Percakapan di Atas Kanvas
I Nyoman Masriadi
Di balik kesederhanaan dan kediaman sikapnya, tersimpan sebuah kecerdasan langka seorang seniman
Rumah berpagar tinggi di tengah sawah pinggiran kota Yogyakarta itu seolah menandai kediaman I Nyoman Masriadi (1973). Di sanalah, ia kini tinggal bersama istrinya, Anna, dan dua anaknya, menikmati suasana yang nyaman dan damai. Sejuknya air kolam renang, pohon kamboja kuning berbunga rimbun, rerumputan hijau, serta Merajan (pura kecil) yang terdapat di halaman teras belakang, menghantarkan suasana Bali, asal pelukis kontemporer yang namanya kini tengah menjadi pembicaraan berbagai balai lelang internasional.
Seniman muda ini baru saja diprofilkan majalah Sotheby’s International Previeuw sebagai salah satu top master dan seniman kontemporer di dunia. Salah satu karyanya, Jago Kandang, masuk dalam rangking pertama Sotheby’s Top Ten Contemporary South East Asian Painting versi Asian Contemporary Art and Culture Magazine, 2008. Dalam dua tahun ini, harga karyanya terus menembus angka-angka baru. Karya terakhirnya, Sudah Biasa Ditelanjangi, terlelang dengan harga cukup fantastis di balai lelang Christie’s International Hongkong beberapa waktu lalu.
Pameran tunggal pertamanya baru akan diselenggarakan di Singapore Art Museum Agustus ini. ”Karena karyanya sudah tak ada (habis terjual), saya pinjam dari para kolektor,”aku Masriadi yang memang dikenal sangat konsisten dalam berkarya. Ia tak mudah kompromi soal standar, dan selalu berkembang dalam pemikiran, karena itu lukisannya boleh dibilang langka juga di pasaran.
Amir Sidharta, pengamat seni dan pemilik balai lelang Sidharta, mengatakan betapa pasar kini terus menanti karya-karya Masriadi yang dianggap mewakili semangat seni kontemporer melalui gayanya yang cerdas, jenaka dan figur-figurnya yang unik.
Lihat saja dalam Facial (2008). Ia menggambarkan pria setengah baya berkulit gelap yang mengenakan ikat kepala putih tengah meringis saat terapisnya yang seksi – hanya divisualkan melalui rok pendek yang memperlihatkan sebagian besar paha rampingnya di kepala sang Bapak– memencet jerawat hingga berdarah. Lalu, ia menempatkan balon cerita, seperti halnya pada komik, bertuliskan Oomnya terharu. Atau dalam Bingkisan (2006): bercerita tentang seorang wanita bertubuh tipis, hanya mengenakan busana dalam, tengah memeluk bingkisan yang besarnya sekitar empat atau lima kali lipat dari tubuhnya, dengan mata yang penuh pengharapan. Karyanya memang tak hanya berhenti hanya sampai di mata, mengundang respon secara kilat, membangkitkan imajinasi, namun juga menawarkan sebuah wacana.
Bila di atas kanvas karyanya begitu kaya wacana, bercerita—bahkan cenderung cerewet, tidak demikian halnya dengan sisi keseharian Masriadi. Para pemilik galeri dan pengamat seni yang pernah mengenalnya sepakat mengatakan bahwa ia memang sosok pendiam, tak banyak bicara, bahkan cenderung cuek. Istrinya, Anna, barangkali lebih tepat sebagai juru bicaranya. Tapi apakah benar demikian?
”Sebenarnya saya tak bermaksud tertutup, tapi memang harus nunggu panas dulu,” ucap Masriadi yang tampak riang dan penuh humor di malam itu. Memang untuk bisa berbincang akrab dengan Masriadi –seperti dikatakan Rudi Mantofani, rekan seprofesinya–lawan bicara harus satu gelombang dulu dengannya. Bila sudah demikian, ia memang terasa lebih terbuka. “Membangun kepercayaan dengan orang lain memang bukan hal yang gampang buat saya,”tukas Masriadi yang jarang berkumpul di berbagai pertemuan atau pameran seni yang ada. Dia lebih suka berada di rumah, berkarya dan main computer game .
Saat bicara game, ia memang tampak antusias. “Game itu menyenangkan. Ada tantangan yang harus kita selesaikan. Selesaikan dan kita menjadi yang terhebat,” ucap Masriadi yang banyak mendapatkan inspirasi latar (setting) dari permainan gamenya. “Sekarang aku lagi suka RF. Kalau sudah di depan computer, aku bisa tahan berjam-jam, bahkan lebih tahan dari lamanya kerja. Ha ha ha.. yang jelas, game itu ‘kan tempat melarikan diri.”
Soal lari-melarikan diri ini memang bukan yang pertama. “Saya senang hidup sendiri. Cita-cita saya dari kecil memang ingin nggak ikut orang tua, seperti tradisi Bali. Agak aneh memang cita-cita saya ini di waktu itu,”tukas Masriadi sambil menceritakan tentang kebiasaan di Bali bahwa anak lelaki yang sudah berkeluarga harus tetap tinggal di rumah yang sama dengan keluarga asalnya. Dia hanya tak bisa membayangkan bila ia yang bersaudara 5 orang masih tinggal di rumah yang sama seperti tradisi Bali. “Apalagi saya anak tengah. Paranoid juga. Ha ha ha..”
Dibesarkan dalam tradisi seni Bali yang khas, Masriadi boleh dibilang membelok dari gaya lukisan adat yang pernah membesarkannya sejak sepuluh tahun lalu. Meski sebenarnya, nuansa ke-Bali-an itu ternyata tak pernah hilang betul dari dirinya. Lihat saja bagaimana ia menggayakan rumahnya, membawa tradisi Bali, atau seperti bunga kamboja di dalam lukisannya. Namun, perbedaan gaya lukisan yang sangat menyolok ini sempat membuat Anna –yang saat itu tengah mengandung anak pertamanya dengan penuh kekhawatiran karena hidup mereka yang pas-pasan, tinggal di rumah kontrakan yang sempit—mempertanyakan, sekaligus mengkritik gaya lukisan suaminya yang dianggapnya tak pasaran itu. ”Kenapa kamu melukis orang gemuk-gemuk seperti itu, sementara orang lain membuat lukisan yang bagus-bagus?”
Dan seperti biasa, Masriadi tak pernah menjawab alasannya. Ia terus konsisten membuat karya-karya yang dipengaruhi oleh kontradiksi budaya dan ketidakkonsistenan yang diangkat dari persoalan sehari-hari. Yogyakarta dan situasi sekelilingnya—ingat bahasa plesetan dan gaya hidup yang nrimo, pasrah, apa adanya—menjadi istana imajinasi yang sempurna.
Ide lukisannya lahir dari berbagai masalah yang ditemuinya sehari-hari. “Harus ada masalah, baru aku kerja. Nggak ada urusan prosesi. Cuma duduk begini saja, aku sudah dapat ide,” ia menghembuskan rokok dengan nikmat, lalu menyeruput campuran vodka dan jus jeruk bikinan istrinya. “Dulu waktu saya kuliah, mungkin sedikit terpengaruh dengan gaya seniman-seniman besar dunia. Tapi terlalu banyak dijejali konsep malah jadi membelenggu kreativitas. Sampai akhirnya, saya tak mau terikat konsep lagi.”
Masriadi tak sempat menyelesaikan kuliahnya di Institut Seni Indonesia (ISI). “Saya tak mampu bikin 30 lukisan untuk tugas akhir… padahal saya sudah KKN…,” tukasnya. Melukis buat dia memang bukan sekadar mencoretkan ide di atas kanvas dengan begitu mudah. Ia benar-benar menyentuhkan pikiran dan jiwanya di atas kanvas. “Dulu saya takut bicara di depan umum, kalau dipaksa gemetaran, demam panggung. Karena itu daripada saya ditanya konsep karya saya, yang kadang tak mudah dijelaskan dengan kata-kata, mending saya membuat karya yang gampang-gampang saja.” Kelemahan ini memang dirasa sangat mengganggunya. Bahkan mungkin hingga kini.
Tapi keputusannya benar. Setelah keluar, ia justru lebih bebas berkreasi tanpa harus ditanya apa makna lukisan yang dibuatnya. Hasilnya, selama sepuluh tahun terakhir dia bergulat dan mematangkan gaya lukisannya sekarang. “Hidup itu tiap hari perjuangan. Tapi buat aku fun aja..,”katanya santai. (Sang istri—yang menemaninya selama wawancara—ikut menimpali,”ah.. fun..”)
“Kalau orang bicara soal bisnis, ada untung rugi. Kalau buat aku, ini soal kerja seni. Kalau kerja seni, itu rasanya seperti dewa. Melakukan kesenangan setiap hari. Ini mungkin beda dengan orang lain. Apakah ini disebut perjuangan?,” Lalu ia tertawa. “Wong kita kerja senang kok, masak dibuat seperti orang susah.” Ia tertawa terbahak-bahak melihat istrinya tampak sewot mendengar jawabannya. Sorot matanya tak bisa dipungkiri, ia memang sangat mencintai istrinya.
Tak dipungkiri, peran Anna dalam kehidupan dan berkarya Masriadi memang luar biasa. Anna menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani sang suami: menemaninya melukis hingga dini hari, lalu mengantar ke warnet untuk main game saat mereka belum punya komputer dan menjemputnya di pagi hari, menemani bertemu para tamu, menjaga anak-anaknya, pada akhirnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesuksesan Masriadi. Kekompakan itulah yang akhirnya membuat karya Masriadi terus melaju bersama waktu. (Rustika Herlambang)
Stylist: Quartini Sari. Busana: Ichwan Thoha, Fashion First Senayan City. Sepatu dan gelang: Populo, Senayan City. Fotografer: Edwin Doliroseno
Lokasi: Kediaman Masriadi, Yogyakarta
Hi Rustika,
I’ve just dropped by Masriadi’s exhibition yesterday. The thing I like most about his work is that it tickles me, and I think they’re very sincere.
I like your article. Can I paste it in my blog?
Thanks!
Cheers,
Hi Jade,
thanks for coming to my experience weblog. Sure, you can paste it in your blog. Don’t forget to say that your readers can reach Masriadi on Dewi magazine, August edition.
Thanks!
Saya terjemahin juga ya ke bahasa inggris (semampunya 🙂 )
[…] “Black is My Last Weapon” exhibition in 8Qsam – this article is translated (by me) from Rustika Herlambang’s interview with I Nyoman Masriadi. You can find it in her blog and the August 2008 edition of the Indonesian fashion magazine, […]
Hmm… mantep!
saya akan memberikan beberapa hal menarik tentang Masriadi di cerita-cerita unik seputar dia, yang tak sempat tersampaikan melalui artikel tersebut. Maklum saja, halaman majalah kami sangat terbatas. Semoga minggu depan saya bisa melakukannya. Minggu ini saya mungkin akan disibukkan di Jakarta Fashion Week 2008 di Pacific Place.
terima kasih,
salam
salam perkenalan
Terima kasih,
selamat datang di blog saya ya…
hi…..
boleh tau ga gimna cara jual lukisan antik??
alasannya aq punya lukisan picasso . . .
boleh tau num telepon anda???
Narasi yang bagus, persoalannya
saya ndak punya alamat Masriadi terkini
untuk undang pameran lukisan. Bisakah memberi saya info? ke email saya?
rudigunawan2001@yahoo.com
Dari dulu blum sempat baca malu dgn foto sendiri,edan u tulis apa ini bagus sekali trims banyak.
Hi Ledalede alias I Nyoman Masriadi…
Terima kasih sudah datang dan memberikan komentar pada artikelku… soal bagus dan ndak bagus itu kan relatif.. apalagi dirimu kan, katanya grogi diwawancara…. he he he.. hanya itu yang aku bisa tuliskan untuk artikel ini.
sukses slalu mas riyadi tkk seperti tn 95
Boneka Sigok… akan kutanyakan pada Masriadi.. tapi apakah nama Anda Boneka Sigok?
terima kasih
dari miss rustika herlambang
ya….!
itu nama samaranku tapi kalau ditanyakan sama mas yadi pasti udah kenal wong aku udah pernah dilukis !
yg pernah dikasih boneka namanya sigok.
bonekanya masih aku simpan….
makasih ya mas lambang udah buka blok ini..
udah 12th aku nggak ketemu mas yadi.. lucu liat poto mas yadi.
selamat sukses mas yadi dan keluarga……!
moga tuhan memberkatimu slalu..
yg pasti aku sangat senang dng artikel mbak..?
nama asliku kanti temen mas yadi waktu kos di tegal mulyo.
udah lama ngak ada kabar tau2 udah menjadi orang sukses..
mbak lambang aku mau tanya dimana alamat lengkap di jogja sekarang..? aku ada no tlp tp no tlp rumah di bali.
kanti dan keluarga mau mampir kalau boleh.
atau memberi info ke email saya..
wwiwid91@yahoo.co.id
he he he…sudah kusms-kan ke Masriadi.. tunggu sampai manal ini yha… soalnya jam segini biasanya dia belum bangun..
thanks
tika
terima kasih mbak…!
moga bly nyoman masriyadi ngak lupa sama temen masa2 susah belum sukses dulu…
tlng sampaikan salam dan sukses slalu dr kanti dan keluarga tegal mulyo.
trims miss rustika herlambang.
dear Boneka Sigok dan Mas Rudy Gunawan,
silakan hubungi Masriadi di alamat email sbb. jago_neon@yahoo.com
terima kasih
semoga sukses
salam kembali dari Masriadi untuk Anda berdua.
Terima kasih…!
sukses slalu untuk artikel miss rustika..
mis Rustika Herlambang..!
Tolong sampaikan pada Bly Nyoman Masriyadi..
Kok email dari Boneka Sigok/Kanti an Wiwid kok nggak pernah di balas..!
trims atas bantuannya…..!
hi Boneka Sigok…
kupikir seperti biasa, Masriadi pasti kagok mau membalasnya.. he he he… tunggu saja yha. mungkin masih memikirkan bagaimana menuliskannya. he he he…
Lihat aja, dia baru baca artikel ini setelah sembilan bulan!!! kayak orang mau melahirkan saja. ha ha ha.
Katanya, salam dari Batam… 😉
ok, good luck yha..
hello Rustika,
thanks for your interview
magazine Issue One (www.issue-one.com) from London wants to illustrate an article of mine on contemporary art with an image by Masradi, for their imminent “Revolt” issue.
Could you put us in touch?
many cheers
Damien
yaimogwei@yahoo.com
dear Damien,
please feel free to contact me @ rustika.herlambang@feminagroup.com..
Walau sudah setahun tulisan anda masih menarik n enak dinikmati. Tentang I Nyoman Masriadi sudah saya baca di beberapa media, terakhir Kompas Minggu 19 Juli 2009. Dia memamng perupa masa depan yang dimiliki Indonesia. Selamat berkarya Non Rustika….
hehehe……hebat anda mbak…bisa ngobrol ama itu orang, 7 tahun satu kampus ama dia..saya belum pernah denger suaranya…
Eko… terima kasih masukannya.. waah bagus banget tuh ceritanya… bisa nanti aku masukin cerita pendek tentang Masriadi edisi kedua kali yha..
he he he…
gmana cara menjadi seniman yg baik…
q mau jd pelukis terkenal. gmn caranya
Sayapun juga punya karya lukisan CLE , kalau nggak percaya lihat di Blog ku , http://www.sawungsakti.co.cc , di jamin okey ? cuma nasib gue belum best lah ,…
top, sangat dekat dengan obyek dan subyek dalam tulisan.
karya-karya masriadi memang ok punya kalo saya punya duit mo koleksi satu.
Mau nanya berapa hrg lukisan masriadi sekarang yg ukuran 140×140 thema pelacur warna biru
Uk 140×160 thema orang hitam bawa tikus ditangan kanan dan ikan ditangan kiri
Kalo bisa dikabari via email saya Чaa,saya penggemar lukisan masriadi
Saya ingin dapat kabar secepatnya
Terimakasih Чaa mba
Saya mau nanya nih kalo lukisan masriadi yg
Ukuran 140 x140 thema pelacur
Ukuran 140 x160 thema orang hitam bawa ikan ditangan kiri n bawa tikus ϑί ditangan kanan
Brp harganya Чaa
Tolong kabar secepatnya
Terimakasih banyak Чaa
hai,this my firs time i visit this situs..i just want to say that was i have keep the greath creat of paint of i nyoman masriadi.the titel is PANCO 160×200 oil on canvas.the paint it was made on august 2002..who are the people has interested may call me…087862424924…i`m not the colektor i`m just the lucky one who have the fortune.. thx 4 the attention…swastiastu.
IF may i know,what is daniel harun email address.cous i want to talk by private..thanx for help
trimakasih atas artikelnya ya kak…………membantu banget! buat tgz qu.
Saya bangga bisa memiliki lukisan masriadi walaupun dari kertas yang tetap saya pajang rapi dirumah saya.. saya lupa sudah berapa tahun…. saya memiliki 4 lukisan nyoman… 2 sudah rusak .. 2 terawat baik… mungkin nyoman lupa dengan saya.. karena saya dulu mengumpulkan karya nyoman yang masih dikertas dan saya bingkai dikuncen tempat langganan nyoman.. tempat langganan nyoman… sekarang beberapa orang sudah menawar lukisan nyoman … tapi masih belum saya kasi.. karena nanti suatu saat mau saya tunjukkan nyoman bahwa saya masih menyimpannya….. …. thxs n sukses selalu pak….
Hallo Mbak, setelah sempat googling sebentar, lukisan orang yang pencet jerawat, ternyata judulnya adalah “biasa saja tidak sakit (2008)” bukan “facial” seperti tertulis…atau memang “facial ” itu nama lain yang sering digunakan para pemerhati seni?