Kelomang Cinta
Bicaralah tentang karya, karena dia bisa. Tapi jangan bicara cinta padanya. Karena katanya, berbahaya!
Rudi Mantofani adalah nama yang terus menanjak dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Setelah 9 karyanya secara bersamaan terlelang di Christie’s Hongkong beberapa waktu lalu, popularitasnya meledak cepat, memenuhi pembicaraan di setiap sudut ruang pameran hingga perbincangan tak formal di kedai kopi multinasional. Kini, banyak kolektor, ruang pamer hingga balai lelang bergengsi macam Southesby, Singapura dan Christie’s Hongkong terus memburu karyanya. Berita terakhir, lukisan teranyarnya, Dunia Jatuh ke Bumi, terlelang hingga melewati angka 800 juta rupiah. Sebuah nilai yang fantastis!
Pendekatan Rudi dalam karyanya sejak awal memang sudah mencuri perhatian. Di atas kanvas, ia membalik-balikkan logika berpikir. Karya Pohon Apel misalnya. Ia menghantarkan hamparan padang rumput yang bergelombang dengan apel yang dipasang terbalik, dengan tangkai yang berada di bawah. Sederhana, memikat, tapi meninggalkan kesan yang dalam. Begitu juga dengan goresan warna-warnanya yang cerah membuat banyak orang menyukainya. “Karyanya orisinil. Rasional dan tidak ke bawah sadar. Dia mengembangkan konsep lansekap dan still life dengan semangat baru,” Kurator Enin Supriyanto memberikan komentar.
Bakat seni ini sebenarnya sudah terlihat sejak Rudi duduk di semester satu Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jurusan Patung. Kolektor senior Oie Hong Djien meyakini hal itu ketika melihat karya Rudi di sebuah pameran.“Saya ditertawakan teman-teman waktu beli lukisannya. Tapi saya melihat ada sesuatu di balik karya itu. Lukisannya bagus, artistik, memiliki rasa estetika yang tinggi,”Hong Djien menceritakan lukisan berupa latar putih dengan paku-paku yang berkarat. Jelas ini bukan standar estetika normal di masa awal 90-an. Keyakinan Hong Djin benar. “Ternyata dia sangat kreatif. Kerjaannya tuntas, tidak pernah mengulang-ulang. Jadi lukisannya tidak jadi rutin,”selain memiliki beberapa lukisan, Hong Djien juga punya lampu gantung, patung, meja makan karya Rudi. “Dia sudah jadi selebritis sekarang.”
Secara personal, Rudi juga dikenal sebagai pribadi menyenangkan oleh teman dan juga klien-kliennya. Dia sangat menjaga perasaan orang yang diajaknya bicara. “Dia bahkan memilih kalimat-kalimat yang tepat, supaya tidak melukai orang lain. Mungkin dia berpikir 7 kali sebelum bicara, terutama dengan wartawan, karena dia tidak ingin orang salah persepsi,” komentar Jumaldi Alfi, sahabat dekatnya dari kelompok Jendela. Dalam beberapa pertemuan seni rupa yang dihadiri dewi, Rudi tampak melarut dan menikmati setiap suasana dengan riang.
Keluwesan ini barangkali hanyalah kulit luar. Di balik senyum yang mengembang ada kesakitan dan kerja keras untuk meraih seluruh keberhasilan ini. Kematangannya dalam berkarya bukanlah hal yang instan. Ia telah memulainya sejak 17 tahun lalu. Dari Minang, ia merantau ke Yogyakarta untuk mengambil pendidikan seni rupa, demi menjawab keinginan masa kecilnya,“aku ingin bisa gambar.” Dia masih mengingat bagaimana ekspresi kedua orang tuanya saat ia memilih profesi sebagai seorang pekerja seni. “Mereka mengijinkan, tapi tidak merekomendasikan. Rudi masih ingat bagaimana mereka mengernyitkan mata saat Rudi meminta ijin,” tukas Rudi yang selalu menyebutkan namanya sebagai pengganti kata saya atau aku saat berbincang itu.
Meskipun menempuh jalan yang tidak mudah sebagai seorang pekerja seni, Rudi terus melaju. Kritik dan sinis dari berbagai pihak diterima dengan ikhlas. Ia terus konsisten untuk menemukan hal-hal baru di dalam kanvasnya. “Buat saya, ini sangat menyenangkan, dimana saya bisa mendapatkan sarana untuk serius menyukai pilihan kita,”katanya. “Hidup serasa sempurna karena bisa bergantung dari profesi yang sangat kita senangi.”Optimisme dan kebaruan karya yang inilah yang membuat karyanya senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya. “Menurut saya semua kualitas untuk menjadi seniman besar ada di dia.Dia selalu untuk mencari sesuatu yang baru, tidak stagnan,”puji Hong Djien.
Kesuksesan ini juga seolah menjadi buah dari kesabarannya. Seperti matahari yang memberikan sinar padanya setelah selama setahun mengalami “masa kelam”. Ia pernah menderita sakit punggung parah yang mengganggu konsetrasi dalam berkarya. Walhasil, selama tahun 2005-2006, ia hanya sanggup menghasilkan satu karya. Itupun penuh perjuangan. “Lima belas menit di kanvas, sesudahnya istirahat. Sakit sekali,” ungkap Rudi yang hingga kini belum menemukan tabib atau dokter yang tepat untuk mengobati sakitnya. Seperti biasa, kalau ide datang, dia merasakan pusing kepayang. Dan ini menjadi sangat menyakitkan ketika dia tidak bisa menuangkannya secara cepat karena kondisi fisik tidak prima. “Beberapa klien saya bahkan ingin mengirimkan saya ke China untuk berobat,” tukasnya..
“Padahal permintaan karya saya sedang naik saat itu,” katanya. Tapi memang ia bukanlah tipe seniman yang lantas mengejar setoran saat harganya sedang merangkak naik. Karya terbaik tetap menjadi prioritas. “Bukan soal pelit berkarya. Tapi memang dia sangat perfeksionis. Sebelum puas, dia tak bakal mengeluarkan karyanya,”tanggap Alfi. Di kalangan kelompok Jendela sendiri, ia juga dikenal sebagai mr last minute. “Kalau ngumpulin karya, pasti dia datangnya paling akhir,” tambah Alfi. Bukan apa-apa. Hanya dia ingin memastikan bahwa karyanya benar-benar telah sempurna. Setidaknya dimatanya.
Masing-masing seniman punya gaya tersendiri dalam memperoleh inspirasi. Ada yang harus diikat kakinya dan diseret kuda untuk mendapatkan perih rasa yang ditimbulkan, ada yang butuh cinta untuk membantu mencairkan pikirannya, mungkin pula menunggu wangsit dari langit. Tidak demikian halnya dengan Rudi. Katanya, ide yang tertuang di kanvasnya adalah murni pemikiran yang normal dan rasional. “Saya melihat sekeliling, membaca, diskusi dengan teman. Lalu memberi ruang terbaru dalam pikiran dan menuangkannya dalam karya.”
Setiap karya adalah hasil pemikiran terbaru tentang kehidupan yang dilihat dan dialaminya setiap hari, akunya. Karena itu wajar saja bila ia senantiasa menyertakan benda-benda yang sangat dekat dengan keseharian kita. Benda-benda yang tampaknya sudah “remeh temeh” itu lantas diberikan ruh oleh Rudi sehingga menjadi satu hal yang sama sekali baru. Sebagai ilustrasi, lukisan Dunia Jatuh ke Bumi itu berupa lukisan globe yang jatuh di dalam hamparan padang rumput hijau yang berbukit. “Objek itu lahir dari sebuah persepsi yang membuat sesuatu persoalan yang lebih menarik.”
Apakah karya itu terpengaruh seniman besar lainnya, Rudi tampaknya tak peduli. “Lukisan bisa saja sama. Tapi ide di balik masing-masing orang pasti berbeda,”tegas Rudi. Ia lantas menjelaskan bagaimana buah apel ranum itu dipersepsikan oleh dirinya di dalam karyanya. “Mungkin ada juga seniman yang mengambil bentuk yang sama. Tapi persepsi terhadap benda itu pasti beda. Disini kita bicara bukan pada benar dan salah, melainkan emosional yang dimunculkan dari karya itu,”ia memberikan contoh karya tiga dimensi Gitaaaaar, yang berupa gitar dengan gagang yang lebih panjang.
Mungkin memang sedikit kontradiktif bila dibandingkan dengan karyanya yang sangat terang, bersih dan jelas dibaca. Ketika bicara cinta, atau juga wanita, pria Minang ini langsung mengkerut, seperti kelomang yang memasuki rumahnya dengan cepat. Lalu malu-malu untuk bicara. Raut wajahnya berubah. Mungkin dia tak terbiasa bicara perasaan terdalamnya. Ataukah dia ingin membalikkan wacana seorang seniman yang selama ini dalam pikiran kita: sangat sensitive dan terbuka terhadap perasaan dirinya?.
Dia terlihat tergagap-gagap menjawab, dan mencoba mengulang pernyataannya kembali. “Biasanya bicara karya. Ini kok bicara cinta. Rudi tak terbiasa,” ungkapnya. Polos. Pada akhirnya, ia harus berpikir keras, dan tak jarang ia mengkonfirmasi ulang pernyataannya pada waktu yang acapkali tak favorit. Sebagai catatan, beberapa kali pertemuan wawancara dan telepon dilakukan menjelang dini hari, suatu waktu dimana dia dipenuhi dengan energi.
“Aku nggak percaya dengan cinta. Karena cinta itu sempurna. Kalau ada masalah, cinta bisa hilang. Tapi tidak dengan kasih sayang. Nilai ini juga yang Rudi tawarkan dalam berkarya. Kasih sayang itu bisa dipelihara. Cinta itu emosi, jangka pendek saja. Itu berbahaya.” Begitu ia memaknai cinta. Dengan bahasa yang sedikit berbelit-belit. Karena itu, cinta tidak pernah menjadi magnetnya dalam berkarya.
Bila dia pandai menuangkan ekpresi seninya di dalam kanvas, tidak demikian halnya dengan wanita. “Aku biasa-biasa saja. Tidak berlebihan. Kayaknya sikap seperti memberi bunga atau puisi, lukisan kepada seseorang yang aku sukai terasa lucu aja. Yang penting, bagaimana aku cukup memperhatikan istri dan saling memberi masukan,” tukasnya. “Selama ini saya memang lebih menggunakan nalar daripada emosi yang menggebu-gebu. Melihat aja apa yang dia suka, lalu aku berikan fasilitas. Aku memang nggak tertarik dengan hal yang mellow.”
Sikap tidak romantis ini juga dibenarkan oleh, Khusnul Hidayah. Meskipun demikian, dia adalah tipe pria yang sangat setia dan berorientasi pada keluarga. “Dia sangat perhatian kepada anak dan istri di rumah. Dia juga tidak suka minum, keluyuran yang tidak perlu. Hidupnya antara rumah, studio, dan berkumpul dengan sahabat-sahabatnya,”ungkap ibu dari Aziz Ikko Wanaden (7). Pada saat “normal”, pria 34 tahun ini pasti akan memanjakan anak dan istri. Begitu janjinya.
Karena itu mudah dipahami mengapa saat ditanya soal tipe wanita yang disukai, dia menjawab dengan sangat tidak mudah. Lama dan berkeliling ke berbagai cerita hanya untuk mengatakan bahwa dia menyukai wanita yang cantik, berwajah oriental dan berambut lurus, sebagai penyempurna tubuhnya yang berkulit gelap dan berambut ikal. “Karena seni rupa adalah bagian saya, saya ingin wanita yang pintar,” ia lalu menyebutkan nama istrinya yang lulusan Teknik Kimia itu. Lalu dia mengajak lagi bicara tentang seni rupa. Tampak sekali betapa kegugupan itu terasakan dalam wajah polosnya. (Rustika Herlambang)
Fotografer: Ferry Zulfizer. Lokasi: Banana Kafe, Dharmawangsa Square.
Untuk Rudi, kalu masih sakit pinggang, telepon Poppy Dharsono, bisa kontak Gunawan Rahardja di Bogor, pentolannya bangau Putih.
jangan dibiarkan, ada syaraf yang tergencet sejak lahir dulu.
Terima kasih, Ih Toan… saya akan sampaikan ke Rudi Mantofani segera…
Jawaban dari Rudi:
terima kasih Ih Toan, saya senang sekali mendapat informasi ini. Kebetulan saya sudag berhari-hari didera sakit pinggang. Mungkin karena sekarang lagi banyak bikin karya 3 dimensi, persiapan pameran di Singapura bulan Februari ini.
Saya akan komunikasikan segera… Gimana menghubungi Bu Poppy yaa…
Memang saudari ini sesuai betul kalau menulis seluk beluk tentang kehidupan pelukis ! jooosssss
ass..pa kabar rud..iko zulfan..
Gk nyangka orng yg suka teriakin dan candain saya di gym selama 1 tahun ini adalah rudy mantofani si pelukis terkenal dan berbakat itu ahahahhaha, hampir tiap hari ketemu dan bercanda ketawa ketiwi hihihi