Cinta Merah
Christine Ay Tjoe
Merah itu luka. Merah itu darah. Tapi merah juga bisa berarti gairah. Kehidupan. Di atas kanvas, ia menyembuhkan seluruh luka dalam hidupnya
Dunia seni rupa Asia Tenggara mengenal benar karya-karya Christine Ay Tjoe (1973). Gaya estetiknya yang khas rupanya mencuri perhatian banyak galeri dan kolektor seni rupa kontemporer. Ia dikenal memiliki sensibilitas estetik yang diolah dari dari perasaan terdalamnya. Karena itu karyanya terasa sangat personal, orisinil, dan sama sekali tak dipengaruhi tren seni rupa terkini. Dia hanya percaya pada dirinya sendiri, sebab kanvas baginya adalah penyembuh luka-luka hidupnya.
Ay Tjoe lahir di Bandung, dari sebuah keluarga sederhana. Di sebuah pemukiman padat, ramai, dan cukup banyak konflik, ia tinggal bersama ketiga saudara kandung, orang tua, dan neneknya dalam sebuah hubungan yang tak hangat, bahkan cenderung dingin dan kaku. Kedua orang tuanya sangat sibuk di toko kelontong miliknya, sehingga Ay Tjoe kecil acapkali merasa tak mendapat perhatian secukupnya. “Kadang saya ingin dipeluk ibu seperti teman-teman lain..,”ia mengingat keinginan yang dipendamnya selama bertahun-tahun dan tak pernah disampaikannya itu.
“Tapi saya pernah tak bisa protes..,”tukas Ay Tjoe yang akhirnya tumbuh menjadi anak yang keras kepala, pendiam dan sangat tertutup. Ia lebih suka menyendiri, bermain-main boneka bikinannya dan membuat seolah-olah boneka itu hidup dan bernyawa. Ia terus berusaha untuk memendam dan meredam seluruh konflik yang terjadi pada dirinya, dan mencoba menerima hal itu sebagai nasib yang harus diterima. Namun, ia juga sangat sensitif. “Sejak kecil, saya paling tak tahan dilihatin orang. Saya sangat terganggu, siapapun orangnya,”ia berkisah seolah lupa bahwa wajah dan matanya yang eksotis itu sangat menarik.
Tapi apa kata Ay Tjoe? “Saya tak suka. Kulit ini, saya mati-matian ingin mengusir. Atau sebaliknya, saya ingin keluar dari kulit ini.” Emosinya membuncah. “Saya sangat marah. Mungkin ini yang membuat saya sekarang sangat tidak suka batas. Saya hampir terobsesi menembus semua “kotak”, batas, fisik sebagai batas kebebasan hidup, dan semua aturan yang diakui orang banyak,”ungkapnya. Mungkin ia tak menyadari bahwa kemarahan ini merupakan salah satu hal yang memicu kreativitasnya kelak.
Ketika dia tak selesai dengan dirinya sendiri, otomatis berbagai persoalan terus mendatangi seiring dengan perjalanan waktu. Di dalam kondisi tak punya contoh yang baik di lingkungannya tentang arti sebuah hubungan, apakah persahabatan atau cinta, ia harus menafsirkannya sendiri berdasarkan buku dan film yang dilihatnya. Dan ini ternyata tak semudah bayangannya. Sesuai karakternya yang penyendiri, ia pun menganggap bahwa sebuah hubungan yang sehat adalah sebuah hubungan yang tak saling menyentuh, tak saling mengganggu sama lain, tapi saling membuka diri. “Pendekatan secara fisik, menurutku sangat kasar,” katanya. Terdengar surealis memang, tapi ternyata, ia berhasil menemukannya setelah jatuh bangun: seorang pria Jerman yang ditemuinya di sebuah bangku di suatu tempat di Jerman dalam sebuah hubungan selama 3 hari tanpa bersentuhan dan pembicaraan.
Ajaibnya, setelah dia berhasil “menaklukkan” cinta surealis itu, dia merasa masalah hidupnya sudah selesai dan harus mencari format yang baru. Kali ini, cinta yang bisa didapatkan dengan cara belajar mencintai atau mencintai sampai habis. “Menurutku, ini adalah cara terbaik untuk meraih nilai cinta yang sesungguhnya.”
Tapi agaknya dia melupakan fakta bahwa pilihan itu memiliki konsekuensi rumit. Ia mengalaminya tahun 2000. “Ketika putus, saya down, dan pingin bunuh diri. Saya sudah niat mati hari itu. Waktu itu, saya kayak ada pengalaman, saya keluar dari badan. Tapi, kok sakit hatinya tak hilang, marahnya masih ada, padahal saya sudah hilang dari badan. Lalu saya pikir, buat apa saya memotong (nadi), merusak badan, mematikan detak jantung bila ternyata feeling itu masih ada? Saya seperti disadarkan ternyata fisik hanya fisik. Yang hidup itu justru yang di dalam.”
Ia terdiam. Terlihat bagaimana Ay Tjoe menghayati hal itu dengan gerakan tangan, ekspresi, rambut, dan gerakan tubuhnya dengan perasaan mendalam saat bercerita. Di sela deru air mengalir di tepian kolam kecil galeri itu, ia tampak seperti tengah memainkan sebuah seni pertunjukan yang perih. “Saya ingin kembali.. saat itu saya sudah lemah sekali, dan harus membangun diri lagi, untuk bisa hidup, dan bernafas…, yang ternyata dipancing oleh suara ibu dan adik saya..,”nafasnya memberat. Matanya menerawang jauh. “Keluargalah yang akhirnya menjadi alasan saya untuk kembali,”katanya. Kejadian itu bagai membuka hatinya yang selama ini tertutup untuk keluarganya. Cinta, pada akhirnya bukanlah sekadar aktivitas fisik, seperti pelukan, tapi koneksi dari hati ke hati.
Kenangan atas kedua orangtuanya lantas menggenang. “Papi suka patung, mami senang menggambar. Mami pernah bikin drawing Bob Dylan dan Marilyn Monroe bagus banget. Karena saya ingin bisa menggambar, saya simpan gambar itu,”wajahnya kembali bersinar. Kesukaan inilah yang lantas membawanya ke Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), walau sesungguhnya orang tuanya menginginkannya menjadi seorang sekretaris. (Kelak ia bekerja sebagai asisten desainer di rumah mode Biyan untuk menyenangkan keduanya, meski hanya sebentar, karena kecintaan pada seni tak bisa ditinggalkan.)
Di kampus inilah Ay Tjoe menemukan dirinya sendiri. Seorang senior yang namanya dirahasiakan berhasil menyentuh perasaan terdalamnya.“Dia bisa melihat bahwa ketika menggambar saya selalu mencampurkan warna apapun dengan warna hitam. Dia bilang nggak boleh. Bunga ya harus merah, jangan merahnya dicampur hitam. Setiap hari digembleng, dipancing emosinya, biar saya marah. Akhirnya saya seperti disadarkan, ternyata saya banyak nyimpen di dalam. Emosi tak pernah saya pakai. Saya menuntut banyak hal, tapi saya tak pernah bisa bilang, dan akhirnya tak pernah kesampaian.”
Di bawah bimbingan sang senior dia berhasil melepaskan sebagian rasa sakit yang sudah akut dalam dirinya. “Tanpa dia, mungkin saya nggak jadi apa-apa,”katanya merendah. Bakat alam, intesitas menggambar dan kepandaian mengolah perasaannya itu pada akhirnya membawanya pada masa depannya. Penghargaan 5 besar Phillip Morris Award tahun 2001 dan Scholarship in Stiftung Koenstlerdorf Schoeppingen, Jerman tahun 2004 adalah bagian dari kerja kerasnya. Kini, ia dikenal aktif berpameran baik di dalam, maupun di luar negeri seperti London, Amerika, Jerman, Jepang, Singapura, Korea, Perancis, China dan Hongkong.
Terlalu banyak luka, Ay Tjoe? “Setiap saya menghadapi kanvas kosong, dan kita bikin satu titik. Ini artinya saya sudah bikin masalah. Saya harus menyelesaikannya. Padahal setiap kanvas berbeda. Ini seperti saya. Rasanya ingin membereskan hal-hal yang tak beres,”katanya. Sayangnya, dia tak mudah mengatakan “beres” atas suatu hal. “Makanya ikut meditasi, supaya hidup tenang.”
Lalu ia tiba-tiba tertawa. “Saya ternyata masih liar, belum menemukan yang saya mau. Kalau saya bilang tak mau diganggu sama orang, tapi ternyata saya masuk ke dalam kehidupan seseorang dan berbuat sesuatu di situ. Inilah liarnya saya. Saya tak tahan melihat ada yang tak beres.” Persoalan ini, lagi-lagi, menyangkut soal cinta.
“Yang terakhir, ini indah banget. Dia bisa bikin saya “mikir”. Dia bisa diam, ini artinya dia bisa merasakan hidup. Dia juga sedang membangun sesuatu. Kondisi ini sangat saya sukai,”kata Ay Tjoe yang bisa berharap mendapatkan keturunan dari lelaki macam yang dibayangkan itu. “Tapi saya tak menuntut apakah harus menikah atau tidak. Saya hanya ingin ketemu orang yang membangun rasa saya. Saya pikir, ini akan membuat sebuah keterikatan yang terbangun. Bukan keterikatan karena surat.” Kedekatan secara dalam—bukan dalam artian fisik,katanya— pada cinta terakhir inilah yang banyak memengaruhi karya-karya Ay Tjoe yang akan dipamerkan di galeri Emitten, Surabaya Oktober ini.
Penjelajahan pada makna cinta ternyata begitu banyak berpengaruh pada diri dan karya si Cinta Merah (Ay=cinta, Tjoe=merah). Pertemuan yang menyenangkan maupun menyakitkan selalu tergurat di dalam kanvas-kanvasnya. “Saya tahu, ada yang tertinggal pada karya sebelum 2000 dan sekarang, yang tak pernah kembali lagi,”ungkapnya. Seperti halnya kecintaaan terhadap boneka –dulu dianggap pacarnya– yang kini berubah menjadi kebencian dan kemarahan luar biasa.
“Saya membencinya kini karena ternyata masa kecil saya penuh kenikmatan, nggak mikir apa-apa, hidup cuma untuk boneka. Sekarang saya mau tunjukkan pada diri saya bahwa boneka-boneka yang kini tak saya beri karakter itu cuman fisik, tak ada nilainya. Untuk mengingatkan saya bahwa boneka hanya kawat dan benang.” Begitulah Ay Tjoe. Ia terus lesapkan segala kemarahan di atas kanvasnya sebagai sebuah solusi untuk membereskan ketidakberesan. Dan iapun terus berharap agar hidupnya tenang, seperti yang dicita-citakan. (Rustika Herlambang.
Foto: Adnan. Stylist: Karin Wijaya. Busana: Biasa, Kemang. Rias Wajah dan rambut: Myra. Lokasi: Galeri One, Jl. Panjang, Jakarta
• cerita Ay Tjoe tentang neneknya.
“Dia seorang yatim piatu yang lantas diadopsi oleh sebuah keluarga yang telah memiliki banyak anak. Dia merasakan bagaimana kehadirannya di rumah itu tidak diterima secara penuh. Dia sangat banyak menyimpan perasaannya. Dia dijodohkan, padahal dia dia tahu siapa sesungguhnya lelaki yang dicintainya. Bila sudah menginginkan sesuatu, dia bisa mengejar habis-habisan. Kadang saya bertanya, mengapa ada orang seagresif itu. Tapi waktu saya melihat dia berdoa dengan sangat panjang di sebuah tempat yang tak diketahui orang, saya melihat nenek dengan sangat intim. Karena saya melihat banyak ketidakberesan, ada pandangan yang salah di keluarga, sehingga saya ikut terbawa. Sampai dia meninggal, saya tak sempat minta maaf, saya pernah sangat menyakitinya, tapi saya benar-benar takut untuk menemui dan meminta maaf padanya, hingga dia meninggal. Padahal, saya sudah membelikan samping (jarik) yang saya tahu, sangat diinginkannya.”
• Catatan sepanjang wawancara
Kami bertemu di Galeri One, Jl. Panjang, Jakarta Barat. Pertemuan kami diawali oleh sebuah email panjang. “Sebaiknya, diemail saja pertanyaannya,”tukasnya via sms. Berbagai jawaban via email itulah yang membuat percakapan sore itu bisa mengalir.
Saya mengenal Ay Tjoe, ketika majalah dewi mengadakan pemotretan Edisi Seni (Juni 2007) di kediaman Taufik Rahzen. Saat itu, dia tak banyak bicara. Ini yang membuat saya begitu merasa sedikit tertekan untuk mewawancarai profilnya. Dia sangat tertutup, ini yang saya rasakan saat itu. Begitu pula ketika ia datang di pameran tunggalnya Silent Supper di Galeri Ark, beberapa waktu lalu, ia tampak lebih asyik bermain-main kamera dengan seorang rekan prianya. Beberapa seniman dan pengamat seni yang saya wawancara tentang Ay Tjoe, tak banyak bicara. Mereka hanya bilang, “Dia sangat tertutup. Bahkan kami semua tak tahu dimana dia tinggal saat ini.” Satu hal yang aneh bin ajaib, di saat banyak seniman membuka pintu rumahnya, Ay Tjoe justru menutupnya rapat-rapat. Bibirnya seperti terjahit rapi.
Tapi saya merasa sangat beruntung sore itu. Ay Tjoe tampak riang. Mungkin karena dia merasa nyaman dengan Karin Wijaya, stylist dewi dan juga dengan Myra, sang make up artist yang begitu ceria saat mendandani wajahnya yang cantik. Dengan baju putih keluaran butik Biasa (mungkin karena pemiliknya juga seorang seniman, Susana Perini), dia tampak larut. “Saya suka warna putih,” katanya. Suasana galeri yang lengang, gemericik air, dan permainan cahaya matahari melewati kaca-kaca, membuat percakapan kami begitu membuai. (Thanks Ay Tjoe, kamu sudah membuat hidupku menjadi penuh warna. Kini aku jadi lebih memahami hidup dengan lebih baik. Terutama karena pengaruh deret emosi yang kamu tawarkan dalam hidupmu itu.)
Buat saya, Ay Tjoe memiliki kisah yang luar biasa. Dalam sepanjang karir sebagai seorang wartawan, baru sekali ini saya merasakan gejolak kehidupan yang hebat dalam diri Ay Tjoe. Kini, saya baru menyadari, betapa hebatnya Ay Tjoe, ketika dia terus berusaha menampakkan eksistensi dirinya. Sayang, terlalu banyak cerita yang terpaksa harus dirahasiakan karena berbagai hal. Padahal kisahmu jauuuh lebih luar biasa dibandingkan dengan Norwegian Wood-nya Haruki Murakami.
Saya jadi mengingat tokoh Naoko dalam novel Norwegian Wood itu. Dia sangat Ay Tjoe.. sayang, dia akhirnya harus memilih jalan hidupnya dengan tragis. Tapi Ay Tjoe bisa melewati semua itu. Ini yang membuat saya sangat tersentuh. Ah, andai saja dia mau membukukan kisah hidupnya…
[…] …artwork from my very favorite artist.. […]
tulisan ini mengingatkanku pada rata-rata kehidupan orang tionghoa di indonesia….
sebuah budaya dagang… yang akhirnya anaknya saja tidak terperhatikan….
dan saya sendiri terperangkap di dalamnya…..
karena di dunia seperti itu,
jarang kita pakai baby sister,
seperti halnya sepasang suami istri yang kerja kantoran di suatu metropol……
kisah komunikasi dengan neneknya,
juga merupakan kisah komunikasi jurang budaya
dan angkatan yang berbeda
dari lahirnya tionghoa atau mungkin hoakiau di indonesia
dai nenek ke cucu misalnya…..
ada kesenjangan yang jauh dari alam pikir dan suasana perjuangan……
ya memang begitulah….
kebanyakan dari kami,
tionghoa peranakan atau yang sudah generasi sekian,
merupakan hasil kultur masa lalu,
yang cenderung menutup diri,
mungkin juga karena stigma-stigma yang diberikan,
juga tekanan-tekanan dan ketakutan-ketakutan,
entah itu phobia politik
atau juga phobia dengan para preman lokal….
sangat dipahami suasana kebatinannya….
walau mungkin banyak berbeda dari berbagai sudut….
mungkin ceruk ini sangat kecil persamaannya….
ya
sudahlah……
semoga anakku besar nanti lebih menjadi pribadi yang cerah menatap indonesia……
*sekadar lintasan pikian saja….CMIIW*
Abak..
masukanmu memberikan makna yang luar biasa bagi kisah Ay Tjoe..
terima kasih
hi there,
saya mahasiswa Arsitektur UI yang mengambil mata kuliah fotografi. Saya sebetulnya sedang mencara contact info Ay Tjoe Christine untuk tugas akhir MK fotografi saya. Tapi membaca pernyataan bahwa beliau tertutup sepertinya akan menjadi penghalang ya? apakah mungkin saya memotret aktivitas beliau karena tugas akhir saya adalah seniman wanita? jika mungkin bolehkan saya meminta email addressnya? terima kasih banyak 😉
Hi Anastasya,
silakan email melalui saya, nanti akan saya sampaikan ke Ay Tjoe… – rustika.herlambang@feminagroup.com.
terima kasih,
salaam!
aku selalu menikmati setiap kata di tulisan-tulisanmu. tiba-tiba, seperti yang lain juga, aku ingin tulisan ini ada di blogku, agar aku selalu diingatkan tentang suatu hal. tapi tetap dengan jelas tertulis bahwa ini adalah karyamu, mba… 🙂
salam kenal,
http://menjadikosong.wordpress.com
tulisan ini indah sekali.
[…] “(..)Ketika putus, saya down, dan pingin bunuh diri. Saya sudah niat mati hari itu. Waktu itu, saya kayak ada pengalaman, saya keluar dari badan. Tapi, kok sakit hatinya tak hilang, marahnya masih ada, padahal saya sudah hilang dari badan. Lalu saya pikir, buat apa saya memotong (nadi), merusak badan, mematikan detak jantung bila ternyata feeling itu masih ada? Saya seperti disadarkan ternyata fisik hanya fisik. Yang hidup itu justru yang di dalam.” (https://rustikaherlambang.wordpress.com/2008/08/30/christine-ay-tjoe/) […]
Terbawa ke blog ini karena ketidaksengajaan.. terima kasih atas tulisan yang indah mengenai Christine Ay Tjoe.. Semoga mba Rustika kembali menulis di blog ini..