Dewi Edisi April 2008
Mencairkan Gunung Es
Dia tahu apa yang dia mau, dan tahu bagaimana strategi untuk menyalurkan semua keinginannya

Mencairkan Gunung Es
Ketegangan usai rapat dari kantor, yang katanya cukup melelahkan, seolah menguap begitu saja, ketika Miranda Swaray Goeltom berada di depan kamera. Dia yang selalu terlihat serius di dalam layar televisi -terutama belakangan ini– tiba-tiba muncul dalam sosok yang menyenangkan, penuh canda, dan sedikit kekanak-kanakan. Manja. Lalu berpose, layaknya model profesional, tanpa sungkan atau grogi di depan puluhan orang yang berada di tempat itu. Sepertinya ia sangat menikmati segala proses yang terjadi. Yang pasti, dia tahu persis angle terbaik di mata kamera.
Rasa percaya diri itu memang sangat menguasai dirinya. Seperti ketika ia meluncurkan buku ketiganya, The Indonesian Experience -essays in Macro Economic Policy, di Jakarta, seminggu sebelum pemotretan berlangsung. “Saya puas dengan buku itu,” Miranda menuturkan buku setebal 600 halaman yang dipenuhi dengan data dan informasi detail, tertata rapi, dengan pengantar yang memudahkan orang awam sekalipun memahami pikirannya. “Saya setiap malam memompa semangat untuk membuatnya,” Deputi Senior Bank Indonesia (BI) mengenang kerja kerasnya.
“Saya memang perfeksionis. Meski buku itu selesai tahun 2006, saya perbaiki terus. Saya tidak pernah puas. Sepertinya ada yang kurang, apa bahasanya, apa up date datanya. Selain itu, saya juga pengen dapat testimoni dari orang yang cukup berbobot seperti Paul A. Volker (Gubernur Bank Amerika sebelum Alan Greenspan), Andrew Crockett (President JP Morgan Chase International), Moh. Chatib Basri, Mari Pangestu dan Sri Mulyani. Wah.. tiga diva nih,”ungkapnya senang sambil mengingatkan seandainya saja selama 3 bulan stafnya tidak meyakinkan dia, mungkin buku ini belum jadi hingga kini. Hasilnya, dalam delapan hari buku itu sudah dicetak ulang. “Saya ingin buku ini tidak hanya dimengerti oleh ekonom, namun juga masyarakat umum,”ia berharap.
Di tengah sorotan situasi makro ekonomi Indonesia, buku ini seolah memberi sinyal “ketidakpuasan”. Ia-yang selalu memiliki energi berlebih-memilih untuk melakukan riset data, menulis, menganalisis, dan menuangkan pikiran-pikiran pribadinya. “Betul. Alam bawah sadar saya memang begitu. Setelah baca paper-paper saya tahun 95, oh ini loh Miranda, tahun 95 pun sudah memberikan tanda-tanda, ati-ati loh sama perbankan, ati-ati sama utang luar negeri, competitiveness, jangan sampai kita terbuai dengan pertumbuhan ekonomi karena ternyata daya saing kita tak begitu baik. Ini saya buktikan jauh sebelum masa krisis dan semua orang ribut,”ujar Miranda yang menyadari betul bahwa keputusan moneter negara dibuat oleh keputusan dewan, bukanlah hasil pikiran pribadinya. “Dengan menulis, orang mengerti pikiran saya seperti ini, pendapat saya seperti ini.”
Selama bercerita tentang buku barunya, Miranda bagaikan buku teori yang terbuka. Membongkar sendiri seluruh pandangan intelektual dan wawasan ekonominya, tanpa terkesan menggurui, apalagi disertai rumus-rumus yang teoritis. Gaya bicaranya, seperti seorang ibu kepada anak perempuannya:penuh kasih sayang.
Sebentar lagi, dia akan meluncurkan buku Mencairkan Gunung Es. Kali ini ia berbicara tentang perubahan, yang diambil dari pengalamannya selama bekerja di BI. Dia melihat bahwa keperluan untuk transformasi dan keperluan berubah itu tidak bisa dalam bentuk organisasi atau di dalam bentuk peraturan, struktur gaji atau kepangkatan. “Transformasi itu adalah orang. Yang berubah adalah orang. Perubahan itu harus terjadi dari diri orang dulu, baru segala sesuatunya bisa dilaksanakan dan terjadi,”ia mengingatkan bahwa jangan mudah silau oleh segala sesuatu yang tertata rapi, sopan, penuh aturan.
Berbagi informasi (Knowledge sharing) adalah hal yang ditegaskan. “Jangan pernah lupa, pengetahuan seseorang itu ada pada dirinya. Maka jika orang tersebut pensiun atau berhenti, pengetahuan itu terbawa ke dia, manfaat ke instansi tidak ada,”ungkap Miranda yang akhirnya mengembangkan unit khusus pelayanan informasi di BI, agar data bisa diakses dan ditaksonomikan sehingga menjadi informasi. “Dari data, menjadi informasi, menjadi pengetahuan. Orang bisa naik tinggi atau tidak itu tergantung pada bagaimana dia memanfaatkan pengetahuan tersebut menjadi kebijaksanaan. Saya pikir pengalaman saya ini bisa dibagi untuk orang lain, tidak hanya untuk BI,”katanya.
Saat wawancara berlangsung, suasana kantor BI tempatnya bekerja tengah diguncang prahara. Hal ini jelas menjadi pukulan seluruh anggota dewan, termasuk dirinya. Meski demikian, Miranda tetap terlihat tegar. Sedikit diplomatis, dia berkata, “Karena sistem BI sudah solid, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena ini sudah menyentuh kasus hukum, sebaiknya kita tidak ikut berkomentar. Kita biarkan hukum berjalan, semoga asas praduga tak bersalah masih tetap berlaku, sehingga tidak ada yang yang tidak nyaman dalam bekerja.” Sebagai pimpinan, dia sekarang sibuk meyakinkan anak buah agar tetap bekerja baik. “Tetap ambil keputusan, jangan takut, jangan merasa ragu,”tegasnya.
“Peristiwa ini memiliki hikmah buat kita semua. Bahwa belum tentu suatu keputusan yang kita lakukan dengan berbagai pertimbangan baik pada saat itu, dan terbaik pada saat itu, akan dinilai baik oleh pihak lain.”
Dia juga tampak bijak saat menanggapi namanya yang tak masuk bursa pencalonan Gubernur BI mendatang, kendati dia adalah salah satu kandidat yang cukup kuat. “Kalau menurut saya, memang sulit untuk mengatakan bahwa ada faktor lain yang memengaruhi hal itu. Memang ada hak prerogatif Presiden. Tentu dalam hal ini, kita harus memercayai, dan harus memercayai bahwa dia akan memilih yang menurut beliau yang sesuai dengan harapan dan keinginan dia. Saya hanya bisa melihat sampai disana.” Dia memilih untuk bersikap profesional saja.
“Saya percaya kalau memang Tuhan mau kita disitu, kita akan disitu. Yang penting, kita melakukan yang terbaik. Sikap profesionalitas dan integritas. Ini berarti bahwa kita tidak melakukan keputusan karena hanya pingin jabatan, mempertahankan jabatan atau menyenangkan seseorang,”tukas wanita 59 tahun yang tetap terlihat awet muda ini.
Frustasi atau putus asa, tak ada di benaknya. Ia lebih suka berpikir positif terhadap semua hal. “Kalau saya sedang tidak konsentrasi, karena suatu masalah tertentu, saya memilih untuk melakukan hal lain. Daripada saya salah mengambil keputusan,”ungkapnya. Salah satunya, berkumpul dengan teman-teman lamanya. “Ketemu mereka, bercanda-canda, rasanya langsung hilang semua masalah di kepala,”ucapnya seraya menyebut nama Niniek L. Karim dan Joice, yang disebutnya sebagai sahabat dari Genk Purbolinggo-alamat rumah Joice tempat mereka berkumpul saat kuliah di UI. “Walaupun kalau ketemu sering berantem,”ia tertawa, sambil bercerita berbagai adegan seru seputar persahabatan mereka.
Di sisi lain, dia menyalurkan sebagian energinya untuk aktif di berbagai kegiatan yang mencerahkan pikirannya. “Saya suka menyanyi, golf, seni rupa, kota tua, keramik. Jadi ini adalah bagian dari balancing. Saya kerja capek, saya harus menikmati hidup juga. Termasuk makan. Nah yang ini aku belum masuk yayasannya,”kata Miranda yang juga memimpin Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI), Nusantara Symphony Orchestra (NUS), Jakarta Old Town Kotaku (JOK), Persatuan Bridge Seluruh Indonesia, Persatuan Golf Indonesia serta Yayasan Keramik Indonesia.
Tentang padatnya kegiatan ini, Oloan Siahaan, suami Miranda, berkomentar “Saya kadang bilang, aktivitas dikurangi. Tapi dia itu orang yang susah nolak. Akhirnya, dia lakukan semua. Sampai sambil bercanda saya bilang, kamu urusin semua orang, kecuali suamimu. Ha ha ha… Dia memang pingin ngurusin semua.”
Meski demikian, Miranda memegang teguh komitmen yang dibuatnya. “Saya dulu memberikan gambaran bahwa mengurus bridge itu tidak mudah, saya bilang orang bridge itu gila semua. Very independent. Tapi ternyata, dia mengurus bridge hingga 4 tahun. Dia juga keras terhadap pemain nasional. Kalau salah ya harus dihukum,”Oloan memberikan ilustrasi kesibukan istrinya. Miranda pula yang membawa program Bridge Go to School untuk mencari bibit-bibit baru. “Dia masuk ke pesantren-pesantren, dan memberikan pandangan lain tentang bridge, permainan yang sebelumnya dianggap haram. Dan kini berhasil,”tambah Oloan. Miranda juga memopulerkan olah raga golf-yang selama ini dikenal cukup eksklusif– ke sekolah-sekolah.
“Kata orang, saya ini nggak punya udel (puser). Ha ha ha… Tidak punya rasa capai,”ia menanggapi pandangan suaminya. “Saya bilang, everything is in your mind. Kalau mengerjakan sesuatu yang kamu senangi, menurut saya capek itu tak ada dalam variabel itu. Dan kalaupun dia ada, akan segera pulih dengan hasil kerja, karena kamu senang mengerjakannya,”ungkap wanita penggemar dansa dan menyanyi ini.
Tapi jangan harapkan Miranda mau terjun ke politik. “Saya paling nggak ngerti politik. Betul, saya nggak ngerti. Saya mungkin memang tidak dilahirkan jadi orang politik. Dan memang saya nggak mau tahu, Saya nggak punya keahlian disitu. Saya terlalu polos,” lulusan master Political Economy dari Boston University, Amerika Serikat -kali ini dengan intonasi cepat-mengajukan pandangan politisnya. (Barangkali Miranda lupa bahwa tidak ada manusia yang tidak berpolitik, dan diapun duduk di sebuah institusi yang memegang kebijakan politis negara).
Demikian juga dengan soal bisnis, dia tidak melirik sedikitpun. Bilapun ada kabar yang menyatakan bahwa nilai kekayaannya bertambah hingga 500 % akhir tahun lalu, ini hanya berasal dari benda-benda tak bergerak, katanya. Bukan dari sebuah usaha yang dilakukannya. “Saya ini orangnya nggak tegaan. Kalo saya buka usaha, lalu saya melihat apa-apa naik, harga harus naik, saya nggak bisa ngomong…,” katanya berusaha melucu. Dia sendiri lebih suka menjadi filantropis. “Nanti deh, kalau sudah pensiun. Aku mau belajar kamera, supaya bisa motret-motret cucu.”
Seandainya pensiun dari BI,ia ingin kembali mengabdikan dirinya kembali sebagai pengajar di UI. “Saya senang mengajar, bisa berbagi pengetahuan,”kata Miranda, mantan peneliti di LPEM UI, yang gemar berdiskusi. Sebagai catatan, ia baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar di Fakultas Ekonomi UI dengan nilai yang sempurna. “Kata dosen-dosennya saat pengukuhan, inilah satu-satunya nilai sembilan yang pernah saya berikan setelah 50 tahun mengajar di fakultas ekonomi. Inilah mahasiswa yang pernah saya kasih nilai 10. Miranda adalah murid saya terpintar,” Oloan menirukan ucapan selamat dari para pembimbing istrinya itu.
Di mata laki-laki, seperti dikatakan Oloan, Miranda merupakan sosok yang menarik. “Dia mampu menampilkan dirinya sendiri. Dia memiliki pribadi yang sangat, sangat, kuat. Pola pikirnya jelas. Bagi laki-laki, saya kira, semakin dalam kamu bicara dengan dia, dia terlihat semakin menarik. Dia bisa selalu merespon pembicaraan dengan baik dan proporsional. Kaya di dalam pengetahuan. Horison dia sangat luas,”puji Oloan. Sebelum memutuskan sesuatu, Miranda selalu logis dalam menganalisa berbagai hal, dan disampaikan dengan bahasa terang.
“Tapi mungkin tidak pada saat memilih saya. Ha ha ha.. Soalnya dia pasti salah analisa. Kalau dia lakukan dengan analisa seperti yang biasa dia lakukan, nggak akan bakal jadi kita. Saya kira dia salah. Dia pakai emosi sedikit. Yang lain jadi terlupakan. Ha ha ha..” Pria yang dinikahi Miranda 5 tahun lalu itu lantas tertawa.
Dikelilingi Keberuntungan
Miranda memang sungguh beruntung. Ayahnya seorang guru didikan Belanda yang lantas memilih untuk berbisnis. “Dia punya perusahaan, namanya NV Miranda, usahanya mesin jahit dan radio Grundig,”kenang Miranda yang sedari kecil sudah hidup di Jakarta. Salah satu ajaran ayahnya adalah padamkan amarah sebelum matahari terbenam. Jadi bangun pagi, dia harus sudah bersinar lagi, tak ada dendam. Kelak, gaya inilah yang hingga kini memengaruhi Miranda, mudah marah, tapi setelah itu baik lagi. “Dia itu sama rata sama rasa, rumah terbuka buat siapa saja, ringan tangan. Itu rasanya menular pada saya.”
Sementara, kesukaannya akan fashion menurun dari ibunya. “Ibu saya itu orang yang bersih dan teratur. Dari pertama saya kenal dia hingga meninggal, hidupnya sangat teratur. Dia selalu bangun pukul setengah enam, selalu makan pukul enam pagi, dan dia sudah cantik pakai baju rapi,”ujar penggemar fanatik Yohji Yamamoto, Alexander McQueen, Stella Mc Cartner serta Giorgio Armani. Hingga ibunya meninggal, tangan dan kakinya selalu menicure pedicure, kulit dan mukanya selalu dijaga. “Rumah selalu rapi, dia pinter masak, jahit, semuanya pinter. Hal inilah yang pelan-pelan saya ambil dari ibu saya. Perempuan itu harus bisa segala macam. Harus pinter,”Miranda menirukan ibunya yang juga seorang penyanyi. “Empat jam sebelum meninggal, dia menyanyi Ave Maria, Schubert. Padahal, dia sudah pakai alat bantu pernapasan.”
Ia mengenang masa kecilnya sebagai anak yang sangat bandel. “Pulang sekolah, loncat dari mobil, naik pohon mangga, ketapelin orang lewat. Masukin anak kucing baru lahir ke kolong meja, trus waktu temen mau ambil tas, dia digigit kucing dan menjerit. Ha ha ha.. Saya disetrap. Saya ini model setrap apa saja sudah pernah, mulai dari SD sampai SMA. Tapi saya seneng kalau disetrap, suruh keluar ruangan. Main undur-undur, main gundhu. Ha ha ha.” Lantas bicara serius. “Mungkin alam bawah sadar saya bosan,” katanya dengan nada rendah. Pelajaran di kelas rasanya lama. Teman-teman sebayanya tak juga cepat menangkap pelajaran itu. Sementara dia, yang sudah belajar dari rumah, pelajaran yang sama menjadi begitu membosankan. Karena itulah dia banyak ikut les seperti piano, untuk menyalurkan waktunya. Dia memang harus banyak beraktivitas.
Waktu kecil bercita-cita jadi arsitek. “Saya tertarik sama F. Silaban, teman om saya. Saya suka memandang gedung BI dan masjid Istiqlal. Bagus sekali,”kata Miranda yang akhirnya gagal mengambil jurusan arsitektur setelah dia merasa bosan saat pelajaran menggambar proyeksi. Lalu dia pingin jadi ahli fisika. “Soalnya saya kagum sama Newton.”kata Miranda yang lagi-lagi gagal, karena selain Ibunya tak setuju, ia terlambat juga mendaftar di ITB: universitas impiannya saat itu. “Yah, akhirnya saya masuk kedokteran UKI. Karena Ibu pingin saya jadi dokter. Tapi cuma 3 bulan bertahan,”katanya.
Sembari menunggu ujian masuk perguruan tinggi tahun berikutnya, Miranda rajin membaca koran. “Saat itu, kondisi ekonomi Indonesia lagi susah. Orang-orang makan bulgur. Lalu muncul nama Widjojo dan Wardhana yang bisa menjelaskan kondisi itu dengan baik. Lalu terpikir oleh saya. Ah, aku pingin jadi ekonom seperti dia,”ia menjelaskan keputusannya. Lagi-lagi, dia berhasil untuk mendapatkan keinginannya. “Ternyata ekonomi nggak sulit. Logika aku dapat sepuluh,” katanya, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Hanya untuk meyakinkan bahwa bila dia sudah punya kemauan, dia akan mati-matian mengejarnya.
Itu kalau keinginannya berhasil ditaklukkan dengan kemampuannya. Bagaimana bila tidak? Ia cukup menikmati. Miranda punya contoh yang menarik soal ini. Saat kuliah di Boston, dia sangat menyukai sebuah lukisan dari pelukis yang tak begitu terkenal. Dia jatuh cinta pada lukisan itu. Namanya juga mahasiswa, mau beli, tak ada uang. Akhirnya, dia hanya datang setiap hari Sabtu ke galeri lukisan itu. “Saya ngeliat aja udah seneng banget. Kadang ngobrol sama pelukisnya. Kalau ditanya kenapa nggak beli, saya bilang uang saya terbatas. Akhirnya, setelah 5 tahun, pelukis itu luluh, dan akhirnya saya bisa beli,” tukas kolektor dan pengagum lukisan Affandy, Rusli dan Dullah dan seni lukis kontemporer ini. Tak hanya lukisan, Miranda juga punya banyak pengalaman serupa dari pasar barang antik.
Mungkin ini karena sifat Miranda yang rileks dan mudah bergaul. “Saya mengenal Ibu Miranda sejak tahun 1974. Dia orangnya pinter, tapi pembawaannya rileks dan mudah gaul. Sesuatu yang penting, dia bisa membungkusnya dengan lebih menarik, bahasa yang mudah dibaca, dimengerti, nah ini gayanya dia. Orangnya tidak protokoler dan birokratis,” Arwin Rasyid, mantan mahasiswa yang kini jadi koleganya, memuji. Sifat ini memang terasakan setelah beberapa kali dewi datang di acara Miranda. Dia begitu hangat dengan setiap orang. Senyumnya selalu mengembang. Dan tidak sungkan-sungkan memberikan perhatian kepada orang-orang di sekelilingnya.
“Dia selalu mengingat orang-orang yang pernah dikenalnya, meski baru sekali bertemu. Ingatan dia tuh seperti foto copy. Waktu mahasiswa, statistik satu halaman itu dilihat sekali dia tahu angka-angkanya, dia bisa describe data-datanya,”tukas Oloan. “Ini yang membantu dia dalam berdiskusi dan menganalisa persoalan. Tapi jeleknya, karena dia sudah kenal orang, dia susah untuk menolak. Ini yang bikin dia gagal dalam managemen waktu,”tambah Oloan. “Mungkin saya optimis sama waktu, sehingga saya ngatur waktunya pendek-pendek. Saya tuh memang senengnya bikin orang puas,”tukas Miranda yang dikenal suka terlambat itu -kelak kebiasaannya inilah yang menyelamatkannya dari musibah bom JW Marriot.
Niniek L. Karim memuji Miranda sebagai teman yang menyenangkan. “Dia itu teman yang selalu ingat teman. Dia juga hangat, mengalah, lebih banyak ngemong. Cuma dia yang tahu pertemanan yang tulus. Hubungan kami tetap equal. Ini hebatnya dia.” Dia lalu menceritakan bagaimana kompaknya hubungan mereka sejak masa kuliah ini berlangsung hingga kini, bahkan untuk urusan memilih sekolah. “Waktu saya ngeluarin anak dari sebuah sekolah, eh, semua satu geng ikut-ikutan,”kata Ninik.”Sampai sekarang, anak saya kalau mau pergi masih diberi uang saku. Dia memerlakukan anak saya seperti anaknya sendiri.” Saat itu, Miranda memiliki 2 anak, Winda dan Ermanda.
Bicara soal anak-anak, Miranda memang dikenal sangat intens. “Saya nyetir sendiri, pontang panting antara UI, Pondok Labu, Pondok Pinang, nganterin anak-anak les,”kisahnya. Untuk memantau perkembangan anak-anaknya, ia sengaja membuatkan majalah untuk sekolah anak-anaknya. “Saya gunting-gunting artikel, saya bikin majalah, trus saya fotokopi. Jadi saya tahu persis apa yang terjadi di sekolah anak-anak,”lanjutnya. Ia juga sangat toleran terhadap pendapat anak-anaknya, termasuk juga untuk memilih keyakinan mereka yang mengikuti ayahnya yang beragama Islam. Sementara, dia tetap dengan keyakinan nasraninya.
Kini anak-anaknya sudah dewasa. Tidak ada yang mengikuti jejaknya menjadi ekonom. “Yang satu sastra, yang satu psikologi. Saya bilang ke anak-anak, nggak usah jadi pejabat. Jadilah seseorang yang punya nilai, yang dibutuhkan.”
“Pada dasarnya, saya ini tipe orang yang setia dan perhatian,”katanya. “Kalau sudah cocok, ya, sudah terus-terusan bersama mereka. Termasuk potong rambut. Selama 25 tahun, saya hanya mau sama Hengky. Kalau dia lagi ke luar negeri, saya milih menunggu dia pulang.” Bukan berarti dia tidak pernah mencoba. “Saya pernah potong di Paris, di Amerika. Tapi tidak ada yang sesosok potongan Hengky,”tukasnya sambil menunjukkan rambut pendeknya yang sudah diwarna. “Ini rambut paling enak sedunia. Tinggal digini-giniin, udah manut. Dia tahu saya nggak ada waktu pergi ke salon,” ucapnya sambil memeragakan gayanya dalam bersisir.
Ini juga berlaku dalam asmara. “Saya memiliki asmara yang indah. Sangat, sangat indah,”katanya dengan wajah berseri-seri. Miranda merasa selalu mesra setiap saat. Semua bisa menjadi hal yang bisa ditertawakan bersama. “Memang pengalaman dulu kurang bagus. Tapi tidak berarti saya tidak bahagia. Ada saat-saat bahagia saya dengan ayahnya anak-anak. Tapi kebanyakan tidak bisa dipertahankan,”dia menceritakan kisah perceraiannya-satu hal yang sesungguhnya dilarang di agama yang dianutnya. “Tapi sekarang saya bahagia lagi,”katanya. Kegagalan tidak boleh membuatnya patah. Sebagai ibu, dia berprinsip harus memberikan contoh ketegaran itu untuk kelima anaknya kini: David Siahaan, Caroline Siahaan, Oliver Siahaan, Winda Siregar serta Ermanda Siregar .
Memang tidak semua keinginan harus berakhir menjadi perwujudan. Bagi Miranda, siapapun harus tahu apa yang dinginkannya. Tidak semua keinginan harus didapatkan. Selalu ada limit. Kalau sampai limit tidak bisa, kita hanya bisa berharap bahwa pilihan kita itu baik. Apakah itu pilihan kerja, seolah, ataupun hidup. “Kalau kamu tidak pergi bersama perubahan, kamu akan tergerus, dan bakal menjadi problem,”tukasnya.
Tiba-tiba saja, dia seperti tersadar. Arloji di tangannya menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, artinya lewat 2 jam dari yang diberikan untuk dewi. Saking asyiknya, –seperti dia bilang tadi, saking optimisnya dia dengan waktu– ia terpaksa melewatkan acara rapat di kantornya. “Wah, nggak bisa ke kantor deh. Saya harus pulang sekarang. Ini masih banyak buku yang harus saya tanda tangani,”katanya pamitan, dan lagi-lagi meninggalkan senyuman. Ah, Itulah Miranda. Dia selalu ingin membahagiakan hati banyak orang. (Rustika Herlambang)
Busana: Deden Siswanto. Aksesori dan sepatu: Koleksi Miranda. Make up: FW Salon, Tebet, Jakarta. Fotografer: Eliska, Leonardi Portraiture. Stylist: Ayunda Wardhani
tiap orang itu memang menarik ya mbak. tiap kita, itu pasti ada sisi menariknya. artinya, nggak ada manusia di dunia ini yang gak ada kelebihannya.
mungkin, kesuksesan yg diraih oleh beliau, itu karena berhasil menemukan sisi menarik itu.
waduh…kok tulisannya jadi belepotan begitu ya… maksudku berubah-ubah bentuknya. kenapa ya..
Ehm, becik ketitik olo ketoro..