Pamijen dari Solo
Cinta dan benci hanyalah sebatas benang tipis….
Bila kini musik tradisi Indonesia dikenal di seluruh dunia, ini barangkali karena perjuangan seorang seniman dari Solo, Jawa Tengah, Rahayu Supanggah. Selain telah berpentas ke lebih dari 40 negara, memberikan kuliah gamelan di Amerika dan Inggris, sejak setahun lalu dia juga membawa pulang piala kebanggaan sebagai komposer terbaik dari Festival Film Asia Pasific, Festival Film Indonesia, dan Asia Film Award melalui film garapan Garin Nugroho: Opera Jawa.
Rahayu lahir di Klego, sebuah daerah miskin -bahkan sampai saat ini-di wilayah Boyolali, Jawa Tengah, tepat pada saat geger pendudukan Belanda kedua (1949). Saat itu, kedua orang tuanya tengah dalam pelarian menuju tempat pengungsian. Dia sendiri masih di dalam kandungan saat ibunya berlari-lari menyelamatkan diri dari serangan yang bertubi-tubi. Berkali-kali ibunya jatuh tergulung-gulung yang menyebabkan dia lahir dalam kondisi darurat. Atas dasar itulah dia dinamakan Panggah Rahayu, yang artinya tetap selamat.
Ayahnya seorang dalang wayang kulit yang sangat sosialis, sementara ibunya pemain gender (salah satu instrumen musik dalam gamelan). Semasa hidupnya, sang ayah mengasuh sekitar 30 orang di rumahnya. Mereka adalah para penabuh gamelan dan orang-orang dari berbagai wilayah di Indonesia yang ingin sekadar belajar mendalang ataupun gamelan. Meski anak tunggal – tampaknya karena trauma kelahirannya-Rahayu tidak pernah dimanjakan. Ia diperlakukan sama seperti anak asuh yang lain.
Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya sang ayah membiayai seluruh kehidupan keluarga besar itu hanya dengan mengandalkan pekerjaan utama sebagai dalang. Maka bisa segera dimaklumi bila ayahnya segera memasukkannya ke Konservatori Karawitan Indonesia, sebuah sekolah setingkat SMU yang berbiaya paling rendah karena mendapat subsidi dari pemerintah. Sedihnya, alasan yang diberikan buk-an untuk melanjutkan tradisi gamelan yang sudah beranak pinak dalam keluarga, melainkan kemiskinan yang menjerat. “Ayah menginginkan kelak saya menjadi pegawai negeri,”tukas Rahayu.
Pilihan ini jelas mematikan keinginannya menjadi seorang insinyur bangunan. Ia begitu patah semangat. Keliaran polah menjadi pelarian. “Setiap hari, saya dipanggil kepala sekolah karena ulah saya. Saking bandelnya, saya dianggap ikon anak kurang ajar waktu itu,”ucapnya mengenang masa-masa ketika ia sangat membenci gamelan.
Waktu itu tahun 1964. Guru dan murid-murid senior di sekolahnya kalang kabut mempersiapkan pertunjukan repertoar Kraton untuk pertama kalinya pada acara pembukaan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). Rahayu yang masih yunior hanya melihatnya dari jauh, sembari bertanya-tanya, mengapa mereka begitu sulit memainkannya. Padahal di matanya, repertoar itu begitu mudah. Maklum saja, dia dibesarkan dalam tradisi gamelan. Hingga suatu kali, ia diminta untuk menjadi pemain pengganti karena salah seorang pemain inti tidak bisa hadir. Siapa sangka ketidaksengajaan ini menjadi pintu pembuka masa depannya?
Saat pementasan berakhir, Rahayu yang akhirnya menjadi pemain inti, ditunjuk oleh Priyono, Menteri Kebudayaan yang meresmikan ASKI waktu itu. “Kamu harus ikut ke Jepang!,” ia mengenang sebuah momen terpenting dalam hidupnya. Kebenciannya selama ini pada gamelan tiba-tiba mencairkan kecintaan yang luar biasa. Bagaimana mungkin sesuatu yang baginya sangat sederhana itu justru menjadi daya pikat bagi orang lain. Pementasan di luar negeri jelas merupakan satu kemewahan tak terkirakan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah keluarganya, ia berkeliling dunia melakukan misi kebudayaaan. Iapun lantas meneruskan pendidikannya di ASKI dan University de Paris VII, Perancis.
Kini ia tak lagi hanya menguasai gamelan Jawa, Bali, Makasar, tapi juga memahami musik tradisional Jepang maupun Perancis. Persentuhannya dengan berbagai musisi dan musik tradisi itu kian memperluas wawasan berpikir dan bermusiknya. Hingga dia menyadari satu hal mendasar bahwa musik tradisi bukanlah sebuah harga mati. “Bila tradisi tetap statis, dia akan ditinggalkan masyarakatnya. Dari jalur itulah, saya punya keyakinan bahwa musik tradisi punya kekuatan yang luar biasa. Ibarat mutiara, dia belum digosok,” tukasnya.
Keunikan Rahayu barangkali karena sudut pandang yang dipilih, “Saya mengambil sudut pandang timur melihat ke timur. Bukan barat ke timur atau sebaliknya, karena saya pasti sudah ketinggalan ratusan tahun.” Keyakinan itu terbukti. Apa yang ditekuninya secara serius sejak 1967 kini menjadi buruan orang-orang terbaik di dunia. Ia menyebut nama sutradara besar Peter Brook, Ong Keng Sen, Warner Kaegi, Robert Wilson yang pernah berkolaborasi dengannya.
Apakah dengan ini dia lantas melanggar pakem saat melakukan sebuah terobosan? “Tergantung apa dan siapa yang menyentuhnya. Di dalam gamelan dikenal istilah pamijen, yakni sesuatu yang menyimpang, yang seje (berbeda), unik, tapi sebenarnya yang berkuasa dalam sebuah orkestrasi,”jelasnya. Bila pamijen dilakukan oleh orang yang memiliki tradisi musik kuat, tidak akan ada protes dari masyarakat pemiliknya. Dalam hal ini, tentu Rahayu sangat menguasainya. Tanpa bermaksud sombong, dia berkata,” Sejak tahun 65-70an, saya sudah dianggap seniman paling top di Jawa.”
Dan begitulah..ia terus berkembang dan berkarya, membuat pamijen-pamijen baru. Boleh dibilang ia tak pernah mengalami pasang surut kehidupan seperti dialami banyak seniman tradisi di Indonesia. Yang ada justru kewalahan menghadapi berbagai order dari berbagai negeri. Bukan soal materi yang membuat ia merasa tertantang, melainkan kolaborasi dengan orang-orang yang dikagumi. “Moga-moga, saya jadi pentas bareng dengan Cronos ya..,”ia menyebutkan kuartet terhebat dunia asal Yunani itu. Rahayu pulalah yang menjadi direktur musik pergelaran La Galigo.
Hingga kini, Rahayu masih rutin mengajar gamelan di Amerika dan Inggris, selain di paska sarjana STSI. Ia juga masih sering berkelana ke berbagai negara seperti Belanda, Perancis, Australia, apakah sebagai pembicara, pengajar gamelan, atau sebagai dosen tamu. Pergaulannya yang kosmopolit tidak sedikitpun memengaruhi gaya hidupnya. Ia menikmati kehidupannya dengan suasana pedesaan yang asri di pinggiran kota, tak jauh dari Bengawan Solo, merasakan serabi Solo yang rasanya enak sekali, sembari menciptakan repertoar musik.
“Dulu Sardono (W. Kusumo) pernah mengatakan pada saya, kalau mau sukses saya harus pindah ke Jakarta. Ketika itu TIM (Taman Ismail Marzuki) baru saja dibuka, tapi saya menolak. Kalau saya pindah, lalu Solo siapa yang jaga?,”ia mengenang, lalu tertawa. Sebenarnya alasan terbesarnya adalah rasa tak percaya diri yang menguasai. “Saya bukan orang yang gigih untuk bersaing. Bergaulpun bagi saya tidak mudah waktu itu.” Kini tentu masalah itu sudah tak ada lagi, apalagi Rahayu memiliki kemampuan bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Belanda secara aktif.
Bagi Rahayu, musik adalah sebuah perangkat budaya, bukan semata estetika. Ia adalah filosofi kehidupan. Seperti gamelan yang harus dimainkan secara kolektif. ” Untuk menjaga harmoninya, masing-masing pemain harus mendengarkan orang lain,”ia memberikan contoh. Kelak filosofi mendengarkan orang lain inilah yang menjadi salah satu kesuksesan Rahayu dalam melakukan kolaborasi dengan musisi lain.
“Saya belajar musik pada akhirnya adalah meresapi jiwanya bukan fisiknya,” tuturnya. Karena itu saat melakukan kolaborasi dengan musik lain, dia harus menemukan dua jiwa yang sama untuk disandingkan. “Tidak bisa dicampurkan begitu saja. Ini artinya ada pemerkosaan, ada yang terluka. Dalam kolaborasi harus disertai semangat saling menghargai.” Untuk mencapai kesamaan ini, tak jarang dia menghadirkan seorang profesor dari universitas Berkeley, Amerika Serikat. “Maka itu, prosesnya tidak bisa cepat. Bisa dua tahun hanya untuk satu pertunjukan kolaborasi hingga mendapatkan ruhnya.”
Hingga tahun depan, agendanya sudah dipenuhi oleh pertunjukan di berbagai negeri: Zurich, Malaysia, London, dan Paris. Kebanggaan mewarnai wajahnya. “Dari dulu, cita-cita saya hanya satu. Mengangkat seni tradisi kita ke level dunia,”tukasnya. “Tapi kenyataannya, saya bisa memetik hasil dari seni tradisi: satu hal yang selama ini tak pernah dianggap orang. Kini saya bisa keliling dunia. Punya banyak teman dimana-mana. Inilah satu-satunya kemewahan yang luar biasa bagi saya.” (Rustika Herlambang)
Stylist: Quartini Sari
Busana: Deden Siswanto
salam dan sembah sungkem buat pak panggah karena ia guru saya dan dosen saya yang sangat memberikan sebuah arti bagi kehidupan saya. ketika memberikan kuliah ataupun dalam pergaulan, terima kasih pak panggah!
Saya akan sampaikan Pak Dwi… Beliau sekarang masih berkeliling di berbagai negeri, untuk beropentas dan mengajar. Hebat ya… Kapan mrid-murid Pak Panggah mengikuti jejaknya?
Berikut jawaban dari Mas Panggah alias Rahayu Supanggah:
Terima kasih, salam kembali untuk teman-teman semua.
Saya sekarang sedang di London, pentas dengan Portico Quartet (salah satu quartet terbaik di dunia saat ini-red), dalam rangka London Jazz Festival.
Saya akan kembali ke Indonesia tanggal 22 November 2008
salam,
Rahayu Supanggah
saya kangen klenengan di Benawa, joglo cantik yang selalu manis. pak panggah, sensei no sensei. hormat saya
mbak Rusti, salam kenal.. 🙂
mbak,.. nyuwun sewu.. apakah saya bisa minta alamat lengkap rumah tinggal Bp Panggah .. beserta alamat e-mail klo ada..
Beberapa waktu lalu.. dalam diskusi budaya di Balai Soedjatmoko-Solo .. saya kebetulan duduk bersebalahan dengan beliau.. karena acara cukup padat tidak sempat ngobrol banyak …
saya ingin menghadiahi beliau beberapa buku karya saya ..
terima kasih sebelumnya,
pitoyo amrih
http://duniawayang.pitoyo.com
http://pitoyo.com