Tafsir Portrait
Indra LeonardiKarya dan pribadinya begitu sejiwa. Karena itu, imajinasi menjadi sangat penting saat menerobos semesta Indra yang sesungguhnya.
Indra Leonardi hampir saja beranjak pulang ketika ia melihat Joseph Estrada dengan pakaian kebesarannya turun dari tangga. Seluruh perlengkapan fotografi yang sudah dimasukkan dalam tas-tas dengan rapi -karena awalnya dibatalkan– dengan sigap dibongkar, dan dibentuknya lagi sebuah studio mini. Semua serba kilat. Sekilat ia kembali membangunkan imajinasi, mood dan juga energinya yang sudah hampir habis karena menunggu, menunggu dan akhirnya memotret istri Estrada yang sesungguhnya tak ada di jadwalnya.
Foto yang dibuat secara cepat itu menjadi foto kenegaraan yang dipasang di istana Malacanang di kemudian hari. Seselip rasa kebanggaan muncul meski hanya sekejap dirasa. Beberapa tahun kemudian, berbarengan dengan kudeta berdarah yang terjadi disana, foto yang menjadi lambang supremasi kekuasaan itu diinjak-injak dan dibakar massa secara kejam. “Sedih juga. Di tivi aku melihat orang-orang kalap merusaknya..,”Indra mengenangkan sepenggal kisah dalam hidupnya sebagai seorang fotografer potret.
Di ruang tunggu kantornya, foto itu diletakkan dalam bingkai yang apik, berdekatan dengan foto Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Amerika Serikat George Bush Sr, serta Presiden Pilippina kini, Gloria Macapagal-Arroyo di sisi jauh. Semua adalah buah karya Indra saat ia masih bergabung dengan sebuah agensi fotografi Amerika dan Eropa. Bukan kebetulan bila Indra memiliki klien tokoh-tokoh dunia. Prestasi fotografi Indra boleh dibilang cukup membanggakan. Lulusan Brookes Institute of Photography, California, AS ini banyak meraih penghargaan fotografi bergengsi di Amerika, khususnya kategori foto perkawinan dan potret.
Di Indonesia sendiri, nama Indra Leonardi mulai mewangi tepat setahun lalu ketika ia meluncurkan karyanya: Indonesian Portrait. Buku itu berisi 108 potret manusia elit Indonesia kontemporer terlengkap yang pernah dilakukan dalam satu dekade terakhir. Seperti ditulis Alex Supartono, pengamat dan pengajar fotografi FFTV IKJ, kekuatan karya Indra terletak pada kemampuannya menarik kita masuk ke dalam perkara yang lebih luas. Di sana, Anda harus menafsirkan sendiri ada apa di balik foto Becky Tumewu dengan mulut tersilang plester atau gambar tangan terkepal saat membidik Rudi Hartono.
“Saya tidak mau karya saya hanya sekadar keren-kerenan. Fotografi itu harus ada soulnya..karena fotografi itu general stylist personal,” tukasnya. Bagi Indra, sentuhan personal seorang fotografer sangat diperlukan sehingga foto tidak sekadar gambar tak bermakna, tetapi sebuah karya yang artistik. “Saya mencoba memasukkan emosi di dalam karya-karya saya. Apakah itu berhasil, orang lain yang melihatnya.” Sebagai catatan, untuk menyempurnakan buku Indonesian Portrait, Indra memotret lebih dari 300 tokoh dan dilakukan selama 15 tahun. Ia memang sedikit perfeksionis soal karya. Dia menyebutnya, detail.
Pendekatan seni dalam fotografinya memang satu hal yang mendasar. “Menurut saya, fotografi itu harus memiliki nilai yang sama seperti halnya dengan sebuah karya seni,” kata Indra yang merasakan dirinya separuh seniman. Di rumah yang disebutnya mirip seperti galeri seni kontemporer, ia memajang berbagai karya seni kontemporer. Di antaranya terdapat karya Agus Suwage dan Heri Dono yang disukainya. Tak ada satupun -atau tepatnya belum ada– karya fotografi terpampang disana. “Karena saya hanya mau memasang karya seni, bukan karya fotografi. Bilapun kelak foto itu ada, foto itu pasti memiliki nilai seni yang tinggi.”
Kedekatannya dalam dunia fotografi sendiri sudah berlangsung sejak ia lahir. Ayahnya, Gunawan Leonardi, seorang fotografer ulet. Kesuksesannya sebagai fotografer di Medan tidak membuatnya berada dalam zona kenyamanan. Dia justru menuju Jakarta, di usia 45 tahun, membuka studio foto King Foto. “Saya melihat ayah adalah tipe pekerja keras, yang habis-habisan menyekolahkan anaknya di luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik,” tukas Indra, bungsu dari 3 bersaudara.
Padahal, dulu dia tak begitu berminat menjadi fotografer. Hingga lulus SMA, ia masih bercita-cita menjadi seorang pembalap, karena dia hobi balap dengan menggunakan mobil ayahnya. Tapi apa daya, selulus SMA, ayahnya mengirimnya ke Singapura, magang pada fotografer Dentsu, Watanabe. Kelak kesukaannya di dunia balap ini memengaruhi pola berpikirnya dalam bekerja: berpikir cepat dan strategis.
Pertemuan cintanya pada dunia fotografi baru berlangsung setelah 3 tahun dia sekolah di Amrik, tepatnya ketika ia berlajar serius tentang potret. “Memotret orang itu menarik. Sebab manusia adalah makluk yang hidup, punya jiwa, yang bisa berubah dalam detik. Saya merasa tertantang untuk mengambil “jiwa”-nya,” tukas Indra yang pernah mendapatkan gelar Master of Photography dari Professional Photographer of Amerika. Jiwa ini diambil melalui interpretasi dirinya atas karakter orang yang akan difotonya. “Persis seperti wartawan. Saya harus wawancara, lihat gesturenya, liat sikapnya, menafsirkan karakternya, lalu diekspresikan melalui mata kamera.”
Untuk mendapatkan hasil terbaik, ia mendudukkan dirinya sejajar dengan obyeknya. Ini artinya dia harus menundukkan kekhawatiran dan kegelisahan saat bertemu dengan orang-orang baru, termasuk juga tokoh-tokoh dunia. “Nervous, pasti. Tapi saya percaya, orang yang mau difoto pun nervous juga, karena tak tahu dia mau diapakan. Saya harus menenangkan diri. Yang penting, saya harus menyamakan frekuensi dengan dia, bahwa antara saya dan orang yang saya foto harus sejajar,”tukas Indra yang merasa mudah bete bila klien terlambat datang karena membuatnya kian nervous saja.
Tapi memotret adalah kesenangannya. Di sana dia bisa mendapatkan energi yang memperkaya kehidupan batiniahnya. “Saat klik berbunyi, itu berarti saya tengah mengambil ruh mereka. Dan momen ini akan terus tercatat dalam kehidupan kita, dan juga buat kehidupan dia. Secara sadar, saya ikut membantu menorehkan sejarah dalam kehidupan dia. Sebuah momen di sebuah waktu di masa lalu,” katanya.
Meski demikian, Indra mengakui bahwa hasil karyanya merupakan “kolaborasi” dua sisi. “Ada saya dan ada dia (obyeknya), yang masing-masing tak bisa dipisahkan keberadaannya,”ia melanjutkan. Dan saat inilah yang menyenangkan buat Indra, dimana terdapat seni tawar menawar antara ego fotografer yang selalu ingin memasukkan karakter dirinya di dalam karyanya dengan keinginan obyeknya.
Bila berkaca dari pendapat novelis Oscar Wilde bahwa setiap karya potret yang telah diwarnai dengan perasaan fotografer adalah potret fotografer itu sendiri, bukan obyek yang difoto, apakah pernyataan ini berlaku pada Indra? Lily Marita Sajoto, sahabat, teman sekantor, serta istri yang telah dinikahi Indra sejak 13 tahun lalu ini membenarkan. “Indra selalu melihat dunia dari sisi yang lain. Dia unik. Mudah sekali beradaptasi dengan orang, dan sangat memperhatikan orang lain,”puji Lily. Di rumah, bapak dari Christie (11) dan Peter (7) ini juga dikenal sebagai pekerja keras dan memiliki perhatian yang besar terhadap keluarga.
Kata Indra, dia tak mudah tergoda wanita. “Soalnya wanita yang kufoto cantik-cantik semua. Haha ha, “ia tertawa, menggoda. “Kalau untuk pribadi, saya melihat wanita dalam sebuah paket, dari gaya bicara, berpakaian, dan keseluruhan inner beauty. Saya tidak pernah melihat dia sebagai sebuah produk yang harus saya rekayasa.” Karena itu, perkenalan dengan Lily bukanlah berasal dari mata kameranya. “Saya bertemu dia di drop off hotel Grand Hyatt, dikenalkan teman. Entah kenapa semakin saya mengenalnya, perasaan itu tumbuh bersamaan. Saya suka wanita mandiri. Tak suka wanita cengeng.”
Inspirasi cinta yang selalu membayangi spesialis foto pernikahan yang sangat romantis ini ternyata tidak berlaku saat ia berbicara tentang cinta. “Ini ironis ya,” katanya sambil tertawa. “Saya nggak bisa jawab pertanyaan tentang apa itu cinta. Kayaknya cinta itu lebih ke action saja daripada kata-kata. Kata-kata, saya tak bisa menjawab. Atau sesuatu yang sangat simpel dengan jawaban saya?”
Dia tampaknya lebih suka bersikap realis daripada berandai-andai. Seperti yang disampaikan dalam pameran fotografi, Soulmate. “Dalam perkawinan, yang terpenting bukanlah indahnya masa menjelang pernikahan, mewahnya sebuah pesta, melainkan kehidupan nyata yang terjadi semasa ikatan perkawinan. Long lasting dan relationship,” sebagai fotografer yang menganggap fotografi sebagai medium penyampai pesan-seperti dikatakannya sendiri– tentu Indra sadar dengan apa yang telah dibuatnya. Karena itu, untuk memahami dia, pahamilah karya dan interpretasikan pesan di dalamnya. Di sana Anda akan menemukan pesonanya. (Rustika Herlambang)
Lokasi: Kediaman Indra Leonardi
Stylist: Quartini Sari
Fotografer: Hermawan
Indra Leonardi
September 12, 2008 by rustika herlambang
Leave a Reply