ungkap pria yang pernah mengenyam pendidikan di jurusan Desain Grafis Universitas Trisakti hingga tahun ke dua. “IP-ku nol koma sekian. Kerjaanku ribut terus sama dosen. Akhirnya aku memilih keluar.’ Nada suaranya yang ringan sepanjang wawancara, lantas terasakan suram. Tak nyaman.
Keputusan ini memang memukul keluarga besarnya. “Sampai gue dibilangin, lu mau ngasih makan anakmu apa kalau nggak sekolah. Saya merasa dihina sekali waktu itu…,” ia mengenang kejadian di akhir 94. Awalnya ia menganggap bahwa cacian itu membuatnya bertahan. Tapi ternyata menggerogoti hatinya. Ketika ia mempersembahkan piala demi piala dan penghargaan dari Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, keluarganya tetap tak bergeming, “Saya tetap dicuekin. Baru tahun 2003 mereka bisa menerima saya lagi,” ia mengenangkan. “Sedih sih.. Ternyata saya nggak bisa membuat mereka bahagia, nggak bisa membuat mereka bangga dengan cara saya.”
Adakah keinginan untuk sekolah lagi? “Sempat sih. Saya kan juga pengen punya titel. Tapi bukan untuk menyenangkan ortu lagi alasannya. Saya pengen sekolah skrip, karena saya tidak menguasai bidang ini.” Dari persoalan yang dirasakan, ia pun menyimpulkan,” Saya cuma bilang ada orang yang harus dengan sekolah, ada juga ada yang tidak dengan sekolah,seperti saya. Apalagi saya ‘kan orangnya ngeyelan, jadinya saya lebih bisa belajar sendiri,” ujar peraih 18 penghargaan sebagai Best Art Director, Director, Best Video Klip di Indonesia. Jelas ini sebuah pencapaian yang langka.
Jay melakukan kerja keras untuk meraih semua itu untuk bersaing dalam dunia hiburan yang sangat ketat. Namun soal ini, ia punya pendapat lain. “Aku ini sudah diramalkan oleh mamaku, dia menguasai tarot. Katanya, di sepanjang hidupku aku terus-terusan harus bekerja keras untuk mendapat sesuatu,” ia lalu mencontohkan bagaimana ia sering mengalami hal-hal yang lebih sulit dibanding orang lain. “Saat mencari gunting di tempatnya, gunting itu pasti tak ada disana. Saya harus mencarinya di tempat lain. Demikian juga pada masa syuting, ada saja hal-hal yang terjadi,”katanya. “Untung shioku kerbau, ini tipe pekerja keras. Jadi kloplah. Mungkin ini sudah takdirku.”
Selain percaya ramalan, dia juga setia memelihara kepercayaan tradisional yang diwariskan secara turun temurun di keluarganya. Setiap malam Jumat Kliwon -weton kelahirannya-Anda akan menemukan “sesajian” di kamarnya yang berupa tumpeng kecil. “Ada bunga, cabai, kluwak, air mawar, untuk diberikan kepada “sedulur tuwo (saudara tua).”, ungkap pemuda urban yang bergaya sedikit urakan itu. Karena lahir pada hari tersebut, dia pantang melakukan berbagai hal yang sifatnya pertama kali di hari Selasa. “Meeting brief, transfer dana, premiere film, itu tak pernah dilakukan di hari Selasa. Dulu, aku malah anti syuting di hari itu ,” ujarnya.
“Jangan-jangan aku belum kawin-kawin karena belum diruwat ya…,” ia seolah mengingatkan status lajangnya. Mantan pacar Sophia Latjuba dan Shanty ini lalu menjelaskan selera wanita yang diinginkannya,” Aku suka yang berkulit sawo matang atau sawo gosong, lebih enak dilihat. Eksotis. Wajah klasik dan berambut panjang. Ada juga sih pacarku yang putih, tapi dia cekepppp banget. Ha ha ha.” Selain itu, ia juga mengidamkan wanita dengan sex appeal yang tinggi-katanya sulit untuk dijelaskan, tapi dirasakan-punya prinsip, nyaman dengan dirinya sendiri, dan tidak terlalu suka pergi ke mal. “Tapi soal cewek, semua terjadi kebeneran loh. Aku nggak pernah sama sekali pacaran dengan orang yang aku sengaja pingin kenalan,” katanya,”Aku kalau soal wanita memang…memang agak… nggak PD.”
Nia Dinata, wanita yang dipanggil Mak oleh Jay, mengomentari. “Dia itu kepengen dapat cewek yang smart, easy going, outspoken, comfortable with herself. Tapi biasanya, cewek-cewek tipe ini dia ‘kan memiliki pergaulan yang luas dan sibuk. Sementara dia itu masih berpikiran “tradisional”. Kalau menurut aku, Jay itu antara penampilan dan gaya hidupnya 180% berseberangan!” Secara personal, Nia menganggap Jay orangnya “gila”, tapi di sisi lain senang menyendiri, tidak suka hura-hura, tidak suka clubbing, tidak suka glamour. “Dia lebih enjoy kalau ngopi bersama kru setelah syuting, atau berkumpul dengan sahabat yang menganggap dia apa adanya,”ungkap Nia.
Dia juga tipe pria rumahan. “Kamarku tuh kayak perpustakaan. Buku apa saja aku suka, kecuali novel. Kebanyakan buku referensi. Ada interior, desain grafis, foto, sejarah, buku tentang bali, buku tentang budaya seluruh Indonesia aku ada. Buku tentang candi, wayang, sejarah Kuntjoroningrat aku suka,” tukasnya tanpa maksud menyombongkan diri.
Bukan apa-apa. Dari buku-bukunya itu, ia tengah mengumpulkan energi dan pengetahuannya tentang sejarah dan tradisi di Indonesia. “Aku ingin membuat buku tentang Indonesia, yang sangat local dan membumi, dari frame yang lain,” penggemar fotografi dan traveling menuju pulau-pulau di Indonesia membuka rahasia. Saat ini, dia tengah berusaha mewujudkan ambisinya untuk membuat film kolosal lokal, yang dibayangkannya bakal seperti film Hero atau Last Samurai. “Aku pengen bikin film ini jadi national branding untuk Indonesia,”ia berharap. Kali ini, dia memang benar-benar meneruskan tradisi literer keluarganya dengan pendekatan kontemporer. Dan lagi-lagi, ia harus bekerja ekstra keras untuk meraihnya, demi meneruskan prestasi silsilah keluarganya. (Rustika Herlambang)
Pengarah Gaya: Ai Syarif
Fotografer: Ferry Zulfizer
Lokasi: Velocity Studio, Jl. Gudang Peluru Jakarta.
* foto yang terpasang di sini, adalah foto Jay ketika dia berpose menggunakan jas. Stylist: Karin Wijaya
dari Dimas Djay..
Kabar baik.. Sekarang lagi bikin-bikin iklan, nyangkul, buat renovasi rumah. Kalau ada yang mau email boleh disampaikan ke dimasdjayadiningrat@yahoo.com.. terima kasih..
buat Wana, ini jawabannya yaa
gila..gw juga lagi TA (Tugas akhir) dan kemaren gagal..ni siDimas Jay inspirator gw bgt..mang blajar sendiri lebih afdol dan ngena..gw juga ribut mulu ma dosen gw..makannya gw ga lulus TA kemaren..haah.tapi gw harus yajkin kedepan kesuksesan gw bisa kaya Dimas Jay..walaupun gw di bidang animasi…semangat2..
Kang Dimas Kok ga pernah ada di email aku sih
salam kenal mas dimas,,,!saya adi,,cucunya eyang kikok.saya tinggal di pandeglang.kalo sempet baca tolong balas ke denkikok@yahoo.com
wah keren. orang kyk Dimas Jay memang mempunyai karakter yg kuat. Hampir aku samakan dgn Jay Subiyakto
send my regards to him…
nice 2 read a story about u..strong personality..im waiting 4 the next project..dont sleep mas dimas.wake up n play with ur imajination n creativity..let us see ur art..c u
Aku juga sering kehilangan sebelah sepatuku atw sendalku. Aku slalu mencari d tempat yng barang-barang itu ga ada disana