Dewi edisi April 2008
Rieke Diah Pitaloka
Menuju Akar Rumput
Ada gelar ataupun tidak, dia selalu ingin mengangkat dirinya sebagai duta kemanusiaan

Duta Kemanusiaan
Terasa betul Rieke Diah Pitaloka memaksa diri untuk bersikap hangat pagi itu. Wajahnya pucat dan ia terus membekap jaket hitam yang dikenakannya. Sikap kenes yang baru saja diperlihatkan dalam siaran langsung di stasiun televisi swasta tiba-tiba sirna. Dia berubah menjadi sedikit pendiam. “Ya, inilah aslinya aku. Sedikit pendiam. Bedalah kalau sudah di panggung,” katanya diplomatis. “Tapi memang aku agak sedikit kesel. Bukan apa-apa sih, cuma aku nggak suka segala sesuatu yang nggak well prepared,”ia mengungkapkan kekesalan yang membuat wajahnya mendung pagi itu.
Tapi itu tak lama. Saat disinggung tentang aktivitas terakhir, raut wajahnya langsung gembira. Ia tampak begitu antusias membicarakannya. “Aku sedang mempersiapkan pementasan Monolog Perempuan Menuntut Malam, untuk memperingati hari perempuan sedunia 8 Maret,”tukas Rieke yang pada saat wawancara berlangsung masih dalam proses pelatihan. “Ini memang agak nekad. Karena di sana aku juga menjadi pemain, bersama Niniek L. Karim dan Ria Irawan. Tapi juga menjadi produser dan penulis naskah bersama Faiza Mardzoeki,”ia membeberkan pekerjaan yang menyita energinya.
“Di sana aku banyak bicara tentang ketubuhan perempuan,”ujarnya, sedikit teoritis. Ia lantas memberikan banyak cerita nyata kehidupan perempuan di Indonesia. Dari kasus pengadilan yang ditemui hingga kisah ibu yang membunuh anaknya di Bandung, ia menyimpulkan bahwa perempuan selalu menjadi korban. “Semua itu tidak lepas dari peran negara yang tidak berpihak kepada perempuan,”tegas Rieke yang juga penulis buku Kekerasan Negara Menular pada Masyarakat. “Karena itu, tidak ada jalan lain, perempuan harus memerdekakan dirinya,”lanjut alumnus Fakultas Sastra Belanda, Universitas Indonesia, Jurusan Filsafat Driyakara serta S2 dari Fakultas Filsafat UI.
Rieke bagai menemukan dirinya sendiri saat bercerita tentang perempuan. “Saat ini, saya sudah 80% memerdekakan diri. Sulit untuk mencapai 100%. Sebab apa artinya merdeka untuk saya sendiri sementara saya melihat orang-orang di sekitar saya tidak merdeka? Apabila sistem ini tidak kita kritisi, hal ini akan bisa terjadi pada anak saya, orang setelah saya, jadi ini adalah hal yang harus diperjuangkan,”ujar Rieke yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini. Pembicaraan yang sangat politis dan juga kritis ini disampaikannya dalam ucapan yang ringan, santai, tanpa kesan menggurui. Bahkan terasa seperti melihat Oneng-perempuan lugu dalam serial Bajaj Bajuri yang melambungkan namanya-hadir di sana.
Barangkali karena kecakapan oratorial ini, Yayasan Sundaya mengangkatnya menjadi Duta Energi yang mengkampanyekan pemanfaatan energi matahari akhir tahun lalu. Aktivitas ini seolah menyambung kesibukan dia sebelumnya sebagai Duta Lingkungan Hidup dari Kementrian Lingkungan Hidup serta Duta Buruh Migran dari Migran Care. Di luar itu, Rieke juga masih aktif bekerja sebagai pemain film, teater, sinetron, penulis opini, cerpen, produser, mengelola yayasan, dan mungkin masih banyak kesibukan lain yang belum disebutkannya. Padahal ia juga ingin menjadi dosen, supaya bisa transfer ilmu.
Rieke mengaku menikmati seluruh aktivitas itu. Segala hal yang berhubungan dengan masyarakat banyak memang selalu membuatnya bergairah. “Dengan atau tanpa gelar, saya akan mengangkat diri saya sebagai duta. Duta untuk kemanusiaan,”katanya sambil tertawa. Karena itu mudah dimengerti mengapa ia seringkali terlibat dalam aksi demontrasi membela keadilan dan kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya ikut menyosialisasi UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Dunia aktivis memang bukan hal baru buat Rieke. Apalagi buat sekadar pamer atau ikut-ikutan. “Kakakku aktivis SMID, Solidaritan Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi. Kalau dia mau aksi, dia selalu jemput aku,”tukasnya mengenang kejadian puluhan tahun silam. “Waktu itu aku bilang sama kakakku, kamu gila ya, aksi saja KKN. Tapi bagaimanapun juga, dialah yang memerkenalkan aku ke dunia politik,”ujar Rieke yang merupakan anak bungsu dari 6 bersaudara. Berbagai aksi inilah yang pada akhirnya membuka matanya terhadap realitas yang terjadi di dalam masyarakat. “Aku inget banget. Aksi pertamaku, minta tuntaskan kasus Edy Tanzil. Ih, liat deh, sampai sekarang dianya hilang begitu saja,”ujarnya gusar.
Persoalan keadilan memang mengusik batinnya sejak dia masih kecil. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara itu sering mengajaknya datang ke sidang pengadilan. “Ayah sering mendiskusikan berbagai masalah di meja makan. Saya ingat banget, ada kasus yang sangat membekas di hari saya. Ada seorang ibu rumah tangga diperkosa sama adik majikannya sampai hamil dan digugurkan, tapi yang dipenjara perempuan yang baru saja melahirkan 2 hari,”ia ungkapkan satu kisah hampir mirip dengan film Perempuan Punya Cerita yang dibintanginya. Di ruang makan itulah dia mulai memahami ada ketimpangan keadilan yang tidak berpihak pada rakyat miskin. Karena itu, pernah suatu waktu ia ingin menjadi seorang pengacara seperti ayahnya supaya bisa menegakkan keadilan itu.
Di sisi lain, ia bersyukur memiliki ibu yang disebutnya feminis sejati. “Ibu saya itu pikirannya sangat politis dan punya jiwa sosial yang tinggi. Mungkin dia nggak ngerti kata-kata feminis, tapi dia sangat feminis. Katanya, kamu perempuan, jangan cuma mimpi cuma jadi istri dokter. Kamu harus jadi dokter. Jangan cuma jadi istri menteri, kamu harus menjadi menteri itu sendiri,” kenang Rieke tentang ibunya yang ibu rumah tangga biasa dan membantu penghasilan ayahnya dengan membuat jamu gendong. “Ibu seperti dia tak ubahnya seperti agen perubahan buah kehidupan seseorang, setidaknya untuk aku,”tukas Rieke yang selalu didorong ibunya untuk menulis. Hasilnya, ia sudah meluncurkan 3 buku: Renungan Kloset (kumpulan puisi) Dari Cengkeh sampai Utrech, Uups serta Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat.
Kehidupan intelektualnya memang dimulai sejak dini. Ayahnya berlangganan koran, majalah dan memberikan buku-buku bermutu setiap bulan sekali. Karena keluarganya tidak memiliki pesawat televisi hingga dia duduk di bangku SMA, maka tiada pilihan lain kecuali menghabiskan waktu-waktunya dengan membaca puisi Chairil Anwar, Sapardi Joko Damono, Pramudya Ananta Toer hingga Nicolo Macchiaveli. “Kalau pingin nonton televisi, kita pergi ke tempat tetangga,”kata Rieke yang sudah memulai karir sebagai pemain figuran sejak duduk di bangku SMP. Sebelum sekolah, ia juga membantu menjual jamu gendongan bikinan ibunya.Kompleksitas pendidikan dan lingkungan masa kecil telah menjadikan landasan kuat dalam kehidupan, Rieke meyakininya. Dan kini, hidupnya kian lengkap dengan hadirnya Donny Gahral Adian. “Sepanjang pernikahan ayah dan ibuku, mereka itu patner diskusi. Aku nggak ngebayangin kalau punya pasangan nggak bisa diajak ngobrol. Kalau udah berkeluarga ‘kan bukan urusan makan dan ranjang–ya ini penting juga-tapi lebih penting aku punya teman bicara,”ia berbicara tentang Donny, suami, patner diskusi, sekaligus kritikus paling kejam untuknya. Kisah cinta ini pun terbilang unik. Hanya berlangsung 23 hari kenal, itu pun dicomblangi oleh Romo Haryatmoko, sebelum memutuskan menikah.
Bersama Donny, ia membuat penerbitan dengan nama Koekoesan dan membuka taman-taman bacaan di bawah Yayasan Pitaloka miliknya. Taman bacaan pertamanya dibuka di Pasar Porong, Sidoharjo. “Tapi karena dipolitisir, akhirnya gue tutup aja, tuh. Sebel banget,”katanya. Lalu ia membuka di Gang Dolly, Surabaya yang dikenal sebagai tempat prostitusi, masih berlangsung hingga kini. Ia juga sempat membuka satu lagi di Cilincing, pemukiman padat penduduk di Jakarta. Nasibnya apes. Taman bacaan itu ikut terbakar habis saat kebakaran (atau pem-bakar-an?) terjadi beberapa waktu ini.
Dia juga terus melakukan kampanye ke sekolah-sekolah SMA di Jakarta, kerjasama dengan Body Shop, untuk penyuluhan pemanasan global, HIV serta pengenalan sastra. “Saya pingin orang melihat sastra tidak berkerut. Tapi lewat sastra, ada hal yang bisa disampaikan ke publik,”katanya.
“Yah begitulah aku sekarang. Maunya macam-macam. Ya politik, yayasan, nulis opini, cerpen, sinetron, produser, macam-macamlah. Sampai kadang dalam sehari aku melakukan 4 kegiatan yang beda-beda,”kata Rieke yang pernah diusulkan menjadi Wakil Gubernur DKI dari PKB. Karena dia merasa masih banyak hal yang mengganggui pikirannya, ketidakadilan masih leluasa dimana-mana, ia memilih untuk terus bergerak. “Mumpung aku masih populer. Jadi aku bisa menggunakan corong popularitasku,” katanya.
Ia tampak berpegang pada kalimat Pramudya Ananta Toer: kebenaran itu tidak turun dari langit, tapi kebenaran itu harus diperjuangkan supaya jadi benar. “Kalau kita merasa itu benar, ya harus kita perjuangi. Sampai kapanpun.” (Rustika Herlambang)
Stylist: Quartini Sari. Busana: Le Privee. Sepatu: Gioseppe Zanotty dan Stuart Weizman. Lokasi: Kemang Village. Fotografer: Hermawan.
isinya bagus banget.bisa gak minta alamat emailnya mba rieke? thanks
terima kasih, Mbak.. saya sudah sampaikan ke Rieke.. Dia belum memberikan alamat emailnya, mengingat artikel ini ada di blog. Artinya, bila alamat emailnya diberikan ada kemungkinan orang lain bisa mengaksesnya. Karena itu, setelah ada kabar, saya pasti akan sampaikan.
ini jawaban Rieke…
boleh dong say, riekepitaloka@yahoo.com ATAU riekepitaloka.blogdetik.com.
Saat baca ini, aq sdg cri tgs kuliah dg topik “Artis terjun ke politik”. Pilihan aq Rieke Dyah Pitaloka, dan ternyata g salah…
Mbak Rieke luar biasa! Aq bangga bgt ad perempuan yg cerdas, sosial, namun tetap ‘humble’…
Teruskan perjuanganmu ‘Oneng’!!!;)
Semoga sebagai mahasiswi yang sama” dari ‘kampus kuning’, kelak aq bs mengikuti jejakmu…
Mbak Rustika, makasih atas tulisanny yg menginspirasi.
Terima kasih…
Sama-sama, semoga artikelnya bisa memberikan manfaat..
wah..Masha Allah..Saya dukung bgt deh….Teh…Saya mah suka dengan kegigihan teteh..Maju dan sukses deh buat teteh…Amin..
kami mendukung teteh. selamat berjuang
Maaf sebelumnya, Aku harus panggil Ibu, Teteh atau Mbak ini? ^_^
Mungkin Ibu ^_^
Bu, Maaf sebelumnya. Bagaimana caranya untuk menggapai Cita-cita Kita sebagai Duta Kemanusiaan? Terimakasih Bu ^_^